PERANAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT MEMPERTAHANKAN PERAYAAN TRADISI 10 MUHARRAM DI PARIAMAN 1992-2013

(1)

DI PARIAMAN 1992-2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas

Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh: LIDYA LESTARI

1110022000031

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435H/2014M


(2)

(3)

(4)

(5)

LIDYA LESTARI. Peranan Pemerintah dan Masyarakat

Mempertahankan Perayaan Tradisi 10 Muharram Kalangan

Masyarakat Muslim di Pariaman 1992-2013

Perayaan 10 Muharram merupakan upacara tradisional bernafaskan Islam yang sampai sekarang masih tetap eksis dan bertahan di Pariaman, Sumatra Barat. Tradisi 10 Muharram di Pariaman merupakan wujud rasa duka cita atas wafatnya Husain bin Ali di Padang Karbala sekaligus pemberian persembahan kepada penghuni pantai Sumetera Barat, yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai 10 Muharram. Perayaan tradisi tersebut terdiri dari beberapa rangkaian upacara, serperti pembuatan tabuik, mengambil tanah, mengambil batang pisang, maantam, mangarak jari-jari, mangarak sorban, tabuik naik pangkek, mahoyak tabuik, tabuik dibuang ke laut ( pembuatan keranda, mengambil tanah, mengambil batang pisang, penurunan jari-jari, arakan jari-jari, arakan sorban, penyatuan bagian keranda, menggotong keranda, keranda dibuang ke laut) .

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kenapa perayaan tradisi 10 Muharram yang bersifat tradisional sampai sekarang masih tetap eksis dan bertahan kalangan masyarakat muslim yang sudah modern di Pariaman. Dalampenelitian ini,penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sedangkan pengumpulan datanya, dilakukan dengan cara wawancara, studi pustaka, studi dokumentasi dan observasi.

Dari penelitian ini, ditemukan Bertahannya perayaan tradisi 10 Muharram kalangan masyrakat muslim yang sudah modern sampai sekarang di Pariaman karena adanya peran pemerintah daerah Pariaman yang ikut serta melestarikan perayaan tradisi tersebut yaitu dengan cara menjadikan perayaan tersebut agenda wisata budaya tahunan tanpa mengurangi nilai, isi serta bentuk dari perayaan. Melalui perayaan tradisi 10 Muharram kalangan masyarakat muslim Pariaman, Pendapatan daerah Pariaman meningkat dengan dikelolanya perayaan tradisi 10 Muharram oleh pemerintah karena, sebelum dikelola pemerintah tidak ada pungutan retribusi daerah dan perayaan tradisi 10 Muharram hanya dikonsumsi oleh masyrakat setempat. Sedangkan ketika perayaan tradisi 10 Muharram dikelola pemerintah, perayaan tradisi 10 Muharram menjadi wisata budaya yang dikenal sampai mancanegara yang sangat memicu pemasukan daerah dan adanya retribusi yang dipungut dari pedagang musiman


(6)

Lidya Lestari, dilahirkan di Bukittinggi (Sumatra Barat) pada tanggal 04 Agustus 1992, ia merupakan anak ke empat dari lima orang bersaudara dari pasangan Bapak Johardi dan Ibu Syafni.

Pendidikan Formal:

1. SD N 09 Sitapung (Bukittinggi) lulus 2004

2. SMP N 10 Ampek Angkek (Bukittinggi) lulus 2007

3. SMA N 01 Ampek Angkek Lambah (Bukittinngi) lulus tahun 2010 Kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Program Strata 1 (S1) Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lulus tepat waktu pada tahun 2014. Selama kuliah mengikuti kegiatan KMM (Kumpulan Mahasiswa Minang) yang ada di UIN.

Anak gadis ini, menyelesaiakan Program Sarjana pada Tahun Akademik 2014. Dalam menyelesaiakan studi akhirnya, penulis melakukan penelitian

tentang “ Peranan Pemerintah dan Masyarakat daam Mempertahankan Perayaan

Tradisi 10 Muharram Di Pariman 1992-2013 “dalam penyelesaian skripsi ini penulis tidak luput dari bimbingan dosen yang begitu berjasa membantu mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini beliau yaitu Bapak Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag dan Bapak Drs. Tarmizy Idris, MA


(7)

panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S1) pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Oman Faturrahman, M.Hum selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora dan Dr. H. M. Farkhan. M.Pd seaku pembantu Dekan Bid. Akademik.

2. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah. M.A selaku ketua jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam.

3. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd selaku sekretaris jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam

4. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag dan Drs. Tarmizy Idris, M.A selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M. Ag dan Dr. Saiful Umam, MA selaku penguji sidang munaqasah.

6. Seluruh dosen, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(8)

Kota Pariaman yang telah banyak membantu penulis memberikan informasi terkait dengan penulisan skripsi saya

8. Seluruh narasumber yang telah memberikan informasi terkait penulisan skripsi saya.

9. Papa dan Mama tersayang atas dukungannya, kasih sayang, perhatian, doa dan semua pengorbanan yang tidak akan pernah terbalas. Nenek, Bang Alex, Uni Widya, Bang Robby dan si bungsu Ayu yang selalu membuat penulis tersenyum disaat penulis mendapat kesulitan.

10.Yudha zikry dan Rahmad doni yang selalu menberi semngat kepada penulis.

11.Rekan-rekan angkatan 2010 Irna, Hana, Hanifah, Fitri, Dian, Ela, Nana, Uswah, Rina, Noeng, Wulan, Tati, Nisa, Endi, Anto, Hanafi, Okta, Haryono, Iwan, Syihab, Agung, Rahmat, Johan, Zein, Latif,

Syukron, Arif, Mizan, Fa’I, Nendi, Dede, Firman, Karma Selama ini

kita selalu bersama dalam menjalani pendidikan dibangku kuliah dari awal hingga akhir. Canda tawa bahagia bersama kalian akan selalu awak simpan dalam memory ini, dan terimakasih juga atas

bantuan dan do’anya. Kapan-kapan SULING ke Bukittinggi

yoooooooo.

Jakarta, 14 Juli 2014

Lidya Lestari Penulis


(9)

LEMBARAN PENGESAHAN……….

LEMBARAN PERNYATAAN………..i

ABSTRAK………...ii

RIWAYAT HIDUP……….iii

KATA PENGANTAR……….…iv

DAFTAR ISI………vi

BAB I : PENDAHULUN A. Latar Belakang Masalah………..1

B. Perumusan dan Batasan Masalah………..……..7

1. Identifikasi Masalah………..……7

2. Pembatasan Masalah………...8

3. Perumusan Masalah………...…8

C. Tujuan Penelitian………...8

D. Tinjauan pustaka………...9

E. Metode Penelitian……….…..11

F. Sistematika Penulisan……….15

BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MUSLIM PARIAMAN 1992-2013 A. Letak dan Kondisi Geografis Pariaman. ……..16

B. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Muslim Pariaman……….……..21

C. Kondisi Sosial-Ekonomi MasyarakatMuslim Pariaman………..27


(10)

B. Bentuk pelaksanaan perayaan tradisi 10 Muharram di

Pariaman………39

1. Pembauatan Tabuik………..…..40

2. Mengambil Tanah ……….…42

3. Mengambil Batang Pisang………45

4. Maantam………...46

5. Mangarak Jari………...48

6. Mangarak Sorban……….49

7. Tabuik Naik Pangkat………51

8. Mahoyak tabuik………54

9. Tabuik dibuang ke laut……….56

C. Nilai-nilai dalam perayaan tradisi 10 Muharram di Pariaman……….…57

BAB IV: UPAYA MEMPERTAHANKAN PERAYAAN TRADISI 10 MUHARRAM A. Peranan Pemerintah menjaga perayaan tradisi 10 Muharram………62

B. Upaya masyarakat muslim mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram………66

C. Fungsi perayaan tradisi 10 Muharram pada masyarakat di sekitar Pariaman…………...70


(11)

B. Saran………..78

DAFTAR PUSTAKA………


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesatnya perkembangan zaman seperti sekarang berakibat kepada kebudayaan tradisional yang semakin terpinggirkan dan bahkan sampai banyak yang hilang. Akan tetapi kenyataaan di lapangan, penulis masih menemukan masyarakat muslim yang sudah modern masih menjalankan adat istiadat, upacara tradisional dan percaya akan kekuatan gaib. Hal ini penulis temukan salah satunya pada masyarakat muslim Pariaman, mereka setiap tahunnya tanggal 1 sampai 10 Muharram melaksankan upacara tradisional. Menurut asumsi penulis, bertahannya perayaan tradisi 10 Muharram tersebut tidak terlepas dari campur tangan dan kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah setempat dalam melestarikan perayaan tersebut, karena perayaan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit seperti dalam prosesi pembuatan bangunan tabuik, diperkirakan mencapai Rp 10.000,000 – Rp 15.000,000. Dilihat dari biaya yang dibutuhkan, dibandingkan dengan pendapatan masyrakat sebagai petani, nelayan, dan pedagang masih sangat jauh untuk mencapai dana yang begitu besar, untuk itu pemerintah juga ikut serta menyediakan anggran dana untuk melangsungkan perayaan ini, tampa mengurangi nilai kesakralan dari perayaan tradisi 10 Muharram tersebut.

Pariaman merupakan gerbang memasuki daerah Sumatera Barat atau sering kali disebut daerah Minangkabau, wilayah Minangkabau secara garis


(13)

besar terdiri dari dua bagian yaitu rantau1 dan darek. Daerah Minangkabau bagian darek terdiri dari tiga daerah yaitu Luhak Agam sebuah nama tempat yang awalnya, terdapat banyak tumbuhan belukar agam yaitu sejenis tumbuhan rawa yang biasanya digunakan oleh penduduk setempat sebagai bahan-bahan untuk membuat tikar, Luhak Tanah Datar penduduk yang mendiami kawasan dataran sebelah tenggara gunung merapi. Sedangkan, Luhak Limo Puluah Koto yang awalnya penduduk hanya terdiri dari lima puluh kepala keluarga yang mendirikan pemukiman di bagian utara gunung merapai.

Ketiga kawasan luhak tersebut biasanya disebut dengan Luhak Nan Tigo.2Kota Pariaman sendiri terdapat di pesisir tepatnya dikawasan rantau.3Masa lampau Pariaman sangat terkenal oleh pedagang asing dikarenakan kota ini sebagai lintas jalur perdagangan dari luar ataupun dalam negeri seperti India, Arab, Turki dan lain-lain.4Kota ini juga merupakan simbol perpaduan antar berbagai etnis dan sebagai pusat penyebaran Islam di Sumatera Barat pada fase pertama. Akibatnya Pariaman menjadi kaya akan khazanah budaya. Salah satu kebudayaan yang bersifat tradisional yang sampai sekarang masih eksis dan tetap bertahan yaitu tradisi 10 Muharram Pariaman.

1

Di Minangkabau pengertian rantau terbatas pada daerah-daerah dekat lembah sungai dan anak sungai yang mengalir atau di tepi pantai, pada saat sekarang ini istilah rantau mengalami perluasan yaitu daerah yang berada di luar Minangkabau atau Sumatera Barat. Lihat Drs. M.D Mansoer dkk. Sedjarah Minangkabau. (Jakarta : Bharatara, 1970), h. 2.

2

Elizabeth E. Graves. Asal Usul Elit Minangkabau Modern.(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 4.

3

Amir, Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau, h. 11. 4

Drs. M.D. Mansoer.dkk. Sejarah Minangkabau. (Djakarta : Bhratara, 1970), h. 39.


(14)

10 Muharram merupakan upacara tradisional yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai 10 Muharram, yang pada dasarnya memperingati atas syahidnya Husain bin Ali ditawan oleh tentara Yazid bin Muawwiyah di Padang Karbala tahun 61 Hijriah.5

Tradisi 10 Muharram di Indonesia diselenggarakan di beberapa daerah seperti Pariaman, Bengkulu, Aceh, Gresik dan Bayuwangi.6Menurut sejarah, tradisi 10 Muharram sampai ke pulau Sumatera dibawa oleh orang-orang Syi’ah yakni kaum Cipei dari Madras Benggali India Selatan. Kaum Cipei yang mengunjungi Bengkulu selama bertahun-tahun yang pada awalnya sebagai pedagang, sebagai tentara yang dikirim ke Bengkulu untuk mempertahankan jajahan Inggris di Sumatera tahun 1825 M dibawah kepemimpinan Thomas Stamford Raffles.7 Meskipun 10 Muharram berasal dari kaum Syi’ah dianggap sebagai upacara suci bagi kaum Syi’ah, akan tetapi bagi masyarakat Pariaman pelaksanaan 10 Muharram hanya tradisi memperingati kematian Husain bin Ali yang berarti masyarakat Pariaman tersebut bukan penganut Syi’ah, melainkan Sunni sama dengan masyarakat Minangkabau lainnya. Ini juga didukung dari hasil penelitian Suharti dinyatakan tidak ditemukan secara institusi masyarakat Syi’ah di Pariaman.8

Salah satunya yang dikenal sebagai ulama yang memiliki andil cukup besar menjalankan tradisi 10 Muharram di pesisir Barat Sumatera

5

Ernatip dkk. Upacara Tabuik di Pariaman : Kajian Nilai Budaya dan Fungsi Bagi Masyarakat Pandukungnya (Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, 2001), h. 14

6Aqar Furuqi, “Imam Husain dan Air di Karbala : .Syi’ah Husain Simbol

Perlawanan, ’’ (Muharram 2010), h. 109. 7

Azyumardi Azra. Islam reformis : Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta : Rajawali Press, 1999)

8

Suharti, S.Kat.,Ritual Syi’ah di Pariaman. (Padang Panjang :Laporan Penelitian STSI. 2006), h. 36.


(15)

pada abad ke-17 yaitu Syekh Burhanuddin atau sering disebut dengan panggilan Imam Senggolo.

Tradisi 10 Muharram yang bertahan sampai sekarang, menurut penulis sangat menarik untuk dikaji, karena secara keseluruhan dimana para kelompok sosial masyarakat, seniman, pelaku, pemerintah berada dalam ikatan norma dan azas yang ada. Hal ini sesuai dengan yang dimaksud oleh Endaswara bahwa budaya adalah sesuatu yang hidup, berkembang dan bergerak menuju titik ruang, waktu dan tempat dari kebudayaan.9Hasil dari pemikiran manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat. Pikiran yang dilakukan manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi. Taufiq Abdullah mengatakan bahwasanya pembentukan tradisi sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau. Saat ini tradisi dapat memberi kesadaran identitas serta rasa berkaitan dengan sesuatu yang di anggap lebih awal.10 Sejalan dengan adanya penyebaran agama Islam, tradisi yang ada pada agama akan berkembang pada masyarakat. Hal itu misalnya, terjadi pada masyarakat di pulau Sumatera Barat, khususnya di Pariaman seperti, tradisi 10 Muharram yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi sebuah kebudayaan tersendiri bagi masyarakat di sana.

Kebudayaan11Minangkabau telah mendarah daging di kalangan suku-suku yang tersebar di wilayah ini. Kebanyakan dari mereka masih

9

Endraswara, Suwardi. Metodelogi Penelitian Budaya (Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press, 2003), h. 23.

10

Taufiq Abdullah. Islam dan pembentukan tradisi di asia tenggara.(Jakarta : LP3ES, 1988), h. 58.

11

Kebudayaan ialah sesuatu yang mempengaruhi pengetahuan dan juga sistem idea atau gagasan yang ada dalam pkiran manusia dalam kehidupan dan dilakukan secara turun


(16)

memegang budaya dengan beberapa isme seperti kepercayaan terhadap roh nenek moyang, yang bertempat di tempat-tempat keramat seperti gunung, makam-makam.12Animisme seperti ini sebenarnya telah di anut oleh masyarakat sejak zaman pra sejarah. Hal ini hingga sekarang masih melekat dalam pribadi masyarakat walaupun ajaran-ajaran agama yang murni telah diterima selama berabad-abad, akan tetapi budaya lokal tersebut dipadukan dengan ajaran-ajran Islam. Sebelum kedatangan Islam di Sumatera Barat, masyarakat setempat telah menganut paham hindu. Ini terbukti dengan berdirinya kejaran hindu pagaruyung pada abad XIV-XV yang dipimpin oleh Raja Adtyawarman.13Kepercayaan masyarakat disana sebelum Islam ialah animism, seperti yang sudah digambarkan diatas yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda,dan juga manusia.14Semua dianggap gerak, hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki roh, baik berwatak baik ataupun buruk. Dengan kepercayaan tersebut masyarakat beranggapan bahwa didunia ini terdapat roh yang berkuasa lebih dari manusia. Agar terhindar dari roh tersebut, mereka mengadakan upacara-upacara ritual.

Dalam kehidupannya, masyarakat Pariaman untuk menyeimbangkan nilai-nilai ajaran Islam dengan budaya Pariaman atau Minangkabau melahirkan kepercayaan-kepercayaan dan upacara-upacara ritual. Pada

temurun. Lihat Koentjaningrat.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta : Djambatan, 1982), h. 9.

12

Drs. M.D. Mansoer.dkk. Sejarah Minangkabau, h. 33. 13

Murodi, Melacak Asal Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat. (Jakarta : Logos, 1999), h. 61.

14

Buya,Hamka. .Islam dan Adat Minangkabau,( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1985), h. 63.


(17)

umumnya, upacara tersebut mempunyai tujuan untuk menghormati leluhur. Tradisi ini bermula dari pemujaan kepada leluhur yang merupakan kepercayaan masyarakat. Adanya penghormatan kepada roh-roh leuhur ini biasanya ditujukan kepada roh-roh pelindungnya. Roh pelindung yang dimaksud ialah tokoh-tokoh sejarah yang telah meninggal. Maka masyarakat memakai simbol untuk menghormati roh leluhurnya yang diwujudkan dengan menyediakan sesajian, peti kranda yang di agung-agungkan, mengadakan upacara selamatan dan melakukan ziarah ke mkam leluhur maupun tempat yang dianggap keramat.15

Penyelenggraan upacara tradisional 10 Muharram tersebut terdiri dari beberapa rangkaian acara yang dimulai dari pembuatan tabuik, mengambil tanah, mengambil batang pisang, maatam, mangarak jari-jari, mangarak sorban, tabuik naik pangkek, mahoyak tabuik, tabuik dibuang ke laut, rangkaian acara tersebut mempunyai arti penting bagi warga masyarkat yang bersangkutan. Hal ini disesbabkan karena fungsinya sebagai pengkokoh norma-norma atau nilai budaya yang ada dan berlaku dalam kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat Pariaman, hidup penuh dengan upacara, baik upacara berkaitan dengan lingkungan hidup manusia sejak dari keberadaanya dalam perut ibu sampai kematiannya atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari

15

Dalam praktek kesehariannya masyarakat Pariaman sering disebut masyarakat Minangkabau masih memegang tguh adat istiadat serta tata krama dari leluhurnya Adat berfungsi sebgai mengatur, mengndalikan dan memberi pengarahan kepada prilaku dan perbuatan manusia dalam sebuah masyrakat. Lihat Koentjaraningrat. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan (Jakarta : PT Gramedia, 1974), h.5 demikian adat yang masih bertahan dalam masyrakat Minangkabau misalnya berdoa sbelum mengerjakan sesuatu kepada Allah SWT, menghormati yang lebih tua dan sebaginya.


(18)

dalam mencari nafkah, khususnya bagi para petani, pedagang, nelayan dan sebagainya.

Dari pemaparan di atas, ada hal yang menarik bagi penulis untuk di teliti yaitu seiring pesatnya perkembangan zaman seperti sekarang, kebudayaan tradisional yang semakin terpinggirkan, bahkan sudah banyak yang hilang. Akan tetapi salah satunya kenapa tradisi 10 Muharram yang merupakan upacara tradisional sampai sekarang masih eksis dan tetep bertahan di tengah-tengah masyarakat yang sudah modern di Pariaman.16Menurut asumsi penulis, bertahannya perayaan tersebut tidak terlepas dari campur tangan dan kerjasama antara masyarakat pendukung dengan pemerintah setempat dalam menjaga dan melaksanakan perayaan tradisi 10 Muharram.

Pariaman sebagai objek penelitian karena disinilah tradisi 10 Muharram masih dilaksanakan. Memang ada daerah masih melaksanakan tradisi 10 Muharram ini mislnya Bengkulu, karena penulis asli Bukittinggi maka memilih Pariamn sebagai objek penelitian yang lebih dekat dibandingkan Bengkulu. Karena alasan itulah penulis memilih Pariaman sebagai objek penelitian.

B. Perumusan dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan di atas maka penulis mengidentifikasikan masalah diantaranya gambaran umum masyarakat Pariaman di bahas dalam bab

16

Survey penulis misalnya pada tahun 2013 lokasi Provinsi Sumatera Barat Pariaman, penulis menyaksikan tradisi 10 Muharram yang berlangsung dengan aman dan tertib di Pariaman.


(19)

kedua, pada bab ke tiga akan membahas deskripsi tradisi 10 Muharram. Sedangkan pada bab ke empat upaya mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram. Sedangkan masalah pokok dalam penelitian ini yaitu kenapa perayaan tradisi 10 Muharram yang merupakan upacara tradisional sampai sekarang masih eksis dan tetep bertahan di tengah-tengah masyarakat yang sudah modern di Pariaman.

2. Pembatasan Masalah

Penelitian ini subjeknya difokuskan kepada kebertahanan perayaan tradisi 10 Muharram kalangan masyrkat muslim di Pariaman pada tahun 1992-2013. Karena pada awal tahun 1992 pemerintah sangat berperan, bahwasaanya pemerintah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengankat 10 Muharram sebagai program tahunan di Pariaman Sedangkan batasan tahun sampai 2013 karena pada tahun tersebutah penulis dapat menyaksikan tradisi 10 Muharram di Pariaman.

3. Rumusan Masalah

Pembahasan dalam penulisan ini terfokus pada kebertahanan perayaan tradisi 10 Muharram kalangan masyrkat muslim di Pariaman pada tahun 1992-2013. Agar pembahasan tidak melebar sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal, maka penulis membatasasi masalah. Adapun batasan masalh dalam kajian ini di rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi sosial, budaya, ekonomi, masyarakat Pariaman? 2. Bagaimana sejarah tradisi 10 Muharram di Pariaman?

3. Bagaimana upaya mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram sampai sekang di Pariaman?


(20)

C. Tujuan Peneitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan pelaksanaan tradisi 10 Muharram di Pariaman. 2. Menjelaskan nilai dan fungsi perayaan tradisi 10 Muharram 3. Mejelaskan peranan pemerintah dan masyarakat menjaga tradisi

10 Muharram

4. Menanbah koleksi kepustakaan UIN mengenai tradisi 10 Muharram yang ada di Pariaman.

5. Selain mamfaat di atas, untuk lebih mengenal kebudayaan Islam, serta dalam rangka menambah khazanah ilmu di bidang sejarah kebudayaan Islam dalam konsentrasi di Asia Tenggara, khusunya tradisi Islam di Pariaman.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bukanlah uraian tentang daftar pustaka yang akan di gunakan, akan tetapi merupakan uraian singkat hasil penelitian tentang masalah sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.17 Adapun peneitian sejenis yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabuik Pariaman, Kajian Antropologis Terhadap Mitos dan Ritual, tesis ini di tulis oleh Miko Siregar. Universitas Indonesia Pada tahun 1996. Isi Dalam tesis tersebut ialah membahs tentang deskripsi mitos, ritual, dan komunitas tabut, Serta struktur ritual dan sistem tradisional. Sedikit ringkasan dari tesis ini yaitu komunitas secara kreatif menafsirkan makna mitos dan merealisasikan ritualnya sesuai dengan sistem tradisional serta

17

Hamid, Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Jakarta : CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah , 2007), h. 20.


(21)

merta menjaga keaslian makna yang dipandang masih setara dengan makna asli dari mitos dan kedudukan mitos dan sistem tradisional bergeser melalui kehadisran sistem nasional ataupun global.

Music tabuik dalam upacara tabuik sebagai kaum Syi’ah di Sumatera Barat. Skripsi ini ditulis oleh Khanizar pada tahun 1995. Dalam skripsi sarjana etnomusikologi pada sekolah tinggi seni Indonesia Surakarta. Skripsi ini menjelaskan secara deskriptif tentang pelaksanaan upacara tabuik di pantai Barat Sumatera Barat.

Dinamika Keberlangsungan Tabuik Pariaman. Tesis ini ditulis oleh Asril Mucthar dalam menyelesaikan magister di Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Jogyakarta pada tahun 2002. Dalam tulisan ini menjelaskan tabuik sebagai sebuah ekspresi budaya masyarakat pariaman dalam perjalanannya dari waktu ke waktu dalam upaya mempertahankan eksistensinya yang telah mengalami dinamika dengan berbagai sarana. Dinamika dalam budaya tabuik dipandang sebagai daya hidupnya untuk menyesuaikan dengan zaman.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penelitian sebelumnya tidak membahas tentang keunikan dari tradisi 10 Muharram yang saya bahas. Dalam penelitian terdahulu sebagian besar membahas prosesi upacara tabuik, dinamika keberlangsungan upacara tabuik, kajian antopologis terhadap mitos dan ritual yang ada dalam tabuik Pariaman, dan music dalam tabuik. Sedangkan penelitian ini selain membahas sejarah 10 Muharram, menjelaskan bagaimana tradisi 10 muharram tersebut masih tetap bertahan dan eksis sampai sekarang,


(22)

bagaiman peranan pemerintah dan masyarakat dalam perayaan tradisi 10 Muharram di Pariaman, selanjutnya mengetahui fungsi perayaan tradisi 10 Muharram yang masih aksis sampai sekarang bagi masyarakat setempat.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pakar sejarah Indonesia, Sartono Kartodirjo, menjelaskan bahwa kejadian sejarah tidak tunggal penyebabnya. Dalam konteks studi ini untuk mengkonstruksi kejadian masa lampau perlu memakai berbagai pendekatan dari segi mana melihatnya, hal yang perlu dikaji, dan unsure-unsur yang perlu diungkapkan sejarah, sosiologi, dan antropologi.18

Pendekatan sejarah kajiannya lebih menekankan aspek kronologis waktu atau bisa juga kronologis kejadian. Sosiologi melihat segi-segi sosial peristiwa, misalnya golongan mana yang berperan serta nilai-nilainya, hubungan dengan golongan lain dan masalah idiologi. Selanjutnya antropologi mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari pelaku tokoh sejarah, satus dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup.19

Jadi dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi dan antropologi. Demikian arti penting berbagai pendekatan dalam melihat sebuah peristiwa sejarah.

2. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data

18

Sartono Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah (Jakarta :

PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.114 19


(23)

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah 1. Deskripsi sosial, budaya, ekonomi, masyarakat Pariaman, 2. sejarah tradisi 10 Muharram di Pariaman, 3. Upaya mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram sampai sekang di Pariaman.

b. Sumber Data

b.1. Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini antara lain, wawancara, dokumen dan pengamatan langsung. Jadi deskrisi sosial,budaya dan ekonomi masyrakat Pariaman, selanjutnya sejarah tradisi 10 Muharram di Pariaman dan upaya mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram sampai sekang di Pariaman. Data tersebut bersumber dari pengamatan langsung dan wawancara seperti elit pemerintah, masyarakat, tokoh agama, pemuda dan informan terkait.

b.2. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder diantaranya pandangan, tulisan orang lain yang memiliki kaitan dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai laporan penelitian, jurnal, majalah, buku, dan media elektronik.

3. Pengumpulan Data a. Observasi

Observasi atau pengamatan langsung dilakukan untuk memperoleh fakta nyata tentang perayaan tradisi 10 Muharram dan hal-hal yang berkaitan kemudian melakukan pencatatan.

Hal ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengamatan tentang pelaksanaan perayaan tradisi 10 Muharram,


(24)

yang meliputi prosesi acara, perlengkapan perayaan dan tempat penyelenggaraan perayaan. Agar terpenuhinya standar ilmiah maka peneliti harus mampu masuk di dalamnya untuk berperan serta dalam perayaan yang dilakukan oleh pelaku perayaan.20

b. Wawancara

Wawancara merupakan pengumpulan data dengan mengadakan dialog atau percakapan terkait dengan tema penelitian kepada informan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer, karena data ini diperoleh langsung melalui wawancara dengan pelaku perayaan. Adapun pelaku perayaan ialah pemerintah, tokoh masyarakat seperti tokoh agama, pemimpin perayaan dan sebagian pengunjung, serta berbagai pihak yang bersangkutan.

4. Analisis Data

Data yang terkumpul diediting dan kemudian diklasifikasikan untuk dikategorisasi. Selanjutnya, data yang terkumpul dipilih berdasarkan subjek kajian. Tahap kategorisasi bertujuan mengelompokkan setiap data ke dalam unit-unit analisis berdasarkan kesesuaian antara satu tema dengan tema yang lainnya sehingga menggambarkan keseluruhan analisis yang utuh. Selanjutnya beberapa data yang sudah diproses pada tahap kategorisasi, akan dianalisis berdasarkan kecendrungan khusus dari data-data yang terkumpul sehingga akan tergambar tipologi yang koperhensif di dalamnya.

Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengungkap bertahannya perayaan tradisi 10 Muharram di Pariaman. Tujuannya untuk mencari

20

Suwardi Endraswara, Metodelogi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), h.169


(25)

keterkaitan antar berbagai komponen dan konsep sehingga membentuk satu kesatuan sistem yang kompleks agar dapat memahami hakikat kebertahanan perayaan tradisi 10 Muharram di Pariaman. Jadi, penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif.21

5. Langkah Penelitian

Secara umum, metode penelitian sejarah ini dilakukan dengan empat langkah, yaitu heuristic, kritik sumber, interprestasi dan historiografi.22 Heuristik adalah kegiatan mengumpulkan dan penelusuran sumber data melalui pelacakan atas berbagai dokumen, serta wawancara dengan informan. Adapun sumber primer yang bersifat tertulis, berupa sumber yang diterbitkan seperti biografi maupun sumber yang tidak diterbitkan seperti sumber tertulis di arsip, dokumen negara, atau dokumen pribadi. Sumber skunder berupa buku-buku terkait, tesis, disertasi, majalah, surat kabar, serta sumber elektronik dari websaite milik instansi resmi baik daerah maupun pemerintah.

Pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan penulis dengan menggunakan metode penelusuran kepustakaan (library research) dan lapangan. Studi kepustakaan, yakni mengunjungi beberapa lembaga yang memiliki koleksi buku ataupun arsip terkait tema penelitian ini, seperti arsip nasional republic Indonesia (ANRI) untuk memperoleh data berupa arsip-arsip yang menggambarkan kondisi lingkungan pariaman sejak tahun 1992-2013, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

21

Sanafiah Faisal, ed. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Surabaya : Usaha Nasional, 1987), h. 63

22

Dudung Abdurrahman. Metode Penelitian Sejarah (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 44


(26)

Perpustakaan Nasional Rakyat Indonesia, untuk mencari buku-buku, hasil penelitian, tesis, jurnal, disertasi terkait dengan tradisi 10 Muharram, perpustakaan Fakultas Adab Humaniora, Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mencari buku-buku maupun skripsi dengan tema serupa, Perpustakaan Umum Universitas Indonesia untuk mencari hasil kajian, penelitian Miko Siregar dengan tema sejarah dan tabuik pariaman.

Terakhir menguji fakta dan data sejarah yang telah dikumpulkan. Kritik ekstren yang dilakukan untuk menguji keaslian sebuah sumber sejarah yang asli. Sedangkan kritik interen dilakukan untuk menguji validitas data sejarah. Langkah interprestasi adalah upaya menafsirkan data berdasarkan perspektif tertentu sehingga fakta menjadi struktur yang logis. Langkah historiografi ialah menuliskan hasil penafsiran menjadi sebuah kisah sejarah yang utuh versi penulis.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian ini, penulis menyusun kerangka pembahasan secara sistematis kedalam lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan selanjutnya.

Bab kedua, membahas tentang gambaran umum masyarakat muslimpariaman yang mana meiputi letak geografis Pariaman, kondisi sosial-budaya dan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Sebab, sebelum pembahasan lebih jauh tentang objek penelitian perlu kiranya mengetahui gambaran umum masyarakat muslim setempat. Pembahasan ini


(27)

dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi masyarakt di Sumatera Barat khususnya Pariaman. Serta memberikan gambaran awal tentang pembahasan yang akan dikaji yaitu perayaan tradisi 10 Muharram kalangan masyarakat muslim di Pariaman.

Bab ketiga, memfokuskan pada pembahasan tradisi 10 Muharram yang meliputi tentang asal usul tradisi 10Muharram, perlengkapan seta bentuk-bentuk taradisi 10 Muharram di Pariaman dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi 10 Muharram. Dalam bab ini dimaksudkan untuk mengetahui asal usul dan sejarah tardisi 10 Muharram di Pariaman.

Bab keempat, merupakan pembahasan upaya mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram yang terdiri dari tiga sub bab yaitu, pertama peranan pemerintah menjaga perayaan tradisi 10 Muharram, kedua upaya masyarakat dalam mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram, ketiga fungsi perayaan tradisi 10 Muharram pada masyarakat di sekitar Pariaman.

Bab kelima, merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran, yang diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dan menjadikan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya.


(28)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MUSLIM PARIAMAN

A. Letak dan Kondisi Geografis Pariaman

Pariaman merupakan salah satu kota di propinsi Sumatera Barat. Pariaman sendiri berasal dari kosakata bahasa Arab yakni barri dan aman yang berarti tanah daratan yang aman sentosa.1 Dalam arti lain, Pariaman berasal dari kata-kata parik nan aman berarti pelabuhan yang aman.2

Masyarakat Pariaman berasal dari darek Minangkabau atau dari daerah pedalaman di Sumatera Barat, hal ini didukung oleh hasil laporan tahunan pemerintah daerah Pariaman. Berdasarkan pengakuan masyarakat setempat, mereka berasal dari Pagaruyuang Batusangkar, daerah ini terletak dibagian darek Minangkabau. Mungkin sejak tahun 1300 M. Para perantau dari Batusangkar tersebut yang pertama membuka pemukiman di daerah Pariaman.

Pariaman terletak di daerah strategis dilalui oleh sungai-sungai besar, diantaranya sungai Batang Pariaman sepanjang 12 Km., Batang Manggung sepanjang 11,50 Km. dan Batang Jirak sepanjang 11,80 Km. Selain dilalui muara sungai dan berada di tepi laut, Pariaman secara ekonomis jauh lebih menguntungkan dibanding daerah lain yang ada di Sumatera Barat khususnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Semasa itu Pariaman sangat dikenal oleh pedagang asing yang sejak tahun 1500M. Sebagai lintas jalur perdagangan dari luar ataupun dalam negri

1

Welhendri Azwar. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik (Yogyakarta : Galang Press, 2001), h. 29.

2

Suryadi. Imbas Gerakan Padri di Pantai Sumatera Barat (Jakarta : T.pn, 2004), h. 92.


(29)

seperti India, Arab, Turki dan lain-lain.3Lada merupakan hasil alam yang sangat penting dan menghasilkan keuntungan yang sangat besar dalam perdagangan masa itu. Daerah-daerah penghasil lada terbaik semasa itu ialah Kampar Kanan, Kampar Kiri dan lembah aliran Batanghari atau Sungai Dareh yang sering disebut dareh Minangkabau bagian Timur. Selain lada juga banyak hasil alam yang lainnya seperti emas, kopi, gaharu, kapur barus, dan madu. Pusat perdagangan ini berkembang menjadi pusat politik, ekonomi dan kebudayaan. Hubungan perdagangan yang sering dikaitkan dengan urusan pribadi yang menimbulkan ikatan kebudayaan. Seiring dengan pesatnya perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan asing mulai berkembang di wilayah sekitar. Pelabuhan Pariaman sangat maju dan ramai seperti yang sudah dijelaskan di atas hingga pertengahan abad ke-17.4

Oleh karena beralihnya fungsi perhubungan melalui darat, dewasa ini Pariaman lebih dikenal sebagai kota pariwisata, dikarenakan disepanjang pesisir pantainya banyak terdapat tempat-tempat rekreasi. Pariaman diresmikan sebagai kota otonom dengan diberlakukannya UU No.12 pada 10 April 2002. Berdasarkan undang-undang tersebut daerah otonom Pariaman sendiri terdiri dari empat kecamatan yaitu kecamatan Pariaman Utara dengan luas 23,35 Km2, Kecamatan Pariaman Tengah dengan luas paling kecil yaitu 15,68 Km2, Kecamatan Pariaman Selatan dengan luas 16,82 Km2, dan Kecamatan Timur dengan luas 17,51 Km2.5

3

Drs. M.D. Mansoer.dkk. Sejarah Minangkabau. (Djakarta : Bhratara, 1970), h.39.

4

Drs. M.D. Mansoer.dkk. Sejarah Minangkabau, h. 40-41. 5

Pariaman dalam Angka 2013. No catalog 1102001. 1377 (Pariaman : Badan Pusat Statistik Pariaman Kota Pariaman, 2013), h. 3.


(30)

Dilihat dari tata letak kota, Pariaman secara administratif pemerintahan yaitu Pariaman sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Agam, Pariaman sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Padang, Pariaman sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok, Pariaman sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sebagian daerah Pariaman memiliki dua iklim yaitu penghujan dan kemarau, yang keadaan alamnya beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut.6

Kota Pariaman bertepatan berada di wilayah Kecamatan Pariaman Tengah dengan luas sekitar 15,68 Km2. Keadaan Topografinya berupa daratan seluas 73,36 Km2 atau 80 persen dari wilayah daratan rendah dengan ketinggian antara 2 sampai 35 meter dari permukaan air laut, sedangkan daerah lainnya merupakan daerah bergelombang yaitu sekitar 20 persen, berada diposisi garis khatulistiwa secara geografis, posisi Pariaman terletak antara 0o 33’ 00’’- 0o 45’ 00’’ Lintang Selatan dan 100° 07’ 00’’- 100° 16’ 00’’ Bujur Timur, dengan keadaan iklimtropis yang dipengaruhi oleh angin darat dengn curah hujan rata-rata 2.456mm pertahun dengan suhu udara rata-rata 25° C.

Berdasarkan catatan tahun 2013, penduduk Pariaman berjumlah 79.073 dengan kepadatan 1077,88/km2 orang. Penduduk terbanyak terdapat di Pariaman tengah dengan kepadatan 1.911,61/km2 orang sedangkan penduduk yang paling sedikit terdapat di Pariaman bagian Timur dengan angka 809,07 orang. Pariaman, dengan luas keseluruhannya 73,36 Km

6

Pariaman dalam Angka 2013. No catalog 1102001. 1377 (Pariaman : Badan pusat statistik Pariaman Kota Pariaman, 2013), h. 5


(31)

jumlah penduduk 79,073 jiwa, merupakan kota yang tergolong kecil dibanding kota Padang sebagai ibukota provinsi.7Sekalipun demikian Pariaman memiliki jumlah penduduk yang hampir sama dengan kota-kota lainnya di Sumatera Barat seperti Sawah Lunto, Solok, Payakumbuh.

Setelah didata, terlihat bahwa kepadatan penduduk Pariaman tidak merata di setiap Kecamatannya.Misal Kecamatan Pariaman Tengah yang wilayahnya paling kecil dibanding kecamatan lainnya yaitu kira-kira 15,68 Km2 akan tetapi kepadatan penduduk sangat tinggi mencapai 1.911,6 jiwa, hal ini disebabkan lingkungan hidup di Kecamatan Pariaman Tengah memiliki potensi yang paling tinggi. Kecamatan Pariaman Selatan dengan luas 16,82 Km2 dengan penduduk 988,3jiwa kira-kira setengah dari kepadatan penduduk Pariaman Tengah. Kecamatan Pariaman Timur dengan luas wilayah 17,51 Km2 penduduk sebesar 809 jiwa dan Kecamatan Pariaman Utara dengan luas 23,35 Km2 penduduk sebanyak 813,2 jiwa.8

Dilihat dari kepadatan penduduk berdasarkan jenis kelamin, penduduk dengan jenis kelamin perempuan 50,86% sedangkan persentase jenis kelamin laki 49,14%. Dapat disimpulkan jumlah penduduk laki-laki di Kota Pariaman tidak begitu terlihat perbedaannya.Akan tetapi,di Kecamatan Pariaman Tengah sangat berbeda jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Hal ini dikarenakan Kecamatan Pariaman Tengah adalah sebagai pusat pemrintahan,maka dari itu jumlah laki-laki lebih sedikit dibanding jumlah perempuan dan menetap di Kota Pariaman.

7

Pariaman dalam Angka 2013, h. 3. 8

Data Kependudukan dan dan Catatan Sipil Kota Pariaman Tahun 2013diakses 20 Maret 2014 dari http://www.Pariaman.co.id


(32)

B. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Muslim Pariaman

Masyarakat Minangkabau secara tradisional memiliki prinsip yang mengatur hidup dan kehidupan bermasyarakat.Prinsip adat minangkabau itu ialah Alam Takambang Jadi Guruyang berarti masyarakat Minangkabau telah melibatkan alam sebagai bagian dari kehidupan mereka, mereka belajar dari alamuntuk kemudian menjadikan sebagian inspirasi bagi prinsip hidup dari kehidupannya.9

Sebagai sekelompok sub-etnis di Minagkabau, masyarakat Pariaman mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat Minangkabau lainnya. Hal tersebut terihat dari sistem sosial budaya masyarakatnya bahwasanya masyarakat Pariaman disamping menganut paham matrilineal juga memainkan paham patrilineal selain itu masyarakat ini juga terkenal dengan uang jemputan (pembelian laki-laki dalam pernikahan).10Paham matrilineal tergambar dari persukuan dan sistem pewarisan harta pusaka. Dalam hal ini masyarakat Pariaman tidak berbeda dengan masyarakat di daerah lainnya, yang mana dalam suatu kampung atau nagari, setiap orang dibedakan atas dasar keturunannya. Untuk menentukan garis keturunan tersebut setiap kelompok masyarakat memakai nama suku atau marga yang berbeda-beda, untuk setiap suku mempunyai penghulu yang disebut juga dengan penghulu suku.11 Penentuan suku tersebut berasal dari garis keturunan ibu seperti apabila seorang ibu mewarisi suku pisang,

9

Pariaman dalam Angka 2010. (Pariaman : Badan Pusat Statistik, 2010), h. 5. 10

Elizabeth E. Graves. Asal Usul Elit Minangkabau Modern. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), h.12.

11

Radjab Muhammad. Perang Paderi di Sematera Barat 1803-1838.(Jakarta : Balai Pustaka, 1964), h. 23-25.


(33)

maka jika dia memiliki keturunan tanpa melihat jenis kelamin, maka keturunannya tersebut juga akan mewarisi suku pisang.12

Begitpun dalam pewarisan pusaka yang diturunkan dari mamak (paman) kepada ponakan perempuan. Di Minangkabau yang berhak mendapatkan harta pusaka tinggi tersebut hanyalah perempuan, dikarenakan perempuan dapat dipercaya bisa memegang atau menjaga harta pusaka yang telah diturunkan secara turun temurun untuk diturunkan lagi pada pewaris selanjutnya. Sedangkan laki-laki dipercaya bisa mencari nafkah sendiri.

Untuk penjelasan laki-laki babali atau uang jemputan yang sangat terkenal khusus di daerah Pariaman, asal mula sejarahnya ialah pada masa lampau terdapat salah seorang perempuan yang berstatus janda yang menyukai seorang laki-laki yang masih bujangan. Perempuan ini menginginkan untuk melaksanakan pernikahan yang sakral dengan pemuda tersebut. Dikarenakan perempuan adalah seorang janda, maka pihak keluarga laki-laki meminta harga atau nilai agar anaknya dapat menjadi suami dari janda tersebut.13 Dengan berjalannya waktu maka hal tersebut dijadikan sebuah tradisi bagi masyarakat di sana. Seorang perempuan masih gadis jika ingin menikah dengan seorang laki-laki dari daerah Pariaman, maka pihak perempuan harus memenuhi syarat yang diinginkan oleh pihak laki-laki, baik itu dalam bentuk uang, benda dan lain-lain. Besar kecilnya uang jemputan berdasarkan kepada status sosial calon yang diinginkan.14

12

Drs. Muslim Kasim, Ak. Strategi dan Potensi Padang Pariaman Dalam Rangka Pemberdayaan Masyrakat di Era Globalisasi. (Jakarta : Indomedia, 2004), h. 29.

13

Wawancara pribadi malalui handphon dengan ibu Yasmin salah seorang penduduk asli Pariaman , Jakarta, 8 Februari 2014 jam 14.00 WIB

14

A.A. Navis. Alam Takambang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta : Grafti Press, 1984),h. 133.


(34)

Selain menganut sistem yang telah dipaparkan diatas, masyarakat Pariaman juga menganut paham patrilineal. Jadi secara langsung masyarakat tersebut menganut dua sistem secara bersamaan. Hal ini juga dapat dilihat dari pemakaian gelar setelah dewasa yang diturunkan oleh ayah kepada anak laki-laki. Macam-macam gelar tersebut ialah sidi yang berasal dari bangsa Arab yang bernama Syekh Magribi yang menetap dan menikah di Nagari Gasan Godang. Dalam sejaranya, untuk gelar sidi berasal dari bahasa arab yaitu saidina yang berarti khalifah, maka di Minangkabau saidina tersebut disingkat menjadi sidi. Sidi ini digolongkan kepada orang-orang yang ahli dalam agama. Bagindo berasal dari keturunan raja yakni keturunan dari bangsawan kerajaan Pagaruyuang yang menetap di Nagari Gaduah Koto Tinggi. Bagindo menandakan asal mula dari Kerajaan Pagaruyuang.Gelar sutan merupakan merupakan asal usul dari orang Luhak Nan Tigo Yang terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluh Koto.15 Dan yang terakhir untuk gelar marah yang berasal dari bahasa Aceh yakni Maurah yang berarti raja kecil, akan tetapi di kalangan masyarakat Pariaman sesorang yang bergelar marah berasal dari masyarakat kelas bawah, dikarenakan dalam kehidupan sehari-harinya kebanyakan dari mereka sebagai pekerja yang diperintah oleh atasannya.16

Pewarisan gelar dari ayah ke anak seperti yang telah dipaparkan di atas, seperti bagindo, tidak harus menunggu anak laki-lakinya untuk menikah dulu, karena jika seorang ayah bergelar bagindo, secara otomatis

15

Suharti.Ritual Kefanatikan Aliran Syi’ah di Pariaman, Laporan Peneltian. (Padang Panjang : Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 2006), h.25.

16

Entib dkk.Upacara tabuik di Pariaman : Kajian Nilai Budaya dan Fungsi bagi Masyrakat Pendukungnya (Jakarta : Departeman Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, 2001), h.10-12.


(35)

anak laki-lakinya akan mewarisi gelar yang sama. Selanjutnya gelar tersebut akan disatukan dengan namanya, misal waktu kecil Robby Afandi dan dia keturunan dari bagindo, maka namanya akan menjadi Bagindo Robby Afandi. Dengan penjelasan demikan dapat dikatakan bahwasanya masyarakat Pariaman memakai sistem matrilineal dan patrilineal dalam kehidupan bermasyarakat.17 Gelar-gelar yang di sebutkan di atas seperti sidi, bagindo, sutan dan marah diyakini asal usul gelar tersebut berasal dari kebudayaan Islam dari Timur Tengah yang dikenalkan oleh seorang ulama yaitu Syekh Burhanudin yang memperkenalkan dan mengembangkan tarekat syatariah di Pariaman.18

Dalam pelaksanakan perayaan tradisi 10 Muharram setiap tahunnya dalam rangka memperingati kematian Husein bin Ali, keempat golongan seperti bagindo,sidi,sutan dan marah terdapat perbedaan status sosial. Sidi merupakan golongan yang sangat penting dalam menjalankan tradisi 10 Muharram, karena diyakini mereka yang pantas untuk meneruskan tradisi 10 Muharram tersebut dibanding golongan yang lain. Selain itu, golongan sidi ini juga lebih banyak memberikan sumbangan untuk melaksanakan tradisi 10 Muharram. Sedangkan golongan bagindo merupakan golongan penyumbang dana terbanyak setelah golongan sidi. Untuk golongan sutan berfungsi sebagaikeamanan, dan yang terkhir golangan marah hanya sebagai

17

Suharti.“Ritual Kefanatikan Aliran Syi’ah di Pariaman” (Laporan Peneltian, Sekolah Tinggi Seni IndonesiaPadang Panjang, 2006), h.27.

18

Ahmad Taufik Abdulla. Tradisi Intelektual Islam Minangkabau (perkembangan tradisi intelektual tradisional di koto tangah awal abad XX),cet.pertama. (Jakarta :Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badab Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011 ), h. 59.


(36)

tukang pembuatan tabuik dan pengusung tabuik dalam perayaan 10 Muharram.

Sosial budaya masyarakat muslim pariaman juga terlihat sampai sekarang yakni dengan Islam lokal yang memiliki ciri khas tersendiri, dilihat dari satu sisi munculnya Islam lokal sering disebut banyak orang sebagai bentuk penyimpangan dari Islam murni. Di sepanjang sejarahnya, Pariaman terkenal dengan ajaran Syatariah, ajarannya selalu dipengaruhi unsur dari tradisi lokal, akibatnya ritual tarekat syatariah di suatu tempat berbeda dengan di tempat-tempat lain. Hal ini juga yang membuat kecendrungan tarekat syatariah di setiap daerah menjadi ciri khas tertentu,sehingga menunjukkan adanya perkembangan. Ketika tarekat syatariah masuk ke Sumatera Barat dibawa oleh Syekh Burhanuddin pada tahun 1646-1692, beliau salah seorang murid dari ulama terkemuka di Aceh yaitu Syekh Abdurrauf.19Maka dari itu muncul berbagai ritual-ritual yang sangat kental dengan nuansa lokalnya diantaranya 10 Muharram yang telah di jelaskan sebelumnya, dan kebudayaan Ritual basapa.

Basapa merupakan sebuah ritual dalam bentuk ziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Padang Sigalundi Ulakan Pariaman, seperti yang sudah disinggung sebelumnya Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar Islam pertama dan tokoh ulama dari tarekat Sytariah. Tradisi seperti ini juga berkembang di wilayah nusantara seperti masyarakat Jawa melakukan ziarah ke makam-makam wali.20Basapa semacam ini tidak hanya dilakukan oleh penganut tarekat syatariah, juga didapati masyarakat muslim

19

Taufiq Abdullah. Islam dan Pembentukan Tradisi di Aasia Tenggara (Jakarta : LP3ES, 1988), h. 59.

20


(37)

umumnya.21 Ritual basapa merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menghormati Syeh Burhanuddin atas jasa-jasanya sebagai penyebar islam pada umumnya dan khususnya penyebab tarekat syatariah. Untuk setiap tahunnya, ziarah ini dilakukan setiap hari rabu setelah tanggal 10 bulan Safar. Ritual ini dikenal dengan basafar dikarenakan hari wafatnya Syekh Burhanuddin yaitu pada bulan Safar, 10 Safar 1111H/1692 M.22

Menurut sejarahnya, ritual basapa mulai dilaksanakan penganut tarekat syatariah sekitar tahun 1316 H. Akan tetapi, waktunya belum ditentukan, setelah wafatnya Syekh Burhanuddin, dua orang pewaris ajarannya yaitu Syekh Kepala Koto Pauh Kambar dan Syekh Tuanku Katapiang Tujuah Koto di Kalampayan Amapalu bermusyawarah dengan pengikut tarekat syatariah lainnya untuk menetapkan waktu ziarah bersama ke makam Syekh Burhanuddin. Dalam pertemuan ziarah tersebut,orang-orang juga dapat melakukan banyak hal yang bermanfaat secara bersamaan.Diantaranya membicarakan keagamaan dikalangan penganut tarekat syatariah. Akhirnya hasil pertemuan tersebut menghasilkan ziarah ditetapkan setiap hari rabu setelah tanggal 10 Safar ke makam Syekh Burhanuddin.23

Sejak setelah musyawarah tersebut basapa menjadi ritual rutin oleh para penganut tarekat syatariah di Pariaman, karena bagi pengikut tarekat syatariah basapa merupakan nilai agama yang tak terpisahkan dari ritual

21

Bukry Nazar. Tarekat Syatariyah d Padang Paraman : Tinjauan dari Segi Dakwah. (Laporan Penelitian,Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, 2000), h. 36.

22

M.Yafas, dkk.Perkembangan Tarekat Syatariah dan Pengaruhnya dalam Pengalaman Ajaran Islam di Kecamatan Lintau Buo (Laporan penelitian Padang IAIN Imam Bonjol, 1984), h. 57.

23

Oman, Faturrahman. Tarekat Syatariah di Minangkabau. (Jakarta : Prenada Media Group, 2008), h.130.


(38)

tarekat syatariah. Bagi sebagian pengikut tarekat syatariah yang fanatik, mereka beranggapan basapa dijadikan ritual yang wajib, karena mereka berkeyakinan bahwa ritual ke makam ini dapat menggantikan pahala naik haji ke tanah suci Mekkah, meskipun hal ini telah ditentang sebagian ulama tarekat syatariah lainnya.24Adapun ritual basapa diisi dengan kegiatan ziarah dan berdoa di makam Syekh Burhanuddin, melaksanakan salat sunat maupun salat wajib, dan yang terakhir berzikir. Menurut keterangan Buya Rais Malim Basa, pelaksanaan kegiatan basapa diawali dengan ceramah-ceramah tentang basapa, kemudian setelah maghrib dilanjutkan dengan tahlil,zikir dan salawat dulang.25

Bagi para pengikut tarekat syatariah basapa merupakan medium bagi tarekat mereka, sehingga tidak dapat dipisahkan dari ciri khas keberagamaannya. Dalam perkembangannya basapa tidak hanya dilaksanakan di makam Syekh Burhanuddin akan tetapi juga dilaksankan di beberapa makam tokoh Syatariah yang berpengaruh besar semasa hidupnya seperti di daerah Taluak, Lintau Buo melaksanakan basapa setiap tahunnya ke mahkam Tuanku Kalumbuak merupakan salah seorang tokoh tarekat Syatariah di wilayah Taluak.

C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Muslim Pariaman

Kota pariaman sebagai wilayah administratif berusaha agar mampu melaksanakan peningkatan pembangunan.Kekayaan sumber alam yang dimiliki serta adat istiadat dan kebudayaan, diharapkan menjadi sumber

24

Oman, Faturrahman. Tarekat Syatariah di Minangkabau, h. 131. 25

Taufik Abdulla. Tradisi Intelektual Islam Minangkabau (perkembangan tradisi intelektual tradisional di koto tangah awal abad XX),cet.pertama. (Jakarta :Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badab Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011 ), h. 277.


(39)

daya yang menghasilkan pendapatan bagi masyarakat di daerah ini. Kegigihan masyarakat Pariaman dalam mengoptimalakan sumber daya yang ada sangat berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Perekonomian suatu daerah dibentuk dari nilai yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi yang membangunnya. Adanya sektor ekonomi dapat menunjukkan besar kecilnya hasil pendapatan. Untuk setiap tahunnya pergeseran-pergeseran nilai antara sektor ekonomi tersebut dapat saja terjadi. Dalam perekonomian kota Pariaman tahun 2013 dengan luas 73,36 Km2, jenis mata pencaharian yang menonjol ialah pertanian 36%.Pada sector pertanian ini kontribusi tanaman pangan merupakan hasil terbanyak sebesar 13,92%. Masyarakat Pariaman memiliki lahan pertanian yang sangat luas.Tercatat lahan sawah seluas 24.269 hektar pada tahun 2013. Dengan lahan sawah yang seluas itu Pariaman dapat menghasilkan padi sebanyak 255.208.85 ton pada tahun 2013.Selain menghasilkan padi, produksi tanaman palawija, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai juga hasil pertanian yang sangat membantu perekonomian masyarakat Pariaman.26

Sumber pencaharian yang menonjol lainnya adalah dibidang perikanan atau nelayan. Hal ini dikarenakan daerah ini berada sepanjang pesisir pantai Barat Sumatera Barat. Misal pada tahun 1992 perikanan laut mengalami produktivitas mencapai 8.907,80 ton, selain berada di pesisir pantai, faktor lain yaitu dikarenakan banyaknya masyarakat yang bermukim

26


(40)

di pinggir pantai.27 Hasil dari penangkapan ikan, langsung di jual oleh para nelayan di tempat penangkapan atau di pasarkan di kota Pariaman.28

Dari segi aspek perekonomian nonpertanian yang sangat menunjang perekonomian masyarakat yaitu perdagangan. Perdagangan hampir semuanya berada di pusat kota baik itu pedagang eceran maupun grosir. Pusat kota sebagai kawasan perdagangan mendistribusikan hasil pertanian, pertenakan, dan hasil laut. Semua ini dilaksanakan di pusat kota Pariaman.

Selain dari hasil aspek pertanian, perdagangan, perikanan, yang telah dijelaskan di atas, Pariaman sebagai kota pariwisata menjadikan pantai-pantai sebgai tempat pariwisata juga sangat menunjang perekonomian penduduk sekitar. Selain banyaknya terdapat tempat rekreasi, pariwisata yang sangat sangat menonjol dan memberikan nilai ekonomi yang sangat tinggi yaitu perayaan 10 Muharram. Perayaan ini sangat di tunggu-tunggu bagi pedagang kecil, pengusaha swasta, masyarakat lainnya. Dikarenakan perayaan 10 Muharram ini mengakibatkan banyaknya pengunjung selama 10 hari dan diperkirakan lebih dari tiga juta orang yang menyaksikan perayaan ini, dengan ini perayaan 10 Muharram terlihat sangat berperan menunjang pemasukan pendapatan daerah melalui biaya perbelanjaannya, dari transportasi yang di gunakan pengunjung dan lain sebagainya.29Di lihat dengan adanya perayaan 10 Muharram tersebut sangat membantu sistem kehidupan sosial ekonomi masyarakat muslim Pariaman.

27

Indikator Ekonomi kota Pariaman 1992 (Pariaman : Badan Perencana Daerah Kota Pariaman dengan Badan Pusat Statistik Kota Pariaman. 1992), h. 7.

28

Indikator Ekonomi kota Pariaman 2012 No.Ktalog 921001. 13.77 (Pariaman : Badan Perencana Daerah Kota Pariaman dengan Badan Pusat Statistik Kota Pariaman. 2013), h. 5.

29

Drs. Muslim Kasim, Ak.Strategi dan Potensi Padang Pariaman Dalam Rangka Pemberdayaan Masyrakat di Era Globalisasi. (Jakarta : Indomedia, 2004), h. 27.


(41)

Penunjang sosial ekonomi yang sangat berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat muslim Pariaman terdiri dari beberapa sarana dalam perdagangan seperti adanya pasar, terminal, sekolah dasar, sekolah menengah perguruan tinggi. Sedangkan prasarana dari segi kesehatan tercatat adanya rumah sakit umum, puskesmas, posyandu dan apotik.Pertumbuhan ekonomi yang terjadi untuk setiap tahunnya tidak terlepas dari perkembangan setiap sektor yang ikut membantu nilai tambah perekonomian Kota Pariaman.


(42)

BAB III

TRADISI 10 MUHARRAM DI PARIAMAN

A. Asal Usul Tradisi 10 Muharram

Tradisi 10 Muharram merupakan upacara tradisional yang bernafaskan islam. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya tradisi 10 Muharram pada dasarnya merupakan wujud rasa berduka cita dari kalangan Syi’ah yang berasal dari Benggala India atas syahidnya Husain bin Ali bin Thalib di Padang Karbala pada tahun 61 Hijriah.1 Tradisi 10 Muharram di Indonesia diselenggarakan dibeberapa daerah seperti Pariaman, Bengkulu, Aceh, Gresik dan Bayuwangi.2

Dalam sejarah islam, sepeninggalan Nabi Muhammad SAW terdapat empat orang yang diberikan kepercayaan untuk menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.3 Empat orang ini juga disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad.4 Setelah Rasulullah wafat perselisihan mulai muncul dibidang kepemimpinan, sekelompok kaum Anshar5 merasa memiliki hak penuh untuk mengambil alih sepeninggalan kepemimpinan nabi dari pada kaum Muhajirin6. Pada dasarnya pemerintahan itu sangat

1

Harapandi Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Penerbit Citra, 2009), h. 79.

2 Aqar Furuqi, “Imam Husain dan Air di Karbala :

.Syi’ah Husain Simbol

Perlawanan, ’’ (Muharram 2010), h. 109.

3

Dr.Badri, yatim, M.A. Sejarah Kebudayaan Islam .cet ke-22 (Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada, 2010), h. 35. 4

Sahabat berasal dari kata shahabah yang berarti mereka yang mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad SAW, membantu perjuangannya dan meninggal dalam keadaan muslim. Berdasarkan pengertian diats sahabat yakni orang yang berjumpa dengan beliau dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan islam, Lihat Amini. Kedudukan para sahabat dalam islam. (Jakarta : cendikia, 2008), h. 109.

5

Anshar merupakan penduduk asli kelahiran kota Madinah. 6


(43)

penting karena sangat menentukan masa depan Islam untuk kedepannya. Maka dipertemukan kedua kelompok tersebut untuk dimusyawarakan siapa yang berhak akan menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat Islam, hasil dari musyawarah tersebut, diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah dengan alasan yaitu semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali menyerahkan urusan agama kepada Abu Bakar seperti menunjuk Abu Bakar menjadi Imam shalat di waktu Rasulullah sakit. Abu bakar tercatat sebagai orang kedua yang sangat berjasa terhadap Islam dan kaum muslim setelah Nabi Muhammad, beliau berhasil mengembalikan kembali persatuan jazirah Arab membela agama Islam.7Selanjutnya pemerintahan dilanjutkan oleh Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib. Dan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang berlangsung selama enam tahun banyak menghadapi permasalahan yang berasal dari tiga kelompok yakni kelompok Aisyah binti Abu Bakar, kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelompok Khawarij.8 Pemicu dari perrmasalahan yaitu dikarenakan Ali tidak menghukum para pembunuh Usman, Usman dibunuh oleh para pemberontok dikarenakan tidak puasnya dengan pemerintahannya, salah satunya yaitu Usman mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi sedangkan Usman hanya menyandang gelar sebagai khalifah.

Atas kejadian tersebut kelompok ini melakukan beberapa perlawanan terhadap Ali, diantaranya Perang Jamal yang dimenangkan oleh Ali. Adapun perlawanan dilakukan kelompok Muawwiyah dikenal dengan Perang Siffin. Perlawanan yang terakhir yaitu dari kelompok Khawarij yang

7

DR. Abdul Muneim Al-Nemr. Sejarah dan Dokumen-Dokumen Syi’ah (Jakarta : Yayasan Alumni Timur Tengah, 2002), h. 1-2.

8


(44)

mengakibatkan tewasnya Ali ditangan salah seorang yang bernama Abdurrahman bin Muljam.9

Seteah terbunuhnya Ali oleh kelompok Khawarij, pasukan Muawwiyah bin Abi Sofyan menyatakan dirinya sebagai khalifah. Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hokum-hukum syara’. Atau khalifah bisa disebut seseorang yang diangkat oleh kaum muslim, sebagai wakil umat islam dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan diwakilkan kepada seseorang untuk mengurus secara keseluruhan dengan menerapkan hukum syara’.10

Akan tetapi pengikut Ali tidak menyetujui pengakuan dari kepemimpinan Muawwiyah tersebut. Pengikut Ali atau disebut juga dengan golongan Syi’ah tetap menginginkan khalifah jatuh kepada keturan Ali yaitu Hasan. Kelompok Syi’ah ini berpendapat bahwa orang yang paling berhak menjabat sebagai khalifah tertinggi dalam dunia Islam hanya Ali beserta keturunannya. Ini dikarenakan bahwa Ali berasal dari suku Quraisy yang sama dengan Nabi Muhammad SAW.11 Karena alasan tersebut pengikut Ali mengangkat Hasan bin Ali menggantikan ayahnya sebagai khalifah.

Pengangkatan Hasan tersebut sangat ditentang oleh golongan Bani Muawwiyah yakni dibawah pimpinan Muawwiyah bin Abi Sufyan yang diteruskan oleh anaknya yang bernama Yazid bin Muawwiyah. Tidak lama kepemimpinan dipegang Hasan, Hasan meninggal dikarenakan diracuni oleh

9

Akbar, Ghifari. Menguak Asyura. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 11-16. Dan Lihat juga Harapandi Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Penerbit Citra, 2009), h. 80.

10

Di unduh pada tanggal 29 januari 2014 pada http://www.mykhalifah.com

11

Harapandi Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Penerbit Citra, 2009), h 80


(45)

sesorang penghianat yang berasal dari pengikut Yazid bin Muawwiyah. Kematian Hasan ini membangkitkan Husain bin Ali saudara kandung dari Hassan bin Ali untuk menuntut balas dalam mengembalikan kehormatan keluarganya dengan membentuk pasukan yang berpusat di Kufah untuk merebut kekuasaan yang direbut oleh Yazid bin Muawwiyah.12

Husain bin Ali bersama dengan pasukannya menuju Damaskus, pada pertengahan jalan, terdapat lapangan yang luas yang dikenal dengan Padang Karbala, disini terjadi perperangan antara pasukan Yazin dengan pasukan Husain bin Ali selama 10 hari, yang dimulai pada tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 Muharam pada tahun 61 Hijriah. Dalam perperangan pasukan Husain yang berjumlah sedikit dibanding pasukan Yazid membuat para pasukan Husain satu persatu gugur, dan diakhiri gugurnya Husain bin Ali sebagai pemimpin. Syahidnya Husein ini sangat tragis dengan kepala terpisah dari badan dan bagian tubuh lainnya.

Peristiwa syahidnya Husain bin Ali ini yang menjadikan kalangan Syi’ah memperingati sebagai hari yang bersejarah untuk setiap tanggal 1 sampai 10 Muharram. Peringatan hari meninggalnya Husain bin Ali ini tidak hanya di negara Iran, India Selatan tetapi juga diperingati bangsa Indonesia, tepatnya kota Pariaman, Bengkulu, Padang Panjang, akan tetapi sampai sekarang maish tetap bertahan yaitu di daerah Pariaman dan Bengkulu. Tradisi 10 Muharram sampai ke pulau Sumatera dibawa oleh orang-orang Syi’ah yakni kaum Cipei dari Madras Benggali India Selatan. Kaum Cipei yang mengunjungi Bengkulu selama bertahun-tahun yang pada

12


(46)

awalnya sebagai pedagang, kemudian sebagai tentara yang dikirim ke Bengkulu untuk mempertahankan jajahan Inggris di Sumatera Barat tahun 1825M di bawah kepemimpinan Thomas Stamfor Rafles.13

Dengan berjalannya waktu, kaum ini membaur dengan masyrakat sekitar dan sedikit demi sedikit pandangan hidup mereka juga harus menyesuaikan dengan masyarakat Melayu. Hal tersebut bisa terlihat dari sistem religi maupun adat istiadatnya. Suku Melayu berasal dari suku bangsa Rejang Sabah yaitu penduduk dari kerajaan Sungai Serut, suku ini menyatu dengan masyarakat Minangkabau yang datang ke Bengkulu semasa kerajaan Sungai Lemau. Menurut tambo Bengkulu, kedatangan orang Minangkabau ke Bengkulu dipimpin oleh Datuak Bagindo Maha Raja Sakti yang kemudian menikahi Putri Gading Cempaka ratu pertama dari kerajaan Sungai Lemau.14

Orang-orang India yang dibawa Inggris ke Bengkulu didominasi berasal dari Benggali yang menganut paham Syi’ah. Dikarenakan sesama Islam bangsa India ini mudah menytukan diri dengan masyarakat sekitarnya.15Masyarakat pendatang dari Bengali ini sampai sekarang terkenal dengan sebutan kaum Cipei. Awal mula tradisi 10 Muharram ini mulai dikenal masyrakat Bengkulu yaitu sejak pembangunan Benteng

13

Menurut sejarah diketahui pada tahun 1825 M Inggris dengan Belanda mengadakan perjanjian penyerahan kekuasaan atas negara-negara jajahannya, perjanjian tersebut dikenal dengan Traktat London. Traktat London berisikan perjanjian menyerahkan Indonesia kepada pihak Belanda dan selanjutnya Inggris menduduki Singapura. Lihat Azyumardi Azra. Islam reformis : Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta : Rajawali Press, 1999) dan Miko, Siregar. Tabuik Piaman, Kajian Antropolis Terhadap Mitos dan Ritual. (Jakarta Tesis dalam memenuhi tugas ahir Magister Antropologi, 1996), h. 91.

14

Harapandi, Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Citra, 2009), h. 56-58.

15


(47)

Marlborough16 di Bengkulu yang dikerjakan oleh orang-orang Cipei. Mereka menyebar ke Utara yaitu daerah jajahan Inggris lainnya yaitu di Pariaman dan Padang.17 Meskipun 10 Muharram berasal dari kaum Syi’ah dan dianggap sebagai upacra suci bagi kaum Syi’ah, akan tetapi bagi masyarakat Pariaman, perayaan tradisi 10 Muharram merupakan untuk memperingati kematian Husain bin Ali yang berarti masyrakat Pariaman tersebut bukan penganut Syi’ah, ini juga didukung dari hasil penelitian Suharti dinyatakan tidak ditemukan secara institusi masyrakat Syi’ah di Pariaman.18Masyrakat Pariaman sama dengan masyrakat Minangkabau lainnya mengikuti aliran Sunni sebagaimana yang dianut sebagian besar masyrakat Indonesia.

Mengenai masuknya tradisi 10 Muharram ini ke Pariaman terdapat beberapa pendapat, salah satunya menurut tokoh-tokoh masyrakat Pariaman, tradisi 10 Muharram sampai ke daerah mereka berasal dari Bengkulu yang dibawa oleh orang-orang Cipei yakni Mak Tauna dan Mak Labuah.19 Sedangkan menurut Azyumardi Azra perayaan tradisi 10 Muharram masuk

16

Benteng Malborough secara umum meiliki bentuk segi empat, yang memiliki bastion di keempat sudutnya. Pintu masuk benteng berada di sisi barat daya yang berupa bangunan yang terpisah berbentuk segi tiga. Benteng Malborough dikelilingi oleh parit, parit tersebut memisahkan bangunan tua dengan bagunan depan, kedua bangunan tersebut dihubungkan oleh sebuah jembatan. Pada bangunan depan terdapat terdapat pintu masuk yang berbentuk lengkungan yang hanya berupa lorong yang menuju ke jembatan penghubung antara bangunan depan dengan banguanan tua. Disekitar dinding lorong terdapat empat nisan, yang dua nisannya berasal dari masa Benteng York dan duanya lagi berasala dari masa Benteng Marlborough terdapat nama George Shaw 1704, Richard Watts Esq 1705, James Cune 1773 dan Henry Stirling 1774. Pada bagian belakang Benteng ibni terdapat makam dengan nisan yang terbuat dari batu akan tetapi sudah tidak dapat terbaca lagi. Lihat Harapandi, Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Citra,

2009), h. 71-72. 17

Tom Ibnur. Seni Pertunjukan. (Jakarta :PT. Widyadara, 2002), h. 26. 18

A.A. Navis. Alam Takambang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta : Grafti Press, 1984), h. 227.

19

Ernatip dkk. Upacara Tabuik di Pariaman : Kajian Nilai Budaya dan Fungsi bagi Masyrakat Pendukungnya. (Jakarta : Departeman Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film,2001), h. 14.


(48)

ke Pariaman sekitar tahun 1750-1825.20 Salah satunya yang dikenal sebagai ulama yang memperkenalkan tradisi 10 Muharram di pesisir Barat Sumatera Pariaman pada abad ke-17 yaitu Syekh Burhanuddin atau sering disebut dengan panggilan imam Senggolo.21Nota benenya para jama’ah pengikut tarekat sytariah.22Tarekat sytariah di Pariaman memandang bahwa kedudukan wali atau syeh, apabila diteusuri secara kerohanian, garis silsilah mereka selalu di hubungkan dengan para imam mereka seperti Ali bin Abi Thalib, Hasan,dan Husein.

Peringatan duka cita ini diwujudkan dalam pembuatan tabuik atau keranda. Tabuik23 terdiri dari tiga sampai lima tingkat yang memiliki tinggi kira-kira sekitar 6-15 meter. Tabuik dibuat dari bingkai bambu dan batang-batang sagu yang dibungkus dengan kertas berwarna warni, yang kemudian dihias dengan menggunakan bunga kertas dengan memakai bermacam warna.24 Tradisi 10 Muharram di Pariaman, biasanya dibuat dua buah tabuik, yang pertama tabuik dari daerah pasar yang dinamakan dengan tabuik pasa, sedangkan yang satunya lagi tabuik kampong jawa. Dengan menampilkan dua tabuik ini, bertujuan untuk menggambarkan suasana

20

Azyumardi Azra. Islam reformis : Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta : Rajawali Press, 1999) , h. 21.

21

Harapandi Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Citra, 2009), h. 15.

22

Harapandi, Dahri. Tobat Bengkulu, h 15 23

Kata tabut berasal dari bahasa Arab, yang mana kata ini memiliki beberapa pemahaman, pertama tabuik di artikan sebagai peti mati, ada juga yang mengatakan sebagai peti pustaka peninggalan Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel. Sedangkan pengertian tabuik dalam memperingati kematian Husai bin Ali, tabuik berarti lambing janji dari Muawwiyah untuk menyerahkan kekhalifahan kepada musyafarah atau kesepakatan dari umat islam, setelah ia meninggal. Aakan tetapi janji tersebut dpungkiri dengan memnagkat Jazid, anknya sebagai putra mahkota. Lihat Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu, h. 77.

24


(49)

perperangan yang terjadi di Padang Karbela.25Tradisi 10 Muharram di Pariaman selain pembuatan tabuik juga terdiri dari beberapa rangkaian acara diantaranya pembuatan tabuik, mengambil tanah, mengambil batang pisang, maantam, mangarak jari-jari, mangarak sorban, tabuik naik pangkek, maoyak tabuik dan tabuik dibuang ke laut.

Dilihat dari bentuk perayaan taradisi 10 Muharram yang ada di Pariaman dengan Bengkulu terlihat perbedaannya pada perlengkapannya, di Pariaman dalam perayaan 10 Muharram terdapat Buraq yang berbentuk kuda bersayap berkepala wanita berambut panjang, seperti burung raksasa.26 Burung raksasa ini sering dikaitkan dengan peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad, sedangkan di Bengkulu tidak didapati buraq semacam ini. Terdapatnya perbedaan Antara tabuik Pariaman dengan tabut Bengkulu berdasarkan mitos yang mereka percayai, adapun mitos tabuik Pariaman setelah tewasnya Husain bin Ali di Padang Karbela dengan tubuh yang terpisah-pisah dan dicincang oleh pasukan Yazid bin Muawwiyah, tiba-tiba datang arak-arakan yang turun dari langit yang terdiri dari malaikat dan buraq. Arak-arakan malaikat dan buraq tarsebut memasukkan potongan-potongan tubuh Husain kedalam peti yang terdapat di punggung buraq menuju langit. Dalam perjalanan ke langit malaikat mendapati bau manusia yaitu merupakan prajurit Husain yang selamat yang bersal dari Cipei yang bergantung pada arak-arakan tersebut dan meminta permohonan kepada malaikat agar ia ikut dengan jenazah Husain, akan tetapi malaikat tidak

25

Miko, Siregar. Tabuik Piaman, Kajian Antropolis Terhadap Mitos dan Ritual. (Tesis dalam memenuhi tugas ahir Magister Antropologi, Universitas Indonesia, 1996), h. 78.

26

Aqar Furuqi, “Imam Husain dan Air di Karbala : .Syi’ah Husain Simbol Perlawanan, ’’ (Muharram 2010), h. 118.


(50)

mengizinkan hal itu. Kemudian malaikat memberikan nasehat kepada seorang Cipai tersebut agar melaksanakan arak-arakan seperti yang dilihatnya sebagai wujud rasa duka terhadap jenazah Husain, dan arak-arakan tersebutlah yang dilaksanakan setiap bulan Muharram di Pariaman.27

B. Bentuk Pelaksanaan Tradisi 10 Muharram

Tradisi 10 Muharram dilaksanakan selama 10 hari. Selama 10 hari tesebut 5 hari merupakan kegiatan inti, sedangkan hari-hari lain merupakan kegiatan pembuatan tabuik. Untuk melaksanakan tradisi 10 Muharam, sebelum tradisi ini dilaksanankan para panitia dan masyrakat setempat sudah menyiapkan peralatan atau perlengkapan yang diperlukan untuk berjalannya tradisi ini.

Dalam perayaan tradisi 10 Muharram yang menjadi subjek pertama dari perayaan ini yaitu bangunan tabuik merupakan bangunan berbentuk menara tinggi 6 sampai 15 meter. Kerangkanya yang terbuat dari bambu, kayu, rotan, kain, dan kertas warna warni. Kerangka bangunan tabuik terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah. Sedangkan subjek keduanya yaitu Daraga merupakan kosa kata dari Hindustan yang berasal dari Persia yang berarti peti mati.28 Kegiatan penyelenggaraan tradisi 10 Muharram berawal dilaksanakan dari rumah tabuik, rumah tabuik merupakan pusat kegiatan 10 Muharram dan merupakan tempat pembuatan

27

Yusrizal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pariaman. Wawancara pribadi. Pariaman , 8 Maret 2014 jam 10.30 WIB

28

Aqar Furuqi, “Imam Husain dan Air di Karbala : .Syi’ah Husain Simbol Perlawanan, ’’ (Muharram 2010), h. 108.


(51)

tabuik. Tepatnya didekat lokasi rumah tabuik tersebut dibuat ruangan atau ruangan ini yang sering disebut oleh masyrakat setempat dengan daraga.

Daraga yang dibuat dengan ukuran 5x5 meter, dipagari dengan pimping atau sering disebut dengan palupuah, yang atapnya dilapisi dengan terpal, salah satu sisi daraga dibuat semacam pintu masuk. Didalam daraga terdapat bangunan berbentuk makam atau pusara yang kira-kira berukuran 1x1 meter yang setiap sisinya di pagari dengan bambu-bambu kecil, pada bagian atas pusara dibentangkan kain putih sebagai penutup.

Dahulunya daraga dibuat di halaman rumah keluarga tabuik, akan tetapi sekarang daraga dipindahkan seperti daerah pasar, maka daraga terdapat di pusat kota Pariaman yaitu disamping pasar, sedangkan untuk tabuik subarang daraga terdapat di Kampung Pondok.29Pada perayaan 10 Muharram di Pariaman bangunan daraga ini hanya bersifat sementara berbeda dengan perayaan 10 Muharram di Bengkulu yang bangunan daraga bersifat permanen untuk dipakai setiap tahunnya.

Seperti yang telah dijelaskan di atas perayaan 10 Muharram di pariaman terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu pembuatan tabuik, mengambil tanah, mengambil batang pisang, maatam, mangarak jari-jari, mangarak sorban, tabuik naik pangkek, dan maoyak tabuik dan tabuik dibuang ke laut yang akan dijelaskan di bawah ini.

1. Pembuatan Tabuik

Dalam perayaan tradisi 10 Muharram yang menjadi objek utamanya yaitu Tabuik, tabuik merupakan bangunan yang mempunyai tinggi sampai

29

Yusniwar. penduduk asli masyrakat Pariaman. Wawancara pribadi. Pariaman 4 April 2014 jam 10.00 WIB.


(52)

dua belas meter, berbentuk kuda bersayap. Pembuatan tabuik ini sudah dilaksanakan sejak awal tanggal 1 Muharram, yang dilaksanakan di rumah tabuik.30 Selama waktu pembuatan tabuik yang dilaksanakan pada siang dan malam hari, sebelum tabuik selesai dibuat, tabuik tidak boleh ditinggalkan begitu saja, paling kurang ada salah seorang yang menjaga tabuik tersebut, untuk waktu pembuatan tabuik harus selesai selama sembilan hari, menurut pengakuan para pembuat tabuik, jika tabuik tidak selesai dalam waktu yang telah ditentukan, maka para panitia pembuat tabuik akan ditakut-takuti oleh para roh-roh atau penghuni sekitar, untuk itu pembuatan tabuik diserahkan kepada orang-orang yang ahli.31 Adapun perlengkapan yang di persiapkan oleh para panitia yaitu peralatan pembutan tabuik seperti bambu, rotan, kertas mar-mar, alat-alat gambar, lampu senter, lampu hias, bunga kertas,bunga plastik dan sebagainya.

Proses pembuatan tabuik terbagi kedalam tiga kelompok yaitu pembuatan tabuik dasar, tabuik bagian badan, dan tabuik bagian atas. Untuk pembuatan tabuik dasar yang terdiri dari pasu-pasu yang berbentuk limas persegi empat, tutup selancar, dan empat tangkai bunga selapan. Bunga selapan dilapisi dengan kertas bermotif warna warni akan tetapi lebih dominan warna putih, bunga selapan berguna untuk sebagai jari-jari untuk keseimbangan ketika tabuik diarak dan digoncangkan. Pada bagian badan tabuik terdiri dari beberapa bilik, pasu-pasu, tutup selancar, gomaik. Pada bagian atas bunga selapan tadi dipasang gomaik yaitu berupa kendi besar yang dihubungkan dengan pucuk rebung pada bagian atsnya, ini

30

Asqar, Faruqi. Syi’ah Husain Simbol Perlawanan (Jakarta : 2010), h. 114. 31

Islami, Syamsul. Penduduk asli Pariaman,Wawancara pribadi. Pariaman, 4 Maret 2014.


(53)

melambangkan tempat air yang telah habis semasa Husain, pasukannya terkepung di Padang Karbela. Dan yang terakhir yaitu pembuatan bagian pucuk tabuik yang terdiri dari satu tangkai bunga selapan yang berukuran lebih besar dari pada bunga selapan yang terdapat pada bagian bawah tabuik, sama dengan sebelumnya bagian ini juga dihiasi dengan kertas berwarna putih yang dibentuk seperti bunga melati. Bunga selapan pada puncak tabuik berhiasan dengan kertas berwarna wani yang dibalutkan kesemua tiang. Untuk selanjutnya yaitu pemasangan kerangka buraq yang dilapisi dengan kain berudu yang berwarna, sebagai kepala dari buraq dipasangkan sebuah kepala boneka yang berwajah perempuan dengan rambut terurai, untuk saat ini boneka telah dipakaikan kerudung untuk penutup kepalanya. Untuk secara keseluruhan dari bagunan tabuik yang dipaparkan diatas merupakan bentuk sebuah artifak sebagi kendaraan yang dipercaya membawa Husain ke langit. Untuk perlengkapan music, dalam tradisi 10 Muharamm ini musik yang digunakan adalah gandang tambua. Diperkirakan biaya alat-alat yang dipergunakan untuk pembuatan bagunan tabuik di atas sebesar Rp. 5000,000,- sampai 15.000,000,- biaya ini di dapat dari sumbangan masyarakat dan pemerintah setempat.32

2. Mengambil Tanah

Pada tanggal 1 Muharram tepatnya pukul 17.00 setelah shalat Ashar, dilaksanakan acara mengambil tanah atau dalam bahasa Minang sering disebut dengan maambiak tanah. Makana dari acara mangambiak tanah ini adalah sebagai symbol kelahiran serta kesyahitan Husai bin Ali. Masyrakat

32

Luqman. Masyrakat asli Pariaman. Wawancara pribadi. Paraman, 4 April 2014 jam 11.00 WIB.


(54)

sekitar berkumpul untuk mengambil tanah ke sungai. Untuk tabuik pasa upacara pengambilan tanah dilaksankan di daerah Galombang yang berjarak sekitar 1Km dari daraga tabuik pasa, sedangkan untuk tabuik subarang pengambilan tanah dilaksanakan di daerah Pauah.

Pengambilan Tanah dipimpin oleh orang siak dan pawang tabuik, pawang tabuik merupakan sebagai pemimpin dari semua proses perayaan taradisi 10 Muharram tarsebut. Sedangkan orang siak sebagai pemimpin membaca doa sebelum berangkat dan setelah pengambilan tanah dilaksanakan. Dalam proses ini masing-masing rombongan dari tabuik pasa dan tabuik subarang berjumlah 40 orang lebih, yang terdiri dari pawang tabuik, orang siak, pembawa bendera. Pembawa bendera disini menggunakan bendera yang terdiri dari empat warna yaitu merah, kuning, hitam dan putih yang melambangkan kekuasaan Husain. Sebelum keberangkatan ke sungai untuk mengambil tanah, disinilah peranan orang siak terlihat yaitu memimpin doa, dan sesampai di sungai pawang tabuik tersebut adalah orang yang langsung terjun ke sungai untuk pengambilan tanah, sebelum memasuki sungai pawang melakukan bakar kemenyan terlebih dahulu disertai dengan pembacaan mantra-mantra yang di percayai.33Masing-masing pawang tabuik tersebut memasukkan tanah yang diambil ke dalam belanga atau pariuak yang sering di sebut masyrakat setempat. Untuk pengambilan tanah tersebut pawang dibantu oleh empat orang yang membawa kain putih dengan ukuran 1,5 x 1,5 meter, masing-masing orang memegang ujung kain tersebut dan mulai masuk ke sungai. Di

33

Ernatip dkk. Upacara Tabuik di Pariaman : Kajian Nilai Budaya dan Fungsi bagi Masyrakat Pendukungnya. (Jakarta : Departeman Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film,2001), h. 24.


(55)

bawah bentangan kain putih tersebut pawang mengambil tanah, sehingga tanah yang diambil oleh pawang tersebut tidak terlihat oleh para penonton. Kemudian tanah yang diambil dimasukkan ke dalam pariuak atau belanga di bungkus dengan sehelai kain kafan yang melambangkan kesucian, kebesaran, tanah yang di ambil tadi diletakkan di antara sebuah daraga yang berukuran 5x5 meter. Sepanjang perjalanan menuju daraga karena hari sudah gelap, lampu-lampu dama dihidupkan disepanjang jalan sambil memainkan gandang tambua. Sesampai di daraga tanah dan semua peralatan diletakkan dalam daraga. Di sekeliling daraga tersebut mereka menempelka kain putih dan batu-batu bersih dan suci merupakan symbol dari kekuatan masyrakat Minangkabau di hadapan penjajah.34

Penjelasan dari proses pengambilan tanah di atas, yang menggunakan peralatan seperti belanga, kain putih, kemenyan bukan sekedar peralatan, akan tetapi setiap peralatan yang digunakan tersebut mempunyai makna tersendiri yang menunjukkan bahwa setiap kehidupan manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, adapun makna dari pemakai peralatan tersebut seperti belanga yang melambangkan bahwasannya setiap manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan, belanga yang dikenal sebagai tempat memasak, dengan digunakannya belanga sebagai alat memasak, maka manusia harus berusaha untukmemenuhi kebutuhan untuk makanan. Selanjutnya kemenyan melambngkan penghormatan manusia terhadap leluhurnya. Kemenyan disini dipercaya sebagai sarana penghubung antara manusia dengan hal gaib.

34

Asqar, syi’ah Husai Simbol Perlawanan : Imam Husain dan Air Mata di Karbala , h. 116.


(1)

Lampiran-Lampiran Foto

Gambar 2.

Salah satu proses pembuatan bangunan tabuik ( Foto : Alex)

Gambar 3.

Prosesi pengambilan tanah dilaksanakan di tepi sungai ( Foto : Alex)


(2)

Gambar 4.

Tokoh masyarakat meletakkan tanah di dalam daraga Setelah melakukan prosesi pengambilan tanah di tepi sungai

( Foto : Fitra )

Gambar 5.

Prosesi penebasan batang pisang ( Foto : Alex )


(3)

Gambar 6.

Batang pisang yang akan ditebas menggunakan pedang jinawi ( Foto : Fitra )

Gambar 7.

Gambar bangunan tabuik sebelum prosesi tabuik naik pangkek ( Foto : Alex)


(4)

Gambar 8.

Penggabungan pangkek atas dengan pangkek bawah, dalam prosesi tabuik naik pangkek

( Foto : Alex )

Gambar 9. Prosesi mahoyak tabuik


(5)

Gambar 10.

Bangunan tabuik di usung ke laut ( Foto : Alex)

Gambar 11.

Prosesi dari perayaan tradisi 10 Muharram yaitu Tabuik di buang ke laut. Terlihat banyak masyarakat berebutan mengambil bagian dari bangunan

tabuik,

yang dipercaya dapat memberikan mamfaat. ( Foto : Alex )


(6)

Gambar 12.

Sovenir-sovenir bangunan tabuik ( Foto : Lidya)