13
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal akan kekayaan dari segi sumber daya alam, baik dari sektor agraria maupun maritim. Begitu juga dengan
sumber daya manusia yang memiliki penduduk yang banyak. Namun dari dahulu sampai sekarang, orang-orang yang tinggal di negara Indonesia belum mampu untuk
memanfaatkan kekayaan alamnya yang ada secara maksimal. Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini tentu saja
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui potensi yang dimiliki masing- masing individu baik melalui pemenuhan pendidikan dan kesehatan yang baik.
Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia seringkali dikaitkan dengan masalah “material” dana yang akan dipakai dalam pelaksanaan. Untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, negara dituntut untuk memberikan perhatian yang diikuti kerjasama pendidik dan orang tua.
Orang tua merupakan pihak lain yang melihat secara langsung seberapa besar dana yang dimiliki sehingga dapat memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-
anaknya sehingga anaknya dapat menjadi seorang yang berkualitas. Pihak orang tua pada umumnya menilai, peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi
begitu erat kaitannya dengan uang. Padahal tidak selamanya ‘pendidikan’ yang mahal memberikan pelayanan dengan kualitas prima. Sebut saja permasalahan-
permasalahan yang terdapat di lembaga pendidikan: bullying, tawuran, mencontek,
Universitas Sumatera Utara
14 pre-marital sex, narkoba, dll. Seringkali lembaga-lembaga pendidikan dengan guru-
guru yang profesional tidak mampu menangani permasalahan-permasalahan yang ada di sekolah. Apalagi menurut Megawangi, orang tua yang terlambat mengisi
pendidikan yang baik pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi dengan hal yang
buruk oleh pihak lain.
Selama ini upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia selalu dikaitkan proses peningkatan kualitas pendidikan formal. Proses
peningkatan kualitas pendidikan formal itu sendiri telah dilakukan tetapi ternyata memunculkan berbagai masalah, terutama perihal anggaran yang harus dialokasikan
untuk membiayai keperluan proses belajar mengajar. Sehingga pendidikan terasa menjadi begitu mahal. Untuk kalangan yang beruntung, persoalan biaya memang
bukan soal. Lain halnya dengan orang miskin. Jangankan untuk bersekolah di tempat yang mewah dan berfasilitas lengkap. Untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti
sadang, pangan dan papan pun sangat jauh dari cukup. Mereka tentu akan sangat terbantu dengan adanya bantuan pemerintah, swasta dan juga lembaga swadaya
masyarakat seperti BOS, pemberian beasiswa, dan pelayanan lain yang setidaknya dapat menghantarkan putera-puteri bangsa ini megenyam pendidikan yang cukup
setidaknya sampai dengan SMU atau bahkan perguruan tinggi. Sehingga sudah cukup bagi mereka bersekolah di tempat yang sederhana. Tetapi apakah pendidikan
yang mereka raih di sekolahnya tersebut lebih buruk? Akankah kualitas hidup mereka akan lebih buruk dari pada anak-anak yang memiliki kesempatan mengenyam
pendidikan di sekolah yang mewah?
Universitas Sumatera Utara
15 Dengan demikian, pendidikan formal yang memiliki fasilitas lengkap, mahal
dan berprestasi di segala bidang tidak selamanya memberikan jaminan sebagai alat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Seringkali, tidak berbeda
dengan pendidikan formal di sekolah, pendidikan di dalam keluarga juga seringkali dalam dikaitkan dengan ‘uang’. Anak yang lahir di dalam keluarga miskin
diasumsikan akan memiliki masa depan yang lebih suram dari pada anak yang lahir dari keluarga yang berkecukupan. Seorang anak yang miskin tentu akan mendapatkan
gizi yang buruk, contoh yang buruk dari orang tuanya, dan lingkungan masyarakat yang buruk. Sebaliknya anak yang lahir dari keluarga yang berkecukupan akan
mendapatkan gizi yang baik, bimbingan yang baik dari orang tuanya karena orang tuanya juga berpendidikan tinggi, dan terlindungi dari pengaruh lingkungan
masyarakat yang buruk. Pada praktiknya sebagian besar asumsi tersebut tidak selamanya benar. Ada anak yang lahir dari keluarga miskin.
Desi Dwi Wulandari2009 : 5, salah satu kunci dalam pendidikan ialah peranan orang tua. Sebenamya kalau kita me1ihat keterlibatan orang tua sampai saat
ini masih sangat kurang, terutama orang tua yang di kota, yang sibuk dengan aktivitas di kantor, sehingga terlihat sekali bahwa anak tersebut seolah-olah itu semua
tanggung jawab guru. Kesibukan mereka tersebut dipengaruhi cara berpikir mereka bahwa dengan mencari nafkah sebanyak-banyaknya dapat memenuhi kebutuhan
pendidikan anak adalah utama dan sekolah yang berkewajiban untuk membuat anak mnjadi orang yang sukses. Padahal orang tua juga harus terlibat di dalam hal itu
karena anak tersebut tidak hanya bisa dikreatifkan selama di sekolah saja. Sedangkan di desa, orang tua kurang memperdulikan pendidikan anak karena cenderung mencari
Universitas Sumatera Utara
16 nafkah karena kesulitan ekonomi, dan tingkat pendidikan yang masih rendah
membuat pola pikir mereka mengenai pendidikan anak menjadi terbatas. Bagi mereka anak sampai pada pendidikan Sekolah Menegah Pertama atau Sekolah Menengah
Umum sudah hebat dibandingkan mereka yang hanya tamatan Sekolah Dasar. Anak tidak akan bisa kreatif kalau tidak ada pantauan secara langsung dari
orang tuanya. Keterkaitan orang tua dalam hal ini sangat penting, apalagi kalau dilihat dalam proses belajar mengajar, ada pekerjaan rumah yang tidak bisa dijawab,
harusnya orang tua juga kreatif mencari dari buku yang lain atau pun membimbing anak mencarikan hal - hal yang lain sehingga dia merasa bahwa orang tuanya tidak
sekadar memberikan uang jajan atau menyekolahkan dia, tetapi juga ikut meningkatkan kreativitas atau meningkatkan pendidikan. Dengan kata lain, dalam
penggunaan pendidikan maka semua pihak terlibat, dan oleh karenanya, baik guru, siswa, maupun orang tua mesti kreatif.
Selama ini sebagian orang berpikir bahwa pendidikan itu hanya merupakan tanggung jawab sekolah. Oleh sebab itu, ketika orang tua memasukan anaknya ke
sekolah, mereka seolah-olah berpikir bahwa masalah telah selesai. Padahal mereka lupa bahwa orang tua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberhasilan
pendidikan itu sendiri. Sesuai UUSPN Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat
dan pemerintah. Sekolah sebagai pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga, sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak ialah dalam keluarga.
Peralihan bentuk pendidikan informalkeluarga ke formalsekolah memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah pendidik. Sikap anak terhadap sekolah
Universitas Sumatera Utara
17 terutama akan dipengaruhi oleh sikap orang tua mereka. Sehingga diperlukan
kepercayaan orang tua terhadap sekolah pendidik yang menggantikan tugasnya selama di sekolah Idris, Z, 1981.
Menurut Bashori 2004 dalam tulisannya mengenai peran keluarga dalam
pendidikan, orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya dan menghargai usaha-usahanya,
menunjukkan kerjasamanya dalam cara anak belajar di rumah dan atau membuat pekerjaan
rumahnya. Ketika orangtua terlibat langsung dalam kehidupan dan pendidikan anak- anaknya, maka mereka akan memberi perlakuan yang lebih tepat kepada anak-anak.
1.2 Perumusan Masalah