Pertumbuhan kota-kota sekitar Jakarta seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok menyebabkan arus urbanisasi ke wilayah tersebut meningkat. Gambar 9
memperlihatkan kecenderungan tren pertumbuhan penduduk Bodetabek dan Jakarta dalam beberapa tahun terakhir. Data ini menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat
pertumbuhan penduduk Jakarta pada pada kurun waktu tersebut adalah 0.22 persen sedangkan Bodetabek sekitar 3.29 persen. Dampak dari migrasi penduduk ke wilayah
sekitar Jakarta tersebut, menyebabkan meningkatnya penglaju, yang berakibat pada meningkatnya kemacetan dan polusi udara di Jakarta.
Tren Pertumbuhan Penduduk Jabodetabek Tahun 1995-2004
0.00 2.00
4.00 6.00
8.00 10.00
12.00 14.00
16.00
19 95
19 96
19 97
19 98
199 9
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
Tahun Jut
a J
iw a
Jakarta Bodetabek
Gambar 9 Kecenderungan Pertumbuhan Penduduk Jabodetabek
Meningkatnya penglaju dari Bodetabek membutuhkan adanya sistem trasportasi publik yang terintegrasi antara Jakarta dan wilayah Bodetabek, sehingga penggunaan
kendaraan pribadi akan menurun. Pengembangan sistem transportasi publik yang terpadu membutuhkan adanya koordinasi dalam perencanaan pemanfaatan wilayah Jabodetabek.
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi
Data statistik menunjukkan antara tahun 1995-1998, lebih dari 42 persen penduduk usia kerja di Jakarta berstatus pekerja dan setelah resesi tahun 1999 menurun
menjadi 30 persen. Dari jumlah masyarakat yang bekerja, 65 persen adalah berstatus
buruh. Data status pekerjaan penduduk pada beberapa tahun terakhir tidak diperoleh, karena itu asumsi yang diambil untuk model dinamis adalah 40 persen penduduk Jakarta
memiliki pekerjaan. Meningkatnya jumlah penduduk yang berstatus buruh menggambarkan bahwa
pendapatan sebagian besar masyarakat adalah sebesar upah minimum regional UMR atau upah minimum propinsi UMP yang berlaku di Jakarta. Surat keputusan SK
Gubernur No. 2515 tahun 2004 menetapkan bahwa UMP Jakarta tahun 2005 sekitar 700 ribu rupiah per bulan atau sekitar 22 ribu rupiah per harinya.
Dalam memperhitungkan nilai ekonomi dampak pencemaran PM
10
pada kesehatan nilai UMP digunakan sebagai patokan nilai ekonomi dari keterbatasan hari
kerja. Nilai ini mungkin terlalu rendah mengingat masih ada sebagian penduduk yang berpenghasilan di atas nilai UMP. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai ekonomi dari dampak
kesehatan seharusnya lebih besar dari estimasi yang dilakukan. Ditinjau dari pengeluaran per kapita masyarakat Jakarta untuk makanan sekitar 40
persen dari penghasilannya dan persentase yang hampir sama dikeluarkan untuk kebutuhan non-makanan tidak termasuk kebutuhan untuk pendidikan
1
. Hal ini menunjukkan bahwa hampir 80 persen dari penghasilan terpakai untuk kebutuhan hidup.
Untuk masyarakat Jakarta dengan status buruh maka sisa penghasilan perbulannya sangat minim, yang mungkin harus digunakan untuk biaya kesehatan.
Di samping itu, untuk golongan masyarakat yang berstatus buruh terutama buruh harian, di mana jumlah hari kerja menentukan besarnya penghasilan, maka hilangnya hari
kerja akibat gangguan kesehatan akan menurunkan penghasilan bulannya. Dengan demikian, maka gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran PM
10
dari emisi kendaraan bermotor terutama sangat mempengaruhi keadaan ekonomi golongan
masyarakat ini. Karena itu, salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan lingkungan
adalah besarnya biaya sosial yang harus dikeluarkan. Selain itu, konsep keadilan dalam penentuan kebijakan lingkungan harus diterapkan, karena sebagian masyarakat menerima
cost dari kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat lainnya.
1
Beberapa Indikator Penting Sosial-Ekonomi Indonesai, BPS 2006.
4.3 Pendapatan per Kapita