Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara

4.6 Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara

Dalam rangka pengendalian pencemaran udara beberapa kebijakan telah dibuat, baik berupa undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, ataupun Peraturan Pemerintah Daerah Perda Jakarta. Aturan tersebut diberikan dalam bentuk Tabel 10. Tabel 10 Peraturan Perundang-undangan Tentang Kualitas Udara NO Jenis Aturan Tentang 1. UU-RI Nomor 23 tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 Pengendalian Pencemaran Udara 3. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 tahun 2003 Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi 4. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Pengendalian Pencemaran Udara. 5 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5871980 Penetapan Kriteria Ambien Kualitas Udara dan ambien Bising dalam wilayah DKI Jakarta 6 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5871990 Penetapan Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di wilayah DKI Jakarta 7 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5512001 Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Propinsi DKI Jakarta UU-RI Nomor 23 tahun 1997, merupakan payung bagi peraturan mengenai pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam aturan ini dinyatakan batasan pengelolaan lingkungan hidup serta pembagian wewenang pengelolaan lingkungan hidup antara pemerintah dan pemerintah daerah. Pemberian wewenang pengelolaan lingkungan hidup pada pemerintah daerah Pemda yang dinyatakan dalam UU-RI Nomor 23 tahun 1997 tersebut kemudian diperkuat pada undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah atau undang-undang yang mengatur otonomi daerah. Dalam kebijakan tersebut pengendalian lingkungan hidup merupakan wewenang dan pelestarian lingkungan hidup merupakan kewajiban pemerintah daerah. Khusus untuk Jakarta sebagai Ibukota negara dengan kewajiban dan tanggungjawab tertentu yang lebih lanjut diatur dalam undang-undang tersendiri Undang-undang Nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Jakarta. Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dinyatakan bahwa Jakarta sebagai Ibukota negara mempunyai beberapa fungsi lain seperti yang diberikan pada pasal 227 undang-undang tersebut. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, peraturan tersebut menegaskan bahwa harus adanya keterpaduan dalam rencana tata-ruang Jakarta dan tata ruang daerah sekitarnya, yang pengkoordinasiannya diatur secara tersendiri. Koordinasi antara wilayah Jabodetabek dalam tata ruang merupakan hal penting dalam pengembangan sistem transportasi di wilayah tersebut. Jakarta sebagai wilayah perkotaan memegang peranan penting dalam perkembangan budaya, ekonomi, dan politik. Dalam kedudukannya sebagai ibukota negara maka perkembangan budaya, ekonomi, dan politik, menjadi barometer bagi Indonesia. Hal tersebut menyebabkan campur tangan pemerintah pusat baik dalam kaitannya dengan ekonomi, politik, dan pengelolaan lingkungan hidup tidak dapat dihindari. Dengan demikian, pengelolaan lingkungan hidup di Jakarta seharusnya lebih mudah dilakukan. Secara nasional perangkat hukum yang mengaturnya pencemaran udara dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah PP Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Penemaran Udara. Dalam PP tersebut telah diatur penanggulangan pencemaran udara yang meliputi pengawasan terhadap penataan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang baik untuk kendaraan baru maupun lama, dan pengadaan bensin bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai dengan standar internasional. Untuk operasionalisasi dari PP tersebut dikeluarkan beberapa keputusan diantaranya: 1. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 141 tahun 2003 tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi, menyatakan bahwa standar Euro 2 akan diterapkan mulai Januari 2005 untuk kendaraan tipe baru dan Januari 2007 untuk kendaraan tipe produksi yang sudah beredar. 2. Pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor baik untuk tipe baru maupun lama, dilaksanakan dibawah koordinasi Gubernur. Pelaksanaan dari aturan tersebut telah ditindaklanjuti dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun, lampiran dari aturan tersebut yang berupa standar baku mutu udara ambien tidak terdapat dalam peraturan ini. Dengan demikian, diasumsikan bahwa baku mutu udara ambien untuk Jakarta masih mengacu pada baku mutu udara ambien yang ditetapkan oleh keputusan Gubernur Nomor 5512001. 3. Pengadaan bahan bakar bebas timah hitam dan rendah sulfur, merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh instansi lain. Dalam melaksanakan Peraturan ini Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta merealisaikan dalam dalam Peraturan Pemerintah Daerah pada pasal 18 dengan mengadakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Di samping itu, pada pasal 20 dinyatakan bahwa angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah wajib menggunakan bahan bakar gas. Dalam pelaksanaan peraturan bahan bakar bebas timbel dan rendah sulfur, Jakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi prioritas pemerintah untuk mendistribusikan bahan bakar seperti yang dimaksud dalam peraturan pemerintah tersebut. Perubahan spesifikasi bahan bakar tersebut merupakan kebijakan CAC standar teknologi yang membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit bagi pemerintah Indonesia, sehingga dibutuhkan prioritas pelaksanaan untuk wilayah-wilayah tertentu. Berdasarkan keputusan Gubernur yang telah dibuat oleh beberapa Gubernur terdahulu mengenai pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor, dapat disimpulkan bahwa kelengkapan perangkat hukum dalam pengendalian pencemaran udara telah tersedia semenjak tahun 1980-an. Pengaturan mengenai baku mutu emisi kendaraan bermotor telah diatur sejak tahun 1990. Meningkatnya pencemaran udara di Jakarta membuktikan bahwa aturan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Tidak berjalannya peraturan standar emisi kendaraan terutama disebabkan oleh sulitnya melakukan kontrol terhadap emisi dari masing-masing kendaraan. Sekalipun, dilakukan uji emisi terhadap kendaraan di jalan, tidak akan mempengaruhi total emisi kendaraan. Di samping itu, emisi kendaraan bermotor tidak hanya dipengaruhi oleh masalah teknis kendaraan, tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam membeli dan menggunakan kendaraan. Untuk mengatasi perilaku masyarakat tersebut beberapa negara menerapkan kebijakan lingkungan dalam bentuk kebijakan instrumen insentif berupa pajak dan subsidi. Kebijakan pajak BBM misalnya mempengaruhi jumlah perjalanan yang dilakukan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Fullerton et al. 2005; Beltran 1996. Pajak BBM juga mempengaruhi masyarakat untuk memiliki kendaraan yang lebih kecil yang lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar. Pajak kendaraan yang memperhitungkan umur kendaraan akan mempengaruhi konsumen untuk memiliki kendaraan yang baru dengan teknologi kontrol emisi yang lebih baik. Pajak BBM di Amerika Serikat ataupun di negara-negara Eropa tidak bertujuan untuk menurunkan tingkat emisi namun untuk mengubah perilaku yang merusak lingkungan, karena itu masih disebut pajak lingkungan. Pajak BBM di Eropa disebut instrumen fiskal lingkungan yang didesain untuk meningkatkan pendapatan. Revenu dari pajak ini digunakan untuk perbaikan lingkungan dan sebagian digunakan untuk hal lain misalnya menutupi defisit dari anggaran Beltran 1996. Permasalahan pelaksanaan kebijakan standar emisi kendaraan di Jakarta adalah emisi dari kendaraan lama. Karena itu, penggunaan alat kontrol polusi pollution control equipment = PCE seperti katalik konverter atau filter diesel harus dilaksanakan dengan melakukan subsidi. Kombinasi antara beberapa instrumen insentif seperti pajak pada kendaraan tahunan dengan memperhitungkan umur kendaraan dan subsidi untuk penggunaan PCE merupakan kombinasi instrumen insentif yang dapat mereduksi emisi dari kendaraan dengan efektif Fullerton West 2000.

BAB V PROSES PEMODELAN

5.1 Identifikasi Model

Model sistem dinamik yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Sub-model Emisi. Untuk menentukan emisi yang mempengaruhi kualitas udara penelitian ini, menghitung emisi dari tiga sumber emisi yaitu: a. Emisi dari sumber Industri. b. Emisi dari sumber Domestik. c. Emisi dari sumber kendaraan bermotor. 2. Sub-model Dispersi. Sub-model dispersi adalah model yang digunakan untuk menentukan konsentrasi polutan dari suatu wilayah pemantauan tertentu. Penelitian ini menggunakan model dispersi Gaussian untuk wilayah perkotaan. 3. Sub-model Dampak Pencemaran. Sub-model dampak pencemaran terdiri atas: a. Dampak pencemaran pada kesehatan manusia pada suatu wilayah tertentu. b. Degradasi lingkungan akibat pencemaran. c. Biaya sosial dan nilai ekonomi degradasi lingkungan. Model kebijakan yang dikembangkan menggunakan MCDA terdiri dari: 1. Model kebijakan reduksi emisi PM 10 . 2. Model kebijakan lingkungan.