b. Palaran
Perang yang terjadi di kawasan Padas Lintang menyisakan kepedihan dan tekanan psikis bagi sang pemenang. Perang yang menyebabkan kawasan Padas Lintang menjelma kolam darah
melibatkan Adipati Sepuh yang dianggap tidak becus memimpin Padas Lintang dengan Adipati Anom sebagai pencetus perang dan penngumpulan massa yang ingin memberontak Adipati
Sepuh. Adipati Anom juga merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Setelah peperangan usai, kekuasaan Adipati Sepuh digantikan oleh Adipati Anom. Selang
beberapa tahun kepemimpinannya, Adipati Anom mengalami tekanan psikis karena teringat akan masa peperangan masa lalu. Nyanyian Palaran dengan alunan musik gamelan yang dulunya
dipakai sebagai pemicu emosi masyarakat dalam berperang, kini selalu mengiang di telinga Adipati Anom. Beberapa tekanan ini terjadi pada Adipati Anom, menyebabkan Adipati Anom
mengambil keputusan untuk melarang seluruh permainan gamelan dari nyanyian Palaran di kawasan Padas Lintang.
Hal ini hanya sesaat saja mengurangi tekanan yang terjadi pada Adipati Anom, tetapi hari-harinya kembali dihantui masa peperangan dulu dengan nyanyian Palaran dan alunan
gamelan. Akibat tekanan ini, kejadian buruk terjadi pada Adipati Anom, tetapi hal ini dianggap biasa oleh masyarakat Padas Lintang.
c. Sepasang Mata yang Hilang
Kamil adalah seorang pemuda desa yang kesehariannya tinggal bersama orang tuanya yaitu Pak Kardi dan Yu Sonto. Semula Kamil adalah pemuda desa yang perilakunya normal,
tetapi tiga hari setelah ia jatuh di suatu perempatan jalan desa, Kamil merasakan hal yang aneh ketika melihat sesuatu. Matanya mampu melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Kamil sangat
bingung dan stres dengan hal aneh yang dialaminya. Orang-orang yang berpengaruh baik dalam
Universitas Sumatera Utara
bidang sosial maupun ekonomi dianggapnya sebagai makhluk jadi-jadian seperti sosok raksasa yang besar.
Setiap harinya Kamil takut untuk membuka mata karena pemandangan yang dilihatnya. Ketika ia memandang tempe di piring dan air teh, ia seperti melihat tenunan jutaan baksil yang
mengonggok dan jutaan bakteri yang memenuhi piring dan gelas tersebut. Kemudian ia pun memeriksakan matanya ke dokter, namun dokter menyatakan matanya sehat. Dokter pun
menyarankannya untuk mendatangi psikiater. Keanehan mata Kamil menelan banyak korban. Pak Karso, orang kaya yang disegani
merasa tersinggung ketika Kamil berteriak dan mengatakan bahwa wajah Pak Karso seperti wajah raksasa dengan taring-taring tajam. Kemudian Pak Karsan yang juga orang kaya dari Desa
Duwitan, tetapi tidak jelas pekerjaannya, marah-marah dan sakit hati karena dianggap Kamil berwajah lintah raksasa yang hitam , kasar, buas dan menakutkan. Tante Trustikam, Roto Julik,
Godrah, Likat, Tiras dan banyak orang lainnya, menjadi korban dari penglihatan Kamil. Pak Kardi dan keluarganya benar-benar gelisah dan cemas dengan mata Kamil karena dianggap tidak
tahu tata krama dan sopan santun. Kebingungan yang memuncak adalah ketika Kamil mencalonkan diri untuk menjadi Lurah di desanya. Akhirnya, Kamil pun dikurung di kamar dan
tidak boleh keluar rumah. Keluarganya berniat untuk membawa kamil ke rumah sakit jiwa. Kamil semakin merasa takut dan tertekan dengan hal yang dialaminya. Dia cemas dan
dihantui oleh kematian. Sampai pada suatu waktu, ia lari dan merasa diikuti oleh dua sosok kuat, tetapi tidak kelihatan. Kamil terus berlari sampai dia pun terjatuh dalam kegelapan dan menabrak
dua sosok kuat tersebut. Kemudian dia merasakan ada benda tajam yang menghujam kedua matanya. Darah pun mengucur dari matanya dan bajunya pun basah. Ia kaget tidak lagi
mendapati kedua matanya. Jiwanya hancur dan Kamil tetap menyusuri malam. Sejak kejadian
Universitas Sumatera Utara
itu, Desa Krowotan tenang kembali dan Kamil hidup dengan tongkat menyusuri jalan-jalan desa mencari sepasang matanya yang hilang.
d. Burung-burung yang Menyergap