lain. Penggunaan alat peraga sebagai media belajar sesuai dengan teori belajar Piaget. Dengan demikian, teori Piaget yang penting dalam penelitian ini adalah
keaktifan peserta didik dalam berdiskusi kelompok dengan memanfaatkan media alat peraga dan pembelajaran dengan pengalaman sendiri akan membentuk
pembelajaran yang bermakna.
2.1.1.2 Teori Vygotsky
Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran Trianto, 2007:27. Menurut Bahruddin dan Wahyuni 2008: 124, Vygotsky
percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melakukan
perilaku sosial. Zone ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu sendiri tetapi memerlukan bantuan kelompok atau orang
dewasa. Dalam belajar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan
bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan sosial.
Satu lagi ide penting dari Vygotsky adalah Scaffolding yakni pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi
bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah anak dapat melakukannya. Penafsiran
terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberikan bantuan untuk
menyelesaikan tugas-tugas itu. Hal ini bukan berarti bahwa diajar sedikit demi
sedikit komponen-komponen suatu tugas yang kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas
kompleks tersebut Nur Wikandari dalam Trianto,2007: 27. Pada penerapan model pembelajaran SAVI, siswa bekerja secara
berkelompok dan saling melakukan interaksi sosial untuk memecahkan masalah. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstriktivisme yang dikemukan Vygotsky.
2.1.1.3 Teori Belajar Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan
belajar menerima, selain itu juga untuk membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Makna dibangun ketika guru memberikan permasalahan
yang relevan dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada sebelumnya, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan
idenya sendiri. Pada belajar menghafal, peserta didik menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu
dikembangkan dengan keadaan yang lain sehingga belajarnya lebih dimengerti Suherman, 2003: 32. Dengan belajar bermakna peserta didik menjadi kuat
ingatannya dan transfer belajar mudah dicapai. Bagi Ausubel, menghafal berlawanan dengan belajar bermakna. Menghafal
pada hakikatnya mendapatkan informasi yang terisolasi, sedemikian sehingga peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh ke dalam struktur
kognitifnya. Dengan demikian, pembelajaran model SAVI berbantuan alat peraga sesuai dengan teori Ausubel, karena pembelajaran SAVI berbantuan alat peraga
tidak menekankan pada menghafal tetapi menekankan pada aktivitas peserta didik sehingga ketika menyusun hasil temuan atau hasil diskusi kelompok, peserta didik
selalu mengaitkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh sebelumnya sehingga
dapat menyelesaikan masalah dalam pemecahan masalah secara berkelompok. 2.1.1.4
Teori Bruner
Menurut Bruner, proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda alat peraga Suherman, 2003: 43. Melalui alat
peraga anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur dalam benda yang sedang diperhatikan. Dengan kata lain benda yang ditampilkan
merupakan benda konkret. Dalam belajar setiap anak melewati tahapan-tahapan dalam memahami
materi. Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahap yakni sebagai berikut.
1 Tahap Enaktif Tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi mengotak-atik
objek. Misalnya peserta didik langsung dapat melihat sebuah jam yang berbentuk segitiga.
2 Tahap Ikonik Tahap ini kegiatan yang berlangsung, anak berhubungan dengan mental yang
merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasi. Misalnya peserta didik mampu menggambarkan atap rumah yang berbentuk segitiga.
3 Tahap Simbolik
Tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Peserta didik sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan
terhadap objek riil. Misalnya peserta didik dapat menuliskan rumus keliling dan luas segitiga.
Teori Bruner digunakan dalam mempelajari struktur-struktur dari aspek kognitif agar anak dapat menemukan sendiri konsep yang dipelajari. Untuk dapat
memahami suatu konsep maka dalam belajar anak harus dapat memahami dan menganalisis pengetahuan baru sehingga dapat dicari kebermaknaannya dan
kebenarannya dengan bahasa mereka sendiri. Pembelajaran yang efektif dapat terjadi jika penyampaian materi pada anak disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak dan melalui tahapan-tahapan dalam proses belajar. Dengan demikian keterkaitan penelitian ini dengan teori Bruner adalah
penggunaan alat peraga dalam pembelajaran yang dapat membantu
menyampaikan pengalaman kepada peserta didik serta memberikan gambaran mengenai objek yang mewakili suatu konsep..
2.1.2 Pembelajaran Matematika