109
Dari Gambar 55 dapat diketahui bahwa sebagian telur tidak menetas. Prosentase penetasan telur merupakan indikator dari keberhasilan perlakuan
terhadap telur penyu baik secara alami maupun semi alami. Pada Gambar 56 diketahui terdapat gangguan penetasan telur pada kurun waktu antara tahun
1997 sd 1999.
Gambar 56. Kurva penetasan telur bulanan di BTN Meru Betiri
5.3.2 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur
Analisis terhadap jumlah penyu dilakukan berdasarkan data yang berasal dari sumber yang berbeda, yakni : Data penyu tahun 1940-an dan tahun 1970-an
dari Lindsay and Watson 1995, Data penyu tahun 1993 dari Tomascik et al 1997, dan Data penyu tahun 2002-2003 dari WWF-Indonesia Adnyana, 2005
Gambar 57. Penurunan jumlah penyu hijau di BKSDA Kaltim
110
Penurunan jumlah penyu hijau cukup tinggi di Balai KSDA Kalimantan Timur. Dari tahun 1940 hingga tahun 2003 terjadi penurunan hingga 191 ekor di
Kepulauan Derawan. Namun jika hanya menganalisis data yang berasal dari WWF-Indonesia Adnyana, 2005 diketahui bahwa penurunan populasi penyu
hijau di Kepulauan Derawan diperkirakan ± 2 ekor per bulan .
Gambar 58. Penurunan jumlah penyu hijau bulanan di BKSDA Kaltim
Sebaran penyu hijau tidak merata di Kepulauan Derawan. Pada Gambar 59 dapat diketahui jumlah penyu tertinggi berada di P. Sangalaki.
Gambar 59. Proporsi jumlah penyu yang mendarat di Kep. Derawan
Sumber : Hitipeuw-WWF Indonesia, 2001 dalam Adnyana, 2005
111
5.3.3 Balai Taman Nasional Alas Purwo
Data penyu yang ada di Balai Taman Nasional Alas Purwo tidak digunakan karena penyu hijau hanya menduduki proporsi 2. Dari semua jenis
penyu laut yang datang untuk bertelur di BTN Alas Purwo, sebagian besar adalah jenis penyu abu-abu Lepidochelys olivacea.
Gambar 60. Diagram proporsi keempat spesies penyu laut
di BTN Alas Purwo
Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU
Berdasarkan hasil analisis kebijakan perlindungan diketahui bahwa konservasi spesies yang mendasari pengelolaan penyu hijau tidak dilaksanakan
secara konsisten. Kelemahan menejerial menyebabkan Pemerintah gagal menghalangi eksploitasi penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dapat digambarkan
sebagai sistem kelembagaan sentralistik dengan kewenangan yang meluas di seluruh Indonesia namun lemah dalam penanganan ancaman dan penegakan
hukum. Alternatif kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan dari sistem kelembagaan desentralistik yang mampu menangani ancaman dan penegakan
hukum. Alternatif perlindungan yang diusulkan menggunakan konsep yang berbeda
dengan perlindungan spesies yang selama ini dilaksanakan pemerintah. Perlindungan diarahkan pada habitat penyu konservasi in-situ dengan
membentuk Kawasan Konservasi Laut KKL. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan pada Kasus Kepulauan Derawan menghasilkan Rancangan KKL
Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan KKL Kepulauan Derawan. Pemilihan Kepulauan Derawan sebagai model perlindungan habitat
didasarkan pertimbangan:
−
Kepulauan Derawan terletak di antara Laut Sulu dan Pulau Sulawesi merupakan lokasi penting yang menjadi perhatian internasional dalam
pengembangan proyek Sulu Sulawesi Marine Ecoregion SSME oleh Negara Malaysia, Indonesia dan Filipina.
−
Kepulauan Derawan memiliki daerah peneluran penyu hijau tertinggi di Indonesia;
−
Kepulauan Derawan terdapat pemanenan telur penyu secara sistematis, panangkapan induk di perairan laut dan pengrusakan habitat
−
Kepulauan Derawan terdapat konflik kepentingan antara Pemerintah Kabupaten Berau dengan Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam karena
kebijakan privatisasi pengunduhan telur penyu sebagai sumber PAD.