47
2.8.3 Konsep ecoregion
Pada Kongres Taman Nasional sedunia kelima dilaporkan hasil dari The Global Gap Analysis bahwa 50 yang spesies langka terancam kepunahan
ternyata tidak berada di dalam daerah perlindungan, karena lingkup perlindungannya terlalu kecil rata-rata luas DPL 1000 Ha dengan tingkat
perlindungan yang rendah dan ancaman yang tinggi Rodrigues et al. 2004. Sejak dipresentasikan hasil dari The Gap Analysis banyak peneliti yang
mulai merubah metode perencanaan konservasi seperti dimana daerah yang direncanakan dan penentuan prioritas konservasi pada suatu kawasan region
atau ecoregion. Myers et al. 2000 mendefinisikan Ecoregion sebagai kawasan dengan ukuran cukup luas mulai dari puluhan hingga ratusan ribu kilometer
persegi. Selanjutnya Dinerstein et al. 1995 mendefinisikan Ecoregion sebagai daerah daratan dan perairan yang cukup luas secara geografis merupakan
gabungan dari komunitas alam. Komunitas alam terdiri dari sekumpulan besar flora-fauna keanekaragaman hayati yang dinamis dan kondisi lingkungan yang
secara bersama-sama dijadikan satuan konservasi pada skala global.
Gambar 19. Posisi Kepulauan Derawan pada peta keragaman biota karang
dan Ecoregion Sulu-Sulawesi. Sumber : Veron, 2000
48
Kepulauan Derawan merupakan sub ecoregion Sulu-Sulawesi yang mengikuti pengelompokan Global 200 Ecoregions Olson dan Dinerstein,
1998. Pada Gambar 19 menjelaskan posisi Kepulauan Derawan yang terletak di Ecoregion Sulu-Sulawesi yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman
hayati dunia. Dalam rangka pengembangan Sulu Sulawesi Marine Ecoregion SSME yang meliputi wilayah pesisir dan laut yang terletak di antara Sabah
Malaysia, Kalimatan Timur Indonesia dan Filipina yang mendapat peringkat konservasi keempat di tingkat global dan peringkat pertama di tingkat Asia-
Pasifik DeVantier et al
. 2004. Kepulauan Derawan telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut KKL Kabupaten Berau melalui Peraturan Bupati
Perbup No. 31 tahun 2005 seluas 1,2 juta hektar. Pembentukan KKL Kabupaten Berau ini bersifat mandat dan tumpang tindih dengan ketiga Daerah
Perlindungan yang ditetapkan sebelumnya. 2.9 Perencanaan Kawasan Konservasi Laut KKL Kepulauan Derawan
Perencanaan konservasi keanekaragaman hayati di suatu kawasan dapat menggunakan metode yang diusulkan dalam The Nature Conservancy 2001.
Mekanisme perencanaan diawali dengan tahap Setting Priorities dan berakhir dengan tahap Measuring Success.
Gambar 20
. Proses perencanaan konservasi dengan empat komponen The Nature Conservancy, 2001
49
Proses perencanaan mengikuti arah diagram aliran ada empat komponen Setting Priorities, Developing Strategies, Taking Action, Measuring Success
dimana secara keseluruhan mengarah pada konservasi keanekaragam hayati. Beberapa metode yang digunakan dalam proses perencanaan Kawasan
Konservasi Kepulauan Derawan, antara lain: − Metode Kerangka 5-S Five-S Framework for Site Conservation yang
diusulkan dalam The Nature Conservancy 2000. − Metode The Analytical Approach yang diusulkan dalam The World Wild
Fund 2000. i Metode Kerangka 5 - S Five-S Framework
Penggunaan proses perencanaan Kerangka 5-S diawali dengan mengidentifikasi Target Konservasi dan berbagai tekanan dan sumber tekanan.
Melalui penelusuran tekanan dan sumber tekanan akan dihasilkan informasi tentang berbagai ancaman terhadap Target Konservasi. Dari informasi
ancaman akan dilanjutkan dengan penyusunan strategi dan beberapa cara mengukur keberhasilan konservasi.
Perencanaan konservasi setempat yang diusulkan TNC ini memerlukan mekanisme konsultasi dan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal.
Metode ini pernah dilaksanakan oleh Tim TNC di beberapa Taman Nasional di Indonesia. Menurut TNC 2006, melalui diskusi secara partisipatif
masyarakat akan menginformasikan tentang sumberdaya alam dan permasalahannya. Keterlibatan masyarakat dimulai sejak tahap identifikasi
permasalahan, menemukan prioritas penanganan masalah hingga memilih strategi-strategi dapat dimengerti dan diterima masyarakat. Proses
perencanaan yang sekaligus pemasyarakatan ini akan memudahkan pihak pengelola mengimplementasikan strategi pengelolaan. Salah satu keunggulan
metode ini merupakan perencanaan bottom-up bersifat luwes atau memiliki fleksibilitas. Data dan informasi yang terekam dengan jelas karena berasal dari
pelaku pengguna sumberdaya alam.
50
ii Metode Analytical Approach Analytical Approach merupakan suatu pendekatan yang digunakan
sebelum melaksanakan pengelolaan konservasi ecoregion. Metode yang diusulkan dalam WWF 2000 ini mampu mengidentifikasi dan menerangkan
berbagai faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati. Faktor-faktor yang telah teridentifikasi digunakan untuk merencanakan strategi konservasi
ecoregion. Strategi konservasi yang dihasilkan akan lebih spesifik karena didasarkan pada faktor-faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati.
Inti dari Analytical Approach adalah pendugaan sosial ekonomi yang terdiri dari empat tahap, antara lain: Analisis Stakeholder Stakeholder
Analysis; Analisis Ancaman dan Peluang Analysis of Threats and Opportunities; Penentuan Kemungkinan Intervensi; dan Monitoring dan
Evaluasi. Setiap tahap memberi arahan penentuan akhir dari rancangan, implementasi dan peningkatan tindakan konservasi pada suatu ecoregion.
2.10 Pengelolaan secara Kolaboratif
IUCN – World Conservation Union dalam Resolusinya 1.42 tahun 1996 menjelaskan gagasan dasar pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara
lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan
menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya IUCN, 1997 yang disarikan
dalam PHKA-Dephut, NRMEPIQ, WWF Wallacea, TNC 2002. Konsep pengelolaan secara kolaborasi dapat diusulkan sebagai alternatif
pengelolaan penyu hijau di dalam Kawasan Konservasi Laut. Selain mampu menampung banyak kepentingan, pengelolaan secara kolaboratif terdapat
pembagian tanggung-jawab dan kewenangan antara pemerintah, masyarakat maupun pengguna sumberdaya lain. Namun demikian untuk membangun
pengelolaan secara kolaborasi diperlukan waktu yang panjang karena ada interaksi yang intensif antara pemerintah dengan para pihak lain mulai dari kegiatan
konsultasi dalam penjajagan awal, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi hingga evaluasi pengelolaan. Konsep co-management menghasilkan