Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau diarahkan pada penilaian terhadap: efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau
dan kondisi populasi penyu hijau.
5.1 Efektivitas Perlindungan Penyu Hijau
Di tingkat internasional penyu hijau dilindungi oleh berbagai negara karena status endangered species dan dikelompokkan dalam Appendix I – CITES.
Endangered species adalah status konservasi dalam IUCN Red Data Book dimana spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Dalam
CITES penyu hijau telah dikelompokkan dalam Appendix I bersama lebih dari 800 spesies yang dilarang diperdagangkan secara komersial. Jenis yang
dimasukkan dalam Appendix I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah.
Di tingkat nasional penyu hijau telah dilindungi oleh pemerintah melalui penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 bersama 236 jenis satwa dan 58
jenis tumbuhan lain. Setelah delapan tahun perlindungan penyu hijau, eksploitasi penyu di tingkat lokal tidak terkendali baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal
maupun pihak yang mendapat konsesi pemanenan telur penyu melalui Surat Keputusan Menteri, Surat Keputusan Bupati dan Peraturan Daerah.
Eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia mengindikasikan kegagalan kebijakan perlindungan penyu hijau. Penangkapan penyu dan
pemanenan telur penyu merupakan permasalahan utama yang dihadapi pihak pengelola.
i Pemanenan telur penyu Dari rekapitulasi data dapat dilaporkan bahwa pemanenan telur penyu
terjadi di 24 UPT, yakni: BKSDA Sumbar; BKSDA Riau; BKSDA Sumsel; BKSDA Lampung; BKSDA Bengkulu; BKSDA Jabar I; BKSDA Jabar II;
BKSDA Jateng; BKSDA DIY; BKSDA Jatim I; BKSDA Jatim II; BKSDA Bali; BKSDA NTB; BKSDA NTT I; BKSDA Kalbar; BKSDA Kaltim;
92
BKSDA Sulteng; BKSDA Ambon; BTN Siberut; BTN Bukit Barisan Selatan; BTN Ujung Kulon; BTN Karimunjawa; BTN Meru Betiri; BTN Teluk
Cendrawasih. Pada Gambar 38 dapat diketahui lokasi UPT yang melaporkan ada pemanenan telur penyu di wilayah kerjanya.
Gambar 38. Lokasi ke-24 UPT yang ada pemanenan telur penyu
Di beberapa UPT terdapat lokasi peneluran penyu ada yang dikonsesikan oleh Pemerintah Daerah untuk dijadikan obyek pajak. Pada Tabel 14 dapat
dilihat beberapa lokasi pemanenan telur penyu yang di konsesi oleh pihak lain.
Tabel 14. Lokasi peneluran penyu yang dikonsesikan Pemerintah Daerah
No. UPT LOKASI
KONSESI 1. BKSDA NTB
Lunyuk; Kawinda Toi; dan P. Medang 2. BKSDA
Kaltim Kepulauan
Derawan P. Bilang-Bilang; P. Mataha;
P. Balembangan; P. Sambit. 3. BKSDA Sumsel
Desa Gersik, Kec. Selat Nasik, Kab. Belitung. 4. BKSDA Jabar I
Desa Gunung Batu, Kec. Ciracap, Kab. Sukabumi 5. BKSDA Riau
Pulau Tambelan, Kepulauan Riau.
Legalitas yang mendasari penunjukan konsesi peneluran penyu adalah: 1 Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 750Kpts-II1999
mendasari eksploitasi telur di P. Tambelan, Kepulauan Riau; 2 Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 2 tahun 2001 diperkuat Surat
Keputusan Bupati No. 973Kep171-BPKD2001 mendasari eksploitasi telur penyu di Kabupaten Sukabumi;
93
3 Keputusan Bupati No. 36 tahun 2002 mendasari eksploitasi telur di Kabupaten Berau.
Legalitas yang memberi ijin pemanenan telur penyu menyebabkan konflik kepentingan dengan Unit Pelaksana Teknis Ditjen PHKA.
ii Penangkapan penyu Penangkapan penyu hijau dilaporkan oleh 27 UPT. Pada Gambar 39
dapat diketahui bahwa penangkapan penyu terjadi hampir merata di wilayah Indonesia. Dalam Tri Wibowo, E 1991, pengiriman penyu untuk memasok
kebutuhan masyarakat P. Bali berasal dari 31 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada kemiripan antara peta penangkapan penyu dari data tahun
2005 Gambar 39 dengan peta pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia dari data tahun 1990 Gambar 11. Selama 15 tahun pola
penangkapan penyu di wilayah Indonesia tidak pernah berubah walaupun pada tahun 1999 telah ditetapkan perlindungan penyu hijau.
Gambar 39 . Lokasi ke-26 UPT yang ada penangkapan penyu
Dengan adanya UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 8 tahun 1999 melengkapi kebijakan perlindungan spesies agar pemerintah melaksanakan konservasi spesies
melalui kegiatan pengawetan dan pemanfaatan spesies.
94
1 Pengawetan spesies Menurut UU No. 5 tahun 1990, bahwa: Pengawetan spesies dapat
dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam Pasal 13. Selanjutnya PP No. 7 th 1999 menjelaskan bahwa : Pengawetan spesies dilakukan melalui
kegiatan pengelolaan di dalam dan di luar habitatnya Pasal 8.
−
Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: identifikasi; inventarisasi; pemantauan; pembinaan habitat dan populasinya;
penyelamatan jenis; pengkajian, penelitian dan pengembangan.
−
Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: pemeliharaan; pengembangbiakan; pengkajian, penelitian dan pengembangan; rehabilitasi
spesies; penyelamatan spesies. Dari rekapitulasi data dapat diketahui bahwa sebagian besar 26 UPT lingkup
Ditjen PHKA tidak melaksanakan kegiatan pengawetan.
Gambar 40. UPT yang melaksanakan kegiatan pengawetan
2 Pemanfaatan spesies Menurut UU No. 5 tahun 1990, Pemanfaatan spesies dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman spesies pasal 28. Pemanfaatan spesies dilaksanakan dalam bentuk :
pengkajian, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran Pasal 36. Selanjutnya PP No. 8 tahun 1999 menjelaskan pemanfaatan meliputi
kegiatan: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; dan pemeliharaan untuk kesenangan.
95
Pemanfaatan penyu hijau belum dilaksanakan oleh UPT lingkup Ditjen PHKA. Pengembangan atraksi wisata penyu di beberapa UPT merupakan
pemanfaatan jasa lingkungan penyu. Obyek wisata penyu berada di UPT BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa. Obyek wisata penyu
yang dikelola oleh LSM bekerjasama dengan masyarakat lokal berada di BKSDA DIY dan BTN Taka Bonerate, sedangkan yang dikelola oleh
masyarakat lokal berada di BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa.
5.2 Kinerja Pengelolaan Penyu Hijau