Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

biaya yang tinggi, yang akan dibebankan kepada kegiatan ekonomi di tempat lain. 2. Wilayah netral; yang dicirkan dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial. Wilayah ini merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu maju. 3. Wilayah sedang; merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran, pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik, merupakan gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang maju, yang memiliki pengangguran dan kelompok miskin. 4. Wilayah kurang berkembang; merupakan wilayah yang tingkat pertumbuhannya jauh dibawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional. 5. Wilayah tidak berkembang; merupakan wilayah tidak maju atau wilayah miskin, yaitu wilayah yang tidak akan pernah dapat mengembangkan industri modern dalam berbagai skala serta ditandai dengan daerah pertanian yang usahataninya subsistem dan berskala kecil.

2.4 Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan

Pertumbuhan dan pembangunan memiliki keterkaitan yang sangat erat sehingga pertumbuhan dan pembangunan seringkali diartikan sama. Kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang berbeda secara eksplisit dan implisit. Menurut Herrick dan Charles 1982 dalam Setiawan 2004, pertumbuhan ekonomi memiliki arti tidak hanya output yang lebih banyak, tetapi juga lebih 21 banyak macamnya dari yang sebelumnya, termasuk di dalamnya perubahan teknologi dan institusi yang berperan dalam produksi dan distribusi. Sedangkan perkembangan atau pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan atau perkembangan. Tetapi pada tingkat-tingkat permulaan, mungkin pembangunan ekonomi selalu disertai dengan pertumbuhan dan sebaliknya. Hess dan Clark 1997 dalam Setiawan 2004 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mengacu pada perubahan kuantitas dan biasanya diukur sebagai kenaikan dalam output per kapita atau pendapatan. Pertumbuhan ekonomi modern, sebagaimana terungkap dari pengalaman negara maju sejak akhir abad ke-18, ditandai dengan laju kenaikan produk per kapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Laju kenaikan yang luar biasa itu paling sedikit sebesar lima kali untuk penduduk dan paling sedikit sepuluh kali untuk produksi .

2.5 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya, ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik- menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas 22 dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang berikut ini 1 : - UU No. 1 tahun 1945 Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. - UU No. 22 tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950 Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. - UU No. 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat. - Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja. - UU No. 18 tahun 1965 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas- luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja - UU No. 5 tahun 1974 1 http:www.transparansi.or.id?pilih=lihatotonomidaerahid=5 23 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. - UU No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. 24 Tabel 7. Perbedaan Dasar UU No.51974 dan UU No. 221999 2 No. Aspek UU No.51974 UU No.221999 1. Nama UU Asas yang Digunakan. Disebut UU tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah didasarkan kepada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Kepala Daerah merangkap Kepala Wilayah. Disebut UU tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan ketiga asas yang mengarah pada prinsip devolusi. Tidak ada lagi Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah, sebagai kepanjangan tangan dari Pusat. 2 Model Penyelenggaraan Desentralisasi Structural Efficiency Modelyang menekanan persatuan dan kesatuan nasional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal serta nilai-nilai demokrasi, dengan alasan menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi. Local Democratic Model yang menekankan nilai-nilai lokal dan demokratik serta menghargai perbedaan dan keanekaragaman. 3 Penekanan definisi ‘Otonomi Daerah’ Adalah pada penyerahan urusan kepada lembaga pemerintah daerah yang di beri hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Lebih berorientasi kepada masyarakat, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. 4 Status Daerah Otonom Titik berat otonomi pada Dati II, namun Dati I tetap berstatus daerah otonom yang utuh. Daerah otonom merangkap sebagai daerah administrasi Otonomi yang luas dan utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan tidak merangkap sebagai daerah administrasi. 5 Hubungan antar Dati I dan Dati II Terdapat hubungan hirarkis antara Dati I dan Dati II melalui jalur “Kepala Wilayah.” Tidak ada hubungan hirarkis maupun subordinatif antara daerah- daerah otonom. 6 Kedudukan Badan Legislatif Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif tercampur aduk karena kedudukan Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah. Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif dipisahkan secara tegas,yaitu Kepala Daerah sebagai fungsi eksekutif dan DPRD sebagai fungsi legislatif. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. 7 Prinsip Pembiayaan Pengeluaran Function Follows Finance, jadi tergantung dari pemberian Subsidi Daerah Otonom SDO dan INPRES dari Pusat. Finance Follows Function, fungsi- fungsi pengeluaran Daerah terdefinisi dengan jelas yaitu, PU, kesehatan, pendidikan, perhubungan,industri dan perdagangan, penanaman modal,lingkungan hidup, pertanahan,koperasi dan tenaga kerja. 2 Koswara dalam www.csis.or.idworking_paper_file16wpe054.pdf 25 Hal yang sama terjadi pada aspek keuangan. Meskipun UU No. 32 tahun 1956 sudah menyebut “perimbangan keuangan antara Negara dengan daerah- daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri, dan UU No. 5 Tahun 1974 pun sudah menyebut hal itu, namun secara realitas sangat berbeda. Bahkan terjadi eksploitasi yaitu sumber pengelolaan urusan yang prospektif ditarik ke tingkat propinsi atau pusat. Hal ini juga tampak dari pengelolaan urusan yang prospektif ditarik ke tingkat pusat atau propinsi. Hal ini juga tampak dari penerbitan peraturan pelaksanaannya. UU No. 5 Tahun 1974 baru direspon 18 tahun kemudian oleh munculnya PP No. 45 Tahun 1992 tentang titik berat pelaksanaan otonomi daerah pada tingkat Kabupaten Tingkat II. Sejalan dengan tuntutan reformasi meyeluruh dan upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat krisis maka terdapat tuntutan menerapkan otonomi daerah secara sungguh- sungguh. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan keputusan politik dalam bentuk TAP MPR Nomor XVMPR 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Nyata, Luas dan Bertanggung jawab. Ikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah membawa perubahan yang mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Perbedaan sumber dana perimbangan keuangan sebelum dan pada masa otonomi daerah dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. 26 Tabel 8. Perbedaan Sumber Dana Perimbangan Keuangan Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah Persen Jenis Pengeluaran UU No. 51974 UU No. 251999 Pusat Prop Kab Kota Pusat Prop KabupatenKota Semua Kab Kota Penghasil Kab Kota lain I. Bagian Daerah 1. PBB 10 16.2 64.8 10 16.2 64.8 2. BPHTB 20 16 64 20 16 64 3. IHH 55 30 15 20 16 32 32 4. IHPH 30 70 20 16 64 5. Royalti emas dan batubara 20 16 64 20 16 32 32 6. Land Rent 20 16 64 20 16 64 7. Royalti Migas a. Minyak Bumi 100 85 3 6 6 b. Gas Alam 100 70 6 12 12 8. Agraria 40 40 20 100 9. Royalti Perikanan 20 80 II. Dana Alokasi Umum 75 25 22.5 III. Dana Alokasi Khusus Sumber: UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 25 Tahun 1974

2.6 Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota