Peran Stakeholders dalam Pembangunan Pertanian

15 Mencermati sejauh mana peluang yang dimiliki Indonesia untuk menjadi produsen kakao terkemuka dunia, beberapa keunggulan komparatif pengusahaan kakao yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara produsen kakao lainnya seperti Afrika dan Amerika Latin antara lain: 1 lahan pengembangan yang masih terbuka lebar; 2 jumlah tenaga kerja melimpah; 3 secara geografis Indonesia terletak pada posisi strategis karena dekat dengan negara tujuan ekspor sehingga biaya transportasi jauh lebih murah; dan 4 sistem politik luar negeri bebas aktif memudahkan Indonesia menembus pasar ke negara-negara pengimpor Husain, 2006. Bertitik tolak dari keberhasilan pengembangan tanaman kakao di pulau Sulawesi yang cukup mengejutkan dunia dalam periode 1980-1994, Akiyama dan Nishio 1997 menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan tanaman kakao di pulau tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu ketersediaan lahan yang sesuai, biaya produksi yang rendah, sistem pasar dengan kompetisi tinggi, infrastruktur transportasi yang mendukung, kebijakan makro ekonomi yang mendukung, dan adanya kewirausahaan petani kecil. Untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao terkemuka di dunia, faktor-faktor keberhasilan di atas bukanlah hal sulit untuk diterapkan di daerah lain. Tentunya diperlukan dukungan semua pihak terutama pemerintah untuk mewujudkannya.

2.7 Penelitian Terdahulu

Bambang 2003 yang melakukan penelitian berjudul “Formulasi strategi pengembangan agribisnis kakao rakyat di Provinsi Sulawesi T enggara” menunjukkan bahwa ada delapan set formulasi strategi dalam pengembangan agribisnis kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu: 1 Perluasan areal, intensifikasi, dan rehabilitasi kakao rakyat; 2 Fasilitasi jalinan kemitraan antara petani dengan pabrik pengolahan kakao di Makasar dan mendukung percepatan pembangunan pabrik kakao di Kendari; 3 Peningkatan mutu SDM; 4 Fasilitasi penyediaan sarana produksi dan pembangunan sarana serta prasarana penunjang; 5 Peningkatan mutu hasil kakao serta penerapan standarisasi sesuai kebutuhan konsumen; 6 Optimalisasi fungsi dan peranan lembaga penelitian dan pengembangan; 7 Kerja sama dengan lembaga terkait mengupayakan keanggotaan Indonesia dalam Asosiasi Kakao Internasional serta menyelenggarakan promosi; dan 8 Pemberdayaan lembaga petani dan peningkatan peranan lembaga penunjang. Baktiawan 2008 melakukan penelitian yang berjudul “Analisis pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Lampung Timur” menyatakan bahwa Kelayakan investasi usaha tani kakao pada tiap kelas kesesuaian lahan yang ada di Lampung Timur S2 dan S3 menunjukkan nilai yang menguntungkan. Hal tersebut terlihat dari nilai NPV antara Rp 19.014.723- Rp 31.990.514, nilai BCR antara 4-6, dan nilai IRR antara 20-31 yang keseluruhan parameter tersebut dihitung berdasarkan discount faktor 17. Kinerja pemasaran kakao di Lampung Timur cenderung belum efisien. Hal tersebut ditunjukkan dengan besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran yang terlibat 31,06 dan tidak adanya keterpaduan harga pasar jangka panjang antara pasar tingkat petani dan tingkat eksportir pedagang besar. 16 Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh panjangnya rantai pemasaran yang ada dan adanya senjang informasi harga yang terjadi. Ashari 2006 melakukan penelitian yang berjudul “Analisis kelayakan finansial konversi tanaman kayu manis menjadi kakao di Kecamatan Gunung Raya Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” menyatakan bahwa hasil perhitungan pada tingkat diskonto 11,47, penanaman tanaman kayu manis dan kakao sama- sama menguntungkan. Namun, dari kriteria investasi tersebut tanaman kakao lebih menguntungkan dibandingkan dengan tanaman kayu manis, sehingga dapat dinyatakan bahwa kakao layak untuk menggantikan tanaman kayu manis. Febryano 2008 melakukan penelitian berjudul “Analisis finansial agroforestri kakao di lahan hutan negara dan lahan milik” menyatakan bahwa jenis tanaman utama yang dipilih oleh petani adalah kakao; dengan kombinasi utama pola tanam kakao+pisang di lahan hutan negara, dan kakao+petai serta kakao+durian di lahan milik sendiri. Ketiga pola tanam tersebut layak untuk diusahakan berdasarkan hasil analisis finansial. Pola tanam kakao+durian dan kakao+petai lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pola tanam kakao+pisang, tetapi petani yang berusaha di lahan hutan negara lebih memilih pola tanam kakao+pisang, karena tidak adanya keamanan penguasaan lahan di lahan hutan negara. Sementara berdasarkan struktur pendapatan rumah tangga, pola tanam kakao+petai dan kakao+durian lebih baik dibandingkan pola tanam kakao+pisang. Syarfi et al . 2010 melakukan penelitian yang berjudul “Potensi pengembangan pengolahan industri kakao di Sumatera Barat” menyatakan bahwa Sumatera Barat memiliki potensi untuk pengembangan industri pengolahan kakao. Hal ini terlihat dari 1 Sumberdaya Manusia: petani yang sebagian telah berpendidikan menengah dan tinggi, mempunyai kemauan yang tinggi untuk berusahatani kakao; 2 SDA yaitu: terdapat peningkatan yang tinggi dalam luas tanam kakao dan terdapat lahan potensial untuk pengembangan usahatani kakao; 3 Pembibitan, yaitu: telah terdapat usaha pembibitan kakao oleh petani dan penangkar resmi; 4 Pascapanen; telah ada bantuan alat fermentasi untuk petani kakao serta telah ada industri pengolahan kakao bubuk dan pasta; 5 Pemasaran: kelompok tani atau koperasi telah mampu membeli kakao petani mendekati harga pasar dan telah mampu menjalin kerjasama pemasaran dengan lembaga terkait; dan 6 Kelembagaan petani: Sudah ada kelompok tani dan Gapoktan di sentra pengembangan kakao. Sudah dilakukan upaya penguatan lembaga melalui pembentukan unit usaha, serta pembentukan gabungan kelompok tani kakao pada sentra-sentra produksi di seluruh kabupatenkota Provinsi Sumatera Barat. Damanik 2010 melakukan penelitian yang berjudul “Prospek dan Strategi Pengembangan Perkebunan Kakao Berkelanjutan di Sumatera Barat” menyatakan bahwa perkebunan kakao cukup penting bagi perekonomian regional Sumatera Barat dan prospektif untuk terus dikembangkan. Adapun faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan dan keberlanjutan perkebunan kakao di Sumatera Barat yaitu: ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani, dukungan kebijakan, luas perkebunan kakao, produktivitas, keterampilan petani dan kelembagaan ekonomi petani. Goenadi et al. 2005 melakukan penelitian berju dul “Prospek dan arah pengembangan agribisnis kakao di Indonesia” menyatakan bahwa arah pengembangan agribisnis kakao adalah sebagai berikut: 1 Rehabilitasi kebun