43
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Lokasi yang Berpotensi untuk Pengembangan Perkebunan Kakao
Berdasarkan Aspek Biofisik dan Ketersediaan Lahan
Analisis untuk menentukan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan kakao berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan dilakukan
dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis dengan memadukan berbagai peta tematik. Peta tematik yang digunakan adalah peta RTRW
Kabupaten Padang Pariaman tahun 2010-2030, peta penggunaan lahan land use eksisting
, peta penunjukan kawasan hutan, peta administrasi dan peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman kakao.
Penentuan wilayah yang berpotensi berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan diawali dengan menentukan kawasan yang diperuntukan untuk
perkebunan dalam arahan pola ruang atau tata guna lahan yang tertuang dalam RTRW kabupaten, kemudian dipadukan dengan kawasan atau area penggunaan
lain pada kawasan hutan. Selanjutnya dipadukan dengan area yang memungkinkan untuk pengembangan tanaman kakao yang ada pada peta
penggunaan lahan di Kabupaten Padang Pariaman, sehingga akan diperoleh wilayah yang tersedia untuk pengembangan kebun kakao rakyat.
Wilayah yang tersedia untuk pengembangan kakao, selanjutnya akan dipadukan dengan peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman kakao, sehingga
dapat diketahui apakah wilayah tersebut sesuai untuk pengembangan kakao secara biofisik. Peta kesesuaian lahan aktual dalam penelitian ini diperoleh dengan
menganalisis peta satuan lahan land unit Kabupaten Padang Pariaman yang dipadukan dengan kriteria persyaratan lahan untuk tanaman kakao yang
dikeluarkan oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian BBSDLP Kementerian Pertanian RI. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kakao
Theobroma cacao L dapat dilihat pada Lampiran 1.
Peta satuan lahan land unit yang digunakan merupakan Peta Satuan Lahan Lembar Padang 0751 Sumatera yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat tahun 1990 dengan skala 1:250.000. Peta satuan lahan ini memberikan beberapa informasi terkait karakteristik fisik lingkungan serta fisik
dan kimia tanah dari tiap satuan lahan di Kabupaten Padang Pariman meliputi kondisi lereng, bahaya erosi, drainase, tekstur tanah, kedalaman tanah, kejenuhan
basa, KTK liat, pH H
2
O, C-Organik dan salinitas. Satuan lahan land unit dan penilaian kelas kesesuaian lahan pada wilayah yang tersedia untuk pengembangan
kakao di Kabupaten Padang Pariaman disajikan pada Lampiran 2. Menurut Sitorus 2004, analisis kesesuaian lahan pada hakekatnya
merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaannya. Kerangka dasar dari analisis kesesuaian lahan adalah
membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikiran
utama dalam prosedur analisis kesesuaian lahan adalah kenyataan bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda. Hasil analisis
kesesuaian lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk
44 perencanaan tata guna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara
optimal dan lestari Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007. Hasil analisis kesesuaian lahan pada wilayahlokasi yang tersedia untuk
pengembangan kakao di Kabupaten Padang Pariaman diperoleh informasi bahwa sebagian besar lahan sesuai untuk budi daya tanaman kakao, yaitu seluas 51.342
ha dari 54.096 ha lahan yang tersedia. Lahan cukup sesuai S2 seluas 32.636 ha 60,33, lahan sesuai marjinal S3 seluas 18.706 ha 34,58 sedangkan lahan
yang tidak sesuai N seluas 2.754 ha 5,09. Kelas kesesuaian lahan sangat sesuai S1 tidak ditemukan karena faktor pembatas ketersediaan air curah hujan
yang tinggi.
Kelas kesesuaian lahan S2 paling luas terdapat di Kecamatan Sungai Limau yaitu 4.635 ha dan lahan S3 paling luas di Kecamatan Sungai Geringging. Hal ini
sejalan dengan penelitian Yosfirman 2009, bahwa terdapat lahan yang berpotensi untuk pengembangan kebun kakao di Kecamatan Sungai Geringging,
terlihat dari peningkatan luas areal kebun kakao masyarakat. Disamping itu, adanya usaha penangkar benih, tersedianya sarana dan prasarana serta adanya
dukungan dari program pemerintah. Secara spasial wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan kakao rakyat berdasarkan aspek biofisik dan
ketersediaan lahan beserta faktor pembatasnya disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan kakao rakyat
Masing-masing kesesuaian lahan aktual dibatasi berbagai faktor pembatas, diantaranya ketersediaan air w, media perakaran r, retensi hara f serta tingkat
bahaya erosi e. Luas dan sebaran kelas kesesuaian lahan aktual pada masing- masing kecamatan menurut faktor pembatasnya tertera pada Tabel 11.
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui kelas kesesuaian lahan aktual S2 cukup sesuai dengan faktor pembatas ketersediaan air dan bahaya erosi S2ew
45 merupakan yang paling dominan yaitu seluas 15.022 ha, dengan sebaran paling
luas terdapat pada Kecamatan Sungai Limau seluas 3.551 ha 23,64 disusul Kecamatan Batang Gasan seluas 3.337 ha 22,21. Kesesuaian lahan S2 dengan
faktor pembatas retensi hara, media perakaran dan ketersediaan air S2frw merupakan yang paling kecil yaitu seluas 3.332 ha.
Tabel 11 Luas dan sebaran kelas kesesuaian lahan aktual pada masing-masing kecamatan menurut faktor pembatasnya.
Kecamatan Kesesuaian Lahan Aktual ha
S2fw S2w S2ew S2frw
Jumlah S2
S3fr S3e S3r
Jumlah S3
N 2 x 11 Enam Lingkung
418 895 - - 1.313 9 1.026 294 1.329 -
2 x 11 Kayu Tanam 26 2.561 69 - 2.656 204 1.154 36 1.394
- Batang Anai
- - - 1.693 1.693 - 453 576 1.029 1.021
Batang Gasan - 337 3.337 - 3.674 86 1.600 101 1.787
320 Enam Lingkung
506 470 - - 976 - - 194
194 -
IV Koto Aur Malintang 47 1.371 - - 1.418 146 2.884 27 3.057
316 Lubuk Alung
328 156 - 775 1.259 28 1.375 559 1.962 -
Nan Sabaris 92 837 - 251 1.180 - - 481
481 209
Padang Sago 134 - 1.613 - 1.747 - 3 87
90 -
Patamuan 873 116 744 - 1.733 - 167 16
183 -
Sintuk Toboh Gadang 189 703 - 278 1.170 - - 194
194 -
Sungai Geringging - - 2.006 - 2.006 2 3.973 - 3.975
- Sungai Limau
- 1.084 3.551 - 4.635 121 30 356 507
617 Ulakan Tapakis
- - - 334 334 - - 8
8 236
V Koto Kampung Dalam 791 - 1.391 1 2.183 - 1.025 82 1.107
7 V Koto Timur
777 - 1.948 - 2.725 - 928 66 994
28 VII Koto Sungai Sarik
970 601 363 - 1.934 - 33 382 415
- Jumlah
5.151 9.131 15.022
3.332 32.636 596
14.651 3.459 18.706
2.754 Keterangan: S2fw = faktor pembatas retensi hara dan ketersediaan air; S2w = faktor pembatas ketersediaan
air; S2ew = faktor pembatas tingkat bahaya erosi dan ketersediaan air; S2frw = faktor pembatas rentensi hara, media perakaran dan ketersediaan air; S3fr = faktor pembatas retensi hara dan
media perakaran; S3e = faktor pembatas tingkat bahaya erosi; dan S3r = faktor pembatas retensi hara.
Kelas kesesuaian lahan aktual S3 sesuai marjinal dengan faktor pembatas bahaya erosi S3e merupakan yang paling luas yaitu sebesar 14.651 ha. Sebaran
yang paling luas terdapat di Kecamatan Sungai Geringging seluas 3.973 ha 27,12, disusul Kecamatan IV Koto Aur Malintang seluas 2.884 ha 19,68.
Faktor pembatas pada S3 yang paling kecil ditemukan pada faktor pembatas retensi hara dan media perakaran S3fr yaitu seluas 596 ha.
Faktor-faktor pembatas tersebut dapat diperbaiki dengan memberikan masukaninput yang diperlukan, sehingga lahan tersebut dapat ditingkatkan
produktivitasnya. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007, usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek ekonomisnya. Artinya,
apabila lahan tersebut diatasi kendalanya, harus diperhitungkan apakah secara ekonomis masih dapat memberikan keuntungan terhadap pengusahaan kebun
kakao tersebut.
46
5.2 Kelayakan Finansial Pengusahaan Kebun Kakao Rakyat di Kabupaten Padang Pariaman
Analisis kelayakan finansial pengusahaan kebun kakao rakyat meliputi perhitungan Net Present Value NPV, Net Benefit Cost Ratio Net BCR dan
Internal Rate of Return IRR yang merefleksikan tingkat kelayakan pengusahaan
kebun kakao rakyat setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga 12 Discount Rate
. Analisis ini dilakukan dalam skala pengusahaan kebun kakao seluas satu hektar, selama umur produktif tanaman kakao yaitu tanaman sampai berumur dua
puluh tahun. Sampel nagari yang diambil merupakan perwakilan dari tiap kelas kesesuaian lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman kakao yaitu kelas
cukup sesuai S2 dan sesuai marginal S3. Disamping itu juga dipilih nagari yang sebagian besar penduduknya mengusahakan kebun kakao.
Asumsi yang digunakan dalam analisis ini bahwa produktivitas tanaman kakao mengalami peningkatan sampai umur lima belas tahun dan akan menurun
sampai umur dua puluh tahun. Selain itu, juga diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim dan tidak terjadinya wabah hama penyakit sehingga
produktifitas tanaman kakao tidak terjadi fluktuatif yang signifikan.
Hasil analisis kelayakan finansial pada dua nagari terpilih tertera pada Tabel 12, sedangkan rincian perhitungan analisis finansial dapat dilihat pada Lampiran 7
dan 8. Perhitungan analisis finansial ini berdasarkan data rataan struktur input dan output
dari masing-masing nagari, yang terdiri dari dua puluh responden sampel di masing-masing nagari.
Tabel 12 Analisis Kelayakan Finansial NPV, Net BC Ratio, IRR dan Payback Period
Kebun Kakao Rakyat dalam 1 ha di Kabupaten Padang Pariaman
NagariKecamatan Kelas Kesesuaian
Lahan NPV
DR = 12 Net BC
Ratio IRR
Payback Period
Pilubang Kec. Sungai Limau
S2 45.094.495
7,23 40,45
5 tahun 11 bulan
Kuranji Hulu Kec. Sungai Geringging
S3 35.985.486
5,07 33,39
7 tahun 2 bulan
Pola asumsi harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga konstan yaitu sebesar Rp. 18.000 per kilogram, yaitu harga yang berlaku di tingkat petani
pada saat melakukan pengumpulan data ke lapangan bulan Juli 2013. Tingkat suku bunga yang berlaku di asumsikan sebesar 12. Perbandingan atau
perbedaan rataan komponen input dan output dalam pengusahaan kebun kakao rakyat pada tiap kesesuaian lahan dapat dilihat pada Lampiran 15.
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa, pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman secara finansial layak untuk
dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan nilai NPV, Net BCR dan IRR yang memenuhi kriteria layak. Nilai NPV bernilai positif yaitu sebesar Rp
45.094.495 pada kelas cukup sesuai S2 dan Rp 35.985.486 pada kelas sesuai marginal S3, angka ini menunjukkan keuntungan yang diperoleh selama umur
produktif tanaman kakao. Nilai Net BCR yang lebih besar dari satu yaitu sebesar 7,23 pada kelas S2 dan 5,07 pada kelas S3, angka ini berarti bahwa setiap satu
47 rupiah Rp 1 yang diinvestasikan untuk pengusahaan kebun kakao pada kelas S2
akan memberikan tambahan manfaat atau keuntungan sebesar Rp 7,23 sedangkan pada kelas S3 sebesar Rp 5,07. Nilai IRR melebihi tingkat suku bunga yang
berlaku 12 yaitu sebesar 40,45 pada kelas S2 dan 33,39 pada kelas S3, hal ini menandakan pengusahaan kebun kakao rakyat masih memberikan keuntungan
bagi para petani di Kabupaten Padang Pariaman.
Dari Tabel 12 juga terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan antara nilai-nilai parameter analisis finansial pada nagari dengan kesesuaian lahan S2 di
bandingkan kesesuaian lahan S3. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada komponen input dan output pengusahaan kebun kakao pada masing-masing
lahan Lampiran 15. Perbedaan ini menandakan pada lahan dengan kesesuaian S3 memiliki faktor pembatas lebih besar dari pada lahan dengan kesesuaian S2, atau
dengan kata lain kualitas lahan S2 lebih baik dari lahan S3. Keadaan ini dicerminkan produktivitas tanaman kakao pada lahan S2 lebih tinggi dari pada
lahan S3. Dari analisis diketahui Nagari Pilubang dengan kesesuaian lahan S2 memiliki produktivitas rata-rata per tahun 733 kgha, sedangkan Nagari Kuranji
Hulu dengan kesesuaian lahan S3 memiliki produktivitas rata-rata per tahun yang lebih rendah yaitu sebesar 706 kgha. Penggunaan input pada masing-masing
lahan juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, pemakain pupuk pada lahan S2 yaitu sebesar Rp 784.250 per tahun lebih kecil dibandingkan dengan
lahan S3 yaitu sebesar Rp 1.457.750 per tahun. Begitu juga pemakaian obat- obatan dan tenaga kerja per tahunnya, pada lahan dengan kesesuaian lahan S2
pemakaian obat-obatan dan tenaga kerja berturut-turut sebesar Rp 469.500 dan Rp 1.855.750, sedangkan pada lahan dengan kesesuaian lahan S3 sebesar Rp 563.000
dan Rp 2.086.500.
Pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman yang tergambar dari dua nagari yang dijadikan sampel, rata-rata membutuhkan
investasi awal sebesar Rp 4.340.000. Investasi awal digunakan untuk pembelian bibit kakao, peralatan, upah tenaga kerja, pupuk dan obat-obatan. Biaya untuk
sewa lahan tidak dikeluarkan karena lahan yang digunakan petani merupakan lahan kaum atau keluarga yang diusahakan secara turun-temurun. Biaya
pemeliharaan per tahun dari tahun pertama sampai umur tanaman tidak produktif lagi umur 20 tahun berkisar antara Rp 3.066.075 sampai Rp 3.844.825. Biaya
pemeliharaan tersebut meliputi biaya pembelian pupuk, obat-obatan, peralatan dan upah tenaga kerja.
Pemeliharaan kebun kakao yang dilakukan petani di Kabupaten Padang Pariaman secara umum telah mengikuti petunjuk teknis yang dianjurkan oleh
instansi yang terkait, dalam hal ini yang menjadi leading sektor yang memberikan pembinaan dan penyuluhan adalah Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan
Kehutanan dan Ketahanan Pangan BP3K2P dan Dinas Pertanian Peternakan dan Kehutanan Distannakhut. Pemeliharaan yang dilakukan petani meliputi
pemupukan, penyiangan, pengendalian hama penyakit dan pemangkasan. Pemupukan umumnya dilakukan dua kali setahun, yaitu awal musim penhujan
dan pada akhir musim penghujan. Penyiangan dilakukan saat umur kakao 1
–3 tahun dilakukan dua sampai empat kali dalam setahun, bila umur kakao sudah
mencapai empat tahun biasanya penyiangan hanya dilakukan satu sampai dua kali setahun karena tajuk tanaman yang sudah rindang sehingga mengurangi atau
menghalangi pertumbuhan gulma dibawahnya.
48 Intensitas pengendalian hama biasanya semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya umur tanaman kakao, karena serangan hama penyakit semakin meningkat pada saat tanaman sudah berbuah berproduksi. Secara umum
pengendalian hama dilakukan dua sampai empat kali setiap tahunnya, tergantung dari tinggi rendahnya intensitas serangan hama dan penyakit. Hama yang sering
ditemuai petani di lapangan adalah Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella
Snellen, kepik penghisap buah yang disebabkan oleh Helopelthis sp dan penggerek batangcabang. Hama ini biasanya dikendalikan secara mekanis
oleh petani dengan melakukan pemangkasan, panen teratur dan sanitasi kulit buah kakao setiap habis panen, secara kimia petani dapat menggunakan obat-obatan
insektisida, sedangkan secara biologis dengan memanfaatkan musuh alami seperti semut.
Serangan penyakit yang sering ditemui petani berupa serangan jamur yang menyerang bagian batang, akar dan buah. Serangan jamur ini disebabkan oleh
Phytophthora sp. Penyakit ini meningkat pada saat musim penghujan karena
kondisi kelembaban kebun yang cukup tinggi. Biasanya pengendalian penyakit ini secara mekanis dapat dilakukan oleh petani dengan pemangkasan teratur, sanitasi
yaitu menimbun buah yang terserang penyakit, sedangkan dengan cara kimia melakukan penyemprotan fungisida.
Petani kakao di Kabupaten Padang Pariaman pada umumnya mulai melakukan pemangkasan pertama kali pada saat umur tanaman tiga tahun atau
saat tanaman kakao sudah mulai berbuah. Pemangkasan ini bertujuan untuk membentuk cabang produksi primer tanaman kakao. Pada tahun-tahun berikutnya
pemangkasan dilakukan dua sampai enam kali dalam setahun, sesuai dengan kondisi kebun. Pemangkasan ini burtujuan untuk membentuk cabang produksi
sekunder, membuang cabang air atau dengan maksud ingin mengurangi kelembaban udara pada kebun.
Tenaga kerja yang digunakan dalam pemeliharaan sebagian besar adalah tenaga kerja dalam keluarga, walaupun ada tenaga kerja luar keluarga tapi hanya
pada saat tertentu saja, bilamana tenaga kerja keluarga sudah tidak mencukupi lagi. Biasanya pemakaian tenaga kerja luar keluarga pada saat penanaman, panen
raya dua kali dalam setahun dan pada saat pemangkasan dalam skala besar satu kali sampai dua kali setahun. Dalam perhitungan analisis finansial tenaga kerja
dalam keluarga tetap dihitung sebagai biaya. Rata-rata upah tenaga kerja yang berlaku pada saat penelitian sebesar Rp 65.000oranghari.
Berdasarkan hasil analisis juga dapat diketahui waktu pengembalian modal payback period. Pada lahan kelas cukup sesuai S2 tingkat pengembalian
modalnya lebih capat dari dari lahan kelas sesuai marginal S3, dimana pada lahan S2 pengembalian modal sudah tercapai pada saat tanaman kakao berumur 5
tahun 11 bulan, sedangkan pada lahan S3 pada saat umur tanaman 7 tahun 2 bulan. Hal ini disebabkan karena produktivitas tanaman kakao pada lahan S2 lebih
tinggi dari lahan S3.
Pada penelitian ini juga dilakukan analisis sensitivitas sensitivity analysis. Menurut Gitingger 1986, analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali
kelayakan suatu kegiatan usaha, agar dapat mengetahui pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah atau ada kesalahan dalam menghitung biaya
dan manfaat.
49 Pada penelitian ini dilakukan analisis sensitivitas dengan menaikan biaya
input , mengetahui sampai sejauh mana pengusahaan kebun kakao rakyat masih
layak untuk dipertahan apabila terjadi kenaikan pada biaya input. Disamping itu juga ingin mengetahui sampai sejauh mana penurunan harga dan produksi kebun
kakao yang masih ditoleransi untuk pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman. Analisis ini dilakukan dengan asumsi faktor-faktor
lain tidak mempengaruhi ceteris paribus.
Hasil analisis sensitivitas dengan skenario menaikan biaya input pengusahaan kebun kakao rakyat pada lahan kelas cukup sesuai S2 dari layak
menjadi tidak layak terjadi pada saat biaya input dinaikan sebesar 189,89, sedangkan pada lahan kelas sesuai marginal S3 apabila biaya input dinaikan
sebesar 122,71. Apabila biaya input dinaikan sebesar nilai-nilai tersebut maka pengusahaan kebun kakao yang dilakukan petani tidak layak dilanjutkan atau
merugikan petani, seperti disajikan pada Tabel 13. Rincian perhitungan analisis sensitivitas skenario menaikan biaya input pada lahan S2 dan S3 dapat dilihat
pada Lampiran 9 dan 10.
Tabel 13 Analisis Kelayakan Finansial NPV, Net BC Ratio dan IRR Kebun Kakao Rakyat dalam 1 ha di Kabupaten Padang Pariaman dengan
skenario menaikan biaya input
NagariKecamatan Kelas Kesesuaian
Lahan NPV
DR = 12 Net
BC Ratio
IRR Kenaikan biaya
input sebesar
Pilubang Kec. Sungai Limau
S2 1,00
12 189,89
Kuranji Hulu Kec. Sungai Geringging
S3 1,00
12 122,71
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa apabila biaya-biaya input dinaikan sebesar nilai-nilai tersebut dengan asumsi faktor lain tetap ceteris paribus maka
secara finansial pengusahaan kebun kakao rakyat tidak layak lagi untuk diusahakan, hal ini dicerminkan dengan nilai NPV, Net BCR dan IRR tidak lagi
memenuhi kriteria suatu usaha layak untuk dijalankan. Nilai NPV sama dengan nol, berarti pengusahaan kebun kakao selama umur ekonomisnya tidak
memberikan manfaatkeuntungan kepada petani. Nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku 12 mengindikasikan bahwa pengusahaan kebun
kakao tidak lagi memberikan keuntungan bagi petani, dengan kata lain petani lebih baik menginvestasikan danamodalnya pada lembaga keuangan bank atau
usaha lain yang lebih menguntungkan. Begitu juga dengan nilai Net BCR sama dengan satu, berarti setiap penanaman modal sebesar Rp 1 untuk pengusahaan
kebun kakao petani hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1 TC=TR.
Selanjutnya analisis sensitivitas juga dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana penurunan harga jual komoditas kakao dan penurunan produksi
kakao per tahunnya yang menyebabkan terjadinya titik impas Break Even Point
BEP. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa titik impas BEP terjadi pada saat harga jual biji kakao sebesar Rp 6.209kg pada lahan S2 dan Rp
8.082kg pada lahan S3 dengan asumsi ceteris paribus. Ditinjau dari volume produksi titik impas BEP terjadi pada saat produksi kakao sebesar 228,28
kghatahun pada lahan S2 dan 281,89 kghatahun pada lahan S3. Hasil analisis