11 bahwa lahan-lahan dengan kelas kesesuaian lahan S1 memerlukan biaya yang
lebih kecil dibandingkan dengan lahan S2 dan S3. Menurut Baktiawan 2008, prioritas lokasi yang menjadi arahan pengembangan kakao disusun berdasarkan
kelas kesesuaian lahan dan penggunaan lahan sekarang. Prioritas satu diarahkan pada lahan-lahan yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu pada lahan
semak, padang rumput, tegalan, dan alang-alang. Prioritas dua merupakan lahan- lahan yang telah digunakan masyarakat yaitu pada penggunaan lahan kebun
rakyat. Lahan arahan pada perkebunan rakyat dimasukkan dalam prioritas dua karena lahan ini merupakan lahan yang telah diusahakan masyarakat.
2.3 Kelayakan Finansial Usaha Tani
Untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana aspek pengembangan usaha suatu komoditas pertanian maka perlu dikaji kelayakannya secara finansial.
Menurut Gittinger 1986, aspek finansial terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan dari usaha perkebunan kakao rakyat serta
waktu didapatkannya hasil. Untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya usaha tersebut, dikembangkan berbagai kriteria yang
pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh dengan menggunakan nilai sekarang present
value
yang telah didiskonto selama umur usaha produktif perkebunan kakao rakyat.
Cara penilaian jangka panjang yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis DCF atau Analisis Aliran Kas
yang didiskonto Gittinger, 1986. Analisis DCF mempunyai keunggulan yaitu bahwa uang mempunyai nilai waktu yang merupakan ciri-ciri yang
membedakannya dari teknik lain. Ciri pokok dari analisis DCF adalah menilai harga dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran
pembayaran tunai cash flow. Biaya dipandang sebagai negative cash flow sedangkan pendapatan dipandang sebagai positive cash flow.
Analisis sensitifitas digunakan untuk menghindari ketidakpastian perkembangan ekonomi di masa yang akan datang dan sering analisis proyek
didasarkan pada proyeksi-proyeksi sehingga ketidakpastian yang akan terjadi di masa yang akan datang, seperti terjadinya kenaikan biaya-biaya operasional,
terjadinya penurunan harga yang menyebabkan penurunan keuntungan dapat diminimalisasi Syahrani, 2003. Analisis kepekaansensitivitas dilakukan untuk
mengetahui sampai seberapa besar persen penurunan atau peningkatan faktor- faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari
layak menjadi tidak layak dilaksanakan Gittinger, 1986.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perkebunan kakao terhadap pendapatan petani maka dapat dilakukan analisis kelayakan finansial pengusahaan
perkebunan tersebut. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha tani kakao di Lampung Timur terlihat bahwa kelas kesesuaian lahan S2 dan S3 menunjukkan
nilai yang menguntungkan. Hal tersebut terlihat dari nilai NPV antara Rp 19,014,723
–Rp 31,990,514, nilai BCR antara 4–6, dan nilai IRR antara 20-31 yang keseluruhan parameter tersebut dihitung berdasarkan discount faktor 17
Baktiawan, 2008.
12
2.4 Rantai Pemasaran dan Keterpaduan Pasar
Tingkat efisiensi sistem pemasaran suatu usaha dapat diukur antara lain dengan pendekatan margin tataniaga dan keterpaduan pasar. Azzaino 1983
mendefinisikan margin tataniaga sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima petani produsen untuk
produk yang sama. Tomek dan Robinson 1977 mendefinisikan margin tataniaga sebagai berikut: 1 perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang
diterima produsen; 2 kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.
Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk mengevaluasi seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada suatu
tingkat lembaga tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya
adalah metode Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion 1986 dan Heytens 1986.
Berdasarkan analisis margin tata niaga dan keterpaduan pasar maka dapat diketahui sebarapa besar peranan petani dalam menentukan harga price maker
komoditas kakao. Menurut Baktiawan 2008 Kinerja pemasaran kakao di Lampung Timur cenderung belum efisien. Hal tersebut ditunjukkan dengan
besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran yang terlibat 31.06 dan tidak adanya keterpaduan harga pasar jangka panjang antara pasar
tingkat petani dan tingkat eksportir pedagang besar. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh panjangnya rantai pemasaran yang ada dan adanya senjang
informasi harga yang terjadi.
2.5 Peran Stakeholders dalam Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian merupakan salah satu tulang punggung pembangunan nasional dan implementasinya harus sinergis dengan pembangunan
sektor lainnya. Pelaku pembangunan pertanian meliputi departemen teknis terkait, pemerintah daerah, petani, pihak swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan
stakeholders lainnya. Koordinasi di antara pelaku pembangunan pertanian merupakan kerangka mendasar yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan dan
sasaran yang ditetapkan. Tujuan pembangunan pertanian adalah: 1 membangun sumberdaya manusia aparatur profesional, petani mandiri dan kelembagaan
pertanian yang kokoh; 2 meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan; 3 memantapkan ketahanan dan keamanan pangan; 4
meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian; 5 menumbuhkembangkan usaha pertanian yang dapat memacu aktivitas ekonomi
pedesaan; dan 6 membangun sistem ketatalaksanaan pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani. Sementara itu, sasaran pembangunan pertanian
yaitu: 1 terwujudnya sistem pertanian industrial yang memiliki daya saing; 2 mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; 3 terciptanya kesempatan kerja
bagi masyarakat pertanian; dan 4 terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian serta meningkatnya pendapatan petani Deptan, 2004.
13 Gambaran selama ini menunjukkan bahwa implementasi program
pembangunan pertanian relatif menjadi ranahnya para pemangku kepentingan utama yang secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi penting atas
keberlangsungan kegiatannya. Sementara itu, peran pemangku kepentingan lainnya yang terkena dampak, baik positif penerima manfaat maupun negatif di
luar kesukarelaan dari suatu kegiatan, relatif kurang dilibatkan secara hakiki. Oleh karena itu, pemahaman terhadap keberadaan eksistensi pemangku
kepentingan mutlak diperlukan. Peran pemangku kepentingan seyogianya diwujudkan dalam wadah forum organisasi guna penyamaan persepsi, jalinan
komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang kelancaran program pembangunan pertanian Iqbal, 2007
2.6 Prospek Pengembangan Perkebunan Kakao
Pengembangan perkebunan merupakan salah satu program pembangunan di sektor pertanian yang berperan cukup besar dalam rangka perbaikan ekonomi
wilayah termasuk ekonomi masyarakat yakni peningkatan pendapatan dan pemerataan usaha yang dapat menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan perkebunan agar dapat berkembang secara baik, berkelanjutan dan berkesinambungan, sangat berkaitan dengan segala aspek pendukung seperti
potensi sumberdaya lahan dan ketersediaan tenaga kerja yang ada di wilayah bersangkutan. Komoditas kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang prospektif serta berpeluang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena sebagian besar diusahakan melalui perkebunan rakyat 94.
Komoditas kakao penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja petani, mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri,
pengembangan wilayah serta pelestarian lingkungan Ditjen perkebunan, 2012.
Proporsi kepemilikan usaha perkebunan kakao terbesar di Indonesia adalah perkebunan rakyat seluas 1.555.596 ha 94 diikuti oleh perusahaan pemerintah
seluas 54.443 ha 3 dan perusahaan swasta seluas 50.220 ha 3 Ditjenbun, 2009. Selain areal eksisting, beberapa provinsi di Indonesia masih memiliki
potensi yang cukup besar untuk pengembangan komoditas tersebut, dengan dukungan ketersediaan lahan cukup luas yang secara teknis memenuhi syarat dan
SDM yang memadai. Oleh karenanya usaha pengembangan kakao tersebut sangat positif dan akan memberikan dampak yang mampu menggairahkan masyarakat
petani pada umumnya. Hal ini sesuai dengan visi pembangunan perkebunan 2010- 2014 yaitu
: ”Terwujudnya peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perkebunan ”, Ditjen perkebunan, 2012.
Komoditas kakao mempunyai peranan penting terhadap perekonomian nasional. Tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja bagi
sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia KTI serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga
subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US 701 juta Depperin, 2007.
Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao curah dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara