53 pemasaran sehingga mengakibatkan bertambahnya biaya pemasaran dan
keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga pemasaran. Pada rantai pemasaran dua lembaga yang terlibat lebih sedikit sehingga biaya yang masuk ke rantai
pemasaran lebih kecil. Hal ini tentu saja akan menguntungkan petani sebagai produsen. Pada rantai pemasaran satu, rantai pemasaran cukup panjang sehingga
biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran relatif besar. Lain halnya dengan rantai pemasaran tiga, jumlah lembaga pemasaran yang terlibat sama dengan
rantai pemasaran dua, hanya saja keuntungan pemasaran lebih besar dinikmati oleh pedagang pengumpul tingkat nagari.
Bagian harga yang diterima petani pada rantai pemasaran satu dan tiga sebesar 75, sedangkan pada rantai pemasaran dua sebesar 82,50. Berdasarkan
nilai di atas dapat diketahui bahwa rantai pemasaran dua lebih efisien dibandingkan rantai pemasaran satu dan tiga. Masih kecilnya bagian harga yang
diterima petani dan cukup besarnya margin pemasaran pada setiap rantai pemasaran, secara umum menunjukkan bahwa kinerja lembaga pemasaran biji
kakao di Kabupaten Padang Pariaman belum begitu efisien. Perhitungan nilai margin dan persentase margin pemasaran per kilogram biji kakao pada masing-
masing pelaku pasar dan rantai pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman tahun kondisi 2013 dapat dilihat pada Lampiran 16.
Pada rantai pemasaran dua, biasanya petani langsung menjual biji kakao ke pedagang pengumpul tingkat kecamatan di pasar kecamatan. Hal ini dilakukan
petani biasanya setiap kali hari pekan satu kali seminggu dan umumnya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan kakao yang cukup luas dan volume
produksi cukup besar. Walaupun memperoleh harga yang cukup tinggi, tetapi petani juga harus mengeluarkankan biaya transportasi. Pada rantai pemasaran ini
petani memberoleh harga jual biji kakao sebesar Rp 19.800 82,50 dari harga biji kakao yang diterima pedagang pengumpul tingkat kabupaten.
Dalam tataniaga biji kakao di Kabupaten Padang Pariaman, arus informasi harga kakao berasal dari pedagang pengumpul kabupaten, kemudian diteruskan
pedagang pengumpul kecamatan, terus ke pedagang pengumpul nagari dan petani. Hal ini menunjukkan bahwa petani hanya sebagai penerima harga price taker
dan tidak punya banyak pilihan untuk memasarkan biji kakao mereka, sehingga posisi tawar petani cukup lemah. Hal ini sejalan dengan Baktiawan 2008 yang
menyatakan kinerja pemasaran biji kakao di Lampung Timur cenderung belum efisien, karena besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran.
Dari segi keuntungan, akumulasi keuntungan yang diterima lembaga pemasaran pada setiap rantai pemasaran yaitu sebesar 16,81 pada rantai
pemasaran satu, 14,68 pada rantai pemasaran dua dan 18,14 pada rantai pemasaran tiga. Pada rantai pemasaran satu dan dua, keuntungan terbesar
diperoleh pedagang pengumpul tingkat kabupaten yaitu sebesar 7,60, sedangkan pada rantai pemasaran tiga keuntungan yang paling besar diperoleh pedagang
pengumpul tingkat nagari yaitu sebesar 10,54 dari harga jual biji kakao oleh pedagang pengumpul kabupaten.
Akumulasi biaya pemasaran yang dikeluarkan lembaga pemasaran pada setiap rantai pemasaran yaitu sebesar 8,19 pada rantai pemasaran satu, pada
rantai dua sebesar 5,69 sedangkan pada rantai pemasaran tiga sebesar 6,85 dari harga jual biji kakao oleh pedagang pengumpul kabupaten. Pada rantai
pemasaran tiga pedagang pengumpul tingkat nagari mengeluarkan biaya yang
54 paling besar yaitu sebesar 4,04. Hal ini sebanding dengan keuntungan yang
diperoleh. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul nagari berupa biaya transportasi dan biaya pengemasan. Rincian keuntungan dan biaya yang
dikeluarkan lembaga pemasaran pada tiap rantai pemasaran dapat dilihat pada Lampiran 16.
5.3.3 Integrasi Pasar
Integrasi pasar bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara harga jual biji kakao di tingkat petani dengan harga pada pedagang pengumpul tingkat
kabupaten harga yang menjadi rujukan. Model yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar dalam penelitian ini merujuk pada model yang
dikembangkan oleh Ravallion 1986 dan Heytens 1986. Koefisien 1+b
1
, b
2
dan b
3
-b
1
dari hasil analisis diperoleh dengan menggunakan software SAS dengan menginput data harga jual biji kakao di tingkat petani dan di tingkat
pedagang kabupaten dalam satu tahun terakhir Agustus 2012 sampai dengan bulan Juli 2013. Rincian data yang digunakan dalam analisis integrasi pasar dapat
dilihat pada Lampiran 18. Hasil analisis integrasi pasar tertera pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil dugaan parameter integrasi pasar komoditas kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Variabel bebas Peubah Parameter dugaan
Beta Standar error
of Beta Bedakala harga kakao di tingkat petani
P
ft-1
0,59 0,32
Selisih harga kakao di tingkat pedagang P
et
-P
et-1
DP
E
0,24 0,14
Bedakala harga
kakao di
tingkat pedagang P
et-1
0,25 0,18
Koefisien Determinasi R
2
0,74 Index of Market Connection
IMC 2,39
Dari Tabel 16, dihasilkan persamaan regresi keterpaduanintegrasi pasar harga biji kakao di tingkat petani P
ft
dengan harga biji kakao di tingkat pedagang pengumpul kabupaten P
et
sebagai berikut : P
ft
= 1+b
1
P
ft-1
+ b
2
P
et
- P
et-1
+ b
3
-b
1
P
et-1
menjadi: P
ft
= 0,59P
ft-1
+ 0,24P
et
- P
et-1
+ 0,25P
et-1
Dari persamaan regresi di atas dapat diinterpretasikan bahwa koefisien b
2
bernilai 0,24 merupakan nilai transmisi perubahan harga biji kakao dari harga di tingkat pedagang pengumpul kabupaten ke tingkat petani. Nilai b
2
yang semakin mendekati satu menunjukkan semakin baiknya keterpaduan pasar. Nilai koefisien
b
2
sebesar 0,24 berarti, apabila terjadi perubahan harga di tingkat pedagang pengumpul kabupaten sebesar 1 persen maka akan mengakibatkan perubahan
harga biji kakao di tingkat petani sebesar 0,24 persen ceteris paribus. Melihat kecinya nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa, perubahan harga biji kakao di
55 tingkat pedagang pengumpul kabupaten tidak ditransmisi secara sempurna ke
tingkat petani. Dari persamaan regresi di atas, nilai kontribusi harga biji kakao di tingkat
petani periode sebelumnya terhadap harga petani saat ini sebesar 0,59 nilai koefisien 1+b
1
dan kontribusi perubahan harga periode sebelumnya pada pedagang pengumpul terhadap pembentukan harga di tingkat petani berlaku saat
ini sebesar 0,25 nilai koefisien b
3
-b
1
. Nilai ini mengindikasikan bahwa pengaruh harga biji kakao di tingkat petani periode sebelumnya terhadap pembentukan
harga kakao periode berjalan lebih besar dibandingkan pengaruh harga di tingkat pedagang pengumpul kabupaten periode sebelumnya.
Tinggi rendahnya tingkat keterpaduan pasar antara harga biji kakao di tingkat petani dengan harga di tingkat pedagang pengumpul kabupaten harga
acuan dicerminkan oleh besarnya Index of Market Connection IMC. Dimana IMC = 1+b
1
b
3
-b
1
merupakan indeks hubungan antara kedua pasar tersebut. Semakin mendekati nol nilai IMC, berarti semakin baik integrasiketerpaduan
pasar, artinya adanya keterpaduan pasar jangka panjang yang cukup kuat antara harga pada tingkat pedagang pengumpul kabupaten dengan harga di tingkat
petani. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai IMC sebesar 2,39, berarti belum terjadi keterpaduan pasar yang kuat antara harga biji kakao di tingkat petani
dengan harga di tingkat pedagang pengumpul kabupaten. Keadaan ini mengindikasikan bahwa pedagang pengumpul menetapkan harga kepada petani
mengacu pada harga biji kakao yang berlaku periode-periode sebelumnya di tingkat petani. Hal ini diduga karena petani sebagai produsen memperoleh
informasi hanya dari pedagang pengumpul, sehingga mereka tidak punya pilihan lain untuk memasarkan hasil panen mereka tersebut.
Hasil tiga analisis di atas menunjukkan bahwa kinerja pemasaran biji kakao di Kabupaten Padang Pariaman belum efisien. Hal ini disebabkan panjangnya
rantai pemasaran, sehingga keuntungan tidak sepenuhnya didapatkan petani karena juga dinikmati oleh pedagang-pedagang pengumpul yang ada. Disamping
itu, tidak adanya perbedaan harga jual antara biji kakao yang difermentasi dengan biji kakao tanpa fermentasi asalan menyebabkan petani tidak melakukan
fermentasi, walaupun ada keinginan mereka melakukan hal tersebut.
Ketidakefisienan rantai pemasaran ini dapat diatasi salah satunya dengan membentuk lembaga pemasaran bersama antara petani melalui wadah kelompok
tani, sehingga rantai pemasaran dapat diperpendek. Selain itu dibutuhkan peran aktif lembagainstansi terkait terutama pemerintah, untuk melakukan pembinaan
dan penyaluran informasi kepada petani, sehingga petani mempunyai informasi terbaru tentang perkembangan harga komoditas kakao.
Pemerintah juga diharapkan agar dapat mendatangkan investor untuk mendirikan pabrik pengolahan biji kakao yang dapat menyerap hasil panen petani,
sehingga nilai jual biji kakao petani dapat ditingkatkan. Tahun 2010 Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman melalui leading sector Dinas Pertanian dan
Dinas Koperindag telah mendirikan sebuah pabrik mini pengolahan biji kakao di Nagari Sikucur Kecamatan V Koto Kampung Dalam. Biji kakao diolah menjadi
coklat bubuk, coklat batang, lemak coklat dan permen coklat. Kendala yang ditemui pabrik ini belum bisa beroperasi secara maksimal karena terbatasnya
kapasitas pengolahan sehingga produk yang dihasilkan belum bisa dilepas