2.1.2.1 Model Implementasi Kebijakan
Dalam implementasi kebijakan publik, dikenal beberapa model implementasi kebijakan, yaitu Tangkilisan, 2003:20:
a. Model Gogin
Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Gogin ini dapat mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal
pada keseluruhan implementasi, yaitu: 1 bentuk dan isi kebijakan, termasuk didalamnya kemampaun kebijakan untuk menginstruksikan proses implementasi,
2 kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana mauoun insentif laiina yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan 3 pengaruh
lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivsai, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.
b. Model Grindle
Grindel menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang
dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari: 1
Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi 2
Tipe-tipe manfaat 3
Derajat perubahan yang diharapkan 4
Letak pengambilan keputusan 5
Pelaksanaan program 6
Sumber daa yang dilibatkan
Universitas Sumatera utara
Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu
yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit pengambil kebijakan. Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan yang teridiri dari:
1 Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2 Karakteristik lembaga penguasa
3 Kepatuhan dan daya tanggap
Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangan konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan. Intensitas keterlibatan para
perencana, politisasi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana kebijakan akan bercampur baur mempengaruhi efektivitas implementasi.
Gambar 2.1: Model Implementasi Kebijakan Grindle
Sumber: Grindle, 1980:15
Universitas Sumatera utara
c. Model Van Meter dan Van Horn
Model kebijakan yang dikemukan oleh Van Meter dan Van Horn dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu:
1 Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan
keputusan kebijakan secara menyeluruh 2
Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi 3
Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai.
4 Karakteristik pelaksana, arinya karakteristik organisasi faktor krusial
yang menentukan berhasil tidaknya suatu program. 5
Kondisi sosial ekonomu dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan
6 Sikap pelaksana dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan
Van Meter dan Van Horn menegaskan bahwa pada dasarnya kinerja dari implementasi kebijakan adalah penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan
sasaran kebijakan tersebut Samodra, 1994:19.
d. Model Edward III
Menurut George C. Edward III ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor
komunikasi, sumber daya, struktur birokasi, dan disposisi Subarsono, 2005:90. 1.
Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
Universitas Sumatera utara
dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya rincian tugas dan prosedur pelayanan yang telah disusun oleh organisasi. Rincian
tugas dan prosedur pelayanan menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Selain itu struktur orgnisasi yang terlalu panjang akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi tidak
fleksibel. 2.
Komunikasi Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah
bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengethaui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus
diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah-perintah tersebut dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi harus akurat dan harus dimengerti
dengan cermat. Secara umum Edwards membahas tida indikator penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni:
1. Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi, yaitu adanya salah pengertian
yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di
tengah jalan. 2.
Kejelasan, yakni komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigumendua.
Universitas Sumatera utara
3. Konsistensi, yakni perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu
komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat
menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. 3.
Sumber Daya Sumber daya adalah faktor yang paling penting dalam implementasi
kebijakan agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya finansial. Tanoa
adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. Indikator-idnikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana
sumberdaya mempengaruhi implementasi kebijakan adalah: 1.
Staf. Sumber daya utama implementasi kenijakan adalah staf atau pegawai. Kegagalan sering terjadi dalam implementasi kebijakan,
salah satunya disebabkan oleh stafpegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.
2. Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk, yakni pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan
dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
3. Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel, dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung
Universitas Sumatera utara
sarana dan prasarana maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
4. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, makan dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik pula seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor
memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Faktor-faktor yang
menjadi perhatian Edward III mengenai disposisi dlam implementasi kebijakan terdiri atas:
1. Pengangkatan birokrasi. Sikap pelaksana akan menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
2. Insentif meupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
maslaha sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,
maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara
menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi
Universitas Sumatera utara
faktor pendorong yang membuat pada pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan
pribadi atau organisasi.
Gambar 2.2 Model Implementasi Edward III
Sumber : George III Edward :implemeting public policy, 1980
2.2 Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti telah tertarik meneliti kasus agama lokal di Indonesia. Misalnya Hasse J peneliti Sekolah Pasca Sarjana UGM, meneliti tentang
Kebijakan Negara terhadap Agama Lokal “Towani Tolotang” di Kabupatena Sidrai, Sulawesi Selatan 2010. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa Towani
Tolotang menghadapi diskriminasi dari dua arah, yaitu pertama dari pemerintah melalui berbagai peraturan yang membatasi pergerakan Towani Tolotang dalam
mengembangkan ajaran-ajaranya, dan kedua dari masyarakat yang tidak menginginkan Towani Tolotang tetap eksis. Dalam penelitian ini, Hasse
Universitas Sumatera utara
menemukan bahwa mereka yang ingin mendapatkan layanan publik sebagaimana warga negara yang lain berafiliasi pada agama Hindu yang dianggap mirip.
Dalam penelitiannya yang lain, Penaklukan Negara Atas Agama Lokal, Kasus Towani Tolotang di Sulawesi Selatan, Hasse J 2012 mengungkapkan
bahwa negara telah menempatkan agama pada posisi yang selalu diatur. Bahkan memposisikan agama sebagai sebuah entitas penting yang harus dikendalikan.
Demikian pula, dalam tulisan ini dapat ditemukan bagaimana respons masyarakat lokal terhadap keberadaan agama lokal sehingga agama lokal tidak hanya
ditempatkan pada posisi yang diatur, tetapi juga selalu digugat oleh lingkungan di sekitarnya.
Kiki Muhamad Hakiki, 2011
2
2
Peneliti dari IAIN Raden Intan Lampung.
dalam penelitiannya yang diberi judul Politik Identitas Agama Lokal, studi Kasus Aliran Kebatinan, menunjukkan
bahwa penganut agama lokal tidak takut bahkan pindah kepercayaan meski kerap kali peganut agama formal mengklaim mereka sesat. Namun, yang menarik dari
hasil penelitiannya itu bahwa agama resmi secara tidak sadar, sering bercampur keyakinan dengan kepercayaan agama lokal.
Seorang sarjana sosial, jurusan antropologi FISIP USU yang baru-baru ini mengakhiri status mahasiswanya mendapatakan gelarnya dengan skrispi berjudul
“Parmalim, Studi Deskriptif tentang Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim di Kota Medan”. Penelitian dengan metode kualitatif tersebut menunjukkan bahwa
strategi adaptasi penganut agama Malim dalam mempertahankan eksistensinya di kota Medan tergolong ke dalam adaptasi autoplastis. Adaptasi penganut agama
Malim sudah terbuka terhadap masyarakat tempat dia bermukim.
Universitas Sumatera utara
Mohammad Rosyid
3
2.3 Kebijakan Pengosongan Kolom Agama di KTP
, secara khusus melakukan penelitian tentang layanan khusus bagi pemeluk agama lokal. Penelitian yang fokus pada layanan pendidikan
bagi Masyarakat Samin, pemeluk agama Adam ini menunjukkan bahwa praktik pendidikan belum mengakomodir kebutuhan pendidikan khusus bagi pemeluk
agama lokal. Praktik pendidikan rumahan pada dasarnya pendidikan mengakomodir kebutuhan masyarakat Samin, akan tetapi, produk hukum tentang
homeschooling belum ada. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa pendidikan formal adalah solusi yang harus dipenuhi untuk pelayanan pendidikan
bagi pemeluk agama Samin. Dari penelusuran penelitian yang membahas tentang agama lokal di
Indonesia, maka penelitian yang membahas secara spesifik tentang pelayanan publik terhadap agama lokal Parmalim di kota Medan belum pernah diteliti. Oleh
karena itu, perlu diteliti dengan harapan hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi penganut agama Parmalim dalam memenuhi hak-haknya sebagai
warga negara serta pemerintah dalam membuat kebijakan.
2.3.1 Undang-Undang No 23 Tahun 2006 Tentang Administrsai Kependudukan