tradisional Jawa. Modernisasi busana terjadi sejajar dengan perubahan fungsi-fungsi dalam masyarakat. Pada zaman
dahulu, blangkon memang hanya dapat dibuat oleh para seniman ahli dengan pakem aturan yang baku. Semakin
memenuhi pakem yang ditetapkan maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Blangkon terdiri dari
beberapa tipe yaitu menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk
seperti onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai blangkon gaya Yogyakarta. Model trepes, yang disebut dengan gaya
Surakarta. Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang
berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang
blangkon. Sedangkan model blangkon yang mempunyai sisa kain agak panjang merupakan ciri khas dari blangkon
yang berasal dari wilayah Jawa Timur
”.
47
Identitas dapat dikategorikan sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang yang dijadikan jati diri, misalnya seorang
kelompok dipersatukan oleh persamaan dan kesamaan yang dimiliki. Identitas merupakan bagaimana individu atau kelompok
melihat dirinya sebagai konteks relasi sosial ataupun interaksi sosial. Tanpa melalui proses sosialisasi maka kebudayaan suatu
masyarakat akan hilang sehingga identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu akan hilang pula.
Proses dari identitas sosial merupakan proses yang mendasar untuk memahami perilaku kolektif. Hanya melalui
pengkategorian orang ke dalam kelompok tertentu akan dapat menghasilkan perilaku intergroup dimana akan mencari pelayan
angkringan yang hanya berasal dari orang Jawa. Dibanding suku lain sehingga kategori sosial tersebut akan menghasilkan identitas
untuk mereka.
47
Arbany Nurul Aini, “Angkringan: Arena Demokrasi Masyarakat Pekotaan dengan Simbolisme Kejawaan Studi Kasus: Tiga Angkringan di Jakarta”, Skripsi pada Universitas Negri
Jakarta, 2013, h 65, tidak dipublikasikan.
Orang akan menerima keanggotaan dari pengkategorian itu sebagai sesuatu yang relevan dengan persepsi diri mereka sendiri
dalam situasi tersebut. Identitas orang Jawa sebagai suatu pengungkapan diri terjadi pada dimensi budaya, identitas orang
Jawa yang sangat jelas adalah batik dan blankon yang digunakan hampir sebagian besar dalam upacara adat Jawa seperti dalam
acara pernikahan. Identitas angkringan di Pamulang dapat dilihat dari atribut-
atribut yang digunakan oleh penjualnya untuk menunjukan identitas asal daerahnya. Dengan adanya atribut-atribut demikian
maka akan semakin menunjukan eksistensi etnis Jawa di Kota Tangerang Selatan. Identitas etnik adalah sebuah nilai
kemasyarakatan yang dipaksakan dan begitu saja diterima oleh para anggota etnik tersebut dan proses sosialisasinya pada usia
pertumbuhan. Dengan adanya beberapa simbol kejawaan seperti kain
batik, blangkon, kethel tanah liat yang digunakan oleh beberapa pedagang angkringan di Jakarta membuktikan bahwa mereka
tidak melupakan dan meninggalkan kebudayaan walaupun berada di daerah yang bukan daerah asal mereka. Selain itu alat makan
yang digunakan pun mencerminkan masyarakat Jawa. Alat dapur yang digunakan angkringan yang berada di
Pamulang juga
menggambarkan bahwa
mereka masih
menggunakan alat dapur yang sederhana, yang berbeda dari rumah makan kuliner kedaerahan lainnya. Seperti gelas dan piring
yang terbuat dari kaleng. Ketel minum yang terbuat dari tanah liat, serta piring yang terbuat dari rotan, memasak menggunakan
arang. Dengan demikian angkringan masih mempertahankan
sebisa mungkin menggunakan alat dapur yang sama dengan angkringan yang berada di Jogjakarta.
Penggunaan simbol-simbol didalam angkringan dapat menunjukkan bahwa masyarakat Jawa pada khususnya bangga
dengan kebudayaan yang mereka punya. Dapat terlihat bahwa saat ini batik bukan hanya diakui sebagai Indonesia Heritage
tetapi sudah diakui sebagai world heritage. Masyarakat Jawa menunjukkan bahwa walaupun mereka adalah pendatang di kota
Jakarta namun mereka memiliki cara agar diakui eksistensinya yaitu dengan penggunaan simbol-simbol kedaerahannya.
Penggunaan alat memasak yang masih menggunakan arang, serta alat makan yang tradisional dan tidak lupa sego kucing
sendiri memberikan gambaran masyarakat Jawa merupakan orang-orang sederhana, hal ini dapat terlihat dari nasi kucing
disajikan dengan porsi yang sedikit dengan lauk sambal dan ikan teri mereka tetap dapat menikmati hidup.
Penduduk di Pamulang merupakan gabungan dari berbagai macam etnis. Salah satunya adalah etnis Jawa. Melihat banyaknya
masyarakat Jawa yang berada di Pamulang, pedagang angkringan menggunakan bahasa Jawa ketika melayani pembeli yang juga
berasal dari etnis Jawa. Dengan demikian dapat membuat interaksi sosial yang keakraban terjalin antara pembeli dengan
pedagang angkringan karena dengan adanya perasaan sama-sama perantauan maka hubungan emosional terjalin, dari mulai
membahas masalah sehari-hari, masalah kampung halaman, sampai dengan membicarakan wacana-wacana yang sedang
hangat di masyarakat.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Munculnya ide dan gagasan penelitian ini tak terlepas dari bantuan beberapa penelitian terdahulu, sejauh ini ada beberapa penelitian yang
mengkaji tentang usaha angkringan serta interaksi sosial. Penelitian
tesis milik
Sadhi Sanggakala
yang berjudul
“Penggunaan Jalan Di Kampung Kota Dan Perumahan Perumnas Sebagai Ruang Interaksi Sosial Kasus Pemukiman Kampung Cipulir, Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan dan Perumnas II, kelurahan Baktijaya, Depok Tahun 2006
”.
48
Penelitian ini berhasil mengidentifikasikan unsur-unsur pembentuk ruang interaksi pada ruang jalan. Secara terukur fisik unsur-
unsur pembentuk ruang interaksi meliputi kualitas dan bentuk keterlingkupan, orientasi, tempat duduk, lantai, sinar matahari, iklim,
sirkulasi, pejalan kaki, fungsi kegiatan hunian dan komersil, dan elemen pendukung kegiatan. Unsur-unsur fisik tersebut dikaji melalui intensitas
interaksi yang terjadi dalam kerangka waktu, kegiatan yang terjadi serta jenis kelamin dan usia pelaku interaksi. Ditinjau dari segi titik-titik spots
ruang kegiatan interaksi yang terjadi, terdapat perbedaan berdasarkan fungsi kegiatan hunian dan fungsi kegiatan komersial yang menjadi latar
interaksi. Perbedaan ruang interaksi sosial antara pemukiman kampung dan perumnas mempengaruhi intensitas pembentukan ruang interaksi baik
dari jumlah pengguna maupun lamanya waktu penggunaan ruang interaksi itu sendiri.
Penelitian skripsi milik Lolita Susan Ginzel dengan judul skripsi “Lapo Tuak, Arena Interaksi Sosial Bagi Masyarakat Batak Toba Studi
Kasus: Lapo Tuak Dame, Kelurahan Harapan Mulia, Jakarta Pusat Tahun 1984
”
49
. Penelitian ini mengungkapkan bahwa lapo tuak yang berada di Jakarta tidak hanya sekedar menjadi tempat makan, tetapi juga menjadi
48
Sadhi Sanggakala, “Penggunaan Jalan Di Kampung Kota Dan Perumahan Perumnas Sebagai Ruang Interaksi Sosial”, Tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok, 2006,
tidak dipublikasikan
49
Lolita Susan Ginzel, “Lapo Tuak, Arena Interaksi Sosial Bagi Masyarakat Batak Toba Studi Kasus: Lapo Tuak Dame, Kelurahan Harapan Mulia, Jakarta Pusat”, Skripsi pada
Universitas Indonesia, 1984, tidak dipublikasikan
tempat untuk berkumpul. Lapo tuak tetap dibutuhkan bagi orang Batak di Jakarta, karena sekalipun merupakan rumah makan tetapi lapo tuak juga
merupakan sarana untuk mempererat solidaritas masyarakat Batak melalui komunikasi tatap muka. Tidak hanya sekedar tempat untuk melepaskan
rindu tetapi juga merupakan sumber informasi, sehingga dalam kesibukan kehidupan di kota hubungan antara keluarga masih bisa di bina lewat lapo
tuak. Lapo tuak tidak lagi senegatif yang dibayangkan masyarakat di luar orang Batak. Namun, sekarang yang penting adalah peningkatan mutu ,
sehingga lapo tuak tidak hanya di kenal di kalangan orang Batak tetapi juga di kenal di tingkat masyarakat Indonesia umumnya.
Penelitian skripsi milik Donovan Bustami dengan judul “Interaksi
Sosial Penghuni Asrama Daksinapati Universitas Indonesia Studi Kasus Tentang Pertentangan Sosial Tahun 1985
”
50
. Dalam penelitian ini peneliti mengangkat masalah dampak dari adanya interaksi sosial antar penghuni
dari berbagai suku bangsa, penganut beberapa agama dimana masing- masing mempunyai nilai, norma yang berbeda sehingga masing-masing
mempunyai kepentingan yang berbeda pula. Dengan adanya beberapa kepentingan yang berbeda serta kepentingan dari beberapa pihak tersebut
ingin mengutamakan kepentingannya sendiri, maka ini akan ada kecenderungan untuk timbul pertentangan sosial dan seringkali disertai
dengan perkelahian antar penghuni asrama Daksinapati. Pada dasarnya pertentangan sosial bukan semata disebabkan oleh perbedaan nilai, norma,
perbedaan agama ataupun perbedaan kebudayaan, akan tetapi sebenernya yang menyebabkan terjadinya pertentangan di asrama lebih banyak
disebabkan karena sumber daya yang terbatas. Ada pihak yang ingin menguasai kamar tidur, ada pihak yang ingin mendapat pelayanan yang
lebih dari yang lain, ada pihak yang ingin mendapatkan peranan dan status yang lebih dari yang lainnya. Pertentangan sosial juga dapat terjadi karena
tidak ada komunikasi satu dengan yang lain. Artinya bahwa karena ada
50
Donovan Bustami, “Interaksi Sosial Penghuni Asrama Daksinapati Universitas Indonesia S
tudi Kasus Tentang Pertentangan Sosial”, Skripsi pada Universitas Indonesia, 1985, tidak dipublikasikan
penafsiran yang salah dari simbol yang diungkapkan oleh lawan bicara. Jadi demikian, pertentangan sosial tidak saja terjadi karena adanya
perbedaan agama, suku bangsa. Pada agama, suku bangsa yang samapun dapat terjadi pertentangan sosial.
Penelitian skripsi milik Arbany Nurul Aini, dengan judul
“Angkringan: Arena Demokrasi Masyarakat Pekotaan dengan Simbolisme Kejawaan Studi Kasus: Tiga Angkringan di Jakarta Tahun 2013
”
51
, Penelitian ini menjelaskan angkringan sebagai usaha informal perkotaan
yang menggunakan simbol-simbol kedaerahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena eksistensi kuliner di tengah gempuran modernisasi.
Keberadaan kuliner eksis tersebut lekat dengan tema besar sebuah ideologi budaya yang mencerminkan identitas tertentu. Penelitian ini berupaya
mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana kuliner angkringan. Juga berusaha menjawab wujud identitas kuliner kejawaan di tengah
masyarakat Jakarta yang heterogen. Kuliner di sini dapat diartikan sebagai suatu kebutuhan hidup manusia yang berkaitan dengan kegiatan konsumsi.
Kegiatan konsumsi ini dapat bersifat kompleks ketika bersinggungan dengan identitas budaya suatu masyarakat tertentu. Karena, pada
kenyataannya angkringan bukan hanya sebagai tempat untuk melepas dahaga dan lapar. Ada fungsi-fungsi sosial lain yang hadir di dalam
angkringan, seperti tepo seliro atau tenggang rasa, serta melatih kejujuran masyarakat. Angkringan juga merupakan salah satu ruang publik
masyarakat, dimana masyarakat mampu memberikan pendapat mereka mengenai isu-isu yang terkait dengan pemerintahan baik dalam bidang
ekonomi, sosial budaya, serta politik.Penelitian ini menggunakan studi kasus tiga angkringan, sebagai tempat di mana terdapat simbol-simbol
kedaerahan dan terwujudnya ruang publik sehingga demokrasi dapat terlihat berjalan di Angkringan. Dengan lokasi keberadaan Angkringan di
wilayah Jakarta, sekiranya dapat menggambarkan proses pembentukan
51
Arbany Nurul Aini, “Angkringan: Arena Demokrasi Masyarakat Pekotaan dengan Simbolisme Kejawaan Studi Kasus: Tiga Angkringan di Jakarta”, Skripsi pada Universitas Negri
Jakarta, 2013, tidak dipublikasikan
ruang publik masyarakat perkotaan namun tidak meninggalkan identitas kejawaan melalui simbol-simbol yang digunakan. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif, untuk menunjang proses pencarian data secara lebih mendalam. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini berdasarkan studi pengamatan terlibat, dengan wawancara dan observasi yang dilakukan sejak Februari 2012.
Wawancara dan observasi terutama dilakukan pada
informan kunci yang berasal dari enam
orang informan kunci, tiga berasal dari pedagang angkringan dan tiga yang lainnya berasal dari pengunjung angkringan yang berbeda di Jakarta. Juga
berdasarkan informasi dari empat informan tambahan yang berasal dari pengunjung dari kelas sosial yang berbeda. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa angkringan bukan hanya sekedar usaha informal yang dapat menjadi salah satu cara mengurangi pengangguran di Jakarta, namun juga
angkringan sebagai usaha kuliner berbasis kedaerahan yang harus terus dijaga dari gempuran usaha kuliner yang berasal dari luar negeri.
Angkringan juga merupakan ruang publik masyarakat perkotaan yang mampu menimbulkan dan menunjukan bahwa diskursus demokrasi terjadi
di angkringan walaupun dalam skala yang masih kecil, namun walau demikian dapat terlihat bahwa sesungguhnya masyarakat indonesia masih
perduli dengan keadaan negaranya. Penelitian skripsi milik Klara Puspa Indrawati dengan judul
“Pembentukan Ruang Kolektif Oleh Masyarakat Studi Kasus : Angkringan
Tugu Yogyakarta.
Tahun 2012
”
52
Penelitian ini
mengungkapkan dalam praktek spasial, ruang publik yang tidak berfungsi secara efektif ditransformasikan oleh masyarakat menjadi ruang yang
digunakan secara kolektif. Masyarakat mendasarkan proses perancangan ruang kolektif pada budaya setempat agar ruang tersebut dapat berfungsi
secara efektif. Relasi sosial antar pelaku di ruang kolektif menghasilkan jarak yang mendefinisikan batasan ruang. Ruang kolektif ini lalu menjadi
52
Klara Puspa Indrawati 2012 Pembentukan Ruang Kolektif Oleh Masyarakat Studi Kasus : Angkringan Tugu Yogyakarta, Studi Arsitektur Universtas Indonesia