Tindakan Sosial Perspektif Fungsionalis

antar perseorangan, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial merupakan kunci dalam sendi-sendi kehidupan sosial karena tanpa berlangsungnya proses interaksi tidak mungkin terjadi aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara sederhana interaksi sosial dapat terjadi apabila dua orang saling bertemu, saling menegur, saling berkenalan, dan memengaruhi. Pada saat itulah interaksi sosial terjadi. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh individu di tengah masyarakat untuk menciptakan suatu kegiatan yang bisa bersatu dengan individu lainnya dan bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama merupakan tindakan yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat secara umumnya. Maka hal itu bisa memungkinkan untuk terjadinya aktivitas-aktivitas di dalam masyarakat dan itu merupakan proses terbentuknya interaksi sosial. Interaksi sosial juga sangat berguna untuk mempelajari berbagai permasalahan masyarakat yang ada. Dengan mengetahui serta memahami pola interaksi yang sedang terjadi disuatu masyarakat maka akan tahu perihal kondisi-kondisi suatu masyarakat. Apakah masyarakat itu hidup dengan keadaan baik- baik saja atau sedang ada masalah yang terjadi. Interaksi sosial kelihatannya sederhana. Orang bertemu lalu berbicara atau sekedar bertatap muka. Padahal sebenarnya interaksi sosial merupakan suatu proses yang cukup kompleks. Hal itu tergantung pada situasi dan kondisinya. Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a Adanya pelaku dengan jumlah lebih dari satu b Adanya komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol- simbol c Ada dimensi waktu yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung d Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat. 16

c. Faktor-Faktor Interaksi Sosial

Ada beberapa faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial, yaitu: 1. Faktor Imitasi Faktor imitasi mempunyai peranan sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat membawa seseorang mematuhi kaidah- kaidah yang berlaku. 2. Faktor Sugesti Dalam ilmu jiwa sosial sugesti dapat dirumuskan sebagai satu proses dimana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa dikritik terlebih dahulu. 3. Faktor Identifikasi Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik sama dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Di sini dapat mengetahui, hubungan sosial yang berlangsung pada identifikasi adalah lebih mendalam daripada hubungan yang berlangsung atas proses-proses sugesti maupun imitasi. 4. Faktor Simpati Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada 16 Basrowi, Pengantar Sosiologi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, h. 139. proses identifikasi. Bahkan orang dapat tiba-tiba merasa tertarik pada orang lain dengan sendirinya karena keseluruhan cara-cara tingkah laku menarik baginya. 17 Dari keempat faktor diatas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial dapat terjadi karena adanya faktor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati yang terdapat dalam suatu tindakan sosial yang kemudian berubah menjadi suatu interaksi sosial. Dari penjelasan faktor diatas interaksi merupakan kegiatan memengaruhi, mengubah dan memperbaiki kelakuan individu yang lain. Interaksi sosial terjadi tidak terlepas dari adanya proses timbal-balik yang mempengaruhi seseorang yang saling mengerti maksud serta tujuan masing-masing pihak saat proses itu terjadi. Cara mempengaruhi seseorang biasanya melalui kontak. Kontak disini biasanya berlangsung melalui kegiatan fisik, seperti dalam mengobrol, mendengar, melihat, memberikan isyarat-isyarat dengan menggerakkan badan dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui tulisan dan media-media komunikasi lainnya.

d. Syarat-Syarat Interaksi Sosial

Dalam proses sosial, baru dikatakan terjadi interaksi sosial apabila telah memenuhi persyaratan sebagai aspek kehidupan bersama, yaitu: a Kontak sosial social contact Istilah kontak berasal dari kata Latin, yaitu crun atau con, yang berarti bersama-sama dan tangere yang berarti menyentuh. Secara harfiah, kontak berarti bersama-sama menyentuh. Akan 17 Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, Jakarta: Prenada Media Gruop, 2007, h. 93 tetapi dalam pengertian sosiologis, dapat dikatakan bahwa bersentuhan tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yang pertama antara orang-perorangan. Proses ini terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses di mana anggota masyarakat yang baru mempelajari nilai-nilai dan norma-norma di dalam masyarakat dimana dia menjadi anggota. Kedua ialah antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, misalnya apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat. Dan yang ketiga antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. b Komunikasi communication Arti terpenting komunikasi adalah suatu proses seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain. Melalui tafsiran pada perilaku pihak lain, seseorang mewujudkan perilaku sebagai reaksi terhadap maksud atau peran yang ingin disampaikan oleh pihak lain itu. Dapat terwujud melalui pembicaraan, gerak-gerik badan atau sikap perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. 18 Dari penjelasan syarat-syarat interaksi sosial penulis dapat menyimpulkan bahwa, interaksi sosial terjadi apabila suatu kegiatan telah terdapat kontak sosial dan komunikasi didalamnya. Dengan adanya komunikasi tersebut, mereka yang ada di dalam komunikasi ini mampu memutuskan reaksi apa yang harus dilakukan karena sudah mengetahui sikap dan perasaan dari pihak lain. Meskipun begitu kontak dapat terjadi tanpa komunikasi. 18 Basrowi Op,cit., h. 140

e. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Dalam interaksi terdapat bentuk-bentuk yang terjadi, bentuk dari interaksi ini lahir karena interaksi itu sendiri di lakukan oleh dua belah pihak. Masing-masing pihak akan menunjukkan reaksinya masing-masing akibat adanya kontak serta komunikasi yang terjadi dalam interaksi sosial. Seperti yang diungkapkan Basr owi, “Bentuk-bentuk interaksi sosial secara mendasar ada empat macam bentuk interaksi sosial yang ada dalam masyarakat. 1 kerjasama cooperation, 2 persaingan competition, 3 akomodasi atau penyesuaian diri accomodation, 4 pertentangan atau pertikaian conflict. ” 19 Akan tetapi, bentuk pokok interaksi sosial tidak terjadi secara berkesinambungan. Bila melihat urutan bentuk interaksi sosial tersebut bisa dikatakan suatu interaksi dimulai dari adanya kerjasama, kemudian menjadi sebuah persaingan lalu akomodasi dan berakhir dengan pertentangan. Akan tetapi, semua itu bisa terjadi berdasarkan pada situasi atau kondisi tertentu. Ada pula bentuk suatu interaksi diawali dengan adanya persaingan. Lalu selanjutnya akan menjadi pertikaian dan terjadi akomodasi kemudian mengahasilkan kerjasama. Semua tergantung pada reaksi atau respon yang diberikan oleh pihak-pihak yang melakukan interaksi. Dalam penggolongan yang lebih luas tentang bentuk-bentuk interaksi sosial menurut Ng Philipus dan Nurul Aini, bahwa Gillin dan Gillin melihat adanya dua macam proses yang timbul akibat terjadinya interaksi sosial. “pertama, proses asosiatif processes of association yang terbagi dalam tiga bentuk khusus: kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Kedua, proses yang 19 Ibid., h. 145 disasosiatif processes of disasociation yang terbagi lagi kedalam bentuk: persaingan, kontravensi dan pertikaian conflict .” 20 1. Proses asosiatif association processes, yang mendukung seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu. Adapun proses ini dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: a. Kerjasama cooperation Para sosiolog menganggap bahwa kerjasamalah yang merupakan proses utama. Memahami kerjasama untuk menggambarkan sebagian besar bentuk-bentuk interaksi sosial atas segala macam bentuk interaksi tersebut dapat dikembalikan pada kerjasama. 21 Betapa pentingnya fungsi kerjasama digambarkan oleh Charles H. Cooley di dalam bukunya Sociological Theory and Social Research. Yang dikutip oleh Soerjono Soekanto: “Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan- kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang terpenting dalam kerjasama yang berguna ”. 22 b. Akomodasi Akomodasi mengarah pada dua arti yang menunjuk suatu keadaan dan proses. Akomodasi yang menunjukkan suatu keadaan berarti ada suatu keseimbangan equilibrium dalam interaksi antara individu atau kelompok manusia dalam kaitannya 20 Ng. Philipus. Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, h. 23 21 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h. 65 22 Ibid., h.66 dengan norma dan nilai sosial dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi yang menunjukkan usaha manusia untuk menyelesaikan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai suatu kestabilan. 23 c. Asimilasi Asimilasi adalah proses sosial dalam taraf lanjut. Ditandai dengan adanya usaha untuk mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok manusia. Meliputi usaha untuk meningkatkan semangat kesatuan dan persatuan diantara mereka dengan cara mempertinggi kesatuan tindakan, sikap dan proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama. 24 2. Proses disasosiatif, dalam proses ini dibedakan menjadi 3 yaitu: a. Persaingan Persaingan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia bersaing mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang menjadi perhatian umum. Berbagai cara dilakukan dengan menarik perhatian publik atau membuat prasangka, sehingga mempertajam prasangka tanpa melakukan kekerasan. Ada beberapa tipe persaingan, yaitu: persaingan ekonomi, persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, dan terakhir persaingan ras. 25 b. Kontravensi Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan antara 23 Ng. Philipus, dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, h.25 24 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; PT Raja Grafindo persada 1998, h.73 25 Ng. Philipus, dan Nurul Aini. loc.cit. h. 29 persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian, atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang. 26 c. Pertentangan Hal ini terjadi karena suatu pribadi atau kelompok menyadari adanya perbedaan tertentu yang terdapat diantara kelompok-kelompok masyarakat lain. Perbedaan ini meliputi ciri-ciri fisik, emosi, unsur kebudayaan, pola perilaku, perbedaan dalam tingkatan ekonomi, perbedaan agama dan perbedaan lainnya. 27 Dalam kontak sosial dapat terjadi hubungan yang positif dan negatif, adapun kontak sosial yang bersifat positif terjadi karena hubungan antara kedua belah pihak yang saling pengertian dan menguntungkan dari masing-masing pihak yang mengarah pada bentuk kerjasama. Sehingga, hubungan dapat berlangsung lebih lama dan bahkan berulang-ulang. Sedangkan kontak yang negatif sebaliknya terjadi karena hubungan antara kedua belah pihak tidak pengertian atau merugikan salah satu pihak ataupun keduanya, sehingga mengakibatkan suatu pertentangan atau konflik. Berdasarkan penjelasan diatas penulis dapat simpulkan bahwa, bentuk-bentuk interaksi pada dasarnya adalah asosiatif dan disasosiatif. Asosiatif sendiri merupakan proses menuju terbentuknya persatan atau integrasi sosial. Disasosiatif merupakan proses perlawanan. Di dalam asosiatif mempunyai bentuk-bentuk antara lain, kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Dan 26 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1998, h.87 27 Ng. Philipus, dan Nurul Aini. loc.cit. h. 32 disasosiatif sendiri dibedakan kedalam tiba bentuk yaitu, persaingan, kontravensi, dan pertentangan.

3. Masyarakat Perkotaan

a. Teori Perspektif Tentang Masyarakat

1. Perspektif Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik

Perbedaan dalam pengelompokkan ini secara rinci dibahas oleh Emile Durkheim. Durkheim membedakan antara antara kelompok yang didasarkan solidaritas mekanik dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat masih hidup sederhana. Dalam masyarakat solidaritas mekanik kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup secara terpisah. Masing- masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing- masing tanpa memerlukan bantuan dari kelompok lain. Solidaritas organik merupakan solidaritas yang mengikat masyarakat dan telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. 28 Dapat disimpulkan bahwa, solidaritas mekanik merupakan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sedangkan, solidaritas organik merupakan masyarakat yang tinggal di perkotaan.

b. Pengertian Masyarakat

Masyarakat pada umumnya sudah memiliki kedekatan satu sama lain. Kedekatan ini terjadi dikarenakan mereka sudah lama mengenal masing-masing dan menjalani rutinitas kehidupan di dalam lingkungan yang sama. Ini yang menyebabkan mereka harus melakukan adanya interaksi satu sama lain. Tak jarang mereka sudah menganggap satu sama lain seperti saudara. 28 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004, h. 128 Menurut Basrowi, “Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab syaraka yang berarti ikut serta, berpartisipasi. Di dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius , berarti kawan.” 29 Sedangkan menurut Koentjaraningrat, “Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana agar warganya dapat saling berinteraksi. Negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.” 30 Masyarakat memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Elly M. Setiadi beserta kawan- kawan, “ 1 kumpulan orang, 2 sudah terbentuk dengan lama, 3 sudah memiliki system social atau struktur sosial tersendiri, 4 memiliki kepercayaan, sikap, dan perilaku yang dimiliki bersama.” 31 Seperti yang dikutip Basrowi dari pendapat Ralph Linton, “masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.” 32 Di dalam masyarakat juga harus memiliki suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka. Menurut Koentjaraningrat bahwa , “Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan 29 Basrowi, Pengantar Sosiologi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, h. 37 30 Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, h. 115 31 Elly M. Setiadi. Rama Abdul Hakam. Ridwan Effendi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, h.80 32 Ibid., h. 38 itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu, dengan perkataan lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.” 33 Menurut Abu Ahmadi yang di kutip Basrowi, menyatakan bahwa “masyarakat harus mempunyai ciri-ciri: a harus ada pengumpulan manusia dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang. b telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu. c adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.” 34 Jadi dapat disimpulkan, masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan bukan hanya kumpulan atau kerumunan orang dalam waktu sesaat, seperti kerumunan orang di terminal atau pasar. Dan di dalam kebersamaan yang cukup lama terjadi interaksi sosial.

c. Masyarakat Perkotaan

Antara desa dan kota secara secara sepintas kilas hanya mengenai perbedaan geografisnya saja, tetapi bila dilihat secara mendasar tidaklah demikian. Kota dan desa mempunyai perbedaan yang unik dan kompleks sekali. Baik dilihat dari segi jumlah penduduknya, sosial ekonominya, kebudayaan, tata nilai dan normanya. Kota adalah sebagai pusat pendomisian yang bertingkat- tingkat sesuai dengan sistem administrasi negara yang bersangkutan. Di samping itu kota juga merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan komunikasi. Sehingga dengan adanya sistem komunikasi dan transportasi yang baik, tidaklah aneh kalau kota tersebut merupakan jaringan 33 Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, h. 117 34 Basrowi, Pengantar Sosiologi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, h. 41 ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota itu sendiri bahkan negara pada umumnya. Maka dari itu bagi kota yang letaknya strategis baik dari lalu lintas darat, laut maupun udara, akan berkembang dengan pesat. “Seorang sosiolog Belanda merumuskan kota sebagai suatu pemukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian non-agraris dan tataguna tanah yang beraneka ragam, serta dengan pergedungan yang berdirinya berdekatan.” 35 Menurut S. Menno dan Mustaman Alwi, Dilihat dari segi fisik, “kota adalah suatu pemukiman yang mempunyai bangunan- bangunan perumahan yang berjarak relatif rapat dan yang mempunyai sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas yang relatif memadai guna memenuhi kebutuhan penduduknya. Rumusan ini terlepas dari besarnya jumlah penduduk. Yang utama disini ialah gedung-gedung dan bangunan-bangunan yang letaknya berdekatan, dan memiliki sarana dan prasarana umum serta lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan bersama penduduknya ”. 36 Pertambahan penduduk dan kemajuan teknik merupakan dua hal yang sangat besar pengaruhnya atas situasi dan perkembangan masyarakat. Perkembangan yang dimaksud adalah suatu pertumbuhan yang menjadikan masyarakat selalu berubah bertambah. Makin besar pertambahan penduduk, makin nampak pula ciri perkotaan suatu tempat. Pertambahan penduduk ada dua kemungkinan, yaitu adanya kelahiran maupun perpindahan. Pertambahan karena perpindahan yang biasanya sangat kuat atau besar. Penduduk dari desa-desa sekitar kota tertentu banyak berdatangan untuk mencari pekerjaan dan nafkah di luar agraris. Sebab di kota dianggap dapat menciptakan berbagai pekerjaan, 35 S. Menno dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan, Jakarta: CV Rajawali, 1992, h. 24 36 Ibid., sehingga mengundang anggota masyarakat di sekitarnya untuk datang ke kota. Sehingga tidak aneh kalau di kota jumlah penduduk cepat bertambah. Semakin padat penduduk kota, maka berkurang kebebasan indvidu, semakin tajam persaingan antar manusia sehingga akan mendorong terciptanya organisasi-organisasi kolektif, demi terjaminnya kebutuhan hidup serta pembelaan kepentingan mereka. Ikatan sosial dan ikatan kekeluargaan menjadi lemah, pudar, dan menghilang, sedang yang ada hanyalah organisasi kolektif dan organisasi resmi. Sebuah kota pada hakikatnya merupakan suatu tempat pertemuan antara bangsa. Di desa lapangan gerak tidak terlalu luas karena adanya ikatan adat serta sistem pengendalian sosial social control yang agak kuat. Sehingga hubungan antara kota dengan daerah sekitarnya di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi mempunyai pengaruh yang aktif. Walaupun kota memiliki fungsi demikian terhadap daerah sekitarnya, akan tetapi kehidupan fisik kota tergantung pada daerah sekitarnya itu. 37 Walaupun jumlah penduduknya padat, hidup berdekatan satu sama lain, tetapi hubungan diantara mereka terjadi sepintas kilas saja, kurang akrab dan dingin. Hidup di antara tetangga yang sangat berdekatan, tetapi terasa sepi dan hampa. Perasaan malu, enggan, gengsi dan takut menjiwai setiap anggotanya masyarakat kota dalam menjalin hubungan bertetangga. Semua tali hubungan dijalin secara formal dan kaku. Sifat kerukunan dan gotong royong yang asli dan menjadi tradisi telah menipis, yang diganti dengan sifat individualistis dan materialistis. Masyarakat kota lebih mengarah pada perhitungan rugi laba yaitu yang memberi keuntungan pada dirinya. Sifat gotong royong 37 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada 2005 h. 158 mereka ganti dengan uang, sedang ia sendiri akan melakukan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Di dalam hidup bertetangga saling bersaing, yang diukur secara materi yang dimilikinya. Maka dari itu hidup di kota sebenarnya kurang aman atau tenteram, di samping individualistis dan kikir. Rasa suka atau duka harus dipikul sendiri oleh anggota masyarakat yang bersangkutan bersama keluarganya. Uluran tangan dari para tetangga sulit untuk diharapkan. Namun juga pernah kita jumpai ada anggota masyarakat yang juga dermawan tetapi itupun terjadi sangat jarang. Bahkan sifat dermawan tersebut kadang-kadang mempunyai maksud tertentu. Bagi masyarakat kota kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa kehidupan magis religius, biasanya cukup terarah dan ditekankan pada pelaksana ibadah. Upacara-upacara keagamaan sudah berkurang, demikian pula upacara-upacara adat sudah menghilang. Hal ini disebabkan bahwa masyarakat kota sudah menekankan pada rasional pikir dan bukan pada emosionalnya. Semua kegiatan agama, adat berlandaskan pada pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Antara warga masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, juga terdapat perbedaan dalam perhatian, khususnya terhadap keperluan-keperluan hidup. Di desa-desa yang utama adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama daripada kehidupan, hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah dan sebagainya. Lain dengan orang- orang kota yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Soerjono Soekanto menjelaskan, ada beberapa ciri lagi yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu: 1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan agama di desa. Ini disebabkan cara berpikir yang rasional, yang didasarkan pada perhitungan eksak yang berhubungan dengan realita masyarakat. 2. Orang kota pada umumnya, dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarga. 3. Pembagian kerja diantara warga kota juga lebih tegas dan punya batas-batas nyata. Di kota, tinggal orang-orang dengan aneka warna latar belakang sosial dan pendidikan yang menyebabkan individu memperdalami suatu bidang kehidupan khusus. Ini melahirkan suatu gejala bahwa warga kota tak mungkin hidup sendirian secara individualistis. 4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa, karena sistem pembagian kerja yang tegas tersebut diatas. 5. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. 6. Jalan kehidupan yang cepat dikota mengakibatkan pentingnya faktor waktu, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. 7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar. 38 Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Sebenarnya perbedaan tersebut tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat modern, 38 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 156- 157 seberapapun kecilnya desa pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Pembedaan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan karena adanya hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisme. Masyarakat perkotaan yang mana kita ketahui itu selalu identik dengan sifat yang individual, egois, materialistis, penuh kemewahan, dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang mewah dan pabrik-pabrik yang besar. Asumsi dasar kita tentang kota adalah tempat kesuksesan seseorang. Dari penjelasan masyarakat perkotaan diatas, penulis dapat simpulkan bahwa masyarakat perkotaan lebih dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupannya berbeda dengan masyarakat pedesaan. Akan tetapi, kenyataannya di perkotaan juga masih banyak terdapat beberapa kelompok pekerja-pekerja di sektor informal, misalnya tukang becak, penjual angkringan, tukang sapu jalanan, pemulung samapai pengemis. Bila kita telusuri masih banyak juga terdapat perkampungan-perkampungan kumuh tidak layak huni.

4. Kebudayaan

a. Teori Perspektif tentang Kebudayaan

1. Perspektif Fungsionalis

Kalangan fungsionalis cenderung melihat perubahan kebudayaan sebagai bentuk disfungsional bagi sistem sosial. Fungsionalisme lebih melihat bagaimana komponen-komponen kebudayaan berjalan dalam masyarakat daripada menganalisa perubahan-perubahan kebudayaan. Kalangan fungsionalis mengutamakan solidaritas dalam hal perbedaan budaya dalam konteks bagaimana unsur-unsur budaya bisa memperbaiki atau mempertahankan keseimbangan sosial. 39

2. Perspektif Marxian

Marxian berpendapat bahwa, “kebudayaan itu diciptakan oleh kelompok dominan dalam masyarakat yang memanfaatkan ide dan nilai-nilai kebudayaan untuk meningkatkan kepentingan diri mereka sendiri. Karena itu perspektif ini melihat kebudayaan sebagai salah satu alat unutk mendominasi”. 40 Marxian menganggap perubahan kebudayaan sebagai aspek yang diharapkan dalam kehidupan sosial.

b. Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat, “berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.” 41 Kebudayaan merupakan posisi penting dalam kehidupan manusia. Dengan begitu, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan begitupun sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dimana masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, sehingga fungsi kebudayaan itu sendiri dapat dijadikan sebagai faktor pendorong dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau masyarakat dapat menentukan sikapnya sendiri terhadap dunia berdasarkan pada pengetahuan yang ada pada kebudayaan. 39 Ibid., h. 67 40 Ibid. 41 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, h. 146 Seperti yang dikutip dalam buku karangan Abu Ahmadi, “masyarakat tidak dapat dipisahkan dari pada manusia, karena hanya manusia saja yang hidup bermasyarakat, yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain dan saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak. Sebaliknya manusiapun tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Seorang manusia yang tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat, tidak dapat menunaikan bakat-bakat kemanusiaannya yaitu mencapai kebudayaan. Dengan kata lain dimana orang hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan ”. 42 Dapat penulis simpulkan bahwa, kebudayaan merupakan sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan yang kemudian digunakan untuk menginterpretasi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup.

c. Bentuk-Bentuk Kebudayaan

Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menggambarkan. Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan itu hidup. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud dari kebudayaan ini disebut sistem sosial mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul satu sama lain selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. 42 Abu Ahmadi, Pengantar Sosiologi, Semarang:C.V. Ramadhani, 1975, cet. 1, h.57. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat. 43 Dari penjelasan bentuk-bentuk kebudayaan diatas Koentjaraningrat menjelaskan bahwa, terdapat tiga wujud kebudayaan. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma. Wujud ini masih berupa pemikiran saja dan belum ada wujud fisiknya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola. Wujud ini berupa kebudayaan yang dituangkan menjadi suatu kegiatan kehidupan manusia. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Wujud ini sudah sepenuhnya dapat kita lihat wujudnya karena sudah tertuang dalam suatu media atau karya manusia.

d. Unsur Tradisional Kejawaan

Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas desa, kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang diluar warga masyarakat bersangkutan. Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk khusus atau karena diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial khusus. Dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya khusus. Berdasarkan corak khusus, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain. 44 43 Koentjaraningrat, op.cit., h. 150-151 44 Arbany Nurul Aini, Angkringan: Arena Demokrasi Masyarakat Pekotaan dengan Simbolisme Kejawaan Studi Kasus: Tiga Angkringan di Jakarta, Skripsi pada Universitas Negri Jakarta, 2013, h 52, tidak dipublikasikan. Kebudayaan dalam hal ini budaya Jawa merupakan suatu sistem yang berhubungan dengan simbol-simbol tertentu, dikenal dan diketahui serta disebarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Etnis Jawa merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki berbagai macam simbol untuk menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat Jawa, seperti bahasa, tata busana, perilaku, dan cita rasa. Bahasa Jawa terdiri dari dua macam yaitu bahasa Jawa kasar dan bahasa Jawa halus. “Dengan mengingat budaya dianggap sebagai simbol, yang mengandung makna-makna tertentu, berarti ada sesuatu di dalam kebudayaan yang perlu dibaca, ditafsir maknanya sehingga pada gilirannya hasil pemaknaan dan penafsiran tersebut akan diketahui dan dibagikan kepada masyarakat serta diwariskan pada generasi sebelumnya . ” 45 Penggunaan bahasa Jawa yang dilakukan oleh para pedagang angkringan juga dapat menjadikan sebagai identitas mereka berasal, dan hampir seluruh pelanggan yang datang ke angkringan memanggil pedagang dengan sebutan pakde. Dalam kesehariannya pedagang angkringan masih sangat sering menggunakan bahasa Jawa untuk melayani para pelanggannya. Mulai dari para pelanggan datang sering kali mereka disambut dengan sapaan khas Jawa yaitu, monggo mas’e dan monggo mbak’e yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti silahkan mas yang merupakan sapaan untuk laki-laki dan mbak sapaan khas untuk perempuan. Dengan demikian pedagang angkringan menggunakan bahasa Jawa sebagai salah satu identitas yang digunakannya. Selain bahasa sebagai identitas adapula batik yang kerap digunakan oleh pedagang angkringan. Batik merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Dengan adanya 45 John Scott, Sosiologi the Key Concepts, Jakarta: PT. Grafindo, 2011, h. 72.