Klasifikasi Tunanetra Kajian tentang Tunanetra
kurangnya mobilitas akan menggangu kapasitas seorang anak untuk mengeksplorasi lingkungannya.
b. Faktor Bahasa Ketunanetraan mengakibatkan kurang memiliki pengalaman
mengenai asosiasi visual, pengolahan kosa kata berlangsung secara lambat. Pada anak yang dapat melihat, kata “lompat” dapat
diasosiasikan dengan melihat orang atau gambar anak yang sedang melompat. Pada anak-anak yang buta, kata-kata yang diucapkan
membutuhkan gerakan oral, terutama kata-kata yang tidak mereka ketahui sebelumnya dan mereka harus meniru gerakan dari apa yang
sedang dibicarakan, sebagai contoh, anak harus diajarakan gerakan melompat untuk mengajarkan makna dari kata “lompat”.
Menurut Burlingman Rini Hildayani, dkk, 2007: 8.7, perkembangan bahasa pada anak buta pada awalnya sedikit terlambat
tetapi sekali mereka mampu berbicara, mereka akan berbicara dengan lancar dan mempunyai kosa kata yang banyak. Anak yang buta juga
mengalami kesulitan untuk memahami komunikasi nonverbal, karena komunikasi nonverbal umumnya bersifat visual misalnya menaikkan
alis, mengangkat bahu, mereka kurang efektif untuk berespons terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut.
c. Kemampuan Konseptual Masih terdapat pertentangan di antara para ahli mengenai
kemampuan kognitif pada anak buta. Salah satu konsep yang cukup
sulit dipahami oleh anak buta adalah konsep tentang ruang. Meskipun demikian, menurut Birn Rini Hildayani, dkk, 2007: 8.7, konsep ruang
dapat diajarkan kepada orang yang buta. Orang buta belajar konsep ruang dengan menggunakan indera
non-visual. Suara dapat menyediakan tanda “clue” untuk arah dan jarak dari suatu objek tetapi tidak dapat memberikan ide tentang objek
tersebut. Objek dengan jarak yang sangat jauh dan memerlukan penglihatan seperti awan, objek yang sangat besar seperti gunung, atau
objek yang sangat kecil seperti bakteri, tidak dapat dipersepsi atau dirasakan, dan hanya dapat dijelaskan dengan analogi.
d. Kegiatan Bermain Anak dengan gangguan penglihatan umumnya lebih sering
melakukan permainan yang tidak membutuhkan interaksi dengan orang lain “solitary play”. Mereka dapat bermain pura-pura
“sociodramatic play” meskipun temannya kurang imajinatif. Menurut Johnson, Christie, Yawkey Rini Hildayani, dkk, 2007: 8.8 kegiatan
bermain yang melibatkan motorik halus dan kasar juga tergolong kurang sering dilakukan. Selain itu, mereka juga kurang memahami
kegunaan dari sebuah mainan. e. Faktor Personal dan Sosial
Banyak penelitian tentang anak buta menemukan bahwa kebutaan memiliki konsekuensi yang serius dan tidak dapat
dihindarkan bagi perkembangan anak. Masalah-masalh muncul lebih
karena cara masyarakat memperlakukan mereka. Reaksi masyarakat terhadap orang butalah yang menentukan apakah penyesuaian diri
mereka kurang atau tidak. Pendapat itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bauman Rini hildayani, dkk, 2007: 8.8.
Menurutnya, tidak ada dampak personal dan sosial yang bersifat spesifik dari kehilangan penglihatan. Meskipun demikian, ia
mengamukakan bahwa kebanyakan dari dampak tersebut berbentuk ketidakmatangan dan perasaan tidak aman.
Penyandang tunanetra mempunyai ciri khusus atau karakteristik antara lain sebagai berikut: Sari Rudiyati, 2003: 16
1. Mengembangkan verbalisme Keterbatasan akan pengalaman visual mengakibatkan penyandang
tunanetra banyak menirukan lingkungan orang awas katakan tanpa benar-benar mengerti maknafakta yang dialami. Hal ini menimbulkan
penyandang tunanetra gemar berbicara secara berlarut-larut. 2. Suka berfantasi
Kurangnya informasi visual, menyebabkan penyandang tunanetra suka berfantasi.
3. Berpikir kritis Keterbatasan akan informasi visual sering memotivasi penyandang
tunanetra untuk selalu berpikir kritis. Hal itu merupakan hasil analisis pikir anak tunanetra yang tajam, karena keingintahuan yang tinggi.
Anak tunanetra memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut: Mohammad Efendi, 2006: 44
a. Adanya keterbatasan akan informasi visual maka anak tunanetra mengalami kesulitan dalam memahami konsep abstrak yang
membutuhkan indera penglihatan. b. Ketidakberfungsinya indera penglihatan mengakibatkan anak tunanetra
mengalami kesulitan dalam mempersepsikan konsep yang sulit dihadirkan dalam bentuk benda asli maupun miniatur.
Berdasarkan berbagai karakteristik anak tunanetra yang telah dikemukakan di atas maka dapat diketahui bahwa ketidakberfungsinya
indera penglihatan mengakibatkan anak tunanetra mengalami hambatan dalam memahami konsep abstrak dan mempersepsikan konsep yang sulit
dihadirkan dalam bentuk benda asli maupun miniatur. Selain itu, dikarenakan mengalami hambatan dalam memahami konsep serta
informasi yang bersifat hafalan, daya ingat anak tunanetra akan berdampak kurang baik. Anak tunanetra menggunakan indera pendengaran yang
dijadikan sebagai wadah untuk mendapatkan informasi yang kemudian akan disimpan ke dalam otak. Mengoptimalkan indera pendengaran pada
anak tunanetra membantu dalam proses pembelajaran bagi anak tunanetra yang diperlukan untuk meningkatkan daya ingat anak tunanetra terhadap
informasi yang diterima karena anak tunanetra memiliki keingintahuan yang tinggi.