pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, antar siswa di dalam kelas memiliki hubungan yang baik dan bersaing secara sehat,
serta saling membantu dan bekerja sama dalam kelompok belajar. Hal ini terlihat dari proses pembelajaran yang sedang
berlangsung yaitu pada saat diskusi kelompok dan presentasi. Kelompok yang memiliki jawaban berbeda tidak memaksa agar
pendapat kelompoknya diterima tetapi menanyakan kepada peneliti untuk memberi penguatan terhadap jawaban yang
benar. Dalam kelompok diskusi juga dapat terlihat setiap siswa saling membantu dalam kelompoknya, diperkuat dengan
adanya leader dalam setiap kelompok yang turut serta membantu siswa lain yang kurang mampu dalam kelompoknya.
b. Hasil Belajar Siswa Aspek Afektif
Hasil belajar siswa kelas X
1
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta pada aspek afektif diperoleh dari lembar observasi
kegiatan siswa selama pembelajaran pada siklus I dan siklus II. Ketercapaian hasil belajar siswa aspek afektifpresentasenya
dapat dihitung dengan menghitung jumlah keseluruhan skor pada lembar observasi siswa dibagi dengan skor total yang
seharusnya diperoleh oleh siswa lalu dikalikan dengan 100. Lembar observasi dalam lampiran 14-17. Selanjutnya,
presentase hasil aspek afektif siswa dikategorikan dalam kriteria afektif tinggi, sedang, atau rendah. Hasil analisis aspek
afektif siswa siklus I dan siklus II dalam lampiran 21 dan 22.
Hasil belajar siswa pada aspek afektif dapat dilihat pada tabel yang disajikan di bawah ini :
Tabel 17. Hasil Belajar Siswa Aspek Afektif Siklus I dan Siklus II
No Jenis data
Hasil Siklus I
Siklus II 1
Presentase tertinggi 72,91
77,5
2
Presentase terendah 66,67
55,84
3
Jumlah siswa dengan kriteria tinggi
27 18
4
Jumlah siswa dengan kriteria sedang
3 12
5
Jumlah siswa dengan kriteria rendah
Tidak ada Tidak ada
6
Rata-rata nilai 67,84
82,84
7 Ketuntaan klasikal
70,66 68,31
8 Target keberhasilan
75 75
9 Kualifikasi
Belum tercapai
Belum tercapai
Berdasarkan tabel 17, dapat dilihat perbedaan hasil yang diperoleh pada siklus I dan siklus II. Pada siklus I dengan
presentase 72,91 merupakan presentase tertinggi dan 66,67 merupakan presentase terendah. Dari 30 siswa, 27 siswa
memiliki kriteria afektif tinggi dan 3 siswa memiliki kriteria afektif sedang. Tidak ada siswa yang memiliki kriteria afektif
rendah. Rata-rata nilai afektif siswa yang diperoleh pada siklus pertama
adalah 67,84.
Ketuntasan klasikalpresentase
ketuntasan yang diperoleh siswa pada hasil belajar aspek afektif siklus I adalah 70,66 di mana hasil tersebut belum
mencapai target keberhasilan yaitu 75 . Dengan demikian kualifikasi hasil belajar siswa aspek afektif dapat dikatakan
belum tercapai.
Pada siklus II dengan presentase 77,5 merupakan presentase tertinggi dan 55,84 merupakan presentase
terendah. Dari 30 siswa, 18 siswa memiliki kriteria afektif tinggi dan 12 siswa memiliki kriteria afektif sedang. Tidak ada
siswa yang memiliki kriteria afektif rendah. Rata-rata nilai afektif siswa yang diperoleh pada siklus pertama adalah 82,84.
Ketuntasan klasikalpresentase ketuntasan yang diperoleh siswa pada hasil belajar aspek afektif siklus pertama adalah 68,31
di mana hasil tersebut juga belum mencapai target keberhasilan yaitu 75 . Hasil belajar siswa pada aspek afektif mengalami
penurunan skor dari siklus I ke siklus II. Dengan demikian kualifikasi hasil belajar siswa aspek afektif dapat dikatakan
belum tercapai. Presentase masing-masing indikator pada hasil belajar
siswa aspek afektif siklus I dan siklus II disajikan dalam tabel berikut ;
Tabel 18. Presentase Setiap Indikator Hasil Belajar Aspek Afektif Siswa Siklus I dan Siklus II
No Indikator
Presentase Siklus I
Siklus II
1 Perhatian
77,08 71,49
2 Antusias
62,92 63,75
3 Serius
82,5 71,67
4 Kerja sama
72,71 60,14
5 Rasa ingin tahu
47,08 36,39
6 Percaya diri
76,67 63,34
7 Tanggung jawab
87,5 71,39
8 Menghargai teman
70,98 39,97
Dari tabel 18 di atas dapat dilihat bahwa pada siklus I indikator “rasa ingin tahu” merupakan indikator dengan
presentase terendah dengan nilai 47,08 sedangkan indikator “tanggung jawab” merupakan indikator dengan presentase
tertinggi dengan nilai 87,5 . Pada siklus II indikator rasa ingin tahu juga merupakan
indikator dengan presentase terendah dengan nilai 36,39 sedangkan indikator serius merupakan indikator dengan
presentase tertinggi dengan nilai 71,67 . Untuk mengetahui hasil belajar siswa kelas X
1
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, peneliti menggunakan lembar
observasi afektif siswa. Lihat lampiran 15 dan 16. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan model pembelajaran kooperatif
dengan metode TAI Team Assisted Individualization yang dilakukan oleh peneliti di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta
kelas X
1
pada materi dunia tumbuhan, hasil menunjukan adanya penurunan aspek afektif siswa dari siklus I ke siklus II
pada materi dunia tumbuhan. Hal ini ditunjukan dengan ketuntasan klasikal pada siklus I mencapai 70,66 sedangkan
pada siklus II mengalami penurunan menjadi 68,31 . Lihat tabel 18. Ketuntasan klasikal ini dilihat dari sikap siswa selama
mengikuti proses pembelajaran yang memperoleh nilai tinggi dan sedang.
Aspek afektif adalah aspek yang berhubungan dengan sikap dan nilai. Dalam penelitian ini, aspek afektif yang
digunakan sebagai indikator adalah perhatian, antusias, serius, kerja sama, rasa ingin tahu, percaya diri, tanggung jawab, dan
menghargai teman. Berikut ini disajikan grafik perbandingan presentase hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II.
Gambar 5. Grafik presentase masing-masing indikator aspek afektif siklus I dan siklus II
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa masing-masing indikator dalam hasil belajar siswa pada spek kognitif
mengalami penurunan dari siklus I ke siklus II kecuali pada indikator “antusias”. Hasil belajar aspek afektif siswa dengan
indikator “antusias” mengalami peningkatan sebesar 0,83 dari 62,92 di siklus I menjadi 63,75 di siklus II.
Peningkatan hasil belajar siswa pada aspek afektif dari indikator “antusias” ini sesuai dengan salah satu tujuan
pembelajaran kooperatif dalam Ibrahim, dkk 2000 yaitu meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam
tujuan sosial, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja
10 20
30 40
50 60
70 80
90
77.08 62.92
82.5 72.71
47.08 76.67
87.5 70.98
71.39 63.75
71.67 60.14
36.39 63.34
71.39 39.97
P r
e se
n ta
se
Indikator yang diamati
Siklus I Siklus II
siswa dalam tugas-tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif ini unggul dalam
membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Model struktur penghargaan kooperatif juga telah dapat meningkatkan
penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar, dalam hal ini siswa
merasa antusias metode TAI Team Assisted Individualization. Dari semua indikator hasil belajar siswa pada aspek
afektif selain indikator ‘antusias’ siswa yang mengalami peningkatan, indikator-indikator yang lain di antaranya
“perhatian”, “serius”, “kerja sama”, “rasa ingin tahu”, dan percaya diri mengalami penurunan presentase dari siklus I ke
siklus II. Penurunan presentase paling besar dari hasil belajar
siswa pada aspek afektif adalah pada indikator ‘menghargai teman’ yaitu sebesar 31,01 dari siklus I sebesar 70,98
menjadi 39,97 di siklus II. Penurunan presentase pada indikator tersebut disebabkan ketidakcocokan anggota dalam
satu kelompok. Kelompok yang dibentuk adalah kelompok yang ditentukan oleh peneliti tetapi siswa menginginkan
anggota kelompok dipilih atau ditentukan sendiri oleh siswa. Menurut Suwarsono dalam Widyaningsih, 2007 apabila siswa
diberikan kebebasan memilih sendiri kelompoknya, maka siswa akan cenderung memilih teman-teman yang disukai, misalnya
karena sama kemampuannya, sama jenis kelaminnya, atau
sama asal-usul daerahnya. Hal ini tentu saja berlawanan dengan salah satu komponen dari pembelajaran kooperatif dengan
metode TAI Team Assisted Individualization Slavin, 2005 yaitu pembentukan kelompok bersifat heterogen yang mewakili
seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras, dan etnisitas. Dengan kelompok yang ditentukan
oleh peneliti, siswa merasa tidak cocok dengan anggota kelompoknya sehingga rasa menghargai di antara siswa
menurun dengan presentase yang paling tinggi. Indikator
“percaya diri”
mengalami penurunan
presentase yaitu sebesar 13,33 dari siklus I sebesar 76,67 menjadi 63,34 di siklus II. Penurunan presentase indikator
“percaya diri” ini disebabkan karena siswa tidak dibiasakan untuk
mengemukakan pendapat
pada pembelajaran-
pembelajaran sebelumya ketika dimintai pendapat. Selain itu siswa juga tidak biasa tampil di depan kelas untuk
menyampaikan atau mempresentasikan jawabannya. Dengan adanya hal tersebut, siswa menjadi tidak percaya diri selama
penerapan metode TAI Team Assisted Individualization pada saat siswa harus mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.
Pada saat siswa diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya, kelompok selalu menunjuk leader atau siswa
yang sudah sering tampil untuk menyampikan hasil diskusi kelompoknya. Hal ini juga merupakan salah satu indikasi yang
menyebabkan menurunnya rasa percaya diri siswa. Indikasi
lain yang menyebabkan menurunnya presentase indikator “percaya diri” dari siklus I ke siklus II adalah pada siklus I
peneliti meminta salah satu perwakilan dari setiap kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi kelompoknya sehingga hal
ini tentunya akan memicu dominasi dari siswa yang sudah sering tampil di depan kelas. Siswa yang selalu aktif di kelas
tentunya yang akan terus dipilih oleh anggota kelompoknya untuk maju ke depan kelas menyampaikan hasil diskusi
kelompoknya. Dengan melihat hal tersebut, maka pada siklus berikutnya siklus II peneliti sendiri yang menentukan siapa
anggota kelompok yang akan menentukan hasil diskusi kelompoknya dengan menyebutkan nomor presensi siswa yang
dipilih. Pada siklus II ini, peneliti lebih memilih siswa yang pasif atau tidak terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran
sehingga hal ini dapat dijadikan faktor penyebab terjadi penurunan hasil belajar siswa pada aspek afektif dari siklus I ke
siklus II. Indikator “kerja sama” juga mengalami penurunan
presentase sebesar 12,57 dari siklus I 72,71 menjadi 60,14 siklus II. Penurunan indikator “kerja sama” ini disebabkan
siswa merasa bosan untuk bekerja sama dalam kelompok yang sama. Rasa bosan siswa ini ditunjukan dengan adanya siswa
yang meminta kepada peneliti agar Lembar Kerja Siswa LKS dikerjakan secara individu dan bukan kelompok. Hal ini tentu
saja berlawanan dengan salah satu ciri dari pembelajaran
kooperatif menurut Nur 2000, dalam Triana, 2010 yaitu salah satu ciri pembelajaran kooperatif adalah siswa bekerja sama
dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya. Dengan memperhatikan ciri dari pembelajaran
kooperatif tersebut, peneliti menentukan pengerjaan Lembar Kerja Siswa LKS tetap didiskusikan dalam kelompok belajar
yang sudah ditentukan dan bukan secara individu. Hal inilah yang menyebabkan siswa merasa bosan untuk bekerja sama
dalam kelompok. Indikator “tanggung jawab” mengalami penurunan
presentase sebesar 16,11 dari siklus I 87,5 turun menjadi 79,39 siklus II. Dalam Widyaningsih 2007, ada beberapa
hal yang perlu dipenuhi dalam model pembelajaran kooperatif agar lebih menjamin para siswa bekerja secara kooperatif, salah
satunya yaitu siswa yang tergabung pada sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah
masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota
kelompok. Penurunan indikator tersebut disebabkan dalam kegiatan diskusi kelompok, siswa cenderung menemukan
jawaban sendiri untuk mengerjakan soal-soal pada Lembar Kerja Siswa LKS. Dengan kecenderungan siswa tersebut
maka rasa tanggung jawab siswa untuk secara kooperatif memecahkan masalah tidak akan tercapai. Selain itu,
menurunnya presentase indikator “tanggung jawab” juga turut
disebabkan rasa ketidakcocokan siswa di dalam kelompoknya karena anggota kelompok yang ditentukan oleh peneliti bukan
dipilih sendiri oleh siswa. Indikator “serius” juga mengalami penurunan presentase
sebesar 10,83 dari siklus I 82,5 menjadi 71,67 siklus II. Penurunan indikator “serius” ini disebabkan siswa merasa
bosan dengan suasana belajar di kelas. Hal ini ditunjukan
dengan sikap siswa yang tidak serius mendengarkan penjelasan dari peneliti mengenai materi yang diajarkan. Saat peneliti
menyampaikan materi, siswa juga ikut mengobrol dengan teman sekelompoknya atau dengan teman dari kelompok lain
yang posisi duduknya berdekatan sehingga siswa tidak serius memperhatikan penjelasan peneliti. Kecenderungan siswa
untuk saling
mengobrol dengan
teman lain
tanpa memperhatikan dengan serius penjelasan peneliti tentang
materi dunia tumbuhan juga dipengaruhi oleh posisi duduk antar kelompok yang sangat dekat atau berhimpitan. Kondisi
ini juga dikarenakan ruang kelas yang masih terlalu sempit sehingga memberikan peluang yang cukup bagi siswa untuk
mengganggu atau mengobrol dengan teman lain. Dengan kondisi demikian tentunya sangat mempengaruhi presentase
sikap serius siswa yang menurun. Indikator “rasa ingin tahu” mengalami penurunan
presentase sebesar 10,69 dari siklus I 47,08 turun menjadi 36,39 siklus II. Menurunnya presentase indikator “rasa ingin
tahu” ini dapat diamati melalui jarangnya siswa yang bertanya kepada peneliti. Kegiatan bertanya di kelas adalah aktivitas
yang penting dalam proses belajar mengajar. Aktivitas di kelas adalah pertanda bahwa kegiatan belajar mengajar di dalam
kelas itu ada. Namun fakta yang terjadi selama pembelajaran berlangsung adalah masih banyak dari siswa yang justru diam
ketika guru bertanya atau memberikan kesempatan untuk bertanya di kelas. Bertanya adalah cara untuk mengungkapakan
rasa keingintahuan akan jawaban yang tidak atau belum diketahui. Rasa ingin tahu merupakan dorongan atau
rangsangan yang efektif untuk belajar dan mencari jawaban Suhito, 1987 dalam Ribowo, 2006. Selama proses
pembelajaran berlangsung siswa cenderung pasif dalam kelas. Mereka hanya mendengarkan dan jarang pula ada siswa yang
mencatat apa yang dijelaskan oleh peneliti, hanya beberapa siswa yang terlihat masih mencatat apa yang disampaikan oleh
peneliti dan mengajukan pertanyaan. Dalam observasi selama penelitian ini faktor yang menyebabkan siswa jarang bertanya
adalah perasaan takut untuk bertanya. Menurut Skinner dalam Santrock, 2008, adanya rasa takut siswa bertanya adalah
karena pemberian reinforcement yang negatif. Hal ini terasa menyedihkan bila pola pikir yang terbentuk adalah pola pikir
takut bertanya oleh pemberian reinforcement yang negatif. Bagaimanapun juga kegiatan bertanya adalah suatu hal yang
penting untuk membuka wawasan dan mencari informasi yang
ingin diketahui. Faktor lain yang menyebabkan siswa jarang bertanya adalah siswa lebih mudah dan percaya diri untuk
bertanya seputar pelajaran yang ia tidak mengerti kepada teman sebayanya ketimbang pada gurunya. Menurut Aji P. 2008
mengatakan bahwa, siswa lebih mudah dan percaya diri untuk bertanya seputar pelajaran yang ia tidak mengerti kepada teman
sebayanya ketimbang pada gurunya. Dengan kondisi yang demikian kelas bukan menjadi tempat yang efektif untuk
belajar padahal kelas adalah tempat di mana siswa dapat menimba dan memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-
banyaknya dan salah satu cara yang efektif untuk mendapatkannya adalah dengan cara bertanya. Selain siswa
lebih percaya kepada teman, penyebab siswa enggan atau takut untuk bertanya adalah adanya tekanan. Seperti yang
diungkapkan Morgan dan Saxton, 2006, penyebab siswa enggan atau takut untuk bertanya adalah adanya tekanan
pribadi. Siswa merasa mendapatkan tekanan dari diri sendiri ketika siswa bertanya dirinya takut dianggap bodoh oleh teman
sekelasnya. Indikator “perhatian” mengalami penurunan presentase
yang paling kecil yaitu sebesar 5,69 dari siklus I 77,08 turun menjadi 71,39 siklus II. Menurunya perhatian siswa
turut dipengaruhi oleh rasa ingin tahu dalam diri siswa. Rasa ingin tahu merupakan dorongan atau rangsangan yang efektif
untuk belajar dan mencari jawaban Suhito, 1987 dalam
Ribowo, 2006. Rendahnya rasa ingin tahu siswa juga turut mempengaruhi
rasa perhatian
siswa kepada
materi pembelajaran dan penjelasan dari peneliti. Hasil observasi pada
indikator “perhatian”
menunjukan siswa
kurang memperhatikan penjelasan peneliti selam proses pembelajaran.
Hal ini menyebabkan presentase indikator “perhatian” pada hasil belajar pada aspek afektif mengalami penurunan.
Secara keseluruhan, pencapaian hasil belajar siswa pada aspek afektif secara keseluruhan menggunakan model
pembelajaran kooperatif dengan metode TAI Team Assisted Individualization yang dilakukan oleh peneliti di SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta kelas X
1
pada materi dunia tumbuhan, hasil belajar siswa pada aspek afektif mengalami
penurunan presentase nilai ketuntasan klasikal yaitu pada siklus I sebesar 70,66 dan siklus II menurun menjadi 68,31 di
mana hasil belajar siswa pada aspek afektif belum mencapai target keberhasilan yakni 75 . Lihat tabel 18.
3. Faktor-Faktor Pendukung Penerapan Model Pembelajaran