Kesimpulan PROFIL RUMAHTANGGA PADA KOMUNITAS KAMPUNG TANGKIL

Adanya keragaman relasi gender pada RMKL menjadikan pola pengambilan keputusannya juga beragam. Namun demikian, persentase tertinggi rumahtangga miskin memiliki Tingkat Kontrol Rumahtangga yang tergolong kategori sedang; sementara persentase tertinggi berikutnya tergolong kategori tinggi. Jika dilihat menurut kategori kepala rumahtangganya, tingkat kontrol sedang dan tinggi tersebut hanya dijumpai pada RMKL. Hal ini dimungkinkan karena pada RMKL pengambilan keputusan dalam penentuan sumberdaya program cenderung melibatkan kedua pihak, suami dan isteri; karena masyarakat di Kampung Tangkil, Desa Cinta Mekar adalah masyarakat Sunda yang sistim kekerabatannya tergolong bilateral. Adapun pada RMKP, tingkat kontrol tergolong rendah karena semua kepala rumahtangga berstatus janda, dan tidak memiliki anggota rumahtangga laki-laki yang tergolong dewasa yang dapat dimintai kepala rumahtangga dalam proses pengambilan keputusan.

6.3 Kesimpulan

Pada 100 rumahtangga penerima program PLTMH yang disurvei, mayoritas tergolong RMKL 89 persen, dimana jumlah ARTP lebih tinggi sebesar 77 persen dibanding ARTL. Berdasar kelompok umurnya, sebagian besar ART tergolong kelompok umur produktif dengan rasio ketergantungan individu kurang dari satu. Mayoritas rumahtangga sampel tergolong miskin, baik itu menurut indikator BPS maupun lokal, meskipun menurut kriteria lokal ada sedikit diferensiasi. Fakta dimana sebagian besar rumahtangga tergolong miskin baik itu menurut indikator lokal maupun BPS bersamaan dengan ketiadaan gedung sekolah lanjutan SLTP dan SMA di desa Cinta Mekar, menyebabkan ART pada kedua kategori rumahtangga RMKL dan RMKP memiliki akses yang rendah terhadap pendidikan karena mayoritas berpendidikan tamat SD. Namun demikian, terdapat kecenderungan dimana persentase ARTP dan ARTL pada RMKL lebih akses terhadap pendidikan lanjutan dan tinggi daripada mereka yang tergolong RMKP. Sebagian besar ARTL dan ARTP pada RMKL bekerja sebagai buruh serabutan atau buruh tidak tetap dan pengangguran, sedang pada RMKP tergolong tidak bekerja karena berstatus sebagai ibu rumahtangga dengan ARTP yang belum sekolah. Menurut status pekerjaannya, ART pada kedua kategori rumahtangga miskin lebih banyak berstatus pekerja keluarga, karena terdiri dari ibu rumahtangga, anak-anak, pengangguran, pelajar dan lanjut usia. Adanya kecenderungan persaingan dalam hal “gengsi” antar rumahtangga, tingkat kekayaan rumahtangga sampel di desa ini hampir homogen, khususnya dalam hal kepemilikan barang-barang berharga. Yang menarik adalah bahwa karena penduduk desa terdiri dari etnik Sunda yang bersistim kekerabatan bilateral, terdapat kecenderungan bahwa pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga tergolong lebih setara karena melibatkan suami dan isteri baik setara maupun salah seorang diantaranya dominan. Sebaliknya, pada RMKP perempuan baik itu sebagai isteri maupun anak, dominan dalam pengambilan keputusan dalam rumahtangga mereka.

BAB VII PENYELENGGARAAN PROGRAM PLTMH DESA CINTA MEKAR

Pada bab ini akan diuraikan proses pembangunan PLTMH yang terdiri dari beberapa tahapan. Dimulai dengan latar belakang adanya program PLTMH, aspek-aspek yang menyertai konsep pembangunan PLTMH, kemudian dilanjutkan dengan tahapan program seperti tahap perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan program.

7.1 Latar Belakang Program PLTMH

Dihadapkan pada fakta dimana sekitar 100 juta penduduk Indonesia, khususnya di perdesaan, belum menerima aliran listrik, sementara di pihak lain terdapat potensi sumber daya alam yang cukup besar untuk menghasilkan pembangkit tenaga air skala mikro, Yayasan IBEKA dan PT HIBS bekerjasama dengan UNESCAP dalam membangun pembangkit listrik skala kecil untuk masyarakat miskin perdesaan melalui konsep kemitraan swasta untuk masyarakat miskin yang dikenal dengan konsep Pro Poor Public Private Partnership5P. Konsep tersebut sebelumnya tahun 1998 telah lama dipikirkan oleh Iskandar Kuntoadji PT HIBS yang diistilahkan dengan konsep “profit sharing risk taking ”. Gagasan dibalik konsep ini adalah bahwa dalam pelaksanaan programproyek pembangunan, masyarakat mendapatkan bagian dari investasi pendanaan atau hasil program. Selama ini pemerintah kurang memperhatikan hal tersebut, bahkan cenderung menyingkirkan masyarakat lokal dari sumberdaya lokal sebagai aset program. Menurut Kuntoadji, seharusnya investor sebagai