Toksisitas nikel [ni] terhadap ikan nila gift (Oreochromis niloticus) pada media berkesadahan lunak (soft hardnes)
i
TOKSISITAS NIKEL [Ni] TERHADAP IKAN NILA GIFT
(Oreochromis niloticus) PADA MEDIA BERKESADAHAN
LUNAK (SOFT HARDNES)
MARDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(2)
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Toksisistas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak (Soft Hardnes) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Mardin NIM C151080191
(3)
iii
ABSTRACT
MARDIN. Toxicity of Nickel (Ni) against Nila GIFT (Oreochromis niloticus) on the Soft Hardnes Water. Under direction of KUKUH NIRMALA and TATAG BUDIARDI.
Nickel is a member of heavy metals. It can potentially poison the blood, interfere the respiratory system, damage tissues and membranes of lenders, and change the cell system. This research aimed to determine the effect of nickel toxicity on various biochemical processes in body GIFT tilaphia such as : level of oxygen consumption, hematological system, histopathology system, level of nickel accumulation,growth rate, and on survival rate. This research was conducted in three stages: test value range, acute test, and sub-chronic test. Acute test consisted of 5 treatment concentrations (0.00, 10.67, 18.98, 33.76, and 60.05 ppm). Sub-chronic test consisted of 3 phases (0.00, 1.39, and 4.18 ppm). Lc-50 value of 96 hours was 13.93 ppm. The level of nickel accumulations in flesh on treatment with concentrations of 60.05, 33.76, 18.98, 10.67, and 00:00 ppm respectively were: 73.37, 56.08, 42.00, and 32.90 mg/kg, while at 0:00 ppm, nickel was not detected. Generally, level of oxygen consumption in chronic sub test decreased significantly. After 32 days nickel exposure, treatment with concentration 4,18 and 1,39 ppm was respectively down: 0,47 to 0,14, and 0,46 to 0,21. At 0,00 ppm, it also decreased level of oxygen consumption but it was still stable relatively, from 0,49 to 0,42. Nickel exposure for 30 days also decreased hematocrit level, hemoglobin, erythrocyte, increased number of leukocytes, reduced growth rate, and damaged gill and liver.
(4)
iv
RINGKASAN
MARDIN. Toksisitas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila GIFT (Oreochromis niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak (Soft Hardnes). Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan TATAG BUDIARDI.
Nikel merupakan salah satu anggota kelompok jenis logam berat yang memiliki sifat toksik bagi organisme perairan. Dampak dari logam berat nikel terhadap biota perairan adalah dapat meracuni darah, menganggu sistem pernapasan, merusak jaringan, selaput lendir, dan mengubah sistem sel. Pencemaran perairan yang disebabkan oleh nikel dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kegagalan dalam proses akuakultur. Hal ini dapat ditemukan pada kasus terjadinya kematian massal pada tingkat pencemaran berat dan efek yang lebih jauh, pada tingkat pencemaran yang lebih rendah akan berdampak pada kesehatan manusia yang menempati posisi top level dalam rantai makanan.
Penelitian ini bertujuan mencari potensi toksisitas akut dari nikel yang dapat diekspresikan oleh nilai LC50 nikel dan mempelajari pengaruh dan sifat
toksik nikel terhadap tingkat konsumsi oksigen, bioakumulasinya di dalam darah dan daging/otot, kondisi hematologi, dan kondisi histopatologi ikan nila GIFT. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: uji nilai kisaran, uji akut, dan uji sub kronik. Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila GIFT dengan bobot rata – rata 13 – 15 gram per ekor, sedangkan nikel yang digunakan sebagai sumber toksikan adalah nikel klorida (NiCl2
Hasil penelitian menunjukan bahwa nikel memiliki sifat toksik yang relatif tinggi terhadap ikan nila GIFT. Nilai LC
). Wadah penelitian berupa akuarium berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm yang diisi air sebanyak 30 liter. Pada uji akut digunakan 5 taraf konsentrasi yaitu tanpa nikel (A); 10.67 ppm (B); 18.98 ppm (C); 33.76 ppm (D); dan 60.05 ppm (E). Selanjutnya pada uji sub kronik digunakan 3 taraf yaitu tanpa nikel (A); 1.39 ppm (B); dan 4.18 ppm (C).
50 96 jam sebesar 13.93 mg/L. Dampak
kematian merupakan respon karena nikel merupakan xenobiotik yang mengganggu proses dalam sel organisme, menghambat kerja asetilkolinesterase sehingga terjadi akumulasi asetilkolin dalam susunan saraf pusat, menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang sampai menyebabkan ikan uji menjadi kaku dan mati. Akumulasi pada neuromuscular akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex dan paralisis. Toksisitas nekel berdampak merusak jaringan insang yang disebabkan oleh bereaksinya ion Ni2+
Pada pengukuran kualitas air, secara keseluruhan kisaran nilai pada setiap parameter masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan ikan nila GIFT. Ini berarti parameter kualitas air bukan sebagai faktor pembatas bagi kehidupan ikan nila GIFT dalam penelitian ini.
dengan lender insang yang menyebabkan insang diselimuti oleh lender yang mengandung nikel dan merusak struktur lamella. Toksisitas nikel juga berdampak menurunkan konsumsi oksigen danmenyebabkan penyimpangan hematologi. Mulai dari konsentrasi 1,39 ppm, nikel menurunkan persentase hematokrit, persentase hemoglobin, kadar eritrosit, dan menaikan kadar leukosit darah ikan nila GIFT.
(5)
v
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(6)
vi
TOKSISITAS NIKEL (Ni) TERHADAP IKAN NILA GIFT
(Oreochromis niloticus ) PADA MEDIA BERKESADAHAN
LUNAK (SOFT HARDNES)
MARDIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(7)
vii
(8)
viii Judul Tesis : Toksisitas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila GIFT (Oreochromis
niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak (Soft Hardnes) Nama : Mardin
NIM : C151080191
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc.
Ketua Anggota
Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si.
Diketahui,
Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Akuakultur
Prof. Dr. Enang Harris, M.S. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
(9)
ix
PRAKATA
Sesungguhnya atas berkat dan karunia Allah SWT, proses perkuliahan dan penyusunan tesis dengan judul “Toksisitas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila GIFT (Oreochromis niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak” dapat terselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh pihak yang telah memberikan doa, bantuan, motivasi dan dorongan untuk melakukan tugas belajar pada Program Magister Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Sc sebagai komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, motivasi dan pikiran dalam penyusunan tesis ini
2. Bapak Prof. Dr. D. Djokosetiyanto, DEA selaku penguji luar komisi dan selaku Ketua Mayor Ilmu Akuakultur atas saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.
3. Terima kasih pada tunanganku Wa Ode Lili Rahalia, S.P atas segala doa, dukungan dan motivasi yang telah diberikan
4. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda La Udu dan ibunda Wa Aima, Kakak (Zubiah, Rabiana, Jamil), adik (Sahbir, S.Pd, Kamil, S.Pd, Aida, dan Masroni), Kakak dan Adik Ipar (Drs. Sulfa, M.Si, Haerun, Nur Hamidah, dan Zaidah), dan semua keluarga atas segala doa, dukungan dan motivasi selama penulis menempuh studi.
5. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana Mayor Ilmu Akuakultur angkatan 2008 atas kebersamaan dan kerjasamanya
Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat dan hanya kepada Allah SWT kita berserah diri.
Bogor, Juni 2011 Mardin
(10)
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pulau Maginti Kecamatan Maginti Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 26 Juli 1978 dari pasangan Bapak La Udu dan Ibu Wa Aima. Penulis merupakan anak ke empat dari delapan bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SD Negeri No.2 Pulau Maginti, lulus tahun 1991, SMP Satria Kendari lulus tahun 1994 dan SMAN 2 Kendari lulus tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis diterima sebagai mahasiswa pada program studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis tamat dari Universitas Haluoleo pada tahun 2005.
Tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara. Pada tahun 2008, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan S2 di Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
(11)
xi
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... ... xvi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pemikiran ... 2
1.2 Tujuan dan Manfaat ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Klasifikasi dan Morfologi ikan Nila ... 5
2.2 Logam Berat Nikel ... 7
2.3 Toksisitas Logam Berat ... 8
2.4 Toksisitas Logam Berat Nikel ... 11
2.5 Akumulasi Logam Ni pada Tubuh Ikan Nila ... 14
2.6 Sistem Pernapasan Ikan ... 15
2.7 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Tingkat Konsumsi Oksigen ... 16
2.8 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Kondisi Hematologi Ikan .. 17
2.9.1 Eritrosit ... 18
2.9.2 Leukosit ... 19
2.9.3 Hematokrit ... 20
2.9.4 Hemoglobin ... 21
2.9 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Histopatologi ... 21
2.10 Bioassay ... 24
2.11 Kualitas Air ... 25
III.METODE PENELITIAN ... 28
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28
3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 28
3.2.1. Bahan dan Ikan Uji ... ... 28
3.2.2. Media Uji ... 28
3.2.3. Alat Uji ... 28
3.2.4. Wadah Penelitian ... 29
3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 29
3.3.1 Uji Nilai Kisaran ... 29
3.3.2. Uji Toksisitas Akut ... 30
3.3.3. Uji Sub-Kronik ... 31
3.4. Analisis data ... 39
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
4.1. Hasil ... 39
(12)
xii
4.1.2. Uji Akut ... 39
4.1.3. Uji Sub Kronik ... 46
4.2. Pembahasan Umum ... 58
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
5.1 Kesimpulan ... 70
5.2 Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
LAMPIRAN ... 76
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Sifat toksisitas nikel pada beberapa jenis ikan ... 14 2 Persentase tingkat kematian ikan nila GIFT selama uji nilai kisaran
pemaparan nikel ... 39 3 Rata-rata tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT selama 30 hari
pemaparan nikel ... 46 4 Rata-rata hematokrit, hemoglobin, eritrosit, dan leukosit darah ikan
nila GIFT setelah 30 hari pemaparan nikel ... 48 5 Kondisi jaringan organ hati dan insang ……… ... 53 6 Kisaran rata-rata nilai beberapa parameter kimia dan fisika air media
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Morfologi ikan nila GIFT ... 5 2 Bagian-bagian lamela insang ... 21 3 Persentase tingkat mortalitas ikan nila GIFT selama uji akut pemaparan
nikel ... 40 4 Tingkat akumulasi nikel pada darah ikan nila GIFT selama uji akut ... 42 5 Tingkat akumulasi nikel pada daging/otot ikan nila GIFT selama uji
akut ... 43 6 Rata-rata frekuensi pergerakan operculum ikan nila GIFT selama uji
akut pemaparan nikel ... 43 7 Nilai LC50
8 Tingkat konsumsi oksigen ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel ... 47 ikan nila GIFT pada uji akut pemaparan nikel ... 45
9 Rata-rata kadar hematokrit darah ikan nila GIFT selama 30 hari
pemaparan nikel ... 49 10 Rata-rata kadar hemoglobin darah ikan nila GIFT selama 30 hari
pemaparan nikel ... 50 11 Rata-rata kadar eritrosit darah ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan
nikel ... 51 12 Rata-rata jumlah leukosit darah ikan nila GIFT selama 30 hari
pemaparan nikel ... 52 13 Rata-rata pertumbuhan berat mutlak ikan nila GIFT selama 30 hari
pemaparan nikel ... 56 14 Rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila GIFT selama 30 hari
pemaparan nikel ... 56 15 Rata-rata tingkat kelangsungan hidup ikan nila GIFT selama 30 hari
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Data mortalitas ikan pada uji nilai kisaran ... 74 2 Data mortalitas ikan pada uji lanjut ( uji akut) ... 75 3 Diagram dari tahap proses pengukuran kandungan nikel dalam daging
ikan nila dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption
Spectroscpic)……… 76 4 Tingkat rata-rata akumulasi logam berat nikel dalam darah ikan nila gift
pada uji akut ……….... 78 5 Tingkat rata-rata akumulasi logam berat nikel dalam daging ikan nila
gift pada uji akut ... 80 6 Out put analisis probit LC50
7 Out put analisis probit LC
-24 jam ... 82
50
8 Output analisis probit LC
-48 jam ... 84
50
9 Output analisis probit LC
-72 jam ... 86
50
10 Rata-rata frekuensi gerak operculum ikan nila GIFT selama uji
-96 jam ... 88 akut pemaparan nikel ... 90 11 Analisis ragam konsumsi oksigen ikan nila GIFT selama
32 hari pemaparan nikel ... 96 12 Analisis ragam kadar hematokrit ikan nila GIFT selama
30 hari pemaparan nikel ... 102 13 Analisis ragam kadar haemoglobin ikan nila GIFT selama
30 hari pemaparan nikel ... 107 14 Analisis ragam jumlah eritrosit ikan nila GIFT selama
30 hari pemaparan nikel ... 112 15 Analisis ragam jumlah leukosit ikan nila GIFT selama
30 hari pemaparan nikel ... 117 16 Pertumbuhan mutlak berat rata-rata ikan nila GIFT pada media yang
terkontaminasi nikel selama 32 hari pemaparan nikel ... 122 17 Laju pertumbuhan spesifik rata-rata ikan nila GIFT pada media yang
terkontaminasi nikel selama 32 hari pemaparan ... 124 18 Tingkat konsumsi pakan rata-rata ikan nila GIFT … ... 129 19 Derajat kelangsungan hidup (survival rate) ikan nila GIFT pada media
(16)
1 I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nikel (Ni) merupakan salah satu anggota kelompok logam berat. Logam ini termasuk logam transisi golongan VIIIB yang berwarna putih perak mengkilat, keras, mudah dibentuk dan mudah ditempa. Pemanfaatan nikel bagi kebutuhan manusia terutama sebagai pelapis logam tahan karat, pembuatan aliasi logam (monel, nikron, dan alkino), dan sebagai katalis pada hidrogenasi lemak dalam pembuatan margarine (Sunardi 2006).
Didorong oleh kebutuhan ini, aktivitas penambangan nikel dunia terus mengalami peningkatan. Di Indonesia, potensi penambangan nikel terdapat di Sulawesi, Kalimantan bagian Tenggara, Maluku, dan Papua (Anonim 2011). Lokasi penambangan nikel yang umumnya berdekatan dengan sungai dan laut memungkinkan nikel masuk ke perairan melalui limpasan air hujan dari tumpukan tanah tambang dan debu tanah tambang yang mengendap dari atmosfir. Kondisi ini dapat membuat konsentrasi alami nikel di perairan bergeser pada kondisi ekstrim, yaitu konsentrasi nikel di perairan meningkat melewati batas sehingga nikel akan bersifat toksik bagi biota perairan. Biota laut yang hidup di perairan tercemar secara biologis akan mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tinggi tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976).
Dalam kondisi ekstrim, nikel dapat meracuni darah ikan, menyebabkan gangguan saraf, kerusakan hati, kerusakan insang, dan lain-lain. Menurut Connel dan Miller (1995) terdapat pengaruh toksik Ni pada ikan salmon. Pada kadar 1200 ppb (1,2 ppm) logam Ni dapat mematikan 50% embrio dan larva kerang C
Virginica (LC50, 24 jam), dan pada kadar 1300 ppb (1,3 ppm) dan 5700 ppb) (5,7
ppm) dapat mematikan 50% embrio dan larva kerang M. Marcenaria. Nilai LC50
nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100 ppm. Peningkatan kesadahan, pH, dan konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi LC50 ikan (Isaac 2009). Pada perairan
(17)
2
toksik akan berkurang seiring dengan meningkatnya kesadahan. Dengan demikian, Ni akan lebih toksik pada ikan yang dibudidayakan di air tawar, dibanding yang dibudidayakan di air payau atau laut yang kesadahannya lebih tinggi.
Ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang termasuk dalam komoditas ekspor perikanan unggulan. Pengimpor ikan nila dari Indonesia mencakup Amerika, Eropa, dan Jepang. Pada tahun 2015, perluasan tujuan ekspor ikan Indonesia adalah menembus negara-negara Timur Tengah. Kondisi ini membuka peluang yang sangat luas untuk meningkatkan produksi ikan nila. Hal ini didukung pula dengan kemudahan dalam membudidayakan ikan nila yang dapat dipelihara di jaring apung atau kolam, dan pertumbuhannya yang relatif lebih cepat dibanding dengan ikan nila lokal, serta tahan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan.
Di Indonesia, penelitian tentang toksisitas nikel khususnya pada ikan air tawar masih jarang dilakukan sementara dampak toksik yang ditimbulkan oleh keberadaan unsur ini terhadap organisme perairan berpotensi terjadi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh toksisitas logam berat nikel terhadap ikan nila GIFT yang dipelihara pada media yang berkesadahan lunak
(soft hardnes) dengan variabel penelitian meliputi: kondisi hematologi, kondisi
histopatologi, tingkat akumulasinya, laju pertumbuhan, dan derajat kelangsungan hidupnya (SR).
1.2 Kerangka Pemikiran
Nikel merupakan salah satu jenis logam berat non esensial yang bersifat toksik pada ikan. Dampak toksisitas yang ditimbulkan dapat meracuni darah ikan, menyebabkan gangguan saraf, kerusakan hati, kerusakan insang, dan lain-lain. Ikan yang hidup pada perairan yang tercemar nikel secara biologis akan mengakumulasi nikel tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tinggi tingkat pencemaran perairan maka semakin tinggi pula kadar nikel yang terakumulasi dalam tubuh ikan nila yang hidup di dalamnya. Absorbsi nikel dalam tubuh ikan dapat terjadi secara langsung melalu insang dan kulit atau secara tidak langsung melalui rantai makanan. Pada perairan yang berkesadahan lunak seperti air tawar,
(18)
3 nikel akan bersifat lebih toksik terhadap biota perairan. Untuk itu, penelitian tentang toksisitas Ni pada ikan air tawar/berkesadahan lunak, termasuk ikan nila, sangat diperlukan.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksik nikel pada berbagai konsentrasi terhadap berbagai proses fisiologis dan histologi di dalam tubuh ikan nila GIFT seperti: tingkat konsumsi oksigen, kondisi hematologi, kondisi histopatologi, derajat akumulasi logam berat nikel pada darah dan daging (otot), laju pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidupnya (SR).
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi mengenai efek toksik yang ditimbulkan oleh logam berat nikel terhadap proses fisiologis dan histologi dalam tubuh ikan nila GIFT yang diperoleh melalui perlakuan dengan pemberian fariasi konsentrasi nikel terhadap media pemeliharaannya. Lebih jauh dalam jangka panjang diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengelolaan air limbah bagi Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang lebih baik pada perusahaan yang mengeksplorasi nikel alam, sehingga tidak ikut mengambil andil dalam mensuplai nikel pada lingkungan perairan dan akuakultur.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
1. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon konsumsi oksigen yang berbeda terhadap ikan nila GIFT.
2. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon kondisi hematologi ikan nila GIFT yang berbeda.
3. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon kondisi histopatologi ikan nila GIFT yang berbeda.
4. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon tingkat akumulasi yang berbeda pada daging dan darah ikan nila GIFT.
5. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon derajat laju pertumbuhan ikan nilam GIFT yang berbeda.
(19)
4
6. Konesentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon derajat kelangsungan hidup (SR) ikan nila GIFT yang berbeda.
(20)
5 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila
Ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus Linne) merupakan salah satu jenis ikan budidaya yang penting dan telah menjadi komoditas ekspor. Sejauh ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor ikan nila GIFT terbesar (sekitar 10 juta ton/tahun) (Suria 2003, diacu dalamNur 2004) disamping Taiwan, Costa Rica, Filipina dan Thailand. Oleh karenanya budidaya ikan tersebut terus berkembang dan produksinya selalu ditingkatkan.
Ikan nila GIFT (Genetic Improvement of Farmed Tilapias) merupakan hasil persilangan beberapa varietas nila yang ada di beberapa negara di dunia (Beniga dan Circa 1997). Menurut Eknath et al. (1993), ikan nila GIFT merupakan varietas baru dari jenis ikan nila yang dikembangkan oleh ICLARM di Filipina. Ikan ini merupakan hasil seleksi famili dari 25 pasangan terbaik yang dilakukan oleh GIFT Project di Filipina dan merupakan hasil perkawinan 4 jenis strain nila dari Afrika dan 4 jenis strain nila dari Asia. Ikan nila GIFT tersebut diintroduksi dari Filipina oleh Balitkanwar pada tahun 1995 dan 1997 (Gupta dan Acosta 2004, diacu dalam Madinawati 2005).
Klasifikasi ikan nila GIFT adalah :
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
(21)
6
Gambar 1 Morfologi ikan nila GIFT
Nila GIFT dapat dibedakan dari nila lokal dengan melihat ketebalan tubuhnya, yaitu tubuh nila GIFT memanjang dengan perbandingan panjang dan tinggi 2 : 1, sementara perbandingan tinggi dan lebar tubuh 4 : 1. Ikan nila lokal tubuhnya lebih memanjang dan tipis karena perbandingan panjang dan tinggi 2,5 : 1 dan perbandingan tinggi dan lebar 3 : 1 (Arie 2001). Selanjutnya dinyatakan, bahwa pada bagian bawah tutup insang ikan nila GIFT berwarna putih sedangkan ikan nila lokal berwarna putih agak kehitaman, bahkan ada yang kuning.
Tubuh ikan nila pipih, berwana kelabu kehijauan dengan garis melintang pada kedua sisinya dan pada sirip punggung dan sirip ekor. Panjang kepala ikan nila lebih pendek daripada ikan mujair sedangkan tinggi badan sebaliknya (Mc Bay 1961; Schmittou dan Dendy 1961; Soejanto 1971, diacu dalam Brojo 1992).
Ciri-ciri morfologi ikan nila adalah: sirip punggung ikan nila XV-XVI. 12-13, sirip duburnya III, 10-15, jumlah sisik pada linea lateral ada 31-33, sisik di atas linea lateral ada 4-5 sedangkan sisik pipinya ada 2-3, panjang kepala 0,28 – 0,33 kali panjang baku, tinggi badan 0,40 – 0,45 kali panjang baku, panjang rahang bawah 0,29 – 0,33 kali panjang baku (Beckman 1962, diacu dalamBrojo 1992). Jumlah tapis insang pada lengkung insang pertama bagian bawah ikan nila adalah 22-23 (Selam 1989, diacu dalam Brojo 1992).
2.2 Logam Berat Nikel
Nikel (Ni) merupakan salah satu unsur logam transisi golongan VIIIB yang berwarna putih perak mengkilat, keras, mudah dibentuk dan mudah ditempa. Di alam, nikel terdapat dalam bentuk senyawa, misalnya pentlandite (FeS.NiS), nickeliferous pyrrhotite dan lain-lain. Ditemukan oleh Axel Cronstedt pada tahun 1751. Nikel mempunyai masa atom 58,6934 sma, massa jenis 8,90 gram/cm³,
(22)
7
nomor atom 28, jari-jari atom 1,24 Å, konfigurasi elektron 2 8 16 2, konduktivitas listrik 14,6 x 10⁶ ohm ¹ cm ¹, dan konduktivitas kalor 90,7 W/mK, serta dalam senyawa mempunyai bilangan oksidasi +2 dan +3. Nikel digunakan sebagai pelapis logam tahan karat, membuat aliasi logam seperti monel, nikron dan alkino, dan serbuk nikel digunakan sebagai katalis pada hidrogenasi lemak dalam pembuatan margarin (Sunardi 2006). Menurut Setiono (1990), logam nikel (Ni) larut dalam asam klorida encer dan pekat, serta asam sulfat encer membentuk hidrogen . Nikel mempunyai titik didih 1453,0 °C dan titik leleh 2732,0 °C (Anonim 2005, diacu dalam Zulkarnain et al. 2008).
Kadar nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore 1991, diacu dalam Effendi 2003). Pada proses pelapukan, nikel membentuk mineral hidrolisat yang tidak larut. Di perairan, nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida karbonat dan sulfat. Pada pH > 9 nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida dan karbonat, dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003).
Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,001 – 0,003 mg/L (Scoullus dan Hatzianestis 1989; Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Pada perairan laut berkisar antara 0,005 – 0,007 mg/liter (McNeely et al. 1979). Untuk melindungi kehidupan organisme akuatik, kadar nikel sebaiknya tidak melebihi 0,025 mg/liter (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Untuk air minum < 0,1 mg/L (WHO 1984, diacu dalam Effendi 2003). Nikel termasuk unsur yang memiliki toksisitas rendah. Nilai LC50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100 mg/liter. Urutan toksisitas beberapa logam dari sangat rendah sampai yang sangat tinggi berturut-turut adalah Sn<Ni<Pb<Cr<Co<Cd<Zn<Cu<Ag<Hg (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003).
Secara umum nikel di perairan merupakan unsur yang bersifat non konservatif, akan tetapi menunjukkan sifat konservatif di muara sungai (Chester 1993). Sumber utama nikel berasal dari pengikisan batuan yang ada di sungai
(23)
8
(Bryan 1976). Nikel di muara sungai menunjukkan konsentrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorbsi dari partikel-partikel yang ada di muara sungai dan proses tersuspensi.
Di perairan, nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Nikel digunakan dalam berbagai aplikasi komersial dan industri, seperti : pelindung baja (stainless steel), pelindung tembaga, industri baterai, elektronik, aplikasi industri pesawat terbang, industri tekstil, turbin pembangkit listrik bertenaga gas, pembuat magnet kuat, pembuatan alat-alat laboratorium (nikrom), kawat lampu listrik, katalisator lemak, pupuk pertanian, dan berbagai fungsi lain (Gerberding 2005).
2.3 Toksisitas Logam Berat
Toksisitas logam-logam berat yaitu melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernafasan berupa sirkulasi dan ekskresi dari insang (Nicodemus 2003, diacu dalam Jalius 2008).
Keracunan Cu dapat menyebabkan kehilangan ion-ion natrium dan sodium dalam tubuh ikan, sehingga ikan menjadi lemas dan akhirnya mati (Zahner et al. 2006). Unsur Cd dalam tubuh hewan dapat menyebabkan oksidasi yang berlebihan, sehingga timbul perasaan lapar terus-menerus dan akhirnya mati (Sandrini et al. 2006). Keracunan Hg, Cu, Zn, Fe, Cd, dan Pb pada larva Haliotis
rubra, dapat menyebabkan abnormalnya bentuk tubuh larva tersebut (Gorski dan
Nugegoda 2006).
Di pertambangan uranium yang mengandung Selenium (Se), ikan rainbow
trout dan Brook trout memiliki kandungan Se tinggi dalam telurnya (8,8 – 10,5
µg/g bobot basah telur) dan terjadi kelainan pada anak ikan yaitu tulang kepala
(craniofacial) dan rangka tubuh (skeletal) serta terjadi oedema (Holm et al. 2005,
(24)
9
Keracunan Pb dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan sebagai akibat dari gangguan penyerapan kalsium (Grosel et al. 2005). Ikan salmon yang diekspose dalam air dengan dosis 1 ppm Hg selama 30 menit akan menurunkan fertilitas spermatozoanya (Darmono 1995).
Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel (Manahan 1977).
Di perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang membentuk senyawa kompleks dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi (Connel dan Miller 1995).
Sedikitnya terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama, logam berat esensial, yang keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Ni, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Jenis kedua, logam berat tidak esensial atau beracun, yang keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain (Connel dan Miller 1995).
Sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik pada biota (Darmono 1995). Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah), yaitu merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja 1982). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan
(25)
10
adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+> Sn2+ > Zn2+
a) Bersifat toksik tinggi (Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn)
. Menurut Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu :
b) Bersifat toksik sedang (Cr, Ni, dan Co) c) Bersifat tosik rendah (Mn dan Fe).
Adanya logam berat di perairan berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (Sutamihardja 1982) yaitu :
a) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai
b) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut c) Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi
dari konsentrasi logam dalam air
d) Mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.
Walaupun terjadi peningkatan sumber logam berat, namun konsentrasinya dalam air dapat berubah setiap saat. Hal ini terkait dengan berbagai macam proses yang dialami oleh senyawa tersebut selama dalam kolom air. Parameter yang mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan adalah suhu, salinitas, arus, pH dan padatan tersuspensi total atau seston (Nanty 1999).
Fungsi-fungsi perilaku secara umum akan lemah akibat adanya zat-pencemar, dan ikan sering memperlihatkan tanggapan ini pertama ketika terekspos polutan (Little et al. 1993). Perubahan tingkah laku seperti gerakan vertikal terjadi karena hilangnya keseimbangan. Pada toksisitas yang tinggi membuat gerakan ikan kacau balau dan akhirnya mati. Aktifitas renang merupakan indikator sensitif akan hadirnya senyawa berracun diperairan (Rose et al. 1993). Toksisitas cadmium menyebabkan gerakan operculum yang
(26)
11
tidak beraturan dan hilangnya keseimbangan pada Tilapia mossambica (Ghatak dan Konar 1990).
2.4 Toksisitas Logam Berat Nikel
Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank 1979). Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi LC-50
Nikel termasuk unsur yang memiliki toksisitas rendah. Toksisitas nikel (LC
ikan. Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0 – 12,0 ppm menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan pH (Isaac 2009). Menurut Nebeker et al. (1985), nikel dinyatakan sebagai logam beracun sedang untuk ikan dan hewan invertebrata ketika konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan logam yang lain.
50) terhadap Lemna minor adalah 0,45 mg/liter, Nilai LC-50
Dampak limbah pertambangan nikel (Ni) yang mengandung Cu, nolin, dan garson dapat menyebabkan penurunan daya hidup dan depresi tingkat hormon testosteron ikan creek chub dan pearl dace. Kemampuan hidup berkurang dari 60% pada limbah yang mengandung Cu dan garson, juga terjadi penurunan bobot badan. Effluent pertambangan nikel juga banyak mengandung nikel, rubidium, strontium, lithium, selenium yang dapat berakumulasi dalam jaringan ikan (Dube
et al. 2005, diacu dalam Jalius 2008).
nikel terhadap
Daphnia magna adalah 19,5 mg/loter, terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan
ikan air laut berkisar antara 1 – 100 mg/liter. Bersama-sama dengan Cu dan Zn, nikel memiliki sifat aditif (Moore 1991, diacu dalam Effendi 2003).
Nikel merupakan logam berat non essensial yang dapat menyebabkan toksik bagi mahluk hidup. Meski racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat racun akan timbul apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tubuh mahluk hidup. Ketoksikan nikel pada organisme akuatik bergantung pada kesadahan, pH dan kandungan bahan organik, seperti parameter monitor lingkungan lainnya (Sanusi 2009). Pada pH < 9, nikel di perairan bersifat sebagai kation bebas (Effendi 2003). Chapman et al. (1980) melaporkan ketoksikan nikel akut itu pada Daphnia makin berkurang dengan meningkatnya kesadahaan. Kematian
(27)
12
organisme khususnya ikan akibat logam berat dapat terjadi karena bereaksinya kation logam berat dengan oksigen dan fraksi tertentu dari lendir sehingga menyebabkan insang diselimuti gumpalan lendir logam berat. Oksigen merupakan komponen yang utama bagi pernapasan, metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan serta untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Anonim 1985).
Nikel (Ni) mempunyai dampak negatif bagi kesehatan terutama jika kadarnya sudah melebihi ambang batas. Walaupun pada konsentrasi rendah, efek ion logam berat dapat berpengaruh langsung hingga terakumulasi pada rantai makanan. Seperti halnya sumber-sumber polusi lingkungan lainnya, logam berat tersebut dapat ditransfer dalam jangkuan yang sangat jauh di lingkungan (Hapsari 2008). Nikel dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh, tetapi bila terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi dapat berbahaya untuk kesehatan manusia, yaitu : menyebabkan kanker paru-paru, kanker hidung, kanker pangkal tenggorokan dan kanker prostat, merusak fungsi ginjal, menyebabkan kehilangan keseimbangan, menyebabkan kegagalan respirasi, kelahiran cacat, menyebabkan penyakit asma dan bronkitis kronis serta merusak hati.
Nikel terdapat di dalam air sebagai Ni2+ dan kadang-kadang sebagai NiCO3.
Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,1-0,3 ppb, sedangkan pada perairan laut berkisar antara 0,5 – 2 ppb (Lawrence 2003). Fitoplankton mengandung 1-10 ppb nikel, alga (air tawar dan air asin) mengandung 0,2 - 84 ppb nikel, lobsters mengandung 0,14-60 ppb nikel, moluska 0,1-850 ppb, dan ikan antara 0,1 dan 11 ppb (Conard 2005). Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Di muara sungai, nikel menunjukkan konsentrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorpsi dari partikel-partikel yang ada di muara sungai dan proses resuspensi.
(28)
13
Gerberding (2005) melaporkan bahwa dalam konsentrasi tinggi nikel di tanah berpasir merusak tanaman dan di permukaan air dapat mengurangi tingkat pertumbuhan alga. Lebih lanjut dikatakan bahwa nikel juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, tetapi mereka biasanya mengembangkan perlawanan terhadap nikel setelah beberapa saat. Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank 1979).
Beberapa faktor-faktor telah dihubungkan dengan tingkah laku abnormal pada ikan lele akibat toksisitas logam berat Ni, termasuk kerusakan saraf karena terganggunya transmisi antara sistem saraf dan berbagai lokasi-lokasi efektor, kelumpuhan dan gangguan sistem pernapasan karena kelainan fungsi enzim tubuh, dan penyalahgunaan energi yang mengakibatkan penghabisan energi (Isaac 2009).
Nilai LC50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut
berkisar 1 – 100 mg/liter. Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentarasi LC50
Tabel 1. Sifat toksisitas nikel pada beberapa jenis ikan
ikan. Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0-12,0 ppm menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan pH (Isaac 2009). Menurut Nebeker et al. (1985), ketika konsentrasi nikel lebih tinggi dibandingkan logam yang lain, nikel dinyatakan sebagai logam beracun. Tingkat toleransi beberapa jenis ikan terhadap nikel tertera pada Tabel 1.
No Uraian Nilai Sumber
1. LC50-96 jam terhadap 26,560 ppm
Atherinops affinis
Hunt et al. 2002
2. Larva abalone LC50-48 jam 14,5 ppm Hunt et al. 2002
3. Abalone fase juvenil LC50-48 26,43ppm
jam Hunt et al. 2002
4. LC50-96jam terhadap Clarias 8,87 ppm gariepinus
Isaac 2009
5. Daphnia hyaline LC50 – 48 jam 1.9 ppm Chapman et al. 1980
(29)
14
2.5Akumulasi Logam Berat Ni pada Tubuh Ikan Nila
Biota laut yang hidup di perairan tercemar secara biologis akan mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976, diacu dalam Salamah 2002).
Bahan pencemaran seperti logam berat atau logam masuk ke dalam tubuh melalui mulut, insang, dan kulit (Darmono 1995, diacu dalam Jalius 2008). Ikan yang hidup pada media yang tercemar oleh logam berat, secara alami akan mengakumulasi logam berat ke dalam tubuhnya, baik secara langsung melalui permukaan kulit dan insang maupun melalui makanannya. Ikan mas dan nila dari Waduk Saguling dan Waduk Cirata mengakumulasi Hg, Cu, dan Zn dengan kadar yang cukup membahayakan. Kerang dari Pantura Semarang ditemukan mengandung logam Cd 40 kali lipat di dalam dagingnya (Anonim 2002, diacu dalam Marwati 2005).
Ikan umumnya mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal. Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke ginjal dan diekskresikan. Logam organik tidak diekskresikan tetapi terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat dalam tubuh ikan juga dapat melalui rantai makanan (Mokoagouw 2000).
Akumulasi logam berat dipengaruhi oleh faktor biologis dan fisik seperti musim, reproduksi, salinitas dan kedalaman air. Bioakumulasi logam berat bergantung pada zat kimia, peredarannya dan mekanisme masuknya logam interseluler kompartemen dan aspek homeostatis seluler logam (Gosling 1992, diacu dalam Jalius 2008).
Menurut Sanusi (1985), hati dan ginjal ikan memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan ototnya dalam mengakumulasi logam berat Hg dan Cd. Tingginya kandungan logam berat tersebut disebabkan karena logam berat tersebar memiliki afinitas yang besar terhadap metallothionein pada organ tersebur (Goldwater dan Clarkson 1972; Miettinen 1977; Forstner dan Wittmann 1979; Boline 1980; Hodgson dan Guthrie 1980; Ward 1982a, diacu dalamSanusi
(30)
15
1985). Dari hasil penelitian terhadap 21 jenis ikan laut, diketahui bahwa sejenis protein metallothionein pengikat logam berat pada hati dan ginjal ikan dijumpai lebih tinggi daripada yang terdapat pada ototnya. Hal tersebut diduga sebagai penyebab tingginya akumulasi logam berat (Hg dan Cd) pada hati dan ginjal ikan uji dibandingkan dengan yang terjadi pada ototnya (Takeda dan Shimizu 1982, diacu dalam Sanusi 1985). Selanjutnya Darmono dan Arifin (1989) menyatakan, bahwa logam berat banyak terakumulasi pada tulang daripada organ lain.
Sistem kekebalan pada ikan, umumnya hampir sama dengan hewan mamalia, yaitu terbagi menjadi sistem kekebalan non spesifik dan spesifik. Kekebalan ini bisa diperoleh karena bawaan atau akibat respon tanggap kebal terhadap suatu agen (Ingram 1979; Gudkovs 1998, diacu dalam Saptiani 1997).
2.6 Sistem Pernapasan Ikan
Pernapasan adalah proses pengikatan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida oleh darah melalui permukaan alat pernapasan. Proses pengikatan oksigen selain dipengaruhi struktur alat pernapasan juga dipengaruhi oleh perbedaan tekanan parsial O2
Insang merupakan komponen penting dalam proses pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras dengan beberapa filamen insang didalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamela insang yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamela insang yang tersusun atas sel-sel epitel yang tipis pada bagian luar, membran dasar dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamela insang yang tidak menempel pada lengkung insang ditutupi oleh epitelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler (Harder 1975, diacu dalam Funjaya 2004).
antara perairan dengan darah. Perbedaan tekanan tersebut menyebabkan gas-gas berdifusi kedalam darah atau keluar melalui alat pernapasan (Fujaya 2004).
Bila oksigen telah berdifusi dalam darah insang, oksigen ditranspor dalam gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan tempatnya dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin didalam sel darah merah memungkinkan darah mengangkut oksigen 30-100 kali dari pada yang dapat diangkut hanya
(31)
16
dalam bentuk oksigen terlarut dalam darah. Pergerakan oksigen kedalam kapiler darah insang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan dari tempat pertama ketempat lainnya. Karena tekanan oksigen (PO2) didalam insang lebih besar dari
pada PO2 kapiler darah insang maka oksigen berdifusi dari insang ke kapiler darah
insang kemudian darah insang ditranspor melalui sirkulasi ke jaringan perifer. Pada jaringan perifer, PO2 sel lebih rendah dari pada PO2 darah arteri yang
memasuki kapiler. Tekanan oksigen yang jauh lebih tinggi di dalam kapiler menyebabkan oksigen berdifusi keluar dari kapiler melalui ruang intertistial ke sel. Sebaliknya bila oksigen dimetabolisasi dengan bahan makanan dalam sel akan membentuk karbondioksida, sehingga CO2 dalam sel akan meningkat. Keadaan
ini menyebabkan CO2
2.7 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Tingkat Konsumsi Oksigen
berdifusi kedalam kapiler jaringan. Setelah berada dalam darah, karbon dioksida ditranspor ke kapiler insang dan keluar melalui insang (Fujaya 2004).
Kebutuhan oksigen biologi didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod 1973). Banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh biota akuatik
dalam waktu tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut di perairan tersebut (Evans dan Chaiborne 2005).
Tingkat kebutuhan oksigen pada ikan berbeda-beda bergantung pada spesies, ukuran (stadia), aktifitas, jenis kelamin, saat reproduksi, tingkat konsumsi pakan, dan suhu. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah (Vernberg dan Vernberg 1972).
Organisme perairan khususnya ikan yang mengalami keracunan logam berat akan mengalami gangguan pada proses pernapasan dan metabolisme tubuhnya. Hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat dengan fraksi dari lendir insang sehingga insang diseliputi oleh gumpalan lendir dari logam berat yang mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana
(32)
17
mestinya (Palar 2004). Insang merupakan salah satu jaringan tubuh organisme yang cepat terakumulasi logam berat. Jika proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang terganggu, dapat meyebabkan ikan mati lemas (Wardoyo 1987).
Ghalib et al. (2002) melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi timbal yang dipaparkan maka konsumsi oksigen pada juvenil ikan bandeng dari hari ke hari semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena pada jaringan insang juvenil bandeng terjadi kerusakan akibat terakumulasinya logam timbal pada jaringan tersebut, sehingga pertukaran oksigen dan gas-gas yang melalui insang menjadi terganggu.
2.8 Pengaruh Toksisitas Nikel Terhadap Kondisi Hematologi Ikan
Gambaran darah suatu organisme dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh organisme tersebut. Penyimpangan fisiologis ikan akan menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dan kimia darah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dapat menentukan kondisi kesehatannya. Fungsi vital darah di dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti hormon, pengangkut zat buangan hasil metabolisme tubuh, dan pengangkut oksigen dan karbondioksida (Ganong 1983).
Apabila nafsu makan ikan menurun, maka nilai hematokrit darahnya menjadi tidak normal, jika nilai hematokrit rendah maka jumlah eritrositpun rendah. Sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (platelet) merupakan bagian dari elemen darah, sedangkan berbagai faktor koagulasi/zat pembekuan serta imunoglobulin adalah unsur penting dari protein plasma total (Bastiawan et al. 2001)
Fungsi utama sel darah merah adalah mengikat haemoglobin untuk transport oksigen, sedangkan sel darah putih peran utamanya ialah dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi mikrobial. Imunoglobulin merupakan unsur penting dari
humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah ikan dari
agen infeksi (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990).
Hasil penelitian Narayanan (2008), menunjukkan terjadi peningkatan secara signifikan konsentrasi sel darah putih, gula darah dan kolesterol Cyprinus carpio
(33)
18
pada media yang dicemari oleh logam berat kadmium (Cd), Cromium (Cr) dan Timbal (Pb).
2.8.1 Eritrosit
Eritrosit membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih dan tak beraturan. Perkembangan eritrosit dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah eritrosit normal pada ikan teleost berkisar antara 1,05 juta- 3 juta sel/mm3
Eritrosit merupakan sel yang paling banyak jumlahnya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma dan akan terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan Giemsa (Chinabut et al. 1991, diacu dalam Mulyani 2006). Seperti halnya pada hematokrit, jumlah eritrosit yang rendah menunjukkan terjadinya anemia, sedangkan jumlah tinggi menandakan bahwa ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977, diacu dalam Taufik 2005).
(Robert 2001).
2.8.2 Leukosit
Leukosit (SDP) berwarnanya bening, berukuran lebih besar dibandingkan dengan eritosit, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Leukosit dibuat pada sumsum tulang dan berisi sebuah inti yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir karena itu disebut sel berbulir granulosit (Tortora dan Anagnostakos 1990).
Jumlah leukosit darah ikan berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3(Rostagi
1977). Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk diagnosis leukemia serta penyakit lainnya. Dalam evaluasi sebuah leukogram, amat perlu diketahui bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya, tetapi untuk menetapkan adanya perubahan morfologi SDP maka informasi tentang komponen darah lainnya harus ada. Protein plasma total, konsentrasi fibrinogen, parameter darah merah (hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit), dan jumlah retikulosit secara tak langsung membantu dalam interpretasi leukogram. Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies ikan dan hal ini dipengaruhi oleh umur ikan.
(34)
19
Saat ikan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2-12 bulan. Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia. Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi
“ephinephrine”, yaitu neutrofil dan limfosit dimobilisasi kedalam sirkulasi umum
sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering terjadi pada ikan muda dan biasanya akibat stres, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990, diacu dalam Aliambar 1999).
2.8.3 Hematokrit
Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan. Hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu patokan untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 22% menunjukkan terjadinya anemia. Kadar hematokrit bervariasi bergantung pada faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah (Kuswardani 2006). Persentase nilai hematokrit ikan lele normal berkisar antara 30,8%-45,5% (Angka et al. 1985).
Aliambar (1999) menyatakan bahwa perhitungan hematokrit dilakukan setelah darah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan dan disentrifuse sehingga sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung. Pada saat yang sama, plasma yaitu suatu cairan yang berwarna kekuning-kuningan akan naik ke atas. Jumlah sel-selnya adalah 45% dari volume darah total, dan nilai ini dinamakan packed cell volume (PCV) atau hematokrit (HCT), yang dinyatakan dalam persen.
Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan berdasarkan metode mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah perlu untuk mengurangi plasma yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada kambing dan domba, metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse yang
(35)
20
lebih lama (10-20 menit), sedangkan spesies lainnya (termasuk ikan), waktu centrifuse dilakukan dalam waktu kurang lebih 5 menit. Perbedaan nilai hematokrit dapat terjadi akibat kesalahan teknik terutama yang disebabkan oleh metode pengambilan darah, tipe dan konsentrasi antikoagulan serta metode yang dipakai untuk determinasi perhitungan SDM dan SDP, konsentrasi HB dan HCT (Aliambar 1999).
Nilai hematokrit juga berbeda berdasarkan ketinggian, individu yang tinggal di pegunungan memiliki nilai hematokrit yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tinggal di tepi pantai (Tortora dan Anagnostakos 1990).
2.8.4 Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin (Hb) sangat penting untuk mempertahankan kehidupan sebab ia membawa dan mengirim oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul hemoglobin ada dalam sel darah merah dan meliputi 95% dari berat keringnya. Sintesis hemoglobin dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan adanya gangguan pada salah satunya dapat menimbulkan gangguan hematologis yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999).
Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme. Setiap gram hemoglobin berisi 3,34 mg zat besi dan membawa 1,34 ml oksigen. Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unit dan masing-masing bergabung dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan oleh agen penyebab hemolisis (Ressang 1984).
2.9 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Histopatologis
Tingkat konsumsi oksigen pada dasarnya menunjukkan tingkat metabolisme. Konsumsi oksigen adalah indikator respirasi yang juga menunjukkan metabolisme energetik (Fujaya 2004). Kematian ikan yang disebabkan oleh bahan pencemar, umumnya terjadi karena kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Insang terletak di luar
(36)
21
dan berhubungan langsung dengan air sebagai media hidupnya. Insang merupakan organ yang pertama kali mendapat pengaruh apabila lingkungan air tercemar oleh bahan pencemar, baik terlarut maupun tersuspensi (Siahaan 2003).
Insang terdiri dari sepasang filamen insang. Setiap filamen terdiri dari serat melintang yang tertutup epithelium yang tipis disebut lamela. Lamela merupakan penyusun filamen. Sebuah rangkaian lamela pada satu sisi dari septum interbranchiale disebut hemibranchium. Dua hemibranchium dan septum interbranchia membentuk insang lengkap disebut holobranchia (Lagler et al. 1977).
Keterangan: 1. Eritrosit 2. Epitelium 3. Sel pillar 4. Lumen kapiler 5. Lamela
6. Sel sel interlamela 7. Sel mukus
8. Tulang rawan penopang Gambar 2 Bagian-bagian lamela insang (Lagler et al. 1977)
Keberhasilan ikan dalam mendapatkan oksigen ditentukan oleh kemampuan fungsi insang untuk menangkap oksigen dalam perairan. Proses penyerapan oksigen dalam jaringan insang dilakukan oleh darah yang mengalir ke dalam filamen-filamen insang dan akibat adanya perbedaan tekanan gas antara darah dan filamen dengan air sehingga terjadi difusi gas. Rusaknya jaringan insang akibat adanya pengaruh benda asing atau racun, menyebabkan ikan mengalami gangguan pernafasan atau lebih lanjut dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Lagler et al. 1977).
Hasil uji histologi yang dilakukan oleh Ghalib et al. (2002) menunjukkan bahwa Pb dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan insang khususnya pada lamela primer dan lamela sekunder sehingga insang tidak dapat berfungsi dengan baik. Sejalan dengan laporan Casarett dan Doult (1975) bahwa pada konsentrasi yang cukup tinggi daya konsentrasi insang juga menurun akibat adanya reaksi antara logam berat timbal dengan protein dan lendir insang yang membentuk methallotionin yang dapat menghambat kerja enzim pernapasan.
(37)
22
Vernberg dan Vernberg (1972) menyatakan bahwa oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, jika ikan berada pada medium dengan tekanan parsial oksigennya lebih rendah dari lingkungan (ambien), maka untuk mencukupi kebutuhan oksigennya ikan akan melakukan pemompaan air yang lebih besar melalui peningkatan frekuensi pergerakan operculum. Selanjutnya dikatakan bahwa meningkatnya CO2
Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Menurut Lu (1995) hal ini disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh usus halus di bawa ke hati oleh vena porta hati. Kerusakan hati tersebut dapat terjadi karena : 1) senyawa kimia yang terserap melalui oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke dalam hati melalui vena porta; 2) senyawa kimia yang dimetabolisme di dalam hati dieksresikan ke dalam empedu dan kembali lagi ke duodenal; serta 3) senyawa asing yang dimetabolisme oleh hati sebagian dilokalisir di dalam hati. Dengan demikian hati merupakan organ yang banyak berhubungan dengan senyawa kimia sehingga mudah terkena efek toksik (Loomis 1978, diacu dalam Siahaan 2003).
lebih menstimulir respon meningkatnya frekuensi gerakan operculum dalam respirasi dari pada penurunan kandungan oksigen.
Kerusakan hepatosit menurut Robert (2001) dapat dibagi menjadi dua yaitu taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan taksohepatik, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh pengaruh langsung dari agen toksik, baik berupa zat kimia maupun kuman. Kerusakan trofohepatik, yaitu kerusakan yang disebabkan adanya kekurangan faktor-faktor penting untuk kehidupan sel seperti oksigen atau zat makanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Darmono (1995) mengatakan bahwa hati ikan yang tercemar logam timbal, kadmium, copper, atau merkuri mengalami kerusakan berupa pembendungan, hemoragi dan degenerasi vakuola. Degenerasi vakuola atau pembekakan sel merupakan salah satu indikasi terjadinya perlemakan hati, pada keadaan ini sel hati tampak membesar. Menurut Ressang (1984), perlemakan yang berlangsung lama dapat menyebabkan
(38)
23
terjadinya kerusakan hati yaitu kongesti. Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi.
2.10 Bioassay
Ikan merupakan indikator biologik dalam pencemaran air, sedangkan kematian merupakan tolok ukur toksisitas akut pencemar air pada ikan. Pengaruh pencemar air dapat menyebabkan :
1) Merusak insang : gangguan respiratorik dan sirkulatorik, anoksemia dan gangguan fungsi ekskretorik insang.
2) Membunuh ikan setelah absorpsi lewat permukaan mulut, insang dan kulit. 3) Membunuh ikan setelah absorpsi lewat permukaan saluran pencemaan.
Studi bioassay dilakukan sebagai tes spesifik untuk menentukan dampak dari polutan dan faktor lingkungan pada biota akuatik dalam keadaan tertentu dan waktu tertentu (APHA 1979). Menurut Sanusi (2009), terdapat dua tipe dari keracunan akibat logam berat, yaitu :
1) Efek akut, biasanya letal dimana biota akan lansung menderita sesaat setelah dimasukan kedalam media yang terdapat konsentrasi yang tinggi dari polutan dan biasanya berlanjut pada kematian.
2) Efek kronis, biota akan mengalami efek yang lebih lama, biasanya akan berdampak pada pertumbuhan, reproduksi dan pola tigkah laku. Efek dari kronis dapat berupa lethal ataupun sublethal.
Berdasarkan tingkatan dari kematian yang disebabkan, polutan atau faktor lingkungan diklasifikasikan dalam lima kategori :
1) Lethal Concentration (LC)
LC ditentukan pada saat mortalitas mencapai >50% dan terjadi setelah 24 jam, 48 jam, atau 96 jam setelah dimasukkan kedalam media.
2) Effective Concentration (EC)
EC ditentukan pada waktu konsentrasi dapat menyebabkan efek berbahaya seperti perbedaan pola tingkah laku biota dan ketidakseimbangan pada 50% populasi biota akuatik.
3) Incipent Lethal Concentration (ILC)
(39)
24
4) Save Concentration (SC)
Konsentrasi tertinggi yang paling aman bagi biota akuatik
5) Maximum Allowable Toxicant Concentration (MATC)
Konsentrasi tertinggi yang diperbolehkan ada di perairan yang tidak akan menyebabkan bahaya apapun bagi organisme akuatik (APHA 1979; Effendi 1993).
Dari harga LC50
sangat tinggi : < 1 mg/L
, selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi :
tinggi : 1 -50 mg/L
sedang : 50 – 500 mg/L
sedikit toksik : 500 – 5000 mg/L
hampir tidak toksik : 5 – 15 g/L
relatif tidak berbahaya : > 15 g/L, (Balazs 1970)
2.11 Kualitas Air
Kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur (Palar 2004). Menurut Swingle (1969) diacu dalam Boyd (1984), akibat variasi pH pada ikan di kolam adalah pada pH 6,5- 9 pertumbuhan baik, pada 4-6,5 atau 9-11 ikan tumbuh lambat, dan pada pH < 4 atau > 11 ikan akan mati. Selanjutnya dikatakan bahwa paling tinggi perairan alami memiliki nilai pH 6,5-9,0 (Swingle 1969, diacu dalam Boyd 1984).
Parameter kualitas air yang secara signifikan sangat berpengaruh terhadap akumulasi logam berat di perairan adalah: pH, suhu, dan kandungan oksigen (Kurniastuty et al. 2008). Penurunan pH akan menyebabkan tingkat bioakumulasi semakin besar (Sorense 1991; NOAA 2000, diacu dalamKurniastuty et al. 2008).
Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toxit),
(40)
25
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle 1968). Bila DO < 1 mg/L ikan mati jika lama pemaparan selama beberapa jam, 1,00-5,00 mg/L ikan hidup tetapi reproduksi rendah dan pertumbuhan lambat jika pemaparan kontinyu, > 5 mg/L reproduksi dan pertumbuhan normal (Swingle 1969, diacu dalam Boyd 1984).
Tingkat kesadahan 0,00-75,00 mg/L (lunak), 75,00-150,00 mg/L (sedang), 150,00-300,00 mg/L (sadah), dan > 300,00 mg/L (sangat sadah) (Sawyer dan Mc Carty 1967, diacu dalam Boyd 1984).
Kenaikan suhu air dan penurunan pH akan mengurangi absorpsi senyawa logam berat pada partikulat. Suhu air yang lebih dingin akan meningkatkan absorpsi logam berat ke partikulat untuk mengendap di dasar. Sementara saat suhu air naik, senyawa logam berat akan melarut di air karena penurunan laju adsorpsi ke dalam partikulat. Logam yang memiliki kelarutan yang kecil akan ditemukan di permukaan air selanjutnya dengan perpindahan dan waktu tertentu akan mengendap hingga ke dasar, artinya logam tersebut hanya akan berada di dekat permukaan air dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian mengendap lagi. Hal ini ditentukan antara lain oleh massa jenis air, viskositas air, temperatur air, arus serta faktor-faktor lainnya (Palar 2004).
Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahan-bahan organik, daya larut logam berat akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap (Lawrence 2003).
Suhu air yang optimum untuk mendukung pertumbuhan ikan nila berkisar antara 25-30 oC, sedangkan pH optimal adalah 6,5-8,5, namun masih dapat hidup pada kisaran pH 4-12 (Bardach dan lelono, 1986 diacu dalam Haryono et al. 2001). Hal ini diperkuat pula oleh Anonim (2011) bahwa suhu air yang disarankan untuk nila adalah 28-30 oC (82-86 oF). Tingkat pertumbuhan akan menurun secara dramatis jika air dingin sampai 20 oC (50 oF) dan ikan biasanya akan mulai mati di sekitar 10 oC (50 oF). Juga penting untuk diingat bahwa air dingin akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ikan dan membuatnya lebih rentan terhadap kesehatan yang buruk sehingga suhu air di bawah 13 ˚C (55 ˚F) tidak pernah dianjurkan. Kebutuhan oksigen pada ikan bervariasi bergantung
(41)
26
pada spesies, kondisi lingkungan yang ada dan aktivitas ikan (Pescod 1973). Selanjutnya dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak boleh kurang dari 2 ppm dengan asumsi tidak ada bahan-bahan toksik yang masuk. Kisaran oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan biota air tawar menurut EPA (1991) adalah tidak boleh kurang dari 4,0 ppm, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 persyaratan kandungan oksigen yang minimum untuk perikanan adalah tidak boleh kurang dari 3,0 ppm.
(42)
27 III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Maret 2010. Lokasi pelaksanaan penelitian yaitu: Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan, dan Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
3.2.1 Bahan dan Ikan Uji
Bahan kimia yang digunakan adalah nikel klorida (NiCl2
3.2.2 Media
). Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) dengan bobot 13 – 15 gram/ekor sebanyak 510 ekor. Ikan tersebut digunakan dalam tahap uji nilai kisaran sebanyak 180 ekor, tahap uji toksisitas akut sebanyak 150 ekor, dan tahap uji sub kronik sebanyak 180 ekor.
Media uji yang digunakan adalah air tawar yang berasal dari bak air tawar Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, yang berkesadahan lunak (rata-rata 57,66 mg/L).
3.2.3 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blower, aerator, termometer, selang plastik, timbangan elektrik, DO meter, dan pH meter. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi antara lain: seperangkat alat bedah (disecting unit), inkubator, timer, kotak preparat, object glass, cover
glass, botol sampel, peralatan gelas, baskom plastik, hotplate, mikroskop cahaya,
mikroskop binokuler serta seperangkat peralatan fotomikroskop merek Olympus model PM-10 AD.
(43)
28
3.2.4 Wadah Penelitian
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak penampungan air berukuran 100 x 95 x 110 cm sebanyak 2 buah, akuarium penampungan ikan stok berukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm sebanyak 2 buah, dan akuarium yang digunakan untuk uji pendahuluan, uji toksisitas akut, dan uji sub kronik yang berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm sebanyak 18 buah.
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan atas tiga tahap, yaitu: uji nilai kisaran, uji akut, dan uji sub-kronik. Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila GIFT ukuran 13 – 15 gram/ekor, diperoleh dari Perusahaan Nurul Maulida Berkah yaitu perusahaan penyedia ikan konsumsi dan bibit ikan tawar. Logam berat nikel yang digunakan sebagai sumber toksisitas dalam penelitian adalah nikel klorida (NiCl2
3.3.1 Uji Nilai Kisaran
) yang diperoleh dari Toko Setia Guna, Bogor. Wadah yang digunakan dalam penelitian berupa akuarium berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm, yang diisi air tawar sebanyak 30 liter.
Uji nilai kisaran bertujuan untuk mencari nilai konsentrasi batas bawah dan nilai konsentrasi batas atas nikel, yang digunakan terhadap ikan nila GIFT. Batas atas merupakan konsentrasi yang menyebabkan dampak kematian ikan nila 100 % dalam waktu 24 jam, sedangkan batas bawah adalah konsentrasi nikel pada saat 100% ikan nila yang dicobakan masih dapat hidup setelah 48 jam pemaparan. Tahap uji ini menggunakan 150 ekor ikan uji, kepadatan 1 ekor/3 L yang dibagi menjadi 4 taraf yaitu 0,6; 6; 60 ; dan 600 ppm dan 1 perlakuan kontrol negatif dengan masing-masing 3 ulangan. Penentuan konsentrasi nikel pada perlakuan
dilakukan dengan membuat larutan stok (stock solution) 1000 ppm dan
selanjutnya dikonversi menggunakan rumus pengenceran, sebagai berikut: N1 V1 = N2 V2
Keterangan: N
……….. (1)
1
V
= Konsentrasi larutan Ni standar (ppm)
1
N
= Volume air media yang digunakan (liter)
2
V
= Konsentrasi Ni yang diinginkan (ppm)
(44)
29
Tingkat kematian ikan nila GIFT dihitung pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, dan jam ke-24. Perhitungan berikutnya dilakukan setiap 6 jam sampai jam ke-48. Berdasarkan uji nilai kisaran diperoleh nilai ambang bawah yaitu 6 ppm dan nilai ambang atas yaitu 60 ppm.
3.3.2 Uji Toksisitas Akut
Pada uji ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksik nikel terhadap tingkat mortalitas, akumulasi nikel dalam darah dan daging, frekuensi bukaan operculum, dan nilai Lc-50
Penghitungan konsentrasi yang digunakan dalam uji akut dengan menggunakan rumus Wardoyo (1981), sebagai berikut:
24, 48, 72, dan 96 jam.
Log (N/n) = k (log a / log n) ……….. (2) Dengan ketentuan :
a/n = b/a = c/b = d/c = … = N/d ………… (3) Keterangan: N = nilai konsentrasi ambang atas (ppm)
n = nilai konsentrasi ambang bawah (ppm) k = jumlah interval konsentrasi yang di uji (k=4)
a = konsentrasi terkecil deret konsentrasi yang ditentukan (ppm) Dengan menggunakan persamaan (2) ditentukan konsentrasi terkecil dan dengan persamaan (3) ditentukan nilai konsentrasi untuk uji akut sebanyak 4 perlakuan, sehingga didapatkan konsentrasi 10,67 ppm untuk perlakuan B, konsentrasi 18,98 ppm untuk perlakuan C, konsentrasi 33,76 ppm untuk perlakuan D, dan konsentrasi 60,05 ppm untuk perlakuan E. Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 ulangan dan 1 perlakuan kontrol negatif (perlakuan A).
Kepadatan ikan uji 10 ekor per unit percobaan (1 ekor/liter). Selama uji akut, pada akuarium diberi aerasi. Feses dan sisa pakan di dasar akuarium disipon setiap hari dan dilakukan pergantian air dengan konsentrasi Ni sesuai perlakuan. Pengamatan terhadap perubahan tingkah laku dan mortalitas ikan nila GIFT dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, dan jam ke-24. Perhitungan berikutnya dilakukan tiap 6 jam sekali sampai jam ke-96. Indikator yang diamati adalah frekuensi bukaan operkulum per menit, pola gerak renang dan refleksi (normal, diam di dasar, ke permukaan, tidak seimbang, gerakan seperti gerak terkejut, atau kehilangan gerak refleks) dan perubahan warna sisik.
(45)
30
Penghitungan gerak operculum dimulai 30 menit setelah pemberian bahan uji, penghitungan dilakukan selama 1 menit dan diulangi setiap 10 menit sampai menit ke 30 dan selanjutnya dibandingkan dengan kontrol.
Pengukuran kualitas air media pada setiap unit percobaan, dilakukan pada jam ke-0, 24, 48, 72 dan ke-96.
a. Tingkat Mortalitas
Banyaknya populasi ikan nila yang mati dihitung dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar pada setiap pengamatan (jam ke-24, 48, 72, dan 96).
b. Tingkat Akumulasi Logam Ni
Untuk menganalisis tingkat akumulasi logam berat Ni oleh tubuh ikan nila, maka dilakukan pengukuran kandungan logam berat Ni di daging dan darah ikan
nila tersebut. Metode yang digunakan adalah AAS (Atomic Absorption
Spectroscopy). Diagram dari tahap proses pengukuran kandungan nikel dalam
daging ikan nila dengan menggunakan metode AAS ini disajikan pada Lampiran 3.
c. Frekuensi Bukaan Operculum
Frekuensi bukaan operculum hewan uji pada setiap perlakuan dihitung rata-ratanya berdasarkan pembagian zona waktu yaitu pagi (08.00 – 09.00), siang (12.00 – 13.00), sore (15.00 – 16.00), malam (20.00 – 21.00), dan subuh( 04.00 – 05.00), selanjutnya dibandingkan menggunakan Anova dan uji Tukey.
d.
Nilai
Lc-50
50
3.3.3 Uji Sub-Kronik
pada jam ke- 24, 48, 72, dan 96, didapatkan dengan cara analisis probit dengan membandingkan konsentrasi nikel pada setiap perlakuan dengan tingkat mortalitas rata-rata ikan nila GIFT pada setiap perlakuan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksisitas nikel terhadap tingkat konsumsi oksigen, kondisi sistem hematologi, kondisi sistem histopatologi, tingkat akumulasi nikel, laju pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan nila GIFT. Uji sub-kronik ini dilakukan dengan 3
(46)
31
perlakuan dan 3 ulangan yaitu : perlakuan A (tanpa nikel) sebagai kontrol, perlakuan B (10% dari LC50-96 jam), perlakuan C (30% dari LC50
a. Tingkat Konsumsi Oksigen
-96 jam). Pada tahap ini, digunakan ikan uji sebanyak 180 ekor dengan masing-masing unit sebanyak 20 ekor. Percobaan dirancang mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji sub-kronik dilakukan selama 32 hari. Variabel yang diamati, sebagai berikut :
Tingkat konsumsi oksigen diukur dengan menghitung rasio oksigen terlarut pada awal dan akhir penelitian persatuan waktu. Botol respirasi yang digunakan diisi air sampai penuh, selanjutnya diaerasi dengan kuat (bubling) selama 2 hari agar kandungan oksigennya bertambah. Setelah diaerasi air media dibiarkan selama setengah jam, kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO-meter terkalibrasi. Ikan ditimbang kemudian dimasukkan kedalam botol respirasi, diukur DO awal, kemudian ditutup dan diukur setiap 1 jam dengan waktu pengukuran selama 3 – 4 jam. Kemudian diukur DO akhir, maka akan didapatkan tingkat konsumsi oksigen menggunakan rumus dibawah ini (Liao dan Huang 1975) :
TKO = {(DO0 – DOt
Keterangan: TKO = Tingkat Konsumsi oksigen (mg O
)/W x t} x V……….(4)
2
DO
/ g tubuh /jam)
0
DOt = Oksigen terlarut pada awal pengamatan (ppm)
W = Bobot ikan uji (g)
= Oksigen terlarut pada akhir pengamatan (ppm) t = Periode pengamatan (jam)
V = Volume air dalam respirometer (L)
Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan sebanyak 5 kali yaitu pada hari ke-0, 8, 16, 24, dan 32.
b. Kondisi Hematologi • Kadar Hematokrit (Ht)
Pengukuran hematokrit menggunakan Microhematocrit method. Ujung mikrohematokrit/mikrokapiler berheparin (untuk mencegah pembekuan darah dalam tabung) ditempelkan pada tetesan darah dan dibiarkan mengalir sendiri memasuki ruangan sampai volume darah mencapai ¾ bagian tabung kemudian salah satu ujung tabung disumbat dengan crestaseal. Darah disentrifuge pada
(47)
32
kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah itu akan terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih di bagian atas, kemudian lapisan putih abu-abu (buffy coat) yang merupakan trombosit dan leukosit, serta lapisan eritrosit yang berwarna merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur persentase volume eritrosit dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit dan dinyatakan dalam persentase (% Ht).
• Kadar Hemoglobin (Hb)
Pengukuran kadar hemoglobin pada prinsipnya adalah mengkonversikan hemoglobin dalam darah ke dalam bentuk asam hematin oleh asam klorida. Mula-mula darah diisap menggunakan pipet sahli hingga skala 20 mm3
• Eritrosit
, kemudian dipindahkan ke dalam tabung Hb yang berisi HCl 0.1 N sampai skala 10 (kuning). Didiamkan selama 3–5 menit agar Hb bereaksi dengan HCl membentuk asam hematin, kemudian diaduk dan ditambahkan aquadestila (sedikit demi sedikit) hingga warnanya sama dengan standar. Pembacaan skala dilakukan dengan melihat tinggi permukaan larutan yang dikocok dengan skala lajur g% yang menunjukkan banyaknya Hb dalam gram setiap 100 ml darah dan dinyatakan dalam persentase (% Hb).
Sampel darah diencerkan dengan larutan Hayem untuk menghancurkan sel darah putih agar jumlah sel darah merah dapat dihitung. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan piper pencampur berskala maksimum 101 yang dilengkapi pengaduk. Darah diisap hingga skala 0,5 pada pipet, ujung pipet dibersihkan dengan tissue, kemudian larutan hayem diisap dengan cepat dan hati-hati hingga skala 101 menggunakan pipet yang sama. Pipet dikocok selama 3 menit dengan hati-hati sehingga darah tercampur merata pada bagian yang bertanda 1–101. Larutan pada ujung pipet yang tidak tercampur dibuang dengan menggunakan tisu. Darah yang teraduk diteteskan ke dalam hemositometer yang dilengkapi dengan gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala. Selanjutnya dilakukan penghitungan di bawah mikroskop.
Untuk menghitung jumlah eritrosit digunakan 5 kotak kecil yang terletak di bagian tengah kamar hitung yaitu empat kotak di sudut-sudutnya dan satu kotak
(1)
129
Pada hari ke-16
Deskriptif
Perlakuan Jumlah
Rata-
rata
Standar
deviasi
K.baku
kepercayaan 95%
Tingkat
Min Maks
B.bawah B.atas
A
3
0,7317 9,49602 5,48202 0,4958 0,9676 0,63 0,81B
3
0,4297 0,4186 0,2417 -0,6101 1,4695 0,19 0,91C
3
0,1467 0,1158 6,68502 -0,1410 0,4343 0,05 0,28Total
15
0,4360 0,3370 0,1123 0,1769 0,6951 0,05 0,91Anova
Sumber
Keragaman
Derajat
bebas
Kuadrat
Jumlah
Kuadrat
Tengah
F
P
Antar kelompok
2
0,514 0,257 3,897 0,082Dalam kelompok
6
0,395 0,066Total
8
0,909Uji tukey
Perlakuan
(I)
Perlakuan
(J)
rata-rata
Beda
(I-J)
K.baku
P
Tingkat kepercayaan
95%
Batas bawah
Batas atas
A
B
0,3020 0,2096 0,380 -0,3410 ,9450C
0,5850 0,2096 0,071 -5,8014 1,2280B
A
-0,3020 0,2096 0,380 -0,9450 0,3410C
0,2830 0,2096 0,421 -0,3600 0,9260C
A
-0,5850 0,2096 0,071 -1,2280 5,80102B
-0,2830 0,2096 0,421 -0,9260 0,3600Perlakuan
Jumlah
Alpha = 0,05
1
B
3 0,1467C
3 0,4297A
3 0,7317(2)
130
Pada hari ke-24
Deskriptif
Perlakuan Jumlah
Rata-
rata
Standar
deviasi
K.baku
kepercayaan 95%
Tingkat
Min Maks
B.bawah
B.atas
A
3
0,6620 0,1209 6,97802 0,3618 0,9622 0,57 0,80B
3
0,2667 8,78002 5,06902 4,85702 0,4848 0,18 0,35C
3
7,91702 4,73202 2,73202 -3,839302 0,1967 0,03 0,11Total
15
0,3359 0,2693 8,97702 0,1289 0,5430 0,03 0,80Anova
Sumber
Keragaman
Derajat
bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengak
F
P
Antar kelompok
2
0,531 0,266 32,446 0,001Dalam kelompok
6
4,91102 8,18503Total
8
0,580Uji tukey
Perlakuan
(I)
Perlakuan
(J)
Beda
rata-rata
(I-J)
K.baku
P
Tingkat kepercayaan
95%
Batas bawah Batas atas
A
B
0,3953* 7,38702 0,004 0,1687 0,6220C
0,5828* 7,38702 0,001 0,3562 0,8095B
A
-0,3953* 7,38702 0,004 -0,6220 -0,1687C
0,1875 7,38702 0,097 -3,915202 0,4142C
A
-0,5828* 7,38702 0,001 -0,8095 -0,3562B
-0,1875 7,38702 0,097 -0,4142 3,91502Perlakuan
Jumlah
Alpha = 0,05
1
2
B
3 7,917E-02C
3 0,2667A
3 0,6620(3)
131
Pada hari ke-32
Deskriptif
Perlakuan Jumlah
Rata-
rata
Standar
deviasi
K.baku
kepercayaan 95%
Tingkat
Min
Maks
B.bawah B.atas
A
3
0,4750 0,1185 6,83902 0,1807 0,7693 0,36 0,60B
3
0,2130 6,61402 3,81902 4,86902 0,3773 0,14 0,26C
3
0,1167 9,04302 5,22102 -0,1080 0,3413 0,01 0,18Total
15
0,2682 0,1801 6,00302 0,1298 0,4067 0,01 0,60Anova
Sumber
Keragaman
Derajat
bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F
P
Antar kelompok
2
0,206 0,103 11,642 0,009Dalam kelompok
6
5,31702 0,0886Total
8
0,259Uji tukey
Perlakuan
(I)
Perlakuan
(J)
rata-rata
Beda
(I-J)
K.baku
P
Tingkat kepercayaan
95%
Batas bahaw Batas atas
A
B
0,2620* 7,68602 0,033 2,61702 0,4978C
0,3583* 7,68602 0,008 0,1225 0,5942B
A
-0,2620* 7,68602 0,033 -0,4978 -2,616902C
9,63302 7,68602 0,468 -0,1395 0,3322C
A
-0,3583* 7,68602 0,008 -0,5942 -0,1225B
-9,633302 7,68602 0,468 -0,3322 0,1395Perlakuan
Jumlah
Alpha = 0,05
1
2
B
3 0,1167C
3 0,2130A
3 0,4750(4)
132
Lampiran 18 Tingkat konsumsi pakan rata-rata ikan nila GIFT
Perlakuan
Ulangan
Tingkat konsumsi pakan
(g/ekor/hari)
A
1
0,57
2
0,65
3
0,56
Rata-rata
0,59
B
1
0,18
2
0,20
3
0,16
Rata-rata
0,18
C
1
0,13
2
0,13
3
0,13
(5)
133
Lampiran 19
Tingkat kelangsungan hidup (Survival rate) ikan nila GIFT pada
media yang terkontaminasi nikel selama 32 hari pemaparan
Perlakuan
Ulangan
rata-rata SR
(%)
A
(0 ppm)
1
95
2
95
3
95
rata-rata
95
B
(1,39 ppm)
1
95
2
95
3
90
rata-rata
93,33
C
(4,18 ppm)
1
95
2
90
3
95
rata-rata
93,33
(6)