Perilaku “Ngelem” Pada Anak Jalanan (Studi Kasus Anak Jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurhan Sempakata Kecamatan Medan Selayang).

(1)

PERILAKU “NGELEM” PADA ANAK JALANAN

(Studi Kasus Anak Jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang)

SKRIPSI

Oleh:

MUTIARA GINTING NIM 070901049 Departemen Sosiologi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

BERITA ACARA PENGESAHAN

Telah selesai diberikan bimbingan dalam penulisan skripsi sehinggga naskah skripsi ini telah memenuhi syarat dan dapat disetujui untuk dipertahankan dalam ujian skripsi, oleh:

Nama : Mutiara Ginting

NIM : 070901049

Departemen : Sosiologi

Judul Skripsi : Perilaku “Ngelem” Pada Anak Jalanan

(Studi Kasus Anak Jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurhan Sempakata Kecamatan Medan Selayang)

PENGUJI I PENGUJI II

Dra. Rosmiani, MA Dra. Lina Sudarwati, M. Si

DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN

Dra. Lina Sudarwati, M.Si DEKAN


(3)

KATA PENGANTAR

Kemuliaan bagi Allah yang Esa yang Maha kasih dan adil. Oleh karena anugrah-Nya semata, saya dapat menyelesaikan tugas saya sebagai mahasiswa S1 di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Saya sangat bersyukur oleh bimbingan-Nya melalui doa, firman dan dukungan orang-orang di sekeliling saya, Ia menyatakan kehendak-Nya dalam mengarahkan saya sebagai mahasiswa yang takut akan Allah.

Dalam pengerjaan skripsi ini, saya menyadari keterbatasan saya dalam hal pengetahuan, pengalaman dan kelemahan lainnya sebagai mahasiswa. Namun, itu tidak menjadi penghalang bagi saya untuk selalu berjuang memberikan yang terbaik sebagai mahasiswa. Saya menyadari penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, doa dan kerja sama dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun materil. Oleh sebab itu, saya mengucapkan trimakasi kepada:

1. Kedua orang tua saya yaitu Bapak J. Ginting dan Mama H. Br Barus yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian serta doa di dalam setiap keterbatasannya sebagai manusia, tetapi terus berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Demikian juga buat abang N. Ginting yang memberikan dukungan dan motivasi untuk terus semangat kepada saya sehingga saya dapat merasakan kasih sayang seorang abang untuk adiknya. Kiranya kita menjadi keluarga yang takut akan Allah dan menjadi berkat dimanapun kita berada.


(4)

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati M.Si, selaku dosen pembimbing dan ketua Departemen Sosiologi yang membantu saya dalam menyelesaikan skripsi. Beliau yang telah memberikan pengajaran yang sangat berarti selama saya menjadi seorang mahasiswa sehingga saya mengerti bagaimana seharusnya mahasiswa yang berprestasi yang tidak hanya menguasai teori, tetapi juga aplikasi di lapangan.

3. Ibu Dra. Rosmiani MA, selaku dosen wali saya, yang telah memberikan motivasi dan semangat dalam belajar. Beliau juga telah memberikan banyak pemahaman dan mengajarkan banyak ilmu selama saya menjadi mahasiswa. 4. Bapak Prof. Badarudin M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik yang juga pernah membimbing saya dalam memahami sosiologi. 5. Seluruh dosen pengajar Departemen Sosiologi yang telah membimbing saya

selama saya menjadi mahasiswa.

6. Seluruh pegawai departemen dan pendidikan yang membantu dan mendukung proses penyelesaian studi dalam urusan administrasi di Departemen dan Pendidikan.

7. PKK dan teman-teman KTB saya, The Witness, yaitu Kakak Dorismawati Sihombing S.Sos, Abang Okto Silaban, S.Sos, Abang Nalon Ginting, S. Sos. Terimakasih atas persekutuan kita dalam belajar menjadi mahasiswa yang takut akan Allah. Semoga kita menjadi berkat bagi setiap orang. Demikian pula Kak Nellina Yunanda Turnip, S.Sos selaku kakak rohani yang pernah membimbing saya dalam mengenal visi Allah.


(5)

8. Adik-adik rohaniku yang sangat aku kasihi di dalam Allah, yaitu Joel Isahya (Rebekka Purba, Rina Maria Hutagaol, Sarah Rogatianni Artati Gultom dari Komunikasi 2009) dan Calvari Evangelion (Sri Handayani Ginting, Irma Sinurat, Yolanda Sembiring dari Sosiologi 2010). Terimakasih atas perhatian, dukungan, doa dan kasih sayang kalian. Kakak sangat bersyukur kepada Allah setiap kali kakak mengingat kalian. Dan inilah doa kakak, semoga kasih kalian makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kalian dapat memilih apa yang baik, supaya kalian tetap suci dan penuh dengan buah kebenaran untuk memuliakan dan memuji Allah.

9. TPP (Tim Pengurus Pelayanan) UKM KMK USU UP PEMA FISIP 2010 dan terkhusus TPP 2011 (Senti, Rosmeri, Lenta, Sarah, Mian, Siska, Rebekka, Arnold, Damai, Rina, Mercy). Terimakasih atas dukungan, kasih dan doa teman-teman. Semoga kita dapat menjadi alumni-alumni yang takut akan Tuhan dan menjadi terang dimanapaun Allah menempatkan kita.

10.Seluruh keluarga besar UKM KMK USU dan UKM KMK UP PEMA FISIP, semoga menghidupi visi Allah dan terus bergiat dalam mengerjakan Amanat Agung Allah.

11.Seluruh teman-teman mahasiswa Departemen Sosiologi, terkhusus stambuk 2007 terimakasih atas kebersamaannya.

12.Sahabat saya Sondang Nababan dan Suandi Pakpahan. Terimakasi atas dukungan dan doanya.


(6)

13.Seluruh anak-anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti yang telah menjadikan saya sebagai seorang kakak untuk mereka. Semoga mereka dapat menjadi lebih baik, baik dari akhlak dan kehidupan ke depannya.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI……….. v

DAFTAR TABEL……… ix

ABSTRAK……….. x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………..….. 1

1.2 Rumusan Masalah……….………..… 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 5

1.4 Definisi Konsep………... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anak Jalanan ………..……… ….. 8

2.2 Anak dalam Aspek Sosiologis………... 11

2.3 Sosialisasi dalam Pembentukan Perilaku………...12

2.3.1Jenis Sosialisasi………. 13

2.3.2Tipe Sosialisasi………... 15

2.3.3Pola Sosialisasi………... 16

2.3.3.1Proses Sosialisasi Menurut George Herbert Mead…………... 16


(8)

2.3.3.3Agen Sosialisasi………. 21

2.3.4Penyimpangan Sosial dalam Masyarakat……….. 25

2.3.4.1 Bentuk-bentuk Penyimpangan Sosial………. 25

2.3.4.2 Latar Belakang Terjadinya Penyimpangan Sosial………….. 26

2.3.4.3 Faktor-faktor Terjadinya Penyimpangan Sosial………. 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………... 29

3.2 Lokasi Penelitian……… 30

3.3 Unit Analisis dan Informan……… 30

3.4 Teknik Pengumpulan Data………. 31

3.5 Interpretasi Data……….. 32

3.6 Jadwal Kegiatan……….. 33

3.7 Kesulitan Penelitian………. 34

BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian………. 35

4.1.1 Keadaan Geografis………. 35

4.1.2 Keadaan Penduduk………... 36

4.2 Profil Informan……… 40

4.2.1 Profil Anak Jalanan……… 40


(9)

4.3 Penyebab Anak Tinggal di Jalanan……….. 51

4.3.1 Faktor Internal Anak Tinggal di Jalanan……….. 51

4.3.2 Faktor Eksternal Anak Tinggal di Jalanan ……….. 54

4.4 Kategori atau Status Anak di Jalan Ngumban Surbakti………... 62

4.5 Ngelem Menjadi Bagian dari Aktifitas Anak Jalanan di Jalan Ngumban Surbakti………... 64

4.5.1 Kebiasaan Sehari-hari Anak Jalanan……….... 65

4.5.2 Kondisi Tempat Tinggal Anak Jalanan……… 67

4.5.3 Pola Interaksi Anak Jalanan Tidak Terlepas dari Perilaku Ngelem dan Prilaku Menyimpang Lainnya……… 68

4.6 Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Jalanan Cenderung Menghirup Lem…...……….. 70

4.6.1 Ngelem Dapat Memberikan Rasa Tenang dan Menimbulkan Halusinasi Meskipun Hanya Sesaat………... 70

4.6.2 Pengaruh Teman Sebaya dan Rasa Keingintahuan Untuk Ikut Mencoba……….. 71

4.6.3 Harga Lem yang Murah dan Mudah Dicari………. 72

4.6.4 Ketergantungan Menghirup Lem (Ketagihan)………. 73

4.6.5 Perilaku Ngelem Sebagai Bentuk Kebersamaan di Kalangan Anak Jalanan……… 74

4.7 Ngelem Sebagai Perilaku Menyimpang………... 77


(10)

4.7.2 Perilaku Ngelem Anak Jalanan Berdampak Negatif Bagi Kehidupan Sosial …… ………... 80

BAB V PENUTUP

5.1Kesimpulan………...83

5.2Saran……….84

DAFTAR PUSTAKA………... 87


(11)

DAFTAR TABEL

4.1 Data Jumlah Kelurahan dan Luas Wilayah di Kecamatan Medan Selayang 4.2 Etnis Penduduk di Kelurahan Sempakata Tahun 2008

4.3 Agama Penduduk di Kelurahan Sempakata Tahun 2008

4.4 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kelurahan Sempakata Tahun 2008

4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Kelurahan Sempakata Tahun 2008

4.6 Data Anak Jalanan Berdasarkan Pekerjaan Usia, Pendidikan Terakhir, Asal dan Status


(12)

ABSTRAK

Anak jalanan berbeda dengan anak-anak pada umumnya yang tinggal dan hidup bersama orangtua yang memberikan perhatian dan kasih sayang. Anak jalanan merupakan anak-anak yang termarginalisasi karena tidak menerima perlakuan yang seharusnya mereka terima dan rasakan baik dari keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun dari agen-agen sosial lainnya. Kehidupan tanpa aturan seringkali menjadi perlakuan yang mereka perlihatkan akibat kurangnya pendidikan yang mereka terima. Demikian pula halnya dengan perilaku menyimpang yang mereka lakukan sebagai pelarian dari kurangnya perhatian yang mereka harapkan. Perilaku ngelem merupakan salah satu perilaku menyimpang yang seringkali dilakukan oleh anak-anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

Ada beberapa faktor anak jalanan melakukan perilaku ngelem, seperti ngelem dapat memberikan rasa tenang dan menimbulkan halusinasi meskipun hanya sesaat, terpengaruh oleh teman sebaya dan keingintahuan untuk ikut mencoba, harga lem yang murah dan mudah didapat, rasa ketergantungan terhadap lem (ketagihan), serta perilaku ngelem yang dianggap sebagai bentuk kebiasaan yang menyenangkan di kalangan anak jalanan.

Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang merupakan lokasi penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Penelitian ini dilakukan terhadap 12 (dua belas) orang informan, yaitu 10 (sepuluh) orang anak jalanan pelaku ngelem dan 2 (orang) keluarga anak jalanan. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa perilaku ngelem merupakan bagian hidup anak jalanan yang tidak mudah untuk dihindarkan dan dihilangkan. Hal ini disebabkan karena perilaku ngelem telah menjadi kebiasaan di kalangan anak jalanan, bukan hanya di Jalan Ngumban Surbakti, tetapi juga di berbagai tempat dimana anak jalanan sering mangkal. Hal ini didukung dengan mudahnya mendapatkan lem dengan harga yang masih terjangkau bagi ukuran anak jalanan. Akibat ngelem, anak-anak jalanan mengalami perubahan emosional yang tidak jarang membawa mereka kepada halusinasi dan perilaku negatif seperti, berbicara kotor, mencuri dan berkelahi. Dalam mengatasi perilaku ngelem, dibutuhkan keseriusan dari seluruh agen sosial untuk mengerjakan peranananya dengan baik dan terpadu. Keluarga sebagai agen pertama yang sangat berperan terhadap perkembangan anak, baik secara pribadi maupun sosial, khususnya dalam mendapatkan perhatian dan sosialisasi tentang apa yang baik dan yang benar.


(13)

ABSTRAK

Anak jalanan berbeda dengan anak-anak pada umumnya yang tinggal dan hidup bersama orangtua yang memberikan perhatian dan kasih sayang. Anak jalanan merupakan anak-anak yang termarginalisasi karena tidak menerima perlakuan yang seharusnya mereka terima dan rasakan baik dari keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun dari agen-agen sosial lainnya. Kehidupan tanpa aturan seringkali menjadi perlakuan yang mereka perlihatkan akibat kurangnya pendidikan yang mereka terima. Demikian pula halnya dengan perilaku menyimpang yang mereka lakukan sebagai pelarian dari kurangnya perhatian yang mereka harapkan. Perilaku ngelem merupakan salah satu perilaku menyimpang yang seringkali dilakukan oleh anak-anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

Ada beberapa faktor anak jalanan melakukan perilaku ngelem, seperti ngelem dapat memberikan rasa tenang dan menimbulkan halusinasi meskipun hanya sesaat, terpengaruh oleh teman sebaya dan keingintahuan untuk ikut mencoba, harga lem yang murah dan mudah didapat, rasa ketergantungan terhadap lem (ketagihan), serta perilaku ngelem yang dianggap sebagai bentuk kebiasaan yang menyenangkan di kalangan anak jalanan.

Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang merupakan lokasi penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Penelitian ini dilakukan terhadap 12 (dua belas) orang informan, yaitu 10 (sepuluh) orang anak jalanan pelaku ngelem dan 2 (orang) keluarga anak jalanan. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa perilaku ngelem merupakan bagian hidup anak jalanan yang tidak mudah untuk dihindarkan dan dihilangkan. Hal ini disebabkan karena perilaku ngelem telah menjadi kebiasaan di kalangan anak jalanan, bukan hanya di Jalan Ngumban Surbakti, tetapi juga di berbagai tempat dimana anak jalanan sering mangkal. Hal ini didukung dengan mudahnya mendapatkan lem dengan harga yang masih terjangkau bagi ukuran anak jalanan. Akibat ngelem, anak-anak jalanan mengalami perubahan emosional yang tidak jarang membawa mereka kepada halusinasi dan perilaku negatif seperti, berbicara kotor, mencuri dan berkelahi. Dalam mengatasi perilaku ngelem, dibutuhkan keseriusan dari seluruh agen sosial untuk mengerjakan peranananya dengan baik dan terpadu. Keluarga sebagai agen pertama yang sangat berperan terhadap perkembangan anak, baik secara pribadi maupun sosial, khususnya dalam mendapatkan perhatian dan sosialisasi tentang apa yang baik dan yang benar.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Situasi krisis ekonomi yang tidak kunjung usai mengakibatkan permasalahan sosial di berbagai negara, termasuk Negara Indonesia yang dampaknya di rasakan di wilayah Sumatera Utara salah satunya di kota Medan. Salah satu masalah sosial di kota Medan yang membutuhkan pemecahan segera adalah perkembangan jumlah anak jalanan yang belakangan ini semakin mencemaskan masyarakat. Anak-anak jalanan tersebut membutuhkan perhatian khusus karena tidak hanya rawan terhadap perlakuan buruk bagi diri anak tersebut, tetapi juga memunculkan penyimpangan

sosial yang ditimbulkan dari diri anak-anak jalanan itu sendiri.

Berdasarkan data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan pada 2010, sekitar 222 anak-anak di kota Medan berada di Jalanan. Jumlah anak-anak jalanan tersebut tersebar di berbagai titik jalan maupun persimpangan kota Medan, seperti Simpang Pos, Pinang Baris, Jalan Aksara, Amplas, Sei Kambing dan Petisah. Fakta yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit dari anak-anak jalanan tersebut yang terlibat dalam kekerasan ataupun korban dari tindakan kriminalitas.(http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=articl e&id=161088:medan-masih-dipenuhi-anak-jalanan&catid=14&Itemid=27, diakses 7 Januari 2011, pukul 16:24 WIB).


(15)

Eksploitasi dan ancaman adalah dua hal yang sekaligus dialami oleh anak jalanan. Mereka sudah terbiasa mengalami tipuan oleh teman sendiri, caci maki bahkan menjadi korban pelecehan seksual oleh orang yang lebih dewasa, dipukuli petugas, hingga barang dagangan dirampas oleh preman. Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang dihadapi anak jalanan justru mencerminkan adanya kecenderungan menjadikan anak-anak jalanan sebagai objek kekerasan dari pemegang otoritas, seperti orang tua, preman, orang yang lebih dewasa dan petugas keamanan. Kekerasan yang sering terjadi pada anak jalanan akan memberikan dampak atau pengaruh dalam kehidupan anak jalanan tersebut. Maka tidak jarang anak jalanan cenderung untuk terjerumus dalam tindakan menyimpang. Salah satu perilaku yang popular menyimpang adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti menghirup lem.

Istilah ngelem baru dikenal oleh anak jalanan kota Medan pada awal tahun 1996, yang mereka adopsi dari anak jalanan di kota-kota di pulau Jawa. Pengadopsian ngelem itu sendiri dilakukan ketika adanya kegiatan ataupun pertemuan antara anak jalanan kota Medan dengan anak jalanan di kota-kota di Pulau Jawa, yang awalnya ingin tahu dan ingin coba-coba. Selain dengan kegiatan atau pertemuan tersebut, mobilitas dari anak jalanan itu sendiri juga memberikan kontribusi pengetahuan dalam mensosialisasikan ngelem kepada anak jalanan lainnya. Perilaku ngelem tersebut menjadi populer pada tahun 1998 dan hingga saat ini, perilaku tersebut tengah menjadi salah satu fenomena dalam kehidupan masyarakat kota Medan.

Adapun lem yang digunakan oleh anak-anak jalanan untuk melakukan aktifitas ngelem tersebut adalah lem plastik, lem perabotan atau lem alat rumah


(16)

tangga. Lem ini mengandung bermacam-macam zat kimia yang sangat berbahaya jika dikonsumsi. Di dalamnya terdapat Lysergic Acid Diethyilamide atau LSD dan berbagai macam Volatile Hidrokarbon termasuk diantaranya, toluene aceton, alifatik acetat, benzine, petroleum naftat, perklorethylen, trikloretane, karbontetraklorida. Selain berisi Volatile Hidrokarbon, juga mengandung Diethyleter, Kloroform, Nitrous Oxyda, macam-macam Aerosol, Insektiside. Bahan-bahan ini bersifat menekan sistem susunan saraf pusat (SSP depresstant) yang sebanding dengan efek alkohol meskipun gejalanya berbeda. Umumnya efek akut bahan ini serupa dengan inhalasi ether atau mitrous oxyda (obat anastesi/bius umum) yang berupa euforia ringan, mabuk, pusing kepala tapi masih dapat mengontrol pendapatnya. Sesudah itu ia akan merasa bahwa dirinya tenang, namun pada akhirnya tidak jarang melakukan tindakan anti-sosial dan tindakan impulsif dan agressif. Anak jalanan yang telah ketagihan melakukan kegiatan ngelem akan menghirup aroma lem secara kontiniu sehingga mengakibatkan perubahan emosionalnya. Jika hal ini berkelanjutan maka akan meniimbulkan gejala psikotik akut seperti halusinasi dengan kesadaran berkabut dan amnesia. Kematian bisa terjadi karena kecelakaan akibat hilangnya kesadaran dan kesulitan bernafas sewaktu menghirup lem yang berada di kantong plastik. Sebuah survei yang dilakukan Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) tahun 2002 menunjukkan sekitar 68,7 persen anak jalanan pernah ngelem. Survei itu dilakukan terhadap anak-anak dampingan KKSP yang berada di tiga lokasi, Amplas, Pasar Petisah dan anak-anak di persimpangan Jalan Juanda, Medan. Hasil survei itu menunjukkan, ngelem sudah menjadi sebuah kebiasaan, sehingga menjadi ketergantungan berat. Kenyataann menunjukkan bahwa mereka tidak peduli makan


(17)

atau tidak. Kebiasaan ini yang membuat munculnya semboyan, biar tidak makan asalkan ngelem. Selain itu, tidak jarang pula, sebagian besar uang yang mereka peroleh dari hasil banting tulang, mulai dari mengamen, asongan, nyemir hingga pengemis, seluruhnya digunakan hanya untuk ngelem. (http://www.kksp.or.id/id/cetak.php?id=16, diakses 7 Januari 2011, pukul 19:42 WIB).

Ngelem dijadikan sebagai pelarian terhadap adanya gangguan karakter pada diri anak, seperti marah, suntuk, kesal dan lain-lain. Tindakan ngelem juga terkadang dijadikan semacam syarat bagi anak untuk diterima dalam pergaulan ataupun komunitas tertentu. Jika tidak ngelem akan dijuluki pengecut atau tidak gaul. Ada semacam tekanan sosio-kultural seperti rasa bangga bila ngelem. Secara fisik ngelem dianggap memungkinkan untuk menghilangkan rasa lapar, kelelahan dan juga rasa sakit terhadap penyakit yang dideritanya. Sementara secara psikis bisa menghilangkan rasa cemas, depresi dan stres.

Hal tersebut di atas menjelaskan bahwa ngelem merupakan suatu masalah yang sangat serius karena tidak hanya dapat berakibat buruk bagi kesehatan, tetapi juga menimbulkan penyimpangan sosial dan masalah sosial bagi kehidupan anak-anak jalanan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat luas, khususnya di kota Medan. Hal inilah yang menjadi latar belakang peneliti memilih topik permasalahan perilaku ngelem pada anak jalanan. Penelitian ini diharapkan dapat mengkaji masalah anak jalanan yang terlibat dalam perilaku ngelem serta menjawab faktor


(18)

penyebab munculnya kebiasaan perilaku ngelem tersebut pada anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Mengapa anak jalanan cenderung melakukan perilaku ngelem?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab:

1.3.1.1 Masalah anak jalanan

1.3.1.2 Penyebab anak jalanan cenderung melakukan perilaku ngelem

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa khususnya mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi ilmu sosial, masyarakat maupun pemerintah.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang perilaku ngelem pada


(19)

anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang

1.4 Definisi Konsep

1.4.1 Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan, berusia antara 5 sampai dengan 17 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan dan umumnya memiliki penampilan yang tidak terurus. Dalam penelitian ini anak jalanan yang diteliti adalah anak jalanan yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarga maupun yang telah memutuskan hubungan dengan keluarganya.

1.4.2 Ngelem merupakan suatu kegiatan menghirup aroma lem plastik atau lem perabotan alat rumah tangga yang terbuat dari bahan plastik secara berkelanjutan sehingga berpengaruh pada emosional pemakainya.

1.4.3 Perilaku adalah suatu tindakan atau aktifitas yang dilakukan akibat rangsangan dari lingkungannya dan dapat diamati secara langsung. Dalam hal ini yang dimaksud adalah perilaku anak jalanan yang tampak sebagai akibat dari aktifitas mereka sebagai penghisap lem. 1.4.4 Keluarga adalah orang yang pernah mengasuh, mendidik dan merawat

si anak hingga anak tersebut berada di jalanan dan diakui anak tersebut sebagai keluarga.


(20)

1.4.5 Penyimpangan sosial merupakan segala bentuk tingkah laku anak jalanan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan bersifat tidak dikehendaki oleh orang banyak karena dapat dianggap berbahaya, merugikan dan mengganggu kesejahteraan masyarakat. Penyimpangan sosial yang dilakukan anak jalanan adalah perilaku ngelem maupun perilaku-perilaku lainnya yang tidak sesuai norma yang ditimbulkan oleh anak-anak jalanan pelaku ngelem. 1.4.6 Teman sebaya merupakan anak-anak jalanan yang dalam aktifitasnya

memiliki kebiasaan yang sama di jalanan dan berada di sekitar anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti yang juga melakukan kegiatan ngelem.

1.4.7 Sosialisasi anak merupakan proses pengajaran terhadap diri seorang anak yang diperoleh dari keluarganya maupun lingkungan sekitarnya dimana ia hidup dan berkembang


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anak Jalanan

2.1.1 Anak Jalanan

Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga anak mandiri, sesungguhnya adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang. Hal ini dibuktikan karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini, mereka sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang tidak kondusif dan bahkan sangat tidak bersahabat. Alasan anak jalanan yang mengatakan bahwa tinggal di jalanan adalah sekadar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarga tampaknya secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Hal ini mengakibatkan timbulnya steorotipe bahwa anak jalanan dianggap sebagai penggangu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor sehingga yang namanya razia bukan lagi hal yang mengejutkan bagi mereka. Marginal, rentan dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat erat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang secara kenyataaan dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Sedangkan disebut eksploitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar yang


(22)

sangat lemah, tersubordinasi dan cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.

Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan, serta jenis kelaminnya. Secara garis besar anak jalanan terbagi atas tiga kategori, yaitu (Bagong dan Sri, 2002: 41) :

1. Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang harus ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu:

a. Anak-anak jalanan yang masih tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari.


(23)

b. Anak-anak yang tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

2. Children of the street, yaitu anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi dan ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Ada beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, sehingga lari atau pergi dari rumah. Anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seks.

3. Children from families of the street yaitu anak yang keluarganya memang di jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan.

2.1.2 Lingkungan Sekitar Anak Jalanan Mempengaruhi Timbulnya Perilaku Ngelem

Awalnya anak jalanan tidak langsung masuk dan tinggal begitu saja di jalanan. Mereka biasanya mengalami proses belajar yang bertahap. Mula-mula mereka lari dari rumah, sehari sampai beberapa hari kembali, lalu lari lagi selama beberapa minggu atau hingga sampai beberapa bulan, sampai akhirnya


(24)

benar-benar lari dan tidak kembali selama setahun dua tahun lebih. Setelah di jalanan, proses tahap kedua yang harus dilalui anak jalanan adalah inisiasi. Pada proses inilah biasanya untuk anak-anak jalanan yang masih baru akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih dewasa. Barang-barang mereka yang relatif masih bagus akan diambil secara paksa. Selain itu, mereka juga tidak jarang dipukuli oleh teman sesama anak jalanan yang telah lebih dahulu hidup di jalanan dan diajak untuk melakukan hal-hal yang biasanya mereka lakukan di jalanan, seperti merokok, minum minuman keras, maupun ngelem. Kebiasaan tersebut mengakibatkan anak-anak jalanan terlibat pada tindakan-tindakan kriminal, seperti mengompas dan mencuri karena keterbatasan uang untuk bisa merasa senang (http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan, diakses 30 November 2010, pukul 09:30 WIB).

Tantangan kehidupan yang dihadapi para anak jalanan mengakibatkan anak jalanan seringkali melanggar aturan atau norma dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan stigma atau stereotip sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan keterasingan mereka dalam masyarakat.

2.2 Anak dalam Aspek Sosiologis

Dalam aspek sosiologis, anak senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Dalam menjamin perkembangan dirinya, sejak usia dini anak perlu


(25)

pendidikan dan sosialisasi, pengajaran tanggung jawab sosial, peran-peran sosial untuk menjadi bagian masyarakat (Abu, 2006: 27). Jadi, menurut kodratnya, anak manusia adalah mahkluk sosial, dapat dibuktikan dimana ketidakberdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak-kanak yang menuntut adanya perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna.

Anak manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat atau tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan cultural sekelompok manusia. Anak tidak akan terlepas dari lingkungan tertentu, karena anak sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan orang lain. Kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Anak manusia bisa memasuki dunia manusia jika dibawa atau dimasukkan ke dalam lingkungan manusia sehingga memperoleh pemahaman akan pendidikan.

2.3 Sosialisasi dalam Pembentukan Prilaku

Sosialisasi adalah sebuah proses pengajaran atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Hal ini disebabkan dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang


(26)

harus dijalankan oleh individu (http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi, diakses 30 November 2010, pukul 09:20 WIB).

Perilaku menyimpang dari norma-norma umum pada masyarakat merupakan produk dari proses sosialisasi. Proses tersebut berlangsung secara progresif, tidak sadar, berangusr-angsur dan berkesinambungan. Akibatnya, semua bentuk pelanggaran terhadap norma-norma sosial dirasionalisir secara progresif, dibenarkan dan akhirnya dijadikan pola tingkah laku sehari-hari.

Perilaku ngelem yang dilakukan oleh anak jalanan tidak terlepas akibat dari adanya sosialisasi yang berjalan dengan tidak baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Sosialisasi dalam keluarga dianggap berjalan dengan tidak baik, ketika peran keluarga sebagai orang terdekat pada anak, kurang atau tidak berfungsi sama sekali seperti apa yang dharapkan dan dibutuhkan oleh anak. Sedangkan pada lingkungan sekitar, sosialisasi juga tidak jarang dilakukan untuk mengajarkan hal-hal buruk untuk mengajak orang lain melakukan tindakan menyimpang salah satunya perilaku ngelem di kalangan anak jalanan.

2.3.1 Jenis sosialisasi

Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Sosiolog, E. Goffman berpendapat bahwa kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang


(27)

sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal (M. Poloma, 2000: 238).

2.3.1.1 Sosialisasi primer

Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya (T.O. Ihromi, 1999:32).

Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.

2.3.1.2 Sosialisasi sekunder

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam


(28)

kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.

2.3.2 Tipe sosialisasi

Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. Misalnya, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tidak sama. Di sekolah, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada.

Ada dua tipe sosialisasi, yaitu formal dan informal. Sosialisasi formal terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah. Sedangkan sosialisasi informal, terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit


(29)

untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.

2.3.3 Pola sosialisasi

Sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.

2.3.3.1 Proses sosialisasi Menurut George Herbert Mead

George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui beberapa tahapan, diantaranya tahap persiapan, tahap meniru, tahap siap bertindak dan tahap penerimaan kolektif. (G. Ritzer, 2007: 282).


(30)

2.3.3.1.1 Tahap Persiapan (Preparatory Stage)

Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.

Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.

2.3.3.1.2 Tahap Meniru (Play Stage)

Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai.


(31)

Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other).

2.3.3.1.3 Tahap Siap Bertindak (Game Stage)

Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

2.3.3.1.4 Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalized

Stage/Generalized other)

Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas.


(32)

Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama, bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

2.3.3.2 Konsep Diri Menurut Charles H. Cooley

Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurutnya, Konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.

2.3.3.2.1 Kita Membayangkan Bagaimana Kita di Mata Orang Lain

Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki keunggulan dan selalu menang di berbagai pertandingan. Hal tersebut tidak terlepas pula dalam kehidupan anak jalanan yang melakukan tindakan ngelem. Mereka merasa lebih hebat ketika mereka berani melakukan kegitan menghirup lem dibandingkan mereka yang tidak melakukan aktifitas menghirup lem tersebut.


(33)

2.3.3.2.2 Kita Membayangkan Bagaimana Orang Lain Menilai Kita

Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu menganggapnya lebih dalam segala hal dan selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. Misalnya, orang yang dibanggakannya atau teman-temannya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai persaingan dan selalu memamerkannya kepada orang lain. Pandangan ini dapat berakibat buruk bagi diri si anak maupun orang-orang di sekitarnya. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal tanpa ia sadari atau mungkin ia sadari, ia tidak lebih baik dari orang lain.

2.3.3.2.3 Bagaimana Perasaan Kita sebagai Akibat dari Penilaian Tersebut

Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri. Jika kegiatan ngelem ini dianggap sebagai suatu hal yang dibanggakan diantara komunitas anak jalanan, maka akan timbul patologi sosial dalam kehidupan anak-anak jalanan yang berakibat buruk dalam kehidupan masyarakat.


(34)

Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.

2.3.3.3 Agen sosialisasi

Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah. Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minuman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mungkin saja mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.

Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di


(35)

masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.

2.3.3.3.1 Keluarga

Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). Peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.

2.3.3.3.2 Teman pergaulan

Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang


(36)

bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.

Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan. Anak-anak rawan terhadap tekanan teman sebaya (Sal Severe, 2001:254).

2.3.3.3.3 Lembaga Pendidikan Formal (sekolah)

Dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah, seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar


(37)

tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.

2.3.3.3.4 Media massa

Kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan. Penayangan acara SmackDown, di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus. Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya. Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.

2.3.3.3.5 Agen-agen lain

Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan


(38)

membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.

2.3.4 Penyimpangan Sosial dalam Masyarakat

Penyimpangan sosial merupakan suatu bentuk perilaku yang dilakukan oleh seorang atau lebih, yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Ukuran yang menjadi dasar adanya penyimpangan bukan baik atau buruknya, benar atau salahnya menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat. (http://ips-mrwindu.blogspot.com/2009/04/penyimpangan-sosial-dalam-masyarakat.html, diakses 7 Januari 2011, pukul 12:56 WIB).

2.3.4.1 Bentuk-bentuk Penyimpangan Sosial

2.3.4.1.1 Bentuk penyimpangan menurut pelakunya, dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu penyimpangan individu dan penyimpangan kelompok. Penyimpangan Individu adalah penyimpangan yang dilakukan oleh individu yang berlawanan dengan Norma. Penyimpangan ini biasanya dilakukan di lingkungan keluarga. Sedangkan penyimpangan kelompok adalah penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok orang yang tunduk pada norma


(39)

kelompoknya yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

2.3.4.1.2 Bentuk penyimpangan menurut sifatnya, yaitu penyimpangan bersifat positif dan penyimpangan bersifat negatif. Penyimpangan bersifat positif, terarah pada nilai sosial yang berlaku dan dianggap ideal dalam masyarakat dan mempunyai dampak yang bersifat positif. Cara yang dilakukan seolah-olah menyimpang dari norma padahal tidak. Sedangkan penyimpangan bersifat negatif berwujud dalam tindakan yang mengarah pada nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan dianggap tercela dalam masayarakat.

2.3.4.2 Latar Belakang Terjadinya Penyimpangan Sosial

2.3.4.2.1 Seseorang mengalami kesulitan dalam hal komunikasi ketika bersosialisasi. Artinya, individu tersebut tidak mampu mendalami norma-norma masyarakat yang berlaku.

2.3.4.2.2 Penyimpangan juga dapat terjadi apabila seseorang sejak masih kecil mengamati bahkan meniru perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang dewasa.

2.3.4.2.3 Terbentuknya perilaku menyimpang juga merupakan hasil sosialisasi nilai sub kebudayaan menyimpang yang di


(40)

pengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi dan faktor agama.

2.3.4.2.4 Adanya pertentangan antar agen sosialisasi. Pesan-pesan yang disampaikan antara agen sosialisasi yang satu dengan agen sosialisasi yang lain kadang bertentangan, misalnya : orang tua mengajarkan merokok itu tidak baik, sementara iklan rokok begitu menarik, dan anak memiliki kelompok teman sebaya yang pada umumnya merokok, sehingga jika ia mengikuti pesan orang tuanya ia akan menyimpang dari norma kelompoknya, lama-lama anak tersebut akan menjadi perokok

2.3.4.2.5 Pertentangan antara norma kelompok dengan norma masyarakat. Kelompok masyarakat tertentu memiliki norma yang bertentangan dengan norma masyarakat pada umumnya. Contoh : masyarakat yang hidup di daerah kumuh menganggap pengucapan kata-kata kotor, membuang sampah sembarangan, atau membunyikan radio dengan keras merupakan hal biasa. Namun hal tersebut bagi masyarakat umum merupakan hal yang menyimpang.


(41)

2.3.4.3 Faktor-faktor Penyebab Penyimpangan Sosial

2.3.4.3.1 Faktor dari dalam, yaitu: intelegensi atau tingkat kecerdasan, usia, jenis kelamin dan kedudukan seseorang dalam keluarga. Misalnya: seseorang yang tidak normal dan pertambahan usia.

2.3.4.3.2 Faktor dari luar, yaitu: kehidupan rumah tangga atau keluarga, pendidikan di sekolah, pergaulan dan media massa. Misalnya: seorang anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar dapat melarikan diri pada obat-obatan atau narkoba.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk memahami permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang masalah yang diteliti. Maksud dari metode ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi dengan meneliti informan sebagai subjek penelitian dalam lingkungan hidup kesehariannya, sehingga peneliti sedapat mungkin berinteraksi secara dekat dengan informan, mengenal secara dekat kehidupan mereka, mengamati dan mengikuti alur kehidupan informan secara apa adanya. Pendekatan studi kasus ini digunakan untuk meneliti bagaimana perkembangan diri subjek, penyebab terjadinya hal tersebut, perilaku keseharian subjek, dan alasan perilaku itu dilakukan, serta bagaimana perilaku berubah dan penyebab terjadi perubahan perilaku tersebut (M. Idrus, 2009:23). Dalam hal ini studi kasus yang diteliti adalah anak jalanan yang memiliki perilaku ngelem di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.


(43)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di jalan Ngumban Surbakti. Adapun alasan peneliti memilih lokasi tersebut adalah:

3.2.1 Di Jalan Ngumban Surbakti terdapat sebuah bangunan berupa kamar atau ruangan yang dijadikan sebagai tempat tinggal atau tempat berkumpulnya anak-anak jalanan untuk menghirup lem.

3.2.2 Jalan Ngumban Surbakti merupakan salah satu jalan yang berdekatan dengan simpang pos yang merupakan tempat para anak jalanan sering mencari uang, baik sebagai pengemis, pengamen, penjual koran dan lain sebagainya yang bisa dilakukan oleh para anak jalanan untuk memperoleh uang.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini adalah anak-anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

3.3.2 Informan

Adapun informan dari penelitian ini adalah:

3.3.2.1 Para anak jalanan yang memiliki kebiasaan menghirup lem di sekitar jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang


(44)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpul dalam penelitian ini diperoleh dari:

3.4.1 Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam penelitian ini peneliti hanya berperan sebagai pengamat. Observasi dilakukan untuk mengamati objek di lapangan meliputi anak jalanan yang melakukan tindakan ngelem di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

3.4.2 Wawancara mendalam, bertujuan untuk memperoleh keterangan, pendapat secara lisan dari seseorang dengan berbicara langsung ataupun tanya jawab dengan informan. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data secara mendetail tentang fenomena ngelem pada anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

3.4.3 Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data melalui buku-buku ataupun dokumen-dokumen lainnya yang mendukung penelitian ini.


(45)

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja oleh data, mengorganisasikan data, memilah–milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, membuat ikhtisarnya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain.

Data-data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan ke dalam kategori, pola atau uraian tertentu. Di sini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan sebagainya yang selanjutnya akan dipelajari, dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik.


(46)

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan

BULAN

Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

1

Pengajuan

Judul Proposal             2 ACC Judul             3

Penyusunan

Proposal             4

Penyerahan

Proposal Awal             5 Bimbingan Proposal             6 ACC Seminar             7 Persiapan Seminar             8 Seminar Proposal             9

Perbaikan Proposal

(Bab I,II,III)             10 Penyusunan Pedoman Wawancara            

11 Izin Ke Lapangan                                                             12

Penelusuran data

historis                                                                                                 13

Wawancara dan

observasi                                                                                                             14 Analisa data                                                                                                            

Penyajian data/laporan


(47)

3.7 Kesulitan Penelitian

Adapun beberapa kesulitan yang dialami peneliti ketika berada di lapangan, diantaranya:

1. Peneliti pernah diusir dan dimarahi oleh pemilik rumah anak-anak jalanan, yaitu orang yang menyewakan tempat dimana anak jalanan tidur dan juga merupakan orang yang menjual lem serta menyewakan gitar ataupun kemoceng yang sering digunakan anak jalanan untuk mencari uang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemilik tersebut merasa khawatir bahwa ia akan mendapat kerugian dari hasil wawancara peneliti terhadap anak jalanan. 2. Peneliti mendapat kesulitan dalam memperoleh data dari kantor Lurah tentang

deskripsi lokasi penelitian. Ada beberapa pegawai yang tidak menginginkan peneliti dapat meneliti di daerah lokasi penelitian. Mereka merasa bahwa tidak terdapat anak jalanan di sekitar jalan Ngumban Surbakti, meskipun peneliti pada saat itu telah melakukan wawancara secara langsung dengan anak jalanan.

3. Anak jalanan yang menjadi informan ketika diwawancarai menjawab pertanyaan sambil menghirup lem, sehingga mereka memberikan jawaban dalam kondisi mabuk lem dan terkadang lupa ketika diminta untuk mengingat masa lalunya. Hal ini mengakibatkan wawancara harus dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang berbeda untuk memastikan jawaban yang diberikan benar.


(48)

BAB IV

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan Geografis

Ngumban Surbakti merupakan jalan yang terletak di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang. Luas wilayah Medan Selayang adalah 7,78 km² dan terletak di atas permukaan laut setinggi 30 m. Medan Selayang berbatasan dengan Kecamatan Medan Sunggal di sebelah Utara, Kecamatan Medan Selayang di sebelah Selatan, Kecamatan Medan Baru di sebelah Barat dan Kecamatan Medan Tuntungan di sebelah Timur. Luas wilayah dirinci per kelurahan di Kecamatan Medan Selayang tahun 2007 adalah sebagai berikut.

Tabel 4.1 Data Jumlah Kelurahan dan Luas Wilayah di Kecamatan Medan Selayang

No Kelurahan Luas (km)

Persentase Terhadap Luas Kecamatan

1 Sempakata 5.1 21.44

2 Beringin 0.79 3.32

3 PB Selayang I 7 29.42

4 PB Selayang II 1.8 7.57

5 Tanjung Sari 5.1 21.44

6 Asam Kumbang 4 16.81

Kecamatan Medan

Selayang 23.79 100


(49)

Jalan Ngumban Surbakti merupakan jalan yang berbatasan dengan Simpang Pos dan Jalan Setia Budi Medan. Kedua persimpangan jalan ini merupakan simpang yang sangat sering di lalui oleh banyak kendaraan, terkhusus untuk Simpang Pos yang merupakan pertemuan antar-simpang pada tiga jalan yaitu Jalan Jamin Ginting, Jalan Ngumban Surbakti dan Jalan A.H. Nasution yang menjadi tempat strategis bagi anak-anak jalanan untuk mencari uang sebagai pengamen maupun pembersih kaca mobil.

4.1.2 Keadaan Penduduk

Berdasarkan data dari badan pusat statistik kota Medan, jumlah penduduk Kelurahan Sempakata pada tahun 2007 mencapai 8.877, diantaranya 4540 adalah laki-laki dan 4337 adalah perempuan. Pada tahun 2008, jumlah penduduk bertambah sehingga menjadi 11.091, diantaranya 5642 adalah laki-laki dan 5448 orang adalah perempuan. Jumlah keluarga mencapai 2380 keluarga. Penduduk dimayoritasi oleh etnis suku batak karo dan agama Islam. Sumber penghasilah utama sebagian besar penduduk adalah dalam bentuk jasa.

Tabel 4.2 Etnis Penduduk di Kelurahan SempakataTahun 2008

No Etnis Jumlah Persentase

1 Batak Karo 5049 45,52

2 Batak 3375 30,43

3 Jawa 1078 9,72

4 Dll 1589 14,33

Total 11091 100 Sumber: Daftar Isian Profil Kelurahan Sempakata Tahun 2008


(50)

Sedangkan komposisi mata pencaharian penduduk di Kelurahan Sempakata tahun 2008 adalah sebagai berikut.

Tabel 4.3 Agama Penduduk di Kelurahan SempakataTahun 2008

No Agama Jumlah Persentase 1 Islam 5782 52,13 2 Kristen 3433 30,95 3 Katholik 1876 16,92

4 Hindu 0 0

5 Budha 0 0

Total 11091 100

Sumber: Daftar Isian Profil Kelurahan Sempakata Tahun 2008

Adapun tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Sempakata adalah sebagai berikut.

Tabel 4.4 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kelurahan SempakataTahun 2008

No Pendidikan Jumlah

1 Belum Sekolah 1318

2 Usia 7-45 Tahun Tidak Pernah Sekolah 0 3 Pernah Sekolah SD Tetapi Tidak Tamat 103

4 Tamat SD/ Sederajat 1755

5 SLTP/Sederajat 2210

6 SLTA/Sederajat 1935

7 D-1 911

8 D-2 1013

9 D-3 880

10 S-1 816

11 S-2 122

12 S-3 28

Total 11091 Sumber: Daftar Isian Profil Kelurahan Sempakata Tahun 2008


(51)

Berikut ini adalah komposisi mata pencaharian penduduk di kelurahan Sempakata.

Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Kelurahan Sempakata Tahun 2008

No Mata Pencaharian Pokok Jumlah Persentase

1 Buruh/Swasta 1338 42,87

2 Pegawai Negeri 478 15,31

3 Pengrajin 22 0,70

4 Pedagang 332 10,64

5 Penjahit 28 0,90

6 Tukang Batu 87 2,79

7 Tukang Kayu 54 1,73

8 Peternak 0 0

9 Nelayan 0 0

10 Montir 58 1,86

11 Dokter 14 0,45

12 Supir 267 8,55

13 Pengemudi Bajai 0 0

14 Pengemudi Becak 165 5,29

15 TNI/Polri 23 0,74

16 Pengusaha 76 2,44

17 Becak Bermotor 179 5,73

Total 3121 100

Sumber: Daftar Isian Profil Kelurahan Tahun 2008

Jumlah penduduk di Kelurahan Sempakata berdasarkan daftar isian profil kelurahan pada tahun pada tahun 2009 adalah sebanyak 11.024 jiwa orang. Pada tahun 2010, jumlah penduduknya bertambah sebanyak 102 jiwa sehingga jumlah penduduk di Kelurahan Sempakata tahun 2010 ada sebanyak


(52)

11.126 jiwa orang. Jumlah kepala keluarga yang berada dalam kondisi kemiskinan ada sebanyak 2.002 keluarga dan 185 keluarga prasejahtera. 4.2 Profil Informan

Anak jalanan yang menjadi informan berjumlah 10 (sepuluh) orang. Berikut ini data anak jalanan tersebut.

Tabel 4.6 Data Anak Jalanan Berdasarkan Usia, Pendidikan Terakhir, Asal dan Status

No Nama Usia

(Tahun) Pekerjaan

Pendidikan

Terakhir Asal

Status di Jalanan 1 Hendra 17 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 5 SD Kabanjahe

Children of The Street 2 M. Faisal 12 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 4 SD

Pekan Baru

Children of The Street 3 Lamhot 16 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil, Ngesot 1 SMP Medan

Children on The

Street 4 Jefri 13 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 1 SD Medan

Children on The

Street 5 Perando 15 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 6 SD Medan

Children on The

Street 6 Agus M. 16 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 4 SD Medan

Children of The Street 7 Pide 17 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 3 SD Medan

Children of The Street 8 Herdin 16 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 3 SMP Medan

Children of The Street 9 Rian 17 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil

Tidak Ada

Keterangan Medan

Children of The Street 10 Harjono 15 Ngamen, Pembersih

Kaca Mobil 4 SD

Dolok Sanggul

Children on The

Street Sumber: Hasil Temuan di Lapangan


(53)

Kesepuluh anak jalanan tersebut, berjenis kelamin laki-laki dan memiliki kebiasaan ngelem. Pada umumnya, mereka tinggal dan sering berkumpul di lokasi penelitian. Namun meskipun demikian, mereka tinggal secara tidak menetap dan lebih sering berpindah-pindah tempat. Salah satu diantara anak jalanan yaitu Rian beberapa hari setelah diwawancarai tidak lagi tinggal di lokasi penelitian akibat merasa takut ditangkap oleh oknum polisi sesaat setelah melakukan pencurian. Berikut ini profil dari sepuluh anak jalanan yang menjadi informan penelitian ditambah dengan 2 (dua) informan lainnya yaitu keluarga dari anak jalanan tersebut.

4.2.1 Profil Anak Jalanan

4.2.1.1 Hendra Syahputra Nauli Manik (17)

Hendra Syahputra Nauli Manik adalah seorang anak yang berasal dari Kabanjahe, Tanah Karo. Ia merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara. Anak jalanan yang hanya menikmati pendidikan sekolah dasar kelas 5 SD ini, mempunyai seorang kakak yang telah menikah dan memiliki seorang anak. Anak kakaknya tinggal bersama ibunya di Kabanjahe sedang kakaknya tersebut bekerja di Aceh dan suami kakaknya tersebut bekerja di Pancur Batu.

Hendra dilahirkan dari orang tua yang berbeda agama. Ibunya beragama Kristen dan ayahnya beragama Islam. Ibunya bernama Diana Silalahi, bekerja sebagai petani, sedangkan ayahnya bernama Telbe bekerja sebagai supir pengangkut barang di daerah Tarutung. Hendra dan kakaknya beragama Islam. Hendra mengaku bahwa ayahnya telah meninggalkan ibunya sejak Hendra


(54)

masih di dalam kandungan. Ibunya juga telah pernah menikah untuk kedua kalinya namun kembali bercerai karena ayah tirinya pernah memukili ibunya. Di kabanjahe ia pernah bekerja sebagai tukang pembersih motor di door smeer, namun karena alas an gaji yang tidak jelas dan tidak dapat bebas membuat Hendra memutuskan untuk berhenti bekerja.

Hendra telah tinggal di jalanan sejak tahun 2005. Ia memilih tinggal di jalanan karena merasa bosan di rumah dan kesepian. Di jalanan, ia bekerja sebagai pengamen dan pembersih kaca mobil. Ia telah menghisap lem sejak tahun 2008. Biasanya ia menghirup lem 2 kaleng dalam satu hari.

4.2.1.2 Muhamad Faisal Kery Syahputra (12)

Muhammad Faisal Keri Syahputra (Faisal/Keri) berasal dari keluarga yang bermasalah. Ayah kandungnya berada di Penjara, ketika ibunya menikah lagi.Ibu kandung dan ayah tirinya tinggal di Pekan Baru. Ayah kandungnya masuk ke penjara akibat tindakan pencurian dan pemukulan. Keri merupakan anak kedua dari dua bersaudara kandung. Saudara pertamanya meninggal pada saat masih bayi karena sakit. Namun, Keri memiliki saudara tiri berjumlah empat orang.

Keri pernah sekolah hingga kelas 4 SD dan itu pun tidak sampai selesai karena ia memiliki sifat nakal. Sewaktu ia masih kecil, ia sering dititipkan di tempat keluarganya dalam batas waktu yang dia sudah tidak ingat lagi. Ia pernah di titipkan di rumah neneknya di Tebing Tinggi, lalu kembali lagi ke


(55)

Pekan Baru ke tempat orang tuanya dan ia mulai lari dari Pekan Baru ke Medan dengan menumpang bus. Beberapa lama tinggal di Medan, Keri pernah di pukuli orang dan diantar oleh polisi ke Tanjung Balai, di rumah bibinya. Namun, ia kembali tinggal di jalanan di Tanjung Balai dan mencoba menumpang kereta api untuk kembali di jalanan Kota Medan. Setelah lama tinggal di jalanan di kota Medan, kemudian ia mencoba pergi ke Tanjung Balai tempat bibi (adik tiri ibunya) kembali. Oleh karena ia tidak menemukan tempat tinggal bibinya karena bibinya sudah pindah, ia kembali lagi ke Medan dan tinggal sebagai anak jalanan di Kota Medan. Ia sendiri sudah tidak mengingat sejak kapan ia mulai melakukan ngelem karena sudah terlalu lama.

4.2.1.3 Lamhot Sirait (16)

Lamhot Sirait merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Ia berasal dari Medan. Ia pernah sekolah sampai pada kelas 1 SMP. Namun, karena alasan cabut dan pernah di pukul oleh guru ia memilih untuk tidak lagi sekolah. Ibunya bekerja di Malaysia sebagai pelayan rumah makan sedangkan ayahnya sudah meninggal karena penyakit TBC.

Keluarganya tinggal di Jalan Seular Baru Gang Mandosi No.8. Tetapi, setelah di kunjungi ke lokasi, keluarganya sudah pindah ke daerah Brayan. Lamhot tidak tahu pasti keberadaan keluarganya, karena informasi pindahnya keluarganya diperoleh dari tetangga.

Pada tahun 2008, ia pernah bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan, namun dipecat karena temannya satu tim memecahkan piring di


(56)

restoran tersebut. Lamhot berada di jalanan sejak tahun 2009 dan ia makan dan tinggal di jalanan. Ia bekerja sebagai tukang ngamen dan membersihkan kaca mobil. Ia mengenal lem dari teman- teman sebaya yang juga berada di jalanan dan melihat berita di TV. Dalam satu hari ia bisa menghirup lem sebanyak 5 kaleng bahkan lebih.

4.2.1.4 Jefri Ali Syahputra Sitorus (13)

Jefri Ali Syahputra Sitorus merupakan anak yang pernah dititipkan kepada seorang nenek, yang dia tidak kenal siapa nenek tersebut. Ibunya menitipkannya pada nenek tersebut karena ibunya bekerja di Malaysia, sedangkan ayahnya telah meninggal karena peristiwa tabrakan. Ibunya tidak menitipkan Jefri pada keluarganya karena keluarganya mengalami perselisihan. Pada saat itu, usia Jefri masih 5 tahun.

Jefri yang hanya tamatan kelas 1 SD ini tinggal di jalanan sejak nenek yang merupakan orang yang dipercayakan ibunya tersebut, meninggal. Beberapa saat tinggal di jalanan, Jefri pernah di jemput oleh keluarganya (bukan ibunya) dan di asuh di tempat uaknya di daerah Puri. Namun, setelah 20 hari tinggal bersama pamannya, ia melarikan diri ke jalanan karena sering disuruh dan mendapat perintah untuk membantu keluarga pamannya. Ia pun di jemput oleh keluarganya kembali dan ia tinggal di rumah neneknya di daerah Tebing, Pagar Awan. Namun, tidak berapa lama tinggal di Tebing, Jefri memutuskan untuk melarikan diri kembali ke jalanan dengan alasan sudah terbiasa bebas. Keluarganya sudah mencoba berulang kali untuk menjemputnya pulang ke


(57)

Tebing, namun ia tetap memilih untuk tinggal di jalanan dan bekerja sebagai tukang pembersih mobil dan ngamen di jalanan. Dalam satu hari, Jefri bisa menghasilkan Rp 21.000,-. Dia biasanya menghirup lem sebanyak 2 kaleng dalam satu hari.

4.2.1.5 Perando Panjaitan (15 tahun)

Perando Panjaitan merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Ibunya bekerja sebagai tukang botot dan ayahnya sebagai supir Fuso, truk pengangkut pasir. Ia berasal dari Medan. Orang tuanya tinggal di wilayah Simalingkar B kota Medan. Ia pernah sekolah kelas 6 SD, tetapi putus sekolah karena terpengaruh oleh teman yang tinggal di dekat lingkungan tempat tinggalnya yang merupakan anak jalanan. Oleh karena hal itu, Perando mulai tertarik untuk mencari uang di persimpangan jalan dan terbiasa tinggal di jalanan bersama teman-tamannya. Ia menjadi terbiasa dengan kehidupan di jalanan karena ia sering merasakan kesepian ketika berada di rumah.

Perando berada di jalanan sejak usianya 12 tahun dan ia tidak pernah lagi pulang ke rumah. Ia bekerja sebagai tukang ngamen dan pembersih kaca mobil. Ia melakukan perilaku ngelem karena terpengaruh oleh teman-temannya dan ingin mencoba. Perando biasanya menghirup lem sebanyak 3 kaleng dalam sehari. Pendapatan sehari-hari sekitar Rp. 20.000,- dari hasil mengelap kaca mobil di jalanan. Ia juga terkadang meminta lem dari teman sebayanya ketika teman-teman sebayanya menghirup aroma lem.


(58)

4.2.1.6 Agus Maulana Chaniago (16)

Agus Maulana Chaniago berasal dari Medan. Ia anak ketiga dari empat bersaudara. Ibu dan ayahnya sudah lama bercerai, sejak ia masih kecil. Ibunya seorang ibu rumah tangga sedangkan ayahnya sudah menikah lagi dengan istri keduanya dan tinggal di daerah Binjai.

Agus berada di jalanan sejak usia 5 tahun, namun pada saat itu, ia masih tinggal bersama keluarganya dan masih menjalani sekolah hingga kelas 4 SD. Ia mulai cabut dan pada akhirnya putus sekolah karena ia merasa sudah bisa mecari uang dengan cara mengamen dan membersihkan kaca mobil di jalanan. Ia mulai menghirup lem sejak usia delapan tahun. Ia melakukannya karena terpengaruh oleh teman-temannya yang juga merupakan anak jalanan. Dalam satu hari, ia menghirup lem sebanyak 2 kaleng.

4.2.1.7 Pide (17)

Pide berasal dari Marindal, Medan Amplas. Ia merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Kedua orang adiknya juga tinggal di jalanan bersama dengannya. Ia dan kedua adiknya biasanya mencari uang berpindah-pindah tempat. Sedangkan adiknya yang paling kecil tinggal bersama ayahnya.

Pide pernah menikmati pendidikan sekolah hingga kelas 3 SD. Namun, karena kedua orang tuanya bercerai, ia menjadi putus sekolah. Ia tinggal di jalanan sejak tahun 2003 semenjak ayahnya sudah menikah dengan istri kedua dan mempunyai tiga orang anak tiri. Ibu kandung Pide sudah lama lari karena di pukuli oleh ayahnya ketika ayahnya mabuk minuman keras. Ia tidak mengetahui


(59)

dimana keberadaan ibu kandungnya saat ini. Ia berharap untuk dapat bisa pulang ke rumah ayahnya, tetapi, sering di usir dari rumah ayahnya karena alasan ibu tirinya tidak suka dengan mereka. Di jalanan ia bekerja sebagai tukang ngamen dan membersihkn kaca mobil. Ia menghirup lem sejak tahun 2004 karena di ajari oleh teman-teman sebayanya di jalanan.

4.2.1.8 Herdin (16)

Herdin merupakan anak yang sudah sering mengamen di jalanan sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia yang mengaku tamatan SMP ini, sudah tidak ingat lagi sejak usia berapa tahun ia hidup dan tinggal di jalanan. Namun, ia sering mengamen setelah ia pulang dari sekolah dasar hingga ia tamat SMP. Herdin merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ia mengatakan bahwa orang tuanya telah lanjut usia dan memiliki cucu. Ia memperkirakan usia ayahnyaekitar 60 tahun. Orangtuanya tinggal di Brayan Medan.

Herdin menghirup lem sejak tahun 2011. Anak jalanan yang bekerja sebagai tukang ngamen ini mengenal lem dari berita TV yang meliput anak-anak jalanan. ia mengaku bahwa sebelum menghirup aroma lem, ia pernah makan obat-obat yang ia sebut dengan istilah “destroy”. Ia tidak lagi suka memakai obat tersebut sejak ia tahu bahwa ada temannya yang meninggal akibat over dosis karena memakan obat jenis itu.


(60)

4.2.1.9 Rian Michael Handoko (17)

Rian merupakan anak yang tinggal di jalanan sejak usia 10 tahun. Ia memiliki seorang ibu dan ayah tiri yang tinggal di Helvetia karya 7 Medan. Rian memiliki saudara kandung 4 orang dan 9 orang saudara tiri. Ibunya menikah untuk kedua kalinya karena ayah kandungnya telah meninggal akibat over dosis karena mencoba bunuh diri akibat diketahui dan dimarahi oleh keluarga karena telah menikah dengan perempuan lain di Aceh. Pada saat itu, ayah Rian sedang bekerja di Aceh.

Semenjak Rian memiliki ayah tiri, ia merasa ibunya memiliki perilaku yang kejam. Ayah tiri Rian masih memiliki istri yang sah dengan 1 orang anak ketika menikah dengan ibu Rian. Ayah tiri Rian bekerja sebagai supir Angkot 135. Istri dari ayah tirinya tinggal di daerah Simalingkar B Medan. Orangtua Rian pernah bertengkar dengan istri pertama dari ayah tiri Rian karena tidak senang dengan ibu Rian. Rian merasa bahwa orangtuanya tidak menyayanginya dengan baik. Rian pernah mencoba bunuh diri dengan menyiram tubuhnya dengan minyak, namun karena diketahui oleh tetangga ia pun dicegah. Ia hanya merasakan kasih sayang dari kakeknya (orangtua dari ibunya) yang memberikan perhatian untuknya.

Rian mengenal lem di Jakarta. Ia pernah melihat orang ngelem di Jakarta dan ia pun mulai mencoba sendiri. Ia sampai di Jakarta secara diam-diam masuk ke bagasi Pesawat. Ia masuk melewati Perumnas Mandala dari jalur penerbangan. Ia sempat di ketahui oleh penjaga setelah sampai di Jakarta, namun ia tidak tertangkap karena melarikan diri. Ia kembali ke Medan karena


(61)

kakek (yang ia sebut opung) menghubungi keluarga Rian yang di Jakarta (yang ia sebut Uda) untuk mengantar Rian pulang ke Medan. Sesampainya di Medan, Rian memilih untuk hidup di jalanan, ia mulai mencari uang dengan mengamen dan terbiasa dengan rokok, ngelem dan minum minuman keras.

4.2.1.10 Harjono Situmorang (15)

Harjono Situmorang pernah sekolah sampai kelas 4 SD. Ia berasal dari wilayah Dolok Sanggul di jalan Matiti. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak ia masih kecil. Dia sudah 8 tahun berada di jalanan. Dia merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Ketiga abangnya tinggal di Sibolga, Jambi dan di Pekan Baru. Sedangkan adik-adiknya berada di Pekan Baru bersama abangnya. Dia tidak mau ikut dengan abangnya karena dia sendiri yang memilih hidup di jalanan.

Sebelum ia tinggal di jalanan, ia pernah bekerja membawa orang buta yang merupakan keluarga yang ia sebut sebagai “nantulang”. Orang buta ini tinggal di Simpang Limun Air Bersih Medan. Ia memilih tinggal di jalanan karena tidak menyukai pekerjaan yang disuruh oleh keluarganya tersebut. Dalam satu hari, Harjono dapat menghirup lem satu sampai dua kaleng.

4.2.2 Profil Keluarga Anak Jalanan 4.2.2.1 Ibu Diana Silalahi (40)

Ibu Diana Silalahi adalah ibu dari Hendra Nauli. Ia bekerja sebagai petani yang mengurusi ladang orang. Ia bekerja dari pukul 09.00 WIB sampai


(62)

dengan pukul 17.00 WIB, dengan penghasilan dalam satu hari sebesar Rp. 45.000,-. Namun, terkadang tidak memiliki penghasilan jika ia tidak bekerja di lading orang. Ia tinggal di sebuah rumah kontrakan yang terbuat dari papan, bersama satu orang cucu yang lahir dari anak pertamanya, yang masih balita dan 1 orang keponakannya yang duduk di bangku sekolah menengah. Mereka tinggal di Jalan Kampus UKA Kabanjahe. Perawatan cucu dan keponakannya di kirim dari anak dan keluarganya.

Wanita yang mengaku tidak sempat tamat sekolah dasar ini pernah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya berakhir karena suaminya pergi meninggalkannya saat ia sedang mengandung Hendra. Sedangkan pernikahan keduanya berakhir karena keluarganya tidak menyukai suami keduanya karena sering memukuli dirinya. Ia beragama Kristen sedangkan Hendra beragama Islam, mengikuti agama suami pertamanya.

Ibu yang memiliki kebiasaan merokok sebatang dalam satu hari ini mengaku tahu bahwa anaknya berada di jalanan kota Medan. Namun, ia tidak tahu anaknya bekerja sebagai tukang ngamen dan melakukan perilaku ngelem. Ia hanya mengetahui bahwa anaknya memiliki kebiasaan merokok dan bekerja sebagai penjual rokok di jalanan kota Medan. Ia pernah mencoba menjemput Hendra berulangkali. Ia sangat sedih melihat anaknya di jalanan. Namun, Hendra tetap saja lari setelah di bawa pulang. Oleh karena itu, ia pun membiarkan anaknya di jalanan karena beberapa kali ia menjemput anaknya, Hendra tinggal tetap berada di Jalan Ngumban Surbakti sehingga jikalau ia rindu ia bisa menjumpainya ke tempat tersebut.


(63)

4.2.2.2 Ima Nasution (22)

Ima merupakan keluarga yang dianggap oleh Muhammad Faisal Keri Syahputra (Keri). Ia bekerja sebagai ibu rumah tangga dan memiliki dua orang anak. Anaknya yang pertama berumur dua tahun tiga bulan dan yang kedua berumur satu tahun satu bulan. Suaminya bekerja sebagai seorang nelayan. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan yang terbuat dari papan di Jalan Kampung Baru Gang Sentosa Tanjung Balai. Ima yang merupakan ibu muda yang hanya tamatan SMP ini adalah adik tiri dari ibu kandung Keri karena memiliki satu ibu yang sama dari ayah yang berbeda dengan ibu kandung Keri. Hubungan Ima dengan orangtua Keri berjalan dengan tidak baik. Ayah kandung Keri pernah beberapa kali sering menghubungi Ima dan merayu Ima meskipun Ima sudah menikah. Ia mengaku bahwa hubungannya dengan orangtua Keri sudah putus hubungan karena persoalan keluarga.

Ia mengenal Keri sebagai anak yang sangat jahat, apalagi ibu kandung Keri sudah tidak lagi memperdulikan Keri semenjak ibunya sudah memiliki anak dari suami keduanya. Keri pernah disekolahkan, tetapi terus saja cabut dari sekolah. Ima sudah menganggap Keri seperti anaknya. Keri sudah menjadi jahat dan selalu melarikan diri dimanapun dia ditempatkan. Ia mengaku bahwa Keri pernah diantar ke rumahnya oleh polisi dari kota Medan akibat dipukuli oleh orang yang tidak dikenal di jalanan kota Medan. Namun, setelah ia lari dari Tanjung Balai, ia tidak tahu bahwa Keri selama ini berada di jalanan kota Medan kembali, apalagi melakukan perilaku ngelem karena Ima berpikir kalau Keri sudah kembali ke Pekan Baru.


(64)

4.3 Penyebab Anak Tinggal di Jalanan

Penyebab anak di jalanan dapat disebabkan karena faktor dari dalam diri anak (internal) maupun faktor dari luar diri seorang anak (eksternal). Faktor internal berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menanggapi lingkungannya dan semua pengaruh dari luar. Tindakan yang mereka lakukan merupakan reaksi yang salah dari proses belajar, seperti: krisis identitas dan kontrol diri yang lemah. Sedangkan faktor eksternal sebagai faktor sosiologis yaitu semua perangsang dan pengaruh dari luar yang menimbulkan tingkah laku tertentu pada anak-anak jalanan.

(http://masrifatinanani.student.umm.ac.id/2010/07/30/beberapa-macam-kenakalan-remaja/, diakses 19 Juni 2011, pukul 17:14 WIB).

4.3.1 Faktor Internal Anak Tinggal di Jalanan 4.3.1.1 Ingin Mandiri

Keinginan mandiri merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini sering mendominasi perilaku seseorang dengan tanpa sadar. Keinginan mandiri pada anak jalanan sering muncul karena pengaruh ekonomi keluarga yang dianggap kurang mendukung kebutuhan mereka. Berikut hasil dari wawancara dengan seorang anak jalanan yang mengaku hidup di jalanan karena keiinginan diri sendiri.

“Kalau mamak aku sayang sama aku, kak. Gak mau dia pukul aku. Aku aja yang bandal. Mamak aku nyariin aku. Tapi kubilang “Mak, udah mak gak usah nyariin aku, nanti kapan-kapan aku pulang. Mamak cariin aku, capek mamak”.” (Agus Maulana, 16)


(65)

Hal yang sama juga diperoleh dari anak jalanan lainnya yang mengaku ke jalanan karena keinginan sendiri, untuk hidup senang dengan teman-teman jalanan lainnya. Berikut hasil wawancara dengan anak jalanan.

“Aku ke jalanan nyari-nyari pengalaman. Gak mau nyusahin mamakku. Mamakku pernah jemput aku ke jalanan, waktu dia pulang dari Malaysia. Mamakku baik. Aku ajanya yang bandal. Kuakui aku memang bandal.” (Jefri, 13)

Keinginan diri untuk hidup mandiri dan tidak tergantung pada keluarga, mengakibatkan anak-anak jalanan terbiasa hidup tanpa aturan di jalanan. Hal ini mendorong komunitas anak jalanan cenderung tidak mendapat pendidikan yang benar tentang aturan ataupun norma di dalam masyarakat.

4.3.1.2 Kehendak Ingin Bebas

Kehendak bebas merupakan salah satu sifat alamiah manusia. Setiap manusia ingin memiliki kebebasan yang penuh tanpa dikekang oleh suatu apapun, apalagi anak yang menjelang remaja sangat ingin memiliki kehendak yang bebas, tidak ingin diatur atau dikekang oleh suatu peraturan. Berikut hasil wawancara dengan seorang anak jalanana yang pergi ke jalanan karena merasa terkekang di tempat kerja dan merasa kesepian di rumah.


(66)

“Aku untuk sementara aku ngamen. Untuk sementara biar bebas. Kalau ga senang aku sakit. Kalau senang aku, gembira banyak kawan. Aku dah pernah kerja di door smeer. Kek mana rasanya sakit. Dah gajinya ga jelas, libur ga bisa, main-main ga bisa. Istilahnya door smeer ni kan minggu kan libur, senin sampai sabtu kerja kras, minggu senang-senang, buat senang.” (Hendra, 17)

Hal yang sama juga disampaikan oleh anak jalanan lainnya, seperti berikut ini.

Gak enak di rumah. Di situ-situ aja. Kek gitu terus, kek gitu terus. (Harjono, 15)

Anak jalanan juga beranggapan bahwa aturan akan menyebabkan mereka terkekang dan membatasi kehendak bebas mereka. Sementara dalam aturan masyarakat ada banyak aturan yang membatasi kehendak bebas tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan mereka seringkali melanggar norma dan nilai masyarakat.

Kehendak bebas ini dapat muncul dan terwujud dalam perilaku setiap orang setiap kali menghadapi himpitan dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Demikian halnya dengan anak jalanan yang menginkan kehendak bebas ketika merasa ada banyak hal yang membuatnya di batasi dengan cara ngelem bersama teman-temannya.


(67)

4.3.2 Faktor Eksternal Anak Tinggal di Jalanan 4.3.2.1 Faktor Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama terjadinya sosialisasi yang membentuk pribadi seorang anak. Di dalam keluarga seorang anak mengenal cinta, kasih sayang, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan, agama dan pendidikan. Peranan keluarga sangat penting bagi tumbuh dan kembang jiwa anak, pembentukan watak dan menjadi unit sosial terkecil yang menjadi pondasi utama bagi perkembangan anak. Kekacauan dalam keluarga dapat ditafsirkan sebagai pengaruh pecahnya unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberaa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya (Su’adah, 2005:151). Ada beberapa hal yang mempengaruhi sehingga anak memilih tinggal di jalananan dan melakukan perilaku ngelem, yaitu masalah ekonomi keluarga, rumah tangga berantakan, penolakan dari orangtua, dan pengaruh buruk orangtua.

4.3.2.1.1 Masalah Ekonomi Keluarga

Masalah ekonomi menjadi faktor yang dominan seorang anak pergi ke jalanan. Dari sepuluh informan yang diteliti, seluruh informan berasal dari anak yang keluarganya memiliki masalah ekonomi. Berikut hasil wawancara dengan anak jalanan.

“Mamakku kerja nyari botot,kak. Bapakku kerja supir truk.” (Perando, 15)


(1)

  Gambar 3. Herdin (kiri), Harjono (tengah) dan Rian (kanan belakang) ketika

berkumpul untuk makan .  

  Gambar 4. Herdin sedang makan semangkok nasi dan Jefri mencoba mengambil

sendok yang di pegang oleh Herdin untuk meminta sedikit nasi Herdin. Nasi itu dibeli dengan harga Rp. 4000,- per-mangkoknya dan mendapat sebotol air putih sebagai air minumnya. Mereka biasanya membeli nasi dan lem dari pemilik tempat tinggal mereka itu.


(2)

  Gambar 5. Kedai, tempat para anak jalanan membeli lem, membeli nasi dan

menyewa gitar. Pemilik kedai tersebut juga merupakan pemilik tempat tinggal anak jalanan (pintu yang tertutup).

Gambar 6. Tempat tinggal anak jalanan yang berada di sebelah kede tempat mereka membeli lem. Tempat ini disewakan seharga Rp. 2000,- per orang dalam satu hari. Di tempat inilah mereka tidur.


(3)

Gambar 7. Hendra (sebelah kanan) sedang tidur pada siang hari. Di sampingnya terdapat lem, yang kemungkinan baru saja dihirupnya ketika ia mau tidur.

 

  Gambar 8. Lamhot (tengah) dan Agus Maulana (kanan) sedang tidur pada siang

hari bersama teman-temannya karena pada malam hari mereka biasanya tidak banyak tidur akibat menghirup lem.


(4)

Gambar 9. Muhammad Faisal Keri Syahputra (sebelah kiri ujung), Jefri (tengah), dan Perando (kanan ujung) ketika diajak untuk di foto.


(5)

Gambar 11. Faisal sedang menggendong anak dari orang yang ia sebut bibi (wanita di sebelah kanan). Ia menganggap bahwa bibinya tersebut yang menjadi keluarga dekatnya. Foto ini diambil ketika Faisal diantar pulang ke Tanjung Balai (rumah bibinya)

  Gambar 12. Hendra sesaat setelah bertemu ibu kandungnya di Kabanjahe.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Mutiara Ginting lahir di Kota Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang tanggal 22 April 1989, putri kedua dari dua bersaudara dari pasangan Jaramin Ginting dan Hokni Br Barus dan merupakan adik dari Natal Nael Ginting. Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri 108384 (2001), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 (2004), Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir Negeri 1 (2007) di Lubuk Pakam, selanjutnya meneruskan pendidikan di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Sumatera Utara Medan dan telah menyelesaikan pendidikan tersebut pada Tahun 2011.

Semasa mahasiswa, pernah mendapat beberapa kali beasiswa berprestasi akademik. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kali penelitian sebagai enumerator dalam membahas tentang masalah sosial seperti: persepsi masyarakat terhadap calon wakil walikota dan walikota Medan pada Tahun 2009 dan masalah migrasi penduduk di Kota Medan pada Tahun 2010.

Penulis aktif dalam organisasi mahasiswa diantaranya pelayanan mahasiswa kampus yakni UKM KMK USU UP PEMA FISIP dan pada Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2011 memiliki 2 kelompok adik rohani yang berjumlah 6 (enam) orang: Rebekka Purba, Rina Maria Hutagaol, Sarah Rogatianni Artati Gultom dari Departemen Komunikasi 2009, dan Sri Handayani Ginting, Irma Sinurat, Yolanda F. Sembiring dari Departemen Sosiologi 2010 di pelayanan tersebut. Selain itu, pernah menjabat sebagai pengurus di Bagian Pembinaan UKM KMK UP PEMA FISIP dalam dua periode sejak Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2011. Pada tahun 2009, penulis pernah terlibat dalam diskusi antar-agama di kota Yogyakarta.