18
dalam bidang keagamaan dan politik sehingga anggota yang merasa tidak puas dengan BU keluar dari organisasi itu dan masuk ke organisasi
baru yang dianggap lebih sesuai. Keadaan yang demikian menjadikan BU berubah haluan ke arah
politik. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa sebagai berikut: a. Dalam rapat umum BU di Bandung tanggal 5 dan 6 Agustus 1915
menetap-kan mosi, agar dibentuk milisi bagi bangsa Indonesia namun melalui persetujuan parlemen. Pembentukan milisi berhubungan
dengan meletusnya Perang Dunia I tahun 1914. b. B
U menjadi bagian dalam Komite “Indie Weerbaar” yaitu misi ke Negeri Belanda dalam rangka untuk pertahanan Hindia Belanda.
Meski undang-undang wajib militer atau pembentukan suatu milisi gagal dipenuhi pemerintah Belanda, ternyata parlemen Belanda
menyetujui pembentukan Volksraad Dewan Rakyat sebagai Hindia Belanda. BU segera membentuk sebuah Komite Nasional untuk
menghadapi pemilihan anggota Volksraad meskipun demikian Komite Nasional ini tidak dapat berjalan sesuai harapan.
Dr. Sutomo yang tidak puas dengan BU pada tahun 1924 mendirikan Indonesische Studieclub di Surabaya. Penyebabnya adalah
asas “Kebangsaan Jawa” dari BU sudah tidak relevan dengan perkembangan rasa kebangsaan yang menuju pada sifat nasional.
Indonesische Studieclub ini pada per-kembangannya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia. Pada konggres BU tahun 1923 diusulkan adanya asas
non kooperatif sebagai asas perjuangan namun ditolak oleh sebagian peserta konggres.
Pada tahun 1927 BU masuk dalam PPPKI Permufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia yang
dipelopori Ir. Sukarno. Meskipun demikian, BU tetap eksis dengan asas kooperatifnya. Pada tahun 1928 BU menambah asas perjuangannya
yaitu: ikut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia. Hal ini sebagai isyarat bahwa BU menuju kehidupan yang lebih luas tidak
hanya Jawa dan Madura namun meliputi seluruh Indonesia. Usaha ini diteruskan dengan mengadakan fusi dengan PBI Persatuan Bangsa
Indonesia suatu partai pimpinan Dr. Sutomo. Fusi ini terjadi pada tahun
19
1935, hasil fusi melahirkan Parindra Partai Indonesia Raya, sehingga berakhirlah riwayat BU sebagai organisasi pergerakan pertama di
Indonesia.
2. Sarekat Islam
Tiga tahun setelah berdirinya Budi Utomo, pada tahun 1911
berdirilah organisasi yang disebut Sarekat Dagang Islam. Latar belakang
ekonomis perkumpulan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi pedagang orang-orang Cina. Hal ini juga sebagai isyarat bahwa golongan
muslim sudah saatnya menunjukkan kemampuannya. Atas prakarsa K.H. Samanhudi seorang saudagar batik dari Laweyan
– Solo berdirilah sebuah organisasi yang pada awalnya anggotanya para pedagang batik
di kota Solo. Tujuannya untuk memperkuat persatuan sesama pedagang batik dalam menghadapi persaingan dengan pedagang Cina yang
menjadi agen-agen bahan-bahan batik. Para pengusaha tersebut umumnya beragama Islam sehingga organisasi tersebut bernama
Sarekat Dagang Islam.
Sarekat Dagang Islam mengalami kemajuan pesat karena dapat meng-akomodasi kepentingan rakyat biasa. Oleh sebab itu, organisasi ini
menjadi lambang persatuan bagi masyarakat yang tidak suka dengan orang-orang Cina, pejabat-pejabat priyayi dan orang-orang Belanda. Di
Solo, gerakan yang bercorak nasionalistis, demokratis, religius, dan ekonomis ini berdampak pada permusuhan antara rakyat biasa dengan
kaum pedagang Cina, sehingga sering terjadi bentrok di antara mereka. Pemerintah Hindia Belanda semakin khawatir dengan gerakan yang
bersifat radikal ini karena berpotensi menjadi gerakan melawan pemerintah. Hal ini menyebabkan Sarekat Dagang Islam pada tanggal 12
Agustus 1912 diskors oleh residen Surakarta dengan larangan untuk menerima anggota baru dan larangan mengadakan rapat. Karena tidak
ada bukti untuk melakukan gerakan anti pemerintah maka tanggal 26 Agustus 1912 skors tersebut dicabut.
Atas usul dari H.O.S Cokroaminoto pada tanggal 10 September
1912 Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam. K.H
Samanhudi diangkat sebagai ketua Pengurus Besar SI yang pertama dan
20
H.O.S Cokroaminoto sebagai komisaris. Setelah menjadi SI sifat gerakan menjadi lebih luas karena tidak dibatasi keanggotaannya pada kaum
pedagang saja. Dalam Anggaran Dasar tertanggal 10 September 1912, tujuan perkumpulan ini diperluas:
a. Memajukan perdagangan; b. Memberi pertolongan kepada anggota yang mengalami kesukaran
semacam usaha koperasi; c. Memajukan kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama;
dan d. Memajukan agama Islam serta menghilangkan faham- faham yang
keliru tentang agama Islam. Program yang baru tersebut masih mempertahankan tujuan lama
yaitu dalam bidang perdagangan namun tampak terlihat perluasan ruang gerak yang tidak membatasi pada keanggotaan para pedagang tetapi
terbuka bagi semua masyarakat. Tujuan politik tidak tercantumkan karena pemerintah masih melarang adanya partai politik. Perluasan keanggotaan
tersebut menyebabkan dalam waktu relatif singkat keanggotaan SI meningkat drastis. Gubernur Jenderal Idenburg dengan hati-hati
mendukung SI dan pada tahun 1913 Idenburg memberi pengakuan resmi kepada SI meski banyak pejabat Hindia Belanda menentang
kebijakannya.
Gambar 1.1, Kongres Pertama Sarekat Islam di Solo 26 Januari 1913. Duduk di atas panggung Pangeran Ngabei, raja Solo. Di belakangnya berdiri H. Samanhudi,
R.Tjokrosoedarmo, R. Oemar Said Tjokroaminoto dan R. Goenawan Sumber : Capita Selecta : 1981.
21
SI mengadakan kongres I di Solo pada tanggal 26 Januari 1913. Konggres yang dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto antara lain mejelaskan
bahwa SI bukan sebagai partai politik dan tidak beraksi untuk melakukan pergerakan secara radikal melawan pemerintah Hindia Belanda. Meskipun
demikian, asas Islam yang dijadikan prinsip organisasi menjadikan SI sebagai simbol persatuan rakyat yang mayoritas memeluk Islam serta adanya
kemauan untuk memper-tinggi martabat atau derajat rakyat. Cabang-cabang SI telah tersebar di seluruh pulau Jawa dengan jumlah anggota yang sangat
banyak. Kongres SI II diadakan di Solo tahun 1914
, yang memutuskan antara
lain bahwa keanggotaan SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia dan membatasi keanggotaan dari golongan pagawai Pangreh Praja. Tindakan ini
sebagai cara untuk memperkuat identitas dan citra bahwa SI sebagai organisasi rakyat. Pemerintah Hindia Belanda tidak suka melihat kekuatan SI
yang begitu besar dan bersikap berani. Untuk membatasi kekuatan SI, pemerintah menetapkan peraturan pada tanggal 30 Juni 1913 bahwa cabang-
cabang SI harus bersikap otonom atau mandiri untuk daerahnya masing- masing. Setelah terbentuk SI daerah berjumlah lebih dari 50 cabang, pada
tahun 1915 SI mendirikan CSI Central Sarekat Islam di Surabaya. Tujuan didirikannya CSI adalah dalam rangka memajukan dan membantu SI di