32
terlarut pada nira yang diperoleh dari proses penggilingan, tidak tercapainya brix nira yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh kinerja pada proses gilingan yang kurang optimal, seperti: kinerja mesin, mutu
tebu, sabut tebu, dan lain-lain. Hasil Pemerahan Gula HPG menyatakan banyaknya pol nira mentah yang terekstrak tiap 100
pol dalam tebu giling, dengan angka standar HPG 92 . Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada Lampiran 5, HPG yang diperoleh sebesar 86,81 , hal ini menunjukkan banyaknya pol atau zat
gula yang terekstrak lebih sedikit. Pol atau zat gula yang tidak terekstrak kemungkinan ikut terbawa dalam ampas tebu, pol ampas yang dihasilkan di PG Subang sebesar 2,66 , sedangkan berdasarkan
aturan standar pol ampas adalah ≤ 2 . Semakin tinggi pol ampas menunjukkan semakin banyak zat gula yang terkandung dalam ampas, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya losses atau zat
gula yang hilang pada proses gilingan. Perbandingan Selaras Hasil bagi Kemurnian PSHK menyatakan perbandingan adanya penurunan HK nira perahan pertama terhadap HK nira mentah
dengan range standar untuk nilai PSHK adalah 96 - 98 . PSHK yang diperoleh di PG Subang sebesar 95,71 , hal ini menunjukkan target tidak tercapai, angka PSHK yang rendah atau 96
mengidentifikasikan terjadinya kerusakan gula akibat pengasaman oleh bakteri di stasiun gilingan. Kadar Nira Tebu KNT menunjukkan banyaknya nira dalam tebu yang berhasil diperah pada gilingan
1. Berdasarkan perhitungan KNT yang diperoleh di PG Subang adalah 77,84 , hal ini menunjukkan tidak tercapainya standar KNT yaitu 80 . Banyaknya nira yang tidak berhasil diperah oleh unit
gilingan menunjukkan adanya nira yang terkandung dalam ampas, sehingga terjadi inefisiensi di stasiun gilingan.
Faktor Campur FC merupakan parameter untuk menilai cara pemberian imbibisi sudah tepat, merata dan tercampur dengan sempurna, dan nilai FC standar adalah sekitar 50. Faktor campur yang
diperoleh di PG Subang adalah 61,43 , hal ini menunjukkan bahwa cara pemberian imbibisi belum optimal. Dilution Factor merupakan angka yang digunakan untuk menilai jumlah air imbibisi yang
diberikan di unit gilingan, standar dilution factor berkisar antara 0,95 - 1,05. Jika nilai dilution factor ≈ 1, menunjukan jumlah air imbibisi yang diberikan tepat. Nilai dilution factor 0,95 menunjukkan
jumlah imbibisi yang diberikan terlalu besar, sedangkan untuk nilai dilution factor 1,05
menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu kecil. Nilai dilution factor di PG Subang diperoleh nilai 1,27, hal ini menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan untuk
proses pemerahan terlalu kecil.
b. Stasiun Pemurnian
Aliran bahan di stasiun pemurnian PG Subang terjadi proses dimana nira mentah menghasilkan nira jernih encer dengan penambahan kapur tohor CaO, gas belerang SO
2
, dan flokulan. Proses pemurnian yang digunakan oleh PG Subang adalah dengan metode sulfitasi alkalis Gambar 9.
Pemurnian menggunakan sulfitasi alkalis dilakukan dengan pemberian larutan kapur hingga pH nira 10,5 kemudian ditambahkan gas SO
2
hingga pH nira menjadi 7,0 - 7,3 Halim 1973. Pada proses sulfitasi alkalis menggunakan gas sulfit SO
2
atau gas belerang dengan menghembuskan gas tersebut ke cairan nira dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam
tangki akan mengalami overflow. Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 200
o
C. Setelah dilakukan proses sulfitasi alkalis, nira mentah dilakukan pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan nira dari kotorannya
sehingga dihasilkan nira jernih dan blotong.
33
Gambar 9. Pemurnian nira proses sulfitasi alkalis Produk samping yang dihasilkan berupa blotong dan nira tapis filtrat yang masih
mengandung sukrosa. Nira tapis akan diproses kembali untuk didaur ulang di dalam bak tunggu kemudian dialirkan ke proses pemanasan pada stasiun pemurnian. Pengeluaran zat bukan gula secara
optimal terjadi apabila pH nira mentah antara 7,3 - 7,8 dan pH nira encer dipertahankan antara 7,0 –
7,4. Namun jika pH nira encer lebih dari 7,4 akan memberi dampak negatif karena terjadi perpecahan zat gula yang mereduksi semakin besar sehingga nira encer berubah warna menjadi hitam reaksi
browning, selain itu timbul asam organik yang mengikat kapur sehingga kandungan kapur meningkat. Kandungan kapur yang tinggi dalam nira encer mengakibatkan timbulnya inkrustasi pada
evaporator dan pan masakan kristalisasi yang dapat menghambat perpindahan panas sehingga konsumsi uap meningkat. Kandungan kapur yang tinggi juga dapat mempersulit proses kristalisasi
serta meningkatkan pembentukan molasses, hal ini mengakibatkan semakin banyak kandungan sukrosa yang terbawa pada molasses. Dengan demikian, penentuan kandungan kapur dalam nira
encer merupakan analisa yang sangat penting dalam rangka pengawasan produksi gula. Adapun neraca bahan di stasiun pemurnian dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Neraca bahan di stasiun pemurnian tahun 2011 Data
Satuan Input
Output Nira mentah
ton 316.215,33
Kapur tohor ton
464,08 Flokulan
ton 1.816
Belerang ton
101.887 Blotong
ton 11.164,5
Nira encer ton
304.814,80 Loss
ton 2.516,11
Loss 0,79
Sumber : PG Subang 2011
Hasil samping dari proses pemurnian adalah blotong dan filtrat. Blotong yang dihasilkan adalah 3,5 dari tebu yang digiling, sedangkan di PG Subang blotong yang dihasilkan sebesar 3,25
dari tebu yang digiling. Jumlah blotong ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proses penyaringan yang dilakukan pada alat door clarifier dan pada RVF serta nira jernih yang dihasilkan
34
dari proses pemurnian. Output dalam proses pemurnian sangat dipengaruhi oleh besarnya jumlah kadar sukrosa pol dan kecilnya kerusakan kadar sukrosa yang dihasilkan. Komponen yang
terpenting pada stasiun pemurnian adalah pH, suhu, dan waktu. Apabila komponen tersebut berjalan dengan stabil maka proses pemurnian akan lancar, hal ini pula yang akan mempengaruhi output yang
akan dihasilkan seperti nira encer, blotong, dan loss yang dihasilkan. Losses yang dihasilkan dari stasiun pemurnian sebesar 0,79 dari nira mentah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu
pengawasan yang tepat terhadap pH, suhu, dan waktu pada stasiun pemurnian agar berjalan secara optimal.
Tabel 12. Angka pengawasan di stasiun pemurnian Parameter
Tolok ukur Realisasi
Pol blotong 2
2,42 Belerang
0,05 ton100 ton tebu 0,028 ton100 ton tebu
Kapur tohor 0,16 ton100 ton tebu
0,14 ton 100 ton tebu Flokulan
3 - 4 ppm 5 ppm
Sumber : Soebekti 2001
Pengawasan pada stasiun pemurnian Tabel 12 diantaranya: pol blotong 2 , belerang 0,05 ton100 ton tebu, kapur 0,16 ton100 ton tebu, dan flokulan 3 - 4 ppm terhadap tebu.
Berdasarkan data PG Subang, pol blotong sebesar 2,42 , hal ini menunjukkan banyaknya zat gula yang ikut terbawa pada blotong sehingga terjadi losses. Pemakaian kapur di PG Subang sudah tepat
yaitu 0,14 ton100 ton tebu, fungsi penggunaan kapur tohor adalah untuk pemurnian nira mentah, penetral asam, serta sebagai desinfektan agar mikroorganisme yang terdapat dalam nira dapat mati.
Belerang yang ditambahkan di PG Subang adalah 0,028 ton100 ton tebu, hal ini sudah sesuai dengan aturan standar. Fungsi penambahan belerang adalah untuk reaksi pembakaran yang menghasilkan gas
SO
2
untuk proses sulfitasi, selain itu belerang juga berfungsi untuk menetralisir kelebihan susu kapur dan menyerap atau menghilangkan zat warna pada nira. Penggunaan flokulan di PG Subang adalah 5
ppm terhadap tebu, hal ini kurang sesuai dengan standar. Fungsi penambahan flokulan adalah untuk mempercepat proses pengendapan kotoran dalam clarifier sehingga proses pengendapan berlangsung
lebih cepat dan untuk meningkatkan densitas nira kotor sehingga akan lebih mudah untuk disaring.
c. Stasiun Penguapan