29
1. Penggunaan Bahan Tambahan pada Proses Produksi Gula
Proses produksi gula di PG Subang dilakukan pada beberapa stasiun, yaitu stasiun gilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, dan stasiun kristalisasi. Kinerja pabrik gula dapat dilihat dari
persentase rendemen yang dihasilkan. Data perolehan rendemen di PG Subang pada lima periode terakhir 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Data rendemen gula di PG Subang tahun 2007 – 2011
Uraian Satuan
Tahun 2007
2008 2009
2010 2011
Tebu digiling ton
298.027,63 311.849,66 296.552,03 343.725,17 343.646,88 Gula SHS
ton 22.933,7
26.083,3 19.833,8
19.592,3 22.990,50
Rendemen 7,70 8,36 6,69 5,70 6,69
Sumber : PG Subang 2011
Berdasarkan Tabel 7 di atas, diketahui bahwa pada musim giling tahun 2008 rendemen yang dihasilkan sangat tinggi yaitu 8,36 , sedangkan rendemen terendah yaitu 5,70 pada musim giling
tahun 2010. Hal ini dapat dipengaruhi oleh banyaknya tebu giling, dimana hal ini berkaitan dengan sistem budi daya dan pemanenan tebu, selain itu dipengaruhi dari gula SHS yang dihasilkan dimana
produksi gula SHS tersebut dipengaruhi oleh kinerja pada bagian pabrikasi di tiap stasiun pengolahan. Oleh karena itu, untuk mencapai rendemen yang tinggi perlu dilakukan optimalisasi pada proses
produksi gula. Namun berdasarkan Tabel 7, menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja produksi pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 2010, hal ini dapat dilihat berdasarkan
jumlah tebu yang digiling terjadi penurunan dari tahun 2010, namun jumlah gula SHS yang diperoleh lebih besar sehingga rendemen menjadi meningkat dari 5,70 menjadi 6,69 . Dengan
perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh kegiatan budi daya tanaman tebu yang menghasilkan tebu untuk digiling, juga dipengaruhi oleh
kinerja proses pengolahan tebu di pabrik dalam menghasilkan gula SHS. Berikut ini akan dibahas mengenai tiap stasiun dalam pabrik yang ada di PG Subang. Neraca bahan secara umum pada proses
produksi gula di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 7.
a. Stasiun gilingan
Tebu yang sudah dicacah dengan menggunakan cane cutter dan unigrator menghasilkan sabut tebu yang akan diperah menggunakan mesin penggiling di stasiun gilingan. Hasil perahan sabut tebu
akan menghasilkan nira dan sisanya adalah ampas. Dalam stasiun gilingan ditambahkan air imbibisi yang berfungsi agar proses ekstraksi nira dari tebu berlangsung secara optimal sehingga dapat
mengekstrak gula dari tebu sebanyak-banyaknya. Neraca bahan yang terdapat di stasiun gilingan dapat dilihat pada Tabel 8.
Kinerja gilingan sangat mempengaruhi output yang dihasilkan proses penggilingan. Kendala yang sering terjadi di stasiun gilingan adalah mesin tidak beroperasi dikarenakan rusak sehingga
mengakibatkan tebu mengalami penundaan penggilingan. Selain itu, dalam proses penggilingan seringkali nira mentah yang dihasilkan tercecer sehingga mengakibatkan loss. Produk samping yang
dihasilkan dari proses penggilingan adalah ampas tebu bagasse. Jumlah ampas tebu yang dihasilkan
30
pada musim giling tahun 2011 di PG Subang sebesar 31,81 dari jumlah tebu yang digiling. Ampas tebu dimanfaatkan sebagai bahan bakar ketel uap boiler.
Tabel 8. Neraca bahan di stasiun gilingan tahun 2011
Sumber : PG Subang 2011
Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan terjadinya loss sebesar 1,01 , hal ini dipengaruhi oleh kinerja gilingan. Kinerja di stasiun gilingan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: mutu tebu,
alat kerja pendahuluan, setelan gilingan, tekanan hidrolik, putaran rol gilingan, air imbibisi, umpan tebu saat masuk gilingan, dan operator. Mutu tebu yang layak giling adalah pol tebu 10, HK
Hasil bagi Kemurnian nira mentah 74 - 84 , kotoran tebu max 5, dan kadar sabut 13 - 16 . Alat kerja pendahuluan seperti cane cutter dan unigrator mempengaruhi kinerja gilingan yang diukur
berdasarkan nilai Preparation Index PI dengan ketentuan nilai PI untuk cane cutter 65 - 70 , unigrator 80 - 85 , dan hammer 86 - 95 , semakin tinggi PI maka sel yang terbuka semakin
banyak dan akan diperoleh ekstraksi yang optimal. Setelan gilingan sangat mempengaruhi hasil ekstraksi. Penyetelan gilingan bertujuan untuk mengatur kedudukan rol-rol dan ampas sehingga
pemadatan sabut optimal dan memberikan jalan untuk keluarnya nira yang telah terperah. Setelan gilingan yang memadai akan menghasilkan pemerahan yang optimal. Faktor yang mempengaruhi
setelan gilingan diantaranya kapasitas giling, sabut tebu, ukuran rol, jumlah rol, dan putaran rol Subekti 2010.
Tekanan hidrolik akan berpengaruh pada proses ekstraksi, dimana semakin besar tekanan maka semakin besar ektraksi. Namun besarnya tekanan hidrolik harus diperhitungkan dengan pemakaian
dan kekuatan peralatan. Putaran rol gilingan dibuat sekecil mungkin agar memberi kesempatan pada nira melepaskan diri dari rol, sehingga pada waktu ampas masuk, rol sudah kering dan melepaskan
nira dari rol dengan arah yang berlawanan dengan putarannya. Jika putarannya terlalu cepat, nira tidak ada kesempatan melepaskan diri dari rol, rol menjadi basah dan nira terhisap kembali oleh
ampas. Jumlah imbibisi akan berpengaruh terhadap ekstraksi gilingan. Makin besar jumlah air imbibisi, ekstraksi makin meningkat
. Menurut Hugot 1960, dengan penambahan imbibisi di PG
Subang sebesar 24,84 , maka ekstraksi yang dihasilkan sekitar 94,25 . Umpan tebu yang masuk ke stasiun gilingan harus sesuai dengan bukaan kerja pada mesin gilingan serta harus kontinu sehingga
dapat menghasilkan ekstraksi yang optimal. Selain itu, di stasiun gilingan juga dipengaruhi oleh operator yang menjadi kunci keberhasilan dalam ekstraksi gilingan. Operator harus mengikuti dan
melaksanakan standar operasional yang telah ditetapkan sebelumnya Subekti 2010. Data
Satuan Input
Output Tebu digiling
ton 343.646,88
Air imbibisi ton
85.362,30 Ampas
ton 109.303,6
Nira mentah ton
316.215,33 Loss
ton 3.490,25
Loss 1,01
31
Tabel 9. Kinerja di stasiun gilingan Parameter
Satuan Tolok Ukur
Realisasi Pol tebu
10 9,1
HK nira mentah 74
– 84 73,2
Kotoran tebu Maks 5
30
Sumber : Subekti 2010
Berdasarkan Tabel 9, pol tebu yang diperoleh PG Subang hanya sekitar 9,1 , sedangkan berdasarkan tolok ukur dalam penentuan tebu yang layak giling, pol tebu sebaiknya 10 . Hal
ini menunjukkan banyaknya kandungan gula dalam tebu masih sedikit dan kurang layak untuk digiling, sehingga akan berdampak terhadap perolehan gula yang dihasilkan dan rendemen akan
semakin kecil. Selain itu, untuk Hasil bagi Kemurnian HK nira mentah juga tidak memenuhi standar yaitu berkisar 74 - 84 , sedangkan untuk realisasinya di PG Subang hanya 73,2 . Kotoran
tebu juga mempengaruhi kualitas dari tebu yang akan digiling, berdasarkan tolok ukur untuk tebu yang layak giling, besarnya kotoran tebu maksimal 5 0,05, sedangkan banyaknya kotoran pada
tebu berdasarkan realisasi di PG Subang sebanyak 0,3 hal ini menunjukkan tebu yang akan digiling kurang bersih karena masih banyak mengandung kotoran di dalamnya. Semakin tinggi kotoran dalam
tebu, maka semakin rendah kualitas nira yang akan dihasilkan, selain itu mesin dalam pengolahan tebu akan membutuhkan lebih banyak energi untuk memisahkan zat bukan gula dengan zat gula karena
banyaknya zat bukan gula yang masih terkandung dalam nira. Tabel 10. Angka pengawasan di stasiun gilingan
Parameter Satuan
Tolok ukur Realisasi
HPB1 60
57,61 HPBtotal
90 85,34
HPG 92
86,81 PSHK
96 – 98
95,71 KNT
80 77,84
Faktor campur 50
61,43 Dilution factor
0,95 – 1,05
1,27
Sumber : Subekti 2010
Dalam proses ekstraksi tebu terdapat beberapa istilah dalam pengawasan gilingan Tabel 10 dalam mengevaluasi kinerja di stasiun gilingan, yaitu HPB
1
, HPB
total
, HPG, PSHK, KNT, faktor campur, dan dilution factor. Perhitungan untuk pengawasan gilingan dapat dilihat pada
Lampiran 5. Hasil pemerahan Brix Gilingan 1 HPB
1
menyatakan banyaknya brix nira yang terperah terekstrak di gilingan 1 per 100 brix tebu giling dengan angka standar HPB
1
60 . Berdasarkan perhitungan data PG Subang diperoleh HPB
1
sebesar 57,61 , hal ini menunjukkan hasil perahan brix nira pada gilingan 1 belum optimal karena tidak mencapai angka standar. HPB
total
adalah banyaknya brix nira mentah yang terekstrak tiap 100 brix dalam tebu giling dengan angka standar HPB
total
90 . HPB
total
di PG Subang sebesar 85,34 , hal ini menunjukkan target tidak tercapai karena pengaruh dari brix nira yang dihasilkan dari tiap gilingan. Brix nira menunjukkan banyaknya zat terlarut pada
nira, yang terdiri dari zat gula dan bukan gula. Semakin tinggi HPB menunjukkan semakin banyak zat
32
terlarut pada nira yang diperoleh dari proses penggilingan, tidak tercapainya brix nira yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh kinerja pada proses gilingan yang kurang optimal, seperti: kinerja mesin, mutu
tebu, sabut tebu, dan lain-lain. Hasil Pemerahan Gula HPG menyatakan banyaknya pol nira mentah yang terekstrak tiap 100
pol dalam tebu giling, dengan angka standar HPG 92 . Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada Lampiran 5, HPG yang diperoleh sebesar 86,81 , hal ini menunjukkan banyaknya pol atau zat
gula yang terekstrak lebih sedikit. Pol atau zat gula yang tidak terekstrak kemungkinan ikut terbawa dalam ampas tebu, pol ampas yang dihasilkan di PG Subang sebesar 2,66 , sedangkan berdasarkan
aturan standar pol ampas adalah ≤ 2 . Semakin tinggi pol ampas menunjukkan semakin banyak zat gula yang terkandung dalam ampas, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya losses atau zat
gula yang hilang pada proses gilingan. Perbandingan Selaras Hasil bagi Kemurnian PSHK menyatakan perbandingan adanya penurunan HK nira perahan pertama terhadap HK nira mentah
dengan range standar untuk nilai PSHK adalah 96 - 98 . PSHK yang diperoleh di PG Subang sebesar 95,71 , hal ini menunjukkan target tidak tercapai, angka PSHK yang rendah atau 96
mengidentifikasikan terjadinya kerusakan gula akibat pengasaman oleh bakteri di stasiun gilingan. Kadar Nira Tebu KNT menunjukkan banyaknya nira dalam tebu yang berhasil diperah pada gilingan
1. Berdasarkan perhitungan KNT yang diperoleh di PG Subang adalah 77,84 , hal ini menunjukkan tidak tercapainya standar KNT yaitu 80 . Banyaknya nira yang tidak berhasil diperah oleh unit
gilingan menunjukkan adanya nira yang terkandung dalam ampas, sehingga terjadi inefisiensi di stasiun gilingan.
Faktor Campur FC merupakan parameter untuk menilai cara pemberian imbibisi sudah tepat, merata dan tercampur dengan sempurna, dan nilai FC standar adalah sekitar 50. Faktor campur yang
diperoleh di PG Subang adalah 61,43 , hal ini menunjukkan bahwa cara pemberian imbibisi belum optimal. Dilution Factor merupakan angka yang digunakan untuk menilai jumlah air imbibisi yang
diberikan di unit gilingan, standar dilution factor berkisar antara 0,95 - 1,05. Jika nilai dilution factor ≈ 1, menunjukan jumlah air imbibisi yang diberikan tepat. Nilai dilution factor 0,95 menunjukkan
jumlah imbibisi yang diberikan terlalu besar, sedangkan untuk nilai dilution factor 1,05
menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu kecil. Nilai dilution factor di PG Subang diperoleh nilai 1,27, hal ini menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan untuk
proses pemerahan terlalu kecil.
b. Stasiun Pemurnian