Strategi Pengelolaan Ekosistem Pesisir
72
mangrove yang terbentuk akan memberikan dampak ekologis yang lebih baik bagi lingkungan lokal maupun globa Leatherman 2001.
2. Menurunkan tingkat kelemahan: Fokus strategi adalah dengan mengupayakan peningkatan kapasitas finansial,
sumberdaya manusia, dan politik masyarakat agar mengarus-utamakan upaya adaptasi perubahan iklim dalam kegiatan sehari-hari. Mata-pencaharian
masyarakat, terutama perikanan agar diperkuat dengan dukungan finansial dan teknis sehingga bisa mengubah pola budidaya pertambakan konvensional
saat ini menjadi model silvofishery. Pertambakan silvofishery akan memberikan dampak ganda yaitu manfaat ekonomi berupa hasil panen dan
manfaat fisik berupa pertahanan garis pantai. Hal ini dapat terwujud dengan kondisi politik lokal yang kodusif antara lain dengan penerapan secara ketat
peraturan sabuk hijau nasional yang diadopsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Provinsi Banten tahun 2011. Berdasarkan RTRW tersebut
diketahui bahwa lebar green belt Provinsi Banten adalah berkisar antara 78- 117 m mengacu pada Kepres No. 321990.
Berdasarkan dua strategi prioritas diatas, pengelolaan ekosistem mangrove dan pertambakan CAPD dalam upaya menghadapi kenaikan muka laut dapat
dijabarkan dalam 2 model skenario seperti sebagai berikut:
Skenario 1
Gambar 25 Skenario 1 pengembangan green belt 100m secara intensif
Pada skenario 1 diketahui bahwa lebar green belt yang ada saat ini kurang dari 100m, sehingga pembuatan green belt yang dilakukan dengan menanam
secara intensif petakan tambak dengan mangrove sehingga didapatkan lebar green belt 100m.
Tambak ditanam Mangrove 100 Green Belt yang ada 100 meter
100 meter
Tambak ditanam sehingga lebar green belt 100m
LAUT
73
Skenario 2
Gambar 26 Skenario 2 kombinasi green belt dan tambak silvofishery
Pada skenario 2 dikarenakan saat ini status kepemilikan lahan tambak didaerah sabuk hijau telah bersertifikat, maka langkah pembentukan sabuk hijau
dapat dilakukan dengan memadukan langsung antara areal tambak dengan penanaman mangrove dengan proporsi 60 mangrove dan 40 areal tambak
yang masih dapat dibudidayakan. Berdasarkan wawancara dengan petambak,
skenario 2 yang paling disukai atau dikenal dengan istilah tambak silvofishery.
Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu “sylvo’ yang berarti hutanpepohonan wana dan “fishery” yang berarti
perikanan mina. Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikanudang dengan kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sesuai dengan konsep keterpaduan antara hutan dan perikanan, maka sistem ini
akan serta merta ikut menciptakan atau mempertahankan jalur hijau mangrove pinggir pantai.
Teknologi yang diterapkan pada model tambak ini sepatutnya menerapkan sistem tambak ekstensif tradisional berteknologi sederhana, disesuaikan dengan
daya dukung kawasan mangrove yang, saat ini, hanya mampu menopang kebutuhan tersebut. Hal ini dikarenakan kawasan mangrove tidak cocok untuk
sistem budidaya intensif dikarenakan faktor elevasi kontur yang tidak sesuai untuk sistem drainase, kandungan bahan organik yang tinggi serta keberadaan
tanah sulfat masam atau pyrit. Namun, sistem tradisional yang diterapkan, jika menggunakan kaidah budidaya yang baik, akan mampu menghasilkan produk
berkualitas tinggi dan berharga lebih mahal akibat proses produksi yang
100 meter LAUT
GREEN BELT
Tambak 40 PENANAMAN MANGROVE
60
74
meniadakan bahan berbahaya serta dengan memperhatikan faktor lingkungan. Di sisi lain, konsep tambak ini dapat diintegrasikan dengan pengembangan ekonomi
lainnya seperti ekowisata, pelestarian keaneka ragaman hayati, serta peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam. Sehingga model tambak sylvofishery dapat
mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara langsung.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:
a. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-
akar mangrove dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove
b. Petambak dapat mengunakan daun tanaman mangrove sebagai pakan ternak,
terutama kambing ternak ini sebaiknya dikandangkan agar bibit mangrove yang masih muda tidak mati dimakan kambing
c. Keanekaragaman hayati akan meningkat termasuk bibit ikan alami dan
kepiting dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan. d.
Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan
e. Terciptanya sabuk hijau di pesisir coastal green belt serta ikut mendukung
program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat sequester CO2 dari atmosfer dan melindungi kawasan
pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut. f.
Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di
sekitarnya dapat diselamatkan g.
Dalam pengembangannya, tambak silvofishery telah banyak dimodifikasi, namun secara umum terdapat tiga model tambak silvofishery, yaitu: model
empang parit, komplangan, dan jalur Gambar 27.
75
Gambar 27 Silvofishery: a empang parit, b komplangan, c jalur, d tanggul Sumber : PMD Mahakam Fakultas Perikanan UNMUL, 2009
Pengembangan sistem
tambak sylvofishery
tidak hanya
akan menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan, akan tetapi juga sejalan dengan
peraturan pemerintah mengenai pengelolaan jalur hijau, sehingga mampu menghindari konflik dengan pemerintah daerah setempat. Kebijakan Pemerintah
RI mengenai pengelolaan sabuk hijau green belt yang terkait dengan pengembangan tambak di wilayah pesisir telah dimulai sejak tahun 1975 dengan
dikeluarkannnya SK Dirjen Perikanan No H.I42181975 tentang lebar green belt selebar 400m yang didasarkan dari rata rata perbedaan pasang tertinggi dan surut.
SK Dirjen Kehutanan No 60KPTSDJI1978 tentang tambak silvofishery dimana mengharuskan adanya sabuk hijau selebar 10m di sepanjang sungai dan lebar 50m
di sepanjang pantai. A
B
C
D
76
Peraturan lainnya yang sangat relevan dengan pengambangan tambak dan konservasi mangrove adalah :
Kepres No 32 Tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 mengenai perlindungan sumberdaya
hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah
untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove.
77
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
Hasil simulasi kenaikan muka air laut menunjukkan bahwa pada kanaikan 25 cm luas areal tambak yang akan tergenang sebanyak 427,22 ha dengan total
kerugian ekonomi sebesar Rp. 5.699.542.020hatahun. Pada kenaikan muka air laut 50cm luas areal yang akan tergenang 545,6 ha mencakup areal pertambakan
seluas 535,60ha dan kawasan CAPD seluas 10ha, dengan total kerugian ekonomi sebesar Rp.11.261.056.639hatahun. Pada skenario kenaikan 100cm luas areal
yang akan tergenang seluas 569.54ha areal pertambakan, kawasan CAPD, perumahan penduduk dan jalan raya Kelurahan Sawah Luhur, atau bisa dikatakan
sebagain besar wilayah desa akan hilang dan mempengaruhi aktivitas ekonomi petambak, nelayan dan perekonomian jenis mata pencaharian lainnya terkait
dengan penggenangan jalan raya. Hasil perhitungan menunjukkan total nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan yaitu Rp 30.906.952.255 hatahun.
Keberadaan kawasan lindung CAPD seluas 30 ha sangatlah menentukan keberadaan 515 ha areal tambak dan kelangsungan kehidupan bagi setidaknya
2910 keluarga di Kelurahan Sawah Luhur sehingga pengembangan strategi pengelolaan ekosistem pesisir yang disarankan menggunakan mendekatan
ecological planning method. Upaya mempertahankan CAPD dan pengembangan tambak silvofishery merupakan bentuk penyelamatan lingkungan yang sekaligus
juga membangun mata pencaharian penduduk setempat.