Fashion pakaian, make up, aksesoris

commit to user 29 menaiki ‘tangga pergaulan sosial’ dan biasa disebut kaum jetsetter adalah kelompok orang yang paling memperdulikan fashion, baik itu pakaian, make-up maupun aksesoris, sebagai simbol kemapanan, status sosial, kelas dan simbol- simbol sosial lainnya. Namun di luar kelompok ini tentunya kaum waria-lah yang menjadi sorotan utama sebagai subjek yang memanfaatkan pesan nonverbal dari fashion untuk mendefinisikan siapa mereka. Siapa mereka disini dimaknai sebagai jiwa asli yang hendak mereka keluarkan dari kungkungan fisik, karena setiap waria adalah perempuan yang merasa terperangkap dalam tubuh laki-laki. Meski kemudian banyak dari waria yang menyadari sepenuhnya mereka bukan lah perempuan, dan kemudian menjadi lebih nyaman dengan posisi sebagai gender ketiga gender semu dalam masyarakat dan tidak berusaha untuk menjadi perempuan seutuhnya dengan operasi kelamin dan sebagainya.

2. Fashion pakaian, make up, aksesoris

The Age of Fashion. Era fashion. Demikian istilah yang dipakai oleh pakar pop culture , Idi Subandy Ibrahim, untuk menggambarkan keadaan masyarakat saat ini 40 . Anggapan ini berawal dari keadaan sosial masyarakat yang mulai memberikan porsi perhatian berlebih terhadap industri mode dan fashion di tanah air. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya pusat perbelanjaan bergaya semacam shopping mall serta serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup transnasional dalam edisi khusus Indonesia maupun majalah terbitan negeri sendiri yang 40 Barnard, op.cit hal xiv dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim commit to user 30 menggunakan fashion sebagai salah satu porsi utama dalam terbitannya 41 . Belum lagi acara-acara televisi yang mengulas seputar fashion dan kecantikan. Tak pelak lagi, julukan era fashion sepertinya tepat sekali jika digunakan untuk menamai perubahan gaya hidup masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi globalisasi ekonomi, globalisasi media dan transformasi kapitalisme konsumsi dalam masyarakat 42 . Lalu mengapakah fashion dapat menyita perhatian masyarakat? Hal ini dapat terjadi karena masyarakat mulai terdidik untuk memahami bahwa fashion dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengkomunikasikan identitas diri kepada orang lain. Bahkan dalam beberapa kasus, fashion dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh pemakainya. Misalnya, untuk mendapatkan kesan baik ketika melakukan wawancara kerja orang akan berusaha untuk berpakaian serapi dan terlihat seprofesional mungkin. Hal serupa juga dinyatakan oleh seorang Psikolog Amerika terkemuka, Nancy Etcoff, dalam bukunya Survival of the Prettiest : The Science of Beauty yang menyebut lookism sebagai sebuah teori yang menganggap bahwa bila lebih baik tampilan Anda, maka akan sukseslah Anda dalam kehidupan 43 . Teori ini berkaitan erat dengan teori psikonalisis Sigmund Freud yang memandang bahwa kebanyakan manusia normal memiliki hasrat untuk memandang dan memperoleh kesenangan lewat pandangan atas segala yang mereka jumpai. Kesenangan dalam memandang ini 41 Chaneyop.cit. hal 8 dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim 42 Ibid 43 Ibid, hal 19 commit to user 31 biasanya disebut scopofilia 44 . Namun istilah ini dalam dunia kedokteran jiwa lebih sering dikaitkan dengan cara mendapatkan kesenangan untuk mendapatkan kepuasan secara seksual. Fashion secara garis besar terdiri atas 3 item yaitu pakaian, aksesoris dan make up. Ketiga hal ini secara berkala akan mengalami recycle. Poin terpenting dari fashion sendiri bagi sebagian besar orang dan yang paling mendapat porsi perhatian lebih adalah pakaian, sehingga kemudian pakaianlah yang paling banyak berbicara tentang siapa kita. Disadari atau tidak, pakaian yang kita pilih bisa mempengaruhi kesan yang diberikan orang terhadap kita, terlebih orang yang baru pertama kali kita temui. Orang dapat memperkirakan bagaimana watak dan kepribadian kita dari pakaian yang kita kenakan. Bahkan meski kita sendiri tidak memikirkan kesan apa yang hendak kita tampilkan ketika memilih satu pakaian, tapi orang yang berinteraksi dengan kita mungkin akan tetap menafsirkan penampilan kita seolah-olah ada pesan tertentu yang hendak disampaikan lewat penampilan kita. Jika dalam psikologi kita mengenal istilah persepsi, maka pakaian menjadi salah satu instrumen pencitraan persepsi untuk mengkomunikasikan kepribadian kita kepada dunia luar. Persepsi sendiri didefinisikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan- hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan 45 . 44 Freud, Sigmund. On Sexuality, Pelican Freud Library, vol 7, dalam Angela Richards ed., Harmondsworth : Penguin Books, 1977. hal 69. Dipetik dari Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender karya Malcolm Barnard. Jalasutra. Bandung. 2006. hal 164 45 Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi 2002Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Hal 51 commit to user 32 Adanya proses penyampaian pesan ketika berpakaian membawa pakaian untuk dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Pakaian, kostum dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual. Karena menyampaikan pesan-pesan nonverbal, maka ia termasuk komunikasi nonverbal 46 . Lalu bagaimanakah asal mulanya fashion dikaitkan dengan pemilihan orientasi seksual? Pada awalnya masyarakat mengenal istilah maskulinitas yag dilekatkan pada sosok kepribadian seorang pria, dan feminitas pada kepribadian wanita. Definisi maskulin dan feminin ini kadang memiliki karakteristik yang berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lain. Tapi pada dasarnya maskulinitas dikaitkan dengan perilaku agresif, mendominasi dan bekerja di luar rumah. Sementara menjadi feminin yang pantas maka ia harus menjadi sosok yang peduli, santun, dan menjaga 47 . Feminin juga dikaitkan dengan perilaku ekshibionisme yang menjelaskan mengapa perempuan senang berdandan dan menjadi pusat perhatian. Sementara menjadi maskulin lebih didekatkan dengan perilaku voyeurisme dan fethisisme yang menjelaskan bagaimana pria selalu senang bereaksi ketika melihat wanita cantik ataupun sexy, yang akhirnya menempatkan pria di posisi penonton beholder 48 . Namun pada kenyataanya tidak semua pria memiliki perilaku maskulin, dan demikian pula wanita, tidak semuanya memiliki perilaku feminin. Dalam masyarakat seringkali kita melihat pria yang kewanita-wanitaan sering dipanggil dengan istilah banci dan wanita yang kepria-priaan tomboy . Mereka inilah yang pada akhirnya menimbulkan 46 Barnard, op.cit hal 20 47 ibid . hal 160 48 Ibid , hal 203. commit to user 33 prasangka bahwa adanya keterkaitan antara perilaku yang bertentangan dengan pola yang biasa diterapkan orang pada umumnya pria yang feminin dan wanita yang maskulin, yang mana biasanya juga ditunjukkan melalui pilihan fashion mereka dengan pemilihan orientasi seksual, dimana pria yang kewanita-wanitaan dianggap gay, dan wanita yang kepria-priaan dianggap lesbian. Setidaknya ada satu perilaku sosial yang tercermin lewat pemilihan fashion yang terkait dengan orientasi seksual, yaitu waria. Waria merupakan salah satu bentuk pengekspresian kepribadian melalui pemilihan cara berpakaian yang mana pemilihan ini menunjukkan orientasi seksual yang mereka miliki.

3. Identitas diri