commit to user
1
BAB I P E N D A H U L
U A N
A. LATAR BELAKANG
Manusia telah menemukan arti penting komunikasi sejak berabad-abad lamanya. Sebagai makhluk sosial, manusia memang tidak dapat memisahkan
dirinya dari kegiatan berkomunikasi. Beriringan dengan berbagai inovasi di bidang teknologi selanjutnya, termasuk teknologi komunikasi dan informasi,
maka komunikasi antar manusia juga menjadi lebih kompleks. Komunikasi pun kemudian dijadikan bahan ajar di berbagai universitas di seluruh dunia untuk
dapat dipelajari dan diteliti lebih lanjut, serta ditingkatkan keefektifannya. Sekitar tahun 1940-an di Amerika Serikat muncul istilah
communicology
untuk mendefinisikan ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari
proses komunikasi massa, komunikasi kelompok dan komunikasi antarpersonal
1
. Karena komunikasi dinyatakan sebagai pembelajaran atas gejala-gejala sosial
yang terjadi dalam masyarakat, maka tidak mengherankan ketika pada akhirnya mutasi dari ilmu komunikasi ini sendiri menjadi luas bidangnya.
Pada dasarnya manusia berkomunikasi dalam dua cara, yaitu secara verbal dan nonverbal. Pada awalnya, bidang penelitian komunikasi nonverbal terbatas
1
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. 2001.Bandung. PT Remaja Rosdakarya. hal 4
commit to user
2 sebagian besar pada pesan tubuh manusia
2
, di mana komunikasi nonverbal dianggap sebagai suatu alat bantu memperjelas komunikasi verbal. Yang dianggap
sebagai komunikasi nonverbal masih terbatas pada bahasa tubuh, mimik wajah dan intonasi suara.
Dengan pengembangan kajian ilmu komunikasi barulah kemudian disadari bahwa untuk berkomunikasi secara nonverbal orang dapat pula menggunakan
banyak hal seperti gambar, simbol, warna, bentuk, bahan, dandanan, dekorasi, pakaian, dan sebagainya
3
. Unsur-unsur komunikasi nonverbal inipun mendapatkan porsi perhatian khusus terutama di bidang-bidang visual seperti
periklanan dan industri media. Kemajuan teknologi yang diiringi dengan perubahan sosial masyarakat
juga kemudian memberikan warna baru bagi pemaknaan komunikasi nonverbal, di mana masyarakat mulai menggunakan cara baru dalam berkomunikasi,
misalnya memanfaatkan pakaian untuk mengkomunikasikan kepribadian mereka ke orang banyak tanpa harus bersusah payah menjelaskannya.
4
Anggapan ini berawal dari keadaan sosial masyarakat yang mulai memberikan porsi perhatian
berlebih terhadap industri mode dan fashion. Di Indonesia hal ini ditandai dengan bertumbuhnya pusat perbelanjaan
bergaya semacam
shopping mall
serta serbuan majalah-majalah mode dan gaya
2
Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender
. Jalasutra. Bandung. 2006. hal vii dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim
3
Disarikan dari tulisan Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. 2001.Bandung. PT Remaja Rosdakarya.hal 7 dan Idi Subandy Ibrahim dalam kata pengantar untuk
Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender
. Jalasutra. Bandung. 2006. hal vii
4
Barnard, op.cit, hal xiv
commit to user
3 hidup transnasional yang memasukkan fashion sebagai salah satu porsi utama
dalam terbitannya
5
. Ini belum termasuk acara-acara televisi yang mengulas seputar fashion dan kecantikan. Sehingga tidak dapat disalahkan ketika kemudian
salah seorang pakar
pop culture
di Indonesia, Idi Subandy Ibrahim, memberikan sebutan era fashion untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang
mengalami perubahan gaya hidup karena pengaruh globalisasi ekonomi, globalisasi media dan transformasi kapitalisme konsumsi dalam masyarakat.
6
Memang belum semua orang menyadari peran penting pakaian sebagai suatu bentuk komunikasi nonverbal yang dipakai untuk menyampaikan pesan
kepada orang lain ataupun besarnya peranan pakaian dalam rangka menciptakan suatu
image
terutama bagi orang yang ditemui untuk pertama kalinya. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa disadari atau tidak sejak lama
sesungguhnya masyarakat sudah menyadari arti pentingnya pakaian melebihi fungsi utamanya untuk melindungi tubuh pemakainya dari cuaca atau demi alasan
kesopanan. Itulah sebabnya, untuk kesempatan tertentu orang akan cenderung memikirkan pakaian yang akan mereka kenakan, misalnya pakaian untuk
menghadiri wawancara kerja atau pesta. Pakaian juga kemudian menjadi identitas pribadi bagi semua orang. Oleh
karena itu memilih pakaian, baik di toko maupun di rumah, berarti mendefinisikan dan menggambarkan diri kita sendiri
7
. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari
5
Chaney, David. Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra. 2003. hal 8 dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim
6
Ibid
7
Lurie, A., The Language of Clothes, London : Bloomsbury, 1992. hal 5. dikutip dari Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual,
Kelas dan Gender . Jalasutra. Bandung. 2006. hal 7
commit to user
4 di mana dapat dilihat orang menggunakan pakaian dengan sengaja untuk
merepresentasikan dirinya kepada masyarakat adalah pemilihan pakaian fashion oleh kelompok transeksual atau transgender.
Perlu difahami terlebih dahulu bahwa ada perbedaan antara penggunaan isitilah transeksual dan transgender secara harfiah. Transseksual adalah orang
yang berusaha mengubah jenis kelaminnya menjadi jenis kelamin lawan jenisnya
the opposite gender.
Sementara transgender digunakan untuk menggambarkan keadaan mental seseorang yang merasa dirinya tidak berada pada gender yang
tepat, namun tidak berusaha merubah jenis kelaminnya.
8
Yang menyamakan mereka adalah perilaku berpakaian mereka yang tidak sesuai dengan kontruksi
gender yang diterapkan dalam masyarakat. Kelompok transesksual ataupun transgender ini menjadi contoh nyata bahwa pakaian merupakan salah satu bentuk
komunikasi nonverbal penting bagi mereka dalam menyampaikan kepribadian mereka kepada masyarakat dan termasuk di dalamnya adalah pemilihan orientasi
seksual mereka sebagai seorang homoseksual. Teori pakaian dan orientasi seksual sebenarnya tidak secara eksklusif
dimiliki oleh kelompok transeksualtransgender. Ada kelompok homoseksual yakni gay dan lesbian yang barangkali juga memiliki pakem-pakem tersendiri
dalam berpakaian atau berperilaku terutama dalam melihat peran mereka dalam berhubungan dengan pasangannya.
Dalam menemukan “sesama” di lingkungan yang masih menganggap orientasi seksual berbeda sebagai hal yang tabu, banyak
dari kaum gay ini mengandalkan
gaydar
, yang merupakan sebutan bagi istilah
gay
8
Puspitosari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. 2005. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal 10.
commit to user
5
radar
istilah kaum gay bagi kemampuan mereka mendeteksi seseorang dengan orientasi seksual sama. Fashion maupun
gesture
tertentu, lantas, menjadi sangat krusial peranannya, karena dalam upaya untuk mengembangkan
pergaulan dengan orientasi seksual semacam itu memerlukan penanda-penanda tertentu untuk
menentukan siapa memerankan peran sebagai siapa. Namun tentu saja pemikiran ini memerlukan pengkajian lebih lanjut, karena sebagian besar kelompok
homoseksual dengan orientasi sebagai gay dan lesbian menolak untuk mengkategorisasikan peran mereka dari penampilan luar karena menurut mereka
itu adalah pakem bagi kelompok heteroseksual dan tidak berlaku dalam kelompok homoseksual.
Berbeda halnya dengan kelompok transeksual atau transgender yang dengan sangat jelas mendefinisikan orientasi seksual dan sekaligus kepribadian
mereka melalui fashion yang mereka pilih. Lalu apakah yang sebenarnya ingin dikomunikasikan oleh kelompok transeksual atau transgender ini dengan
pemilihan
fashion
yang memiliki kecenderungan kuat bertentangan dengan jenis kelaminnya sendiri? Transeksual maupun transgender biasanya sejak usia dini
menyadari bahwa dirinya secara fisik bukanlah dirinya secara mental, misalnya laki-laki yang merasa terperangkap dalam tubuh perempuan ataupun sebaliknya.
Seiring dengan pertumbuhan usia, kelompok transeksual dan transgender ini berusaha mengakomodir kebutuhan dirinya untuk menampakkan sisi dirinya yang
tersembunyi atau yang bagi mereka merupakan kepribadian mereka yang
commit to user
6 sesungguhnya, salah satu caranya adalah dengan menampilkan identitas baru
melalui pakaian.
9
Masyarakat kita mungkin sudah sangat akrab dengan sosok transeksual atau transgender dalam kehidupan sehari-hari, terutama transeksual atau
transgender MTF
male to
female atau yang lazim disebut waria. Istilah waria pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1983 di wilayah Jawa Timur, yang
mana kata ini merupakan akronim dari wanita-pria.
10
Untuk kasus di Indonesia tidak semua waria dalam kesehariannya berperilaku
cross-dressing
memakai pakaian lawan jenisnya setiap saat. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sartono dalam artikel yang berjudul “Dari Homoseks ke
Metroseks” menyebutkan bahwa kebanyakan waria di Indonesia cenderung menjadi waria paruh waktu siang Hartono malam Hartini.
11
Perilaku yang juga seringkali disebut
dragqueen
ini tidak jarang hanya dilakukan pada acara-acara
drag show
yang biasanya diadakan oleh klub-klub malam. Menariknya justru fenomena waria ini sebenarnya memiliki keterkaitan
erat dengan akar budaya Indonesia. Sejarah budaya di Indonesia mencatat adanya beberapa seni pertunjukan yang memang memakai waria sebagai unsur utama
dalam pentasnya, sebut saja kesenian ludruk dan gandrung yang berasal dari daerah Jawa. Terdapatnya peran waria dalam panggung ludruk maupun gandrung
dimungkinkan kontruksi sebagian agamawan Islam yang dulu menolak tampilnya perempuan dalam pentas pertunjukan. Hal ini kemudian disiasati
9
ibid
10
http:bambangpriantono.multiply.comIndonesia, Dangerously Beautiful Kata Bahasa Indonesia Hari Ini : WARIA. Diakses pada 27 Maret 2008 pukul 19.26 WIB.
11
http:www.psikologiums.net
commit to user
7 dengan cara merias laki-laki sebagai perempuan, dengan merubah gaya dan
penampilan selayaknya perempuan, kekenesan, kekonyolan dan sekaligus banyolan-banyolan yang sengaja diperagakan oleh waria untuk menjadi magnet
dalam pertunjukan
12
. Tidak mengherankan jika kemudian di wilayah lain Indonesia seperti
Soppeng, Bugis, Sulawesi Selatan ditemukan pula peranan waria dalam ritual kebudayaannya. Waria atau biasa disebut
calabai
di daerah ini justru dihormati dan dijadikan sebagai salah satu unsur penting dalam ritual upacara keagamaan
mereka.
Calabai
yang disebut
Bissu
dalam upacara keagamaannya tidak pernah menerima perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya meski mereka senang
berdandan layaknya perempuan dan senang merayu pria.
13
Selain itu di Kalimantan, tepatnya di Suku Dayak Ngaju juga dikenal adanya pendeta-pendeta
perantara yang mengenakan pakaian lawan jenis.
14
Penelitian ini nantinya akan mencoba mengungkapkan bagaimana fashion dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kepribadian pemakainya, dan sebagai
contoh kasusnya adalah pemilihan orientasi seksual yang dinyatakan melalui pakaian yang dikenakan oleh para waria, karena dapat dipastikan waria memiliki
orientasi seksual sebagai homoseksual.
15
Penelitian ini juga ingin memotret lebih jauh apa yang menjadi alasan bagi para waria untuk berpakaian seperti lawan
jenisnya, apakah sebagai suatu bentuk keinginan untuk diakui sebagai suatu
12
Anoegrajekti, Novi. Tandak Ludruk : Ambiguitas dan Panggung Identitas dalam Srintil ed Menggugat Maskulinitas dan Feminitas.
2003. Depok : Kajian Perempuan Desantara. Hal 18. Dikutip dari
Puspitosari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. 2005. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal 37.
13
ibid
14
Puspitosari, op.cit hal 36
15
Puspitosari, op.cit. hal 10
commit to user
8 gender tersendiri
the third gender
, ataupun dimungkinkan sebagai perwujudan keinginan untuk mengkonstruksikan dirinya sebagai perempuan, atau bahkan
sebagai bentuk perlawanan terhadap kontruksi gender dalam masyarakat dan bagaimana pakaian membantu pembentukan identitas baru seorang waria. Perlu
diketahui bahwa tidak semua waria ingin dianggap perempuan. Ada sebagian yang justru merasa lebih nyaman dianggap sebagai waria saja.
16
Kondisi ini menggambarkan suatu indikasi bahwa sebagian waria menginginkan pengakuan
diri mereka sebagai suatu gender tersendiri. Cara fashion waria yang berbeda dengan apa yang lazim ada di dalam
masyarakat, yaitu melakukan
cross dressing
merupakan contoh dari bentuk pemanfaatan komunikasi non verbal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
komunikasi non-verbal sangat penting dalam menyampaikan pesan-pesan yang dasar tanpa harus menggunakan komunikasi verbal sekalipun. Untuk melihat lebih
jelas tentang penerapan komunikasi non-verbal pada pola fashion waria ini digunakan metode etnologi, yang menggunakan pendekatan budaya, dimana
seperti disebutkan di awal waria memiliki keterkaitan erat dengan akar budaya Indonesia, dimana waria ini dalam proses pembentukan identitas diri nya baik
secara pribadi maupun sosial cenderung menciptakan komunitas baru dan hidup berkelompok dengan komunitasnya sehingga bisa dianggap sebagai kelompok
budaya tertentu. Untuk itulah etnografi dipilih sebagai pendekatan yang digunakan untuk menganalisa bentuk identitas yang disampaikan waria melalui
pakaiannya.
16
Hivos dan PKBI DIY. Booklet LGBTQ. Dilansir pada peringatan International Day Against Homophobia IDAHO 15-17 Mei 2008 di Yogyakarta. Hal 7.
commit to user
9
B. RUMUSAN PERMASALAHAN