Reproduksi Sosial WARIA DAN LATAR BELAKANG PEMILIHAN FASHION

commit to user 91

A. WARIA DAN LATAR BELAKANG PEMILIHAN FASHION

1. Reproduksi Sosial

Fashion seringkali ditangkap sebagai sebuah fenomena kultural, sementara sebagai sebuah fenomena komunikatif, berbagai macam tipe maupun level pemaknaan berusaha dibangkitkan dan dikomunikasikan. Karena itu, menarik untuk memaknai fashion lewat perspektif kelas dan gender. Fashion dapat dipertimbangkan sebagai sebuah kegiatan reproduksi, sebuah aktivitas yang mengkonstruksi dan mereproduksi identitas kelas maupun gender tertentu. 92 Reproduksi yang terdapat pada social world , sangat erat kaitannya dengan gender dan kelas. Karl Marx sebagaimana dikutip oleh Barnard mengatakan bahwa sebagai komoditas, benda-benda maupun image dalam fashion merupakan salah satu hal paling kasat mata dalam upaya memperlihatkan “ a definite social relation between men ” 93 . Setiap hari manusia menilai status sosial maupun peran dari orang-orang yang mereka temui berdasarkan apa yang mereka pakai. Marx menggunakan istilah hierogliph sosial dalam menggambarkan bagaimana fungsi fashion tersbut digunakan oleh masyarakat. Hierogliph sosial inilah yang lantas menjadi silent communicator , yang membuka posisi sosial pemakainya di masyarakat. Fashion , lantas, menjadi salah satu cara paling signifikan yang mana darinya hubungan sosial antar manusia dalam masyarakat dikonstruksikan, dialami, dan dipahami. Konsep reproduksi yang telah disebutkan di awal menjadi sangat erat kaitannya dengan fashion dan aplikasinya. Istilah reproduksi yang 92 Barnard, op.cit. hal 45 93 Barnard, op.cit. hal 28 commit to user 92 digunakan di sini merujuk pada cara-cara yang mana institusi sosial, kegiatan sosial, produk sosial, maupun posisi sosial relatif masyarakat, ide, maupun kepercayaan, secara berkelanjutan terus dipertahankan. Kelompok sosial semacam waria sangat erat kaitannya dengan gender, dan kelas sosial, yang lantas juga menjadi sangat berkaitan dengan kegiatan reproduksi sosial tersebut. Pemahaman terhadap reproduksi sosial ini dapat dijelaskan ke dalam dua bentuk yang bertolak belakang : a Protes terhadap reproduksi budaya dominan; dan b Reproduksi terhadap stereotipe subkultur waria yang telah berkembang. 1.a. Protes terhadap Reproduksi Budaya Dominan Institusi sosial dominan di masyarakat secara relatif terus bertahan dan tidak banyak mengalami perubahan, utamanya yang berkaitan dengan gender, terlebih di negara dengan nilai-nilai ketimuran seperti Indonesia. Sejak lahir, gender manusia tidak hanya ditentukan berdasar jenis kelamin bawaan, namun juga diperkuat oleh pernyataan-pernyataan nonverbal yang didukung oleh komunitas dan lingkungan sosialnya. Misalnya bagaimana bayi laki-laki diidentikkan dengan warna-warna “maskulin” seperti biru, sementara bayi perempuan diidentifikasikan dengan warna-warna “feminin” seperti merah jambu. Kaum waria yang mewakili banyak dari subculture atau kebudayaan non- dominan, seringkali tergencet oleh keberadaan budaya yang lebih didukung. Waria erat kaitannya dengan kaum gay, dan perjuangan kaum gay dalam memperoleh hak-hak yang sama dengan mereka yang heteroseksual sudah berlangsung sejak lama, sebagaimana yang telah dikemukakan di bab commit to user 93 sebelumnya. Sementara kaum waria, baik transgender maupun transeksual, sebenarnya tengah berusaha untuk menunjukkan eksistensi mereka di masyarakat, keinginan dan hasrat mereka untuk juga dapat diakui sebagai perempuan, atau setidaknya gender ketiga, terlepas dari kultur dominan yang mengitari mereka. Hal ini diungkapkan Susi Fitriah dalam wawancara pada 17 Agustus 2008, “ Kalau saya sekarang sudah menentukan pilihan hidup seperti ini, maka saya memutuskan berpakaian seperti perempuan…. Walaupun tentunya waria dan perempuan juga tidak bisa disamakan. Waria yah waria. Saya berpakaian perempuan, tapi kalau solat yah pakai sarung. Saya bukan perempuan tulen, bukan juga laki-laki tulen.” Senada, Fani dalam wawancaranya mengungkapkan bahwa keinginannya menampilkan suatu pencitraan fashion khas waria, selain sebagai tuntutan profesi juga merupakan bentuk pernyataan keyakinan yang ada di dalam dirinya, bahwa semua orang memiliki hak asasi yang sama. Fashion, merupakan salah satu cara yang menurutnya sangat efektif untuk menunjukkan bahwa dirinya, sebagai seorang waria yang tidak sepenuhnya mewakili salah satu gender dominan laki- laki atau perempuan akan terus menunjukkan eksistensi dan keberadaan mereka. “ Bukan laki-laki, tapi juga bukan perempuan. Gimana dong. Makanya saya memilih jalan ini. Secara fisik saya laki-laki, tapi jiwa yang menghuni di dalam sini itu perempuan. Maka ini yang paling oke, menurut saya ,” kata Fani dalam wawancara pada 4 September 2008. Bentuk pemberontakan terhadap budaya dominan ini lah yang menjadikan waria memiliki ciri khas pakaian tersendiri, yang orang awam mungkin menilai commit to user 94 mereka norak, terlalu glamor, berlebihan, dan sebagainya, namun bagi waria sendiri ini merupakan signature yang menyatakan bahwa mereka bukan laki-laki bukan pula perempuan. Wilson dalam sebuah artikel yang dikutip oleh Barnard mengatakan bahwa, “ changing fashion in dress and clothing, ... are sometimes the cause of moral outrage in a way that changing fashion in automotive or furniture design, for example, are not . 94 ” Hal ini disebabkan karena fashion yang berkaitan dengan clothing sangat erat kaitannya dengan gender, dan seksualitas manusia. “ Because dress is so intimately related to our bodies, because it is thus profoundly connected to our sexual and gender identities, fashion is uniquely able to unsettle and unnerve us.” 95 Pembagian dan klasifikasi gender sangat berguna, namun bukan tanpa masalah. Kaitannya dengan jenis kelamin, yang bersifat biologis, barangkali ciri- ciri fisik akan berbicara banyak. Namun sesungguhnya manusia adalah makhluk yang kompleks, dan seringkali alam psikologis maupun sosial lebih mendominasi kehidupannya. Berbicara masalah maskulinitas, dan feminimitas tak bisa serta merta diasosiasikan dengan sex , atau jenis kelamin, melainkan lebih kompleks dari itu. Yang selanjutnya terjadi adalah persinggungan antara reproduksi unit-unit fashion dari gender dominan dengan kelompok “lain”. Seringkali stigma miring terhadap cara-cara waria ber- fashion , misalnya gerebek yang dilakukan FPI pada suatu acara kontes kecantikan waria beberapa waktu lalu seperti yang tertera di bab 2. Namun demikian, gejolak subculture ini 94 ibid 95 ibid commit to user 95 pun tetap bertahan, tampak dari geliatnya di bawah, maupun realitas media, lewat tayangan televisi yang banyak menampilkan sosok-sosok laki-laki berpakaian wanita yang tidak selalu dimainkan oleh waria, bahkan setelah era Tata Dado berlalu. Sebut saja penampilan Aming, maupun talent lainnya di acara seperti Extravaganza Trans TV, Sinden Gosip Trans TV, dan lain-lain, bahkan kemudian dimunculkan lagi reality show yang sepenuhnya tentang waria, Be a Man Global TV. Ini menunjukkan bahwa selain sebagai suatu bentuk persinggungan dengan budaya dominan, sesungguhnya pernyataan fashion waria merupakan bentu reproduksi stereotipe subkultur waria. 1.b. Reproduksi terhadap Stereotipe Subkultur yang Ada Fenomena fashion waria dapat ditengarai sebagai sebuah upaya untuk menggunakan fashion untuk menantang posisi dan identitas gender. Namun demikian, dapat juga dilihat bahwa seringkali ditemukan stereotip dalam penampilan para waria tersebut. Secara umum, dandanan waria yang berjenis kelamin pria itu, terlepas dari apakah mereka seorang transgender atau transeksual, dapat dikatakan menyerupai perempuan. Telah disebutkan di depan oleh Sonya misalnya, waria senang memakai pakaian perempuan yang terasa “seksi” dan “nyaman”. Kecenderungan lain, adalah tampilan stereotipe fashion waria saat menjalankan profesi mereka seperti Sarita yang berprofesi sebagai entertainer dengan pakaian yang “glamor” dan “menor”. Asumsi yang bisa diambil di sini, jika seorang waria hanya ingin mengaktualisasikan identitas dirinya yang wanita, maka ia dapat terus memakai pakaian maupun unit fashion commit to user 96 yang terasa seksi dan nyaman, yang tidak atau kurang glamor dan menor. Bahkan pada penerapan fashion “kasual” oleh waria, sebenarnya terdapat stereotip “seksi” dan “keharusan untuk tampil cantik” yang ditunjukkan lewat upaya yang kadang kelewat berlebihan saat menunjukkan sisi kewanitaannya. Misalnya upaya untuk memakai baju seksi, memanjangkan rambut, memakai make-up, hingga operasi plastik untuk mempercantik wajah. Menyuntik ataupun memasang implant di wajah dan payudara adalah salah satu usaha yang paling sering dilakukan waria untuk merubah tampilan aslinya. Bahkan Sonya mengakui bahwa ada keinginan kuat dalam dirinya untuk merubah jenis kelaminnya. Stereotip ini bukanlah hal yang begitu saja diterapkan oleh waria berdasarkan ide original, melainkan sebagai sesuatu yang diadopsinya dari fenomena-fenomena subkultur di masyarakat. Stereotip ini bukanlah sesuatu yang hanya dapat dijumpai di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain, seperti Thailand, Vietnam, dan sebagainya. Sehingga sangat dimungkinkan bahwa pola- pola penggunaan fashion ini dilihat, diserap, dan direproduksi oleh waria dan diidentifikasikan sebagai style miliknya sendiri. “ Kayaknya pas aja. Enak aja gitu. Teman-teman sesama waria lain juga enjoy aja tuh, jadi bukan hal yang aneh. Yang penting ya itu tadi nyaman aja, dan siapa sih, yang nggak suka jadi pusat perhatian.” YS, wawancara tanggal 18 Agustus 2008 “ Ya bisa ngeliat dong, mana yang gaya, mana yang engga. Dilihatnya bagus, ya sudah pake aja. Tapi emang ada temen-temen waria yang nyaman pake baju ala drag queen gitu. Enggak salah juga kan, toh banyak juga yang makai, dan kayaknya emang udah jadi khas kita banget. Tapi itu juga enggak semua.” Olivia Sonya Ariska, wawancara tanggal 15 Agustus 2008 commit to user 97 Fenomena drag queen menjadi sebuah bentuk pola penggunaan fashion yang terlegitimasi sebagai gaya para waria, yang seolah ingin mengkompensasikan kurangnya sifat-sifat feminin dari diri waria dengan penggunaan fashion itu maupun pola komunikasi verbal khas yang cenderung kemayu. Meski demikian tidak semua waria ingin menjadi perempuan, ada juga waria yang lebih nyaman dengan identitasnya sebagai waria, dan tidak ingin dianggap sebagai perempuan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Wulan dan YS yang menyebutkan bahwa meski mereka berusaha untuk tampil seperti perempuan, namun mereka lebih senang dianggap waria ketimbang perempuan. Memakai pakaian perempuan adalah suatu bentuk ekspresi untuk mengkomunikasikan pilihan orientasi seksual mereka, maupun dalam mengkomunikasikan identitas profesi mereka. Dari sini dapat ditarik suatu pemikiran bahwa dalam upayanya itu, waria berkiblat pada pola-pola komunikasi via fashion yang telah ada pada kelompok subkultur tersebut, dan mereproduksinya. Bisa jadi sebagai bentuk solidaritas terhadap kelompoknya, maupun tentangan terhadap budaya dominan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga dapat dijelaskan oleh keberadaan reference group . Sebagai seorang waria yang merupakan sebuah komunitas atau kelompok tersendiri di masyarakat, maka keberadaan kelompok rujukan ini menjadi sangat penting. Dalam pergaulan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial pasti menjadi anggota berbagai kelompok. Bagi waria, kelompok yang mewadahi entitas sosial mereka secara emosional sangat membantu dalam upaya mereka menemukan commit to user 98 konsep diri. Seringkali dengan melihat kelompoknya itu, seorang waria akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

2. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya