Kehidupan politik Kerajaan Sriwijaya

34

d. Kepercayaan

Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, bahwa kepercayaan Hindu- Buddha sangat berakar kuat di kerajaan ini. Perkembangan agama Hindu sangat baik, hal ini ditandai dengan hubungan yang erat antara raja dan Brahmana. Dengan demikian, agama Hindu memberikan nilai-nilai terhadap kehidupan kerajaan. Sementara itu, berita dari Fa Hsien dijelaskan bahwa penganut agama Buddha sangat sedikit dibanding dengan agama Hindu

3. Kerajaan Sriwijaya

Gambar 2.5 Peta wilayah Kerajaan Sriwijaya Sumber: Chalif Latif, 2000, Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia, halaman 7

a. Kehidupan politik

Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di Sumatra Selatan. Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang dan diperkirakan telah berdiri pada abad ke-7 M. Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar negeri. Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit 683 m, Talang Tuwo 684 m, Telaga Batu 683, Kota Kapur 686, Karang Berahi 686, Palas Pasemah dan Amoghapasa 1286. Sementara itu, prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor 775, Nalanda, Di unduh dari : Bukupaket.com 35 Piagam Laiden, Tanjore 1030 M, Canton 1075 M, Grahi 1183 M dan Chaiya 1230. Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Ling- wai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua. Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang Sriwijaya yaitu awal berkembang dan berakhirnya serta lokasi ibu kotanya. Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya Shih Li Fo Shih merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi Swarnabhumi. Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 saka 682 M ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Gambar 2.6 Prasasti Kedukan Bukit Sumber: E. Juhana Wijaya, 2000, halaman 56 Adapun isi prasasti Kedukan Bukit, adalah sebagai berikut: Pada tahun saka 605 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka dapunta hyang naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang. Bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa 20.000, dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, Di unduh dari : Bukupaket.com 36 pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan. Poerbacaraka berpendapat bahwa Minanga adalah pertemuan antara sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, sehingga beliau berpendapat bahwa ibu kota Sriwijaya adalah di Minangkabau. Muhammad Yamin mengartikan Minanga Tanwan adalah air tawar dan Sriwijaya ibu kotanya terletak di Palembang. Bukhori berpendapat sama dengan Muhammad Yamin bahwa ibu kota Sriwijaya terletak di sekitar daerah Palembang Prasasti Kedukan Bukit isinya menceritakan bahwa pada tanggal 11 Waisaka 604 23 April 682, Raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu memimpin operasi militer. Lalu pada tanggal 7 paro terang bulan Jesta 19 Mei Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwan untuk kembali ke ibu kota. Mereka bersukacita karena pulang dengan kemenangan. Pada tangga 5 Asada 16 Juni mereka tiba di Muka Upang sebelah timur Palembang. Sesampai di ibu kota, Dapunta Hyang memerintahkan pembuatan bangunan suci sebagai tanda rasa syukur. Prasasti Ligor A 775 ditemukan di Muangthai selatan “Pujian terhadap raja Sriwijaya yang di ibaratkan bagai Mnu yang memberi berkah bagi dunia menyerupai Indra dan semua raja tetangga taat kepadanya ditulis pula pendirian sebuah bangunan batu trisamayacahtya untuk padma, pani, sakyamuni, dan wajrpani”. Prasasti Ligor B, Pujian bagi raja yang berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan merupakan wujud kembar dewa kasta yang dengan kekuatannya disebut sebagai dewa Wisnu, kedua mematahkan keangkuhan semua musuhnya Sarwarimadawimthana. Ia adalah keturunan dari keluarga Syailendra yang tersohor disebut Srimaharaja.” Prasasti Ligor yang ditemukan di semenanjung tanah Melayu menceritakan tentang Raja Sriwijaya dan pembangunan trisamayacaithya untuk menyembah dewa-dewa agama Buddha, serta menyebutkan seorang raja bernama Wisnu dengan gelar Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa. Begitu pula prasasti Nalanda yang dikeluarkan oleh Raja Dewa Paladewa. Isinya menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh Raja Balaputradewa, Raja Sriwijaya yang menganut agama Buddha. Daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaya, dan Muangthai Selatan. Dengan menguasai Selat Malaka, Di unduh dari : Bukupaket.com 37 Selat Sunda, dan Laut Jawa, Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Untuk itu penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari perdagangan komoditas ekspor dan bea cukai kapal- kapal yang singgah di wilayah Sriwijaya. Jadi, kerajaan ini lebih menitik- beratkan pada bidang maritim dan perdagangan. Sejak pertengahan abad ke-9, Sriwijaya diperintah oleh Dinasti Syailendra. Hal ini dinyatakan dalam prasasti Nalanda di India, yang menguraikan permintaan Raja Balaputradewa dari Sriwijaya kepada Raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan wihara di Nalanda pada tahun 860. Disebutkan juga dalam prasasti itu, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaragrawira, yaitu raja Jawa dari Dinasti Syailendra. Prasasti kota kapur 686 M isinya tentang cerita peperangan dan sumpah atau kutukan bagi orang-orang yang melanggar peraturan dan kehendak penguasa. Adapun yang lebih menarik tentang isi prasasti ini, ialah bagian terakhir yang berbunyi: “Tahun saka 608 hari pertama bulan terang bulan waisaka, itulah waktunya sumpah ini dipahat, pada waktu itu tentara Sriwijaya berangkat tanah Jawa karena tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.” Dari prasasti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Sriwijaya pernah ada upaya untuk menaklukkan Jawa. Para ahli menerangkan bahwa kerajaan di Jawa yang ditaklukkan adalah Tarumanegara. Hubungan dengan India tidak bertahan lama, sebab pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala melakukan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya, antara lain Kedah, Aceh, Nikobar, Binanga, Melayu, dan Palembang. Berita penyerangan tersebut ada dalam prasasti Tanjore di India Selatan. Tetapi, penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur atas bantuan Raja Airlangga dari Jawa Timur. Atas jasanya ini, Airlangga dinikahkan dengan Sanggramawijayatunggadewi, putri Raja Sriwijaya. Kekuatan Sriwijaya mulai menurun setelah berhasil memukul mundur pasukan Colamandala. Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari ketidakmampuannya mengawasi dan memberi perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan juga oleh kerajaan-kerajaan vasal bawahan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti yang dilakukan oleh kerajaan Malayu Jambi. Prasasti Tanjore 1030 yang dikeluarkan oleh Rjendra berisi Tentara Colal melakukan serangan dua kali ke beberapa negeri diantaranya ke Sriwijaya, pertama tahun 1015 dan kedua 1025. Pada serangan kedua berhasil menawan rajanya yang bernama Sri Sangramwijaya Tunggawarman, setelah meminta maaf, dia ditakhtakan kembali. Di unduh dari : Bukupaket.com 38 S ementara itu, prasasti Wirarajendra, yang dikeluarkan oleh Raja Cola 1068, berisikan bahwa pasukan Cola menyerang kembali Sriwijaya tahun 1067. Selanjutnya pada abad ke-13 dan ke-14, kebesaran Sriwijaya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sumber-sumber sejarah. Jadi, kapan Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan? Menurut catatan Cina, utusan Sriwijaya terakhir datang ke Cina pada tahun 1178. Selain itu, pada catatan Chu- fan-chi yang ditulis oleh Chau Ju Kua tahun 1225 disebutkan bahwa Palembang ibu kota Sriwijaya telah menjadi negeri taklukan Malayu.

b. Kehidupan ekonomi