Strategi Pengelolaan Limbah Efektivitas Biaya Pengelolaan Limbah Rumah Sakit X di Jakarta Selatan

12 mengurangi biaya dan waktu pelatihan staf, meningkatkan keamanan secara umum, pengurangan biaya produksi kantong dan biaya kontainer. Membedakan warna kantong sesuai dengan jenis limbah dapat dijadikan standar dalam penanganan limbah. Penanganan limbah yang baik diperlukan dukungan dan kepedulian pengelola dalam menyediakan kantong dan kontainer sesuai dengan standar yang berlaku. Perlakuan limbah seperti ini tidak hanya demi mencegah pencemaran terhadap lingkungan, tetepi juga demi keselamatan pengelola dalam menangani limbah. Standarisasi warna dan logo menurut Depkes RI 1996 digunakan untuk limbah infeksius, limbah sitotoksik dan limbah radioaktif. Limbah infeksius dengan kantong berwarna kuning, limbah sitotoksik dengan kantong berwarna ungu dan limbah radioaktif dengan kantong berwarna merah. Penjelasan standarisasi warna dan kantong limbah terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Standarisasi Warna dan Logo Kantong Limbah Jenis Limbah Warna dan Logo Limbah infeksius Kantong berwarna kuning dengan symbol biohazard Limbah sitotoksik Kantong berwarna ungu dengan symbol limbah sitotoksik Limbah radioaktif Kantong berwarna merah dengan symbol radioaktif Sumber: Depkes RI, 1996 Kualitas kantong dan kontainer haruslah diperhatikan dan memiliki kualitas yang baik agar tidak mudah rusak dan membahayakan. Ketebalan kantong limbah harus sesuai dengan kantong limbah domestik yang memiliki kualitas baik. Perbedaan warna kantong untuk masing-masing jenis limbah dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Warna dan Kantong Limbah Berdasarkan Jenis Limbah Warna Kantong Jenis Limbah Hitam Limbah rumah tangga biasa Kuning Semua jenis limbah yang akan dibakar Kuning dengan strip hitam Jenis limbah yang sebaiknya dibakar tetapi dapat juga dibuang ke sanitary landfill bila dilakukan pengumpulan secara terpisah Biru muda atau transparan dengan strip biru tua Limbah untuk autoclaving pengolahan sejenis sebelum dibuang di pembuangan akhir Sumber: Depkes RI, 1996 13 4. Pengangkutan Limbah Pengangkutan limbah dilaksanakan sesuai dengan prosedur pengangkutan limbah internal dan eksternal. Pengangkutan limbah internal dimulai dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan atau insenerator dalam on site insenerator dengan menggunakan kereta dorong. Peralatan-peralatan harus jelas dan diberi label, dibersihkan secara regular, dan hanya digunakan untuk pengangkutan sampah. Petugas pengangkut limbah dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus. Pengangkutan limbah haruslah sesuai prosedur yang tepat demi keselamatan dan menghindarkan dari kesalahan penanganan. Limbah klinis diangkut dengan kontainer khusus yang kuat dan tidak bocor serta memiliki teknologi pendukung dalam pelaksanaan pengangkutan limbah. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengangkutan limbah ini adalah adanya kebocoran sehingga kendaraan kontainer harus memiliki spesifikasi untuk mengatasi dan mencegah kebocoran tersebut terjadi. Petugas yang menangani pengangkutan limbah ini haruslah memiliki kemampuan menangani pengangkutan limbah serta harus memenuhi standar operasional demi keselamatan dalam bekerja. 5. Metode Pembuangan Limbah klinis dibuang dengan menggunakan insenerator atau landfill. Pemilihan pembuangan limbah ini harus disesuaikan dengan kondisi limbah dan letak dari sumber limbah tersebut. Metode pembuangan limbah ini hendaknya memperhatikan aspek lingkungan serta eksternalitas yang ditimbulkan dari setiap metode pembuangan. Kedua metode tersebut dapat dilakukan bersamaan, namun perlu diperhatikan efektifitas dari penggunaan kedua metode tersebut. 6. Perlakuan sebelum Dibuang Reklamasi atau daur ulang untuk limbah kimia berbahaya hendaknya dipertimbangkan secara teknis dan ekonomi. Hal ini dapat digunakan dengan autoclaving atau disinfeksi dengan bahan kimia tertentu, sedangkan limbah infeksius dapat dibuang ke sanitary landfill. 14 7. Autoclaving Perlakuan terhadap limbah infeksius dilakukan dengan autoclaving. Limbah dipanasi dengan uap bertekanan tertentu. Masalah yang sering menjadi kendala adalah besarnya volume limbah atau limbah yang dipadatkan dan penetrasi uap secara lengkap pada suhu yang diperlukan sering tidak tercapai sehingga tujuan autoclaving sterilisasi tidak tercapai. Perlakuan dengan suhu tinggi pada periode singkat akan membunuh bakteri vegetatif dan mikroorgamisme lain yang dapat membahayakan penjamah limbah. Kantong limbah plastik sebaiknya tidak digunakan secara ulang karena bahan kantong tidak tahan panas dan akan meleleh selama autoclaving. Oleh sebab itu, sebaiknya digunakan kantong khusus untuk proses autoclaving. Kantong tersebut mempunyai pita indikator yang menunjukkan kantong telah mengalami perlakuan panas yang cukup tinggi. 8. Disinfeksi dengan Bahan Kimia Disinfeksi adalah penghacuran mikroorganisme yang tidak terlalu spora. Selain itu, terdapat pula sterilisasi, yaitu penghancuran seluruh mikroorganisme termasuk spora. Pemilihan keduanya tergantung pada jenis yang memerlukan efisiensi untuk prosedur tersebut Aqarwal, 2005. Peranan disinfektan pada institusi besar bersifat terbatas. Misalnya, digunakan setelah mengepel lantai atau membasuh tumpahan dan mencuci kendaraan limbah. Limbah inifeksius dalam jumlah kecil dapat diidisinfeksi dengan bahan kimia seperti hipoklorida atau permanganate. Cairan disinfeksi ini dapat diserap oleh limbah sehingga akan menambah bobot dan menimbulkan masalah dalam penanganan. 9. Insinerator Insinerator adalah alat yang digunakan untuk membakar. Proses pembakaran dilaksanakan dalam ruang ganda insinerator yang mempunyai mekanisme pemantauan secara ketat dan parameter pengenalan pembakaran. Kotak api atau insinerator domestik adalah ruang tunggal, pada ruangan ini biasanya proses pembakaran tidak terjadi secara lengkap dan suhu tidak dapat dikendalikan. 15 Limbah combustible dapat dibakar bila tersedia insinerator yang tepat. Residu insinerator dapat dibuat ke sanitary landfill. Jenis residu yang mengandung pencemar logam berat harus dilakukan penanganan yang lebih cermat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan insinerator adalah alasan ekonomi, sejarah atau alasan-alasan lain rumah sakit. Alasan-alasan tersebut tidak dapat dijadikan pengecualian dalam pemenuhan standar kualitas udara. Diperlukan prioritas sumberdaya dalam perbaikan sarana yang ada atau menggunakan sarana di luar rumah sakit untuk dapat memenuhi persyaratan emisi udara. 10. Sanitary Landfill Sanitary Landfill merupakan metode pembuangan limbah tradisional. Lokasi yang digunakan sekarang lebih merupakan tempat pembuangan terbuka yang memilki resiko terhadap manusia dan lingkungan. Lokalisasi yang terisolasi, dipagar dan jauh dari masyarakat, merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan. Sanitary Landfill secara fisik berada di daerah lapisan padat agar mencegah perpindahan limbah ke dalam air tanah atau ke tanah dan sekitarnya dapat dilakukan dengan menggunakan lapisan kedap seperti tanah liat, aspal atau lapisan sintetis. Lokasi harus didaftar dan mendapat izin dari instansi yang berwenang. Operator harus mencatat setiap limbah yang dibuang. Apabila limbah sudah penuh, harus segera ditutup dengan tanah atau lapisan yang sesuai. Pemilihan lokasi harus memenuhi kriteria : sesuai dengan tata guna lahan, dekat dengan penghasil limbah, meterologi, penguapan tinggi, rasio hujan rendah, hidrogeologi, permukaan air tanah dalam dan terpisah oleh lapisan yang dapat ditembus air tanah. 11. Sistem Saluran Air Kotor Rumah sakit harus memanfaatkan sistem pengolahan air limbah yang memiliki sistem pengolahan air limbah perkotaan yang tersedia dan dijangkau rumah sakit. Seringkali rumah sakit belum memiliki sistem limbah perkotaan dengan pertimbangan faktor-faktor efektivitas, kebutuhan lahan, biaya investasi, tingkat mekanisasi, biaya operasi dan pemeliharaan, serta energi 16 listrik yang dibutuhkan. Namun untuk keamanan lingkungan, karyawan dan pasiennya, rumah sakit tersebut harus membangun dan memiliki sistem pengolahan air limbah. 12. Pelatihan Program pelatihan meliputi latihan dasar tentang prosedur penanganan limbah untuk semua tenaga kerja yang menangani limbah. Program pelatihan hendaknya ditinjau secara periodik dan diperbaharui bila perlu penerangan pokok dalam pelatihan antara lain mengenai biaya limbah klinis dan sejenisnya, prosedur aman untuk menangani limbah, tindakan yang diperlukan bila terjadi kecelakaan termasuk cara pelaporan kepada supervisor. Rumah sakit harus menunjuk seorang pejabat yang bertanggungjawab atas sistem pembuangan limbah secara efisien dan memenuhi persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja.

2.5. Sistem Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit

Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara masalah tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai negatif besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat medis Suparmin et al. 2002. Menurut Depkes RI 1993 sistem pengolahan limbah cair yang sudah berjalan adalah: 1. Tangki septik Tangki ini digunakan untuk menampung limbah cair dari kamar mandi, kakus, ruang bersalin dan ruang perawatan. Limbah cair ini ditampung untuk mendapatkan pengolahanpembersihan yang lebih baik. 2. Sistem biologi aerob Sistem ini menggunakan udara yang berfungsi untuk mencerna zat organik dan zat anorganik. 17 3. Sistem biologi anaerob Sistem ini berkebalikan dengan proses aerobik. Biasanya proses anaerobik menggunakan penambahan peralatan seperti pompa limbah dan anaerobic filter.  Biofilter sistem anaerob-aerob sebagai Teknologi Pengolahan Limbah Cair Instalasi Pengolah Air Limbah IPAL ini bertujuan untuk mengolah air limbah yang mengandung polutan yang mana dinyatakan dalam beban BOD, COD, TSS dan lain-lainnya. Biofilter dengan sistem anaerob-aerob ini terdiri dari 5 unit pengolahan, yaitu bak ekualisasi, bak anaerob, bak aerob, bak sedimentasi dan bak effluent yang memiliki fungsi masing-masing. Berikut adalah fungsi dari unit pengolahan yang ada dalam biofilter anaerob-aerob menurut buku operasional IPAL 2006. 1. Bak Ekualisasi Bak ekualisasi berfungsi untuk menciptakan kondisi air yang homogen baik secara kuantitas maupun kualitas air limbah sebelum masuk ke dalam sistem pengolahan biologi. Proses pengolahan yang terjadi dalam bak ekualisasi ini dapat mencegah terjadinya Shock loading. Shock loading adalah keadaan air limbah yang masuk pada waktu tertentu memiliki debit yang sangat besar dan kadar pencemarannya sangat tinggi sehingga dapat merusak kinerja sistem pengolahan berikutnya. 2. Bak Anaerob Proses anaerob merupakan salah satu alternatif pengolahan secara biologi yang banyak digunakan untuk limbah dengan beban organik yang tinggi. Hasil utama dari sistem pengolahan ini adalah gas methan dan . Proses yang terjadi dalam bak ini yaitu akan terjadi dekomposisi atau pembusukkan zat-zat organik oleh sejumlah mikro organisme pada kondisi tidak ada udara anaerob. Tahapan proses dalam bak ini yaitu proses pelarutan, hidrolisa, merubah zat-zat organik menjadi organic acid, ethanol dan . Proses terakhir dalam bak ini adalah proses methanogenic yaitu dekomposisi dari hasil acidification menjadi gas methane dan . 18 3. Bak Aerob Proses aerob adalah proses penguraian bahan organik dengan bantuan bakteri aerob. Proses lumpur aktif digunakan dalam proses aerob sebagai pengolahan kedua dalam bak aerob ini. Limbah organik dimasukkan ke dalam tangki dimana kultur bakteri aerob dipertahankan melekat pada media. Lingkungan aerob diperoleh melalui suplai udara dengan menggunakan air blower yang dilengkapi dengan pipa distribusi untuk memasukkan udara yang akan menciptakan gelembung udara di dalam bak aerob. 4. Bak Sedimentasi Proses dalam bak sedimentasi yaitu terjadi pengendapan lumpur secara gravitasi yang berasal dari proses pengolahan aerob. Sebagian lumpur yang mengendap akan dikembalikan lagi menuju sistem aerob dengan menggunakan bak yang berfungsi untuk memisahkan lumpur dari effluent yang telah diolah dengan sistem aerob. Hal ini dilakukan karena lumpur masih membawa mikroorganisme aktif yang berguna untuk menguraikan bahan organik. 5. Bak Effluent Bak effluent merupakan tempat penampung sementara sebelum air olahan hasil pengolahan limbah dibuang ke dalam saluran pembuangan atau ke badan air.

2.6 Dampak Limbah Rumah Sakit terhadap Kualitas Lingkungan dan

Kesehatan Limbah rumah sakit perlu diolah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir agar tidak mencemari lingkungan. Adapun dampak yang timbul apabila limbah tidak diolah yaitu mencemari air permukaan, air tanah dan badan-badan air, mengganggu biota air, mengganggu estetika, terjadi pendangkalan pada sungai dan badan air, menyebabkan penurunan kesehatan dan kehilangan nyawa, menimbulkan kerugian ekonomi masyarakat dan mengurangi kesejahteraan masyarakat Depkes RI, 1993. Zat-zat yang terdapat dalam limbah dapat menyebabkan dampak negatifbagi kualitas lingkungan. Terdapat tiga kategori polutan limbah yaitu, fisik, kimia dan biologis. Polutan fisik memiliki resiko lingkungan dan kesehatan yang terkait dengan limbah medis. Resiko tersebut dapat berupa pengaruh insenerasi