Analisis Usahatani Analisis Status Keberlanjutan SIPT

32 sebanyak 2 dari 10 kecamatan dan 4 desa berdasarkan pertimbangan bahwa petani pada kecamatan dan desa tersebut telah menerapkan kegiatan usahatani pola SIPT Lampiran 1. Pada masing-masing desa dipilih satu kelompoktani dan dua puluh petani responden per kelompoktani secara stratified random sampling berdasarkan lama berusaha tani dan luas lahan sehingga jumlah responden yang menerapkan usahatani pola SIPT sebanyak 80 orang dan pada desa tersebut dipilih petani yang tidak menerapkan usahatani pola SIPT sebagai pembanding 40 responden.

3.5 Metode Pengolahan Data

3.5.1 Analisis Usahatani

Analisis finansial penting dilakukan untuk mengetahui kelayakan ekonomi dari suatu kegiatan usaha, karena setiap kegiatan usaha apapun dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang layak, termasuk kegiatan usahatani pertanian. Analisis usahatani menggunakan rumus : π = P x Q – X x Y, dimana: π = Keuntungan usahatani; P = Harga jual produksi; X = Jumlah input yang digunakan; Q = Jumlah produksi; Y = Harga input yang digunakan Sumber: Sudaryanto dan Ilham 2001 Perbedaan usahatani pola SIPT adalah penggunaan’ input pupuk organik dan sebaliknya untuk usahatani petani reguler. Dengan adanya perbedaan tindakan usahatani tersebut yang dilakukan oleh petani maka dapat diduga adanya perbedaan produksi diantara pola usahatani tersebut. Dampak penerapan pola SIPT terhadap pendapatan dengan membandingkan antara rata-rata pendapatan usahatani sebelum dan sesudah menerapkan usahatani pola SIPT menggunakan Marginal Benefit Cost Ratio MBCR Swastika 2004; Malian 2004. adalah: MBCR = Penerimaan Teknologi Introduksi – Penerimaan Teknologi Petani Biaya Teknologi Introduks i – Biaya Teknologi Petani 33 Secara teoritis, keputusan mengadopsi teknologi baru layak dilakukan jika MBCR 1. Artinya, tambahan penerimaan yang diperoleh dari penerapan teknologi baru harus lebih besar daripada tambahan biaya Malian 2004. Pertambahan bobot hidup digunakan rumus Sudaryanto dan Ilham 2001; Sariubang dan Pasambe 2005; Ruswendi et al. 2006 ADG = W2 – W1, dimana : t 2 – t ADG = Average Daily Gain 1 W 2 W = Bobot hidup akhir; 1 t = Bobot hidup awal; 2 t = Waktu penimbangan akhir; 1 = waktu penimbangan awal

3.5.2 Analisis Status Keberlanjutan SIPT

Tahapan kedua dari penelitian ini adalah menganalisis keberlanjutan usahatani melalui identifikasi faktor-faktor keberlanjutan SIPT yang mencakup 4 dimensi keberlanjutan ialah ekologi, sosial-budaya, ekonomi, dan teknologi. Pemilihan dimensi keberlanjutan ini berdasarkan pengembangan dari tiga dimensi pembangunan keberlanjutan Munashinghe 1994, yaitu dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Dimensi teknologi merupakan pengembangan dari dimensi ekologi, sosial dan ekonomi yang dimunculkan menjadi dimensi tersendiri. Hal tersebut karena dalam pengembangan SIPT faktor teknologi merupakan hal yang penting, sehingga dengan dimunculkannya faktor tersebut menjadi dimensi tersendiri maka permasalahan-permasalahan, pembahasan dan pemecahannya dapat dibahas secara lebih terfokus. Analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahapan penentuan atribut pengelolaan usahatani pola SIPT yang mencakup dimensi ekonomi, ekologi, sosial-budaya, dan teknologi. Selanjutnya tahapan penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi Rap-SIPT yang berbasis metode ”multidimensional scaling” MDS, penyusunan indeks dan status keberlanjutan SIPT yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, hasil analisis ataupun data sekunder yang tersedia, setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor 34 ini menunjukkan nilai yang ”buruk” di satu ujung dan nilai ”baik” di ujung yang lain. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi usahatani pola SIPT. Sebaiknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Diantara dua ekstrem nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara, tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut Jumlah peringkat pada setiap atribut akan ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah peringkat. Sebagai contoh untuk menentukan tingkat pemanfataan limbah ternak sapi potong masih belum jelas kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan, oleh karena itu akan ditentukan berdasarkan scientific judgement dari pembuat skor. Dalam penelitian dibuat empat peringkat yaitu tidak dimanfaatkan, sedikit dimanfaatkan, sebagian besar dimanfaatkan, dan seluruhnya dimanfaatkan. Atribut agroklimat hanya terdiri atas tiga peringkat sesuai dengan type iklim yang ada di Indonesia, yaitu : ”agroklimat kering” ”agroklimat sedang” dan ”agroklimat basah”. Pada dimensi ekonomi, misalnya atribut kelayakan finansial terdiri dari tiga atribut yaitu ”layak” ”break even point”; dan ”tidak layak”. Berdasarkan hasil analisis finansial kegiatan usahatani pola SIPT layak untuk dilakukan. Nilai skor dari masing-masing atribut selanjutnya dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan SIPT yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik good dan titik buruk bad. Pada Tabel 4, disajikan atribut-atribut dan skor yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan SIPT pada setiap dimensi. Ilustrasi hasil ordinasi yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dari sistem yang dikaji pada Gambar 10. 0 75 100 Gambar 10 Ilustrasi indeks keberlanjutan SIPT di Kabupaten Cianjur Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut, misalnya dimensi ekologi. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis 35 perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang kite diagram disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha tani pola SIPT Skala indeks keberlanjutan usaha tani pola SIPT mempunyai selang 0 sampai dengan 100 . Jika usahatani pola SIPT yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 50 50 , maka usahatani pola SIPT tersebut sustainable, dan sebaliknya jika kurang dari 50 50 , maka SIPT belum sustainable, Penulis mencoba membuat empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar tersebut,, disajikan pada Tabel 7. Indeks keberlanjutan SIPT akan disebut sebagai lkB-SIPT, yang merupakan singkatan dari Indeks Keberlanjutan SIPT. Tabel 7 Kategori status keberlanjutan SIPT berdasarkan nilai indeks hasil analisis RAP-SIPT Nilai Indeks Kategori 0 - 25 Sangat Buruk 26 - 50 Buruk 51 - 75 Cukup 76 - 100 Sangat Baik Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap IkB-SIPT. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan ”root mean square” RMS ordinasi, khususnya pada sumbu-x atau skala sustainable. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan 36 atribut tersebut dalam pembentukan nilai IkB-SIPT pada skala sustainable atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam keberlanjutan SIPT. Evaluasi pengaruh galat error acak pada proses pendugaan nilai ordinasi SIPT digunakan analisis ”Monte Carlo”. Menurut Fauzi dan Anna 2002; Karvanagh 2004 bahwa analisis Monte Carlo berguna untuk mempelajari hal- hal berikut ini : 1 Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor tersebut; 2 Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda; 3 Stabilitas proses analisiis MDS yang berulang-ulang iterasi; 4 Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang missing data; 5 Tingginya nilai ”stress” hasil analisis Rap-SIPT, nilai ”stress” dapat diterima jika 25 . Secara lengkap tahapan analisis Rap-SIPT menggunakan metode MDS dengan aplikasi Rapfish disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Tahapan analisis Rap-SIPT menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish Kavanagh 2004 Mulai Penentuan Atribut sebagai Kriteria Penilaian Kondisi SITT saat ini Penilaian skor setiap Atribut MDS ordinasi setiap atribut Analisis Sensitivitas Analisis Monte Carlo Analisis Keberlanjutan 1. Nilai Indeks 2. Atribut sensitif 37 Analisis Kebutuhan Pengelolaan usahatani pola SIPT di masa mendatang perlu memperhatikan kebutuhan stakeholder, pada Tabel 8. Kebutuhan stakeholder diperoleh dari analisis kebutuhan semua pihak yang berkepent ingan melalui diskusi para pakar dan bantuan kuesioner Tabel 8 Analisis kebutuhan stakeholders No Stakeholders Kebutuhan 1 Petani Tradisional,Pengusaha • Bibit tersedia dengan harga terjangkau • Peningkatan pendapatan • Manajemen dan pemeliharaan • Pelayanan pertanianpeternakan • Modal pengembangan usahatani 2 Dinas PertanianPeternakan • Sarana dan prasarana • Jumlah SDM berkompeten • Peningkatan populasi ternak • Produktivitas tanaman-ternak • Angka mortalitas ternak menurun 3 Dinas Instansi terkait Pekebunan, Perdagangan dan Perindustrian, Tenaga Kerja, Dinas Pendapatan Derah. • Peningkatan kualitas sumberdaya lokal • Tidak mengganggu tanaman pertanian • Pengembangan pertanian organik • Penyediaan lapangan kerja, • Peningkatan perekonomian masyarakat • Peningkatan pendapatan asli daerah 4 Masyarakat LSM Peneliti • Penyediaan perluasan lapangan kerja, • Ternak di kandangkan, • Lingkungan bersemi • Peningkatan SDM Stakeholder tersusun atas individu, kelompok masyarakat, pemerintah, pihak swasta, dan lembaga sosial masyarakat yang memiliki minat dan wewenang untuk berperan dalam kegiatan bidang pertanian dan peternakan. 38 Dalam tahap analisis kebutuhan, dilakukan inventarisasi kebutuhan stakeholder melalui pendapat responden sebagai pelaku dan ahli expert mengenai usahatani pola SIPT dengan menggunakan kuesioner. Masing-masing responden memiliki kebutuhan dan pandangan yang berbeda dan dapat saling bertentangan terhadap usahatani pola SIPT. Responden akan diminta pendapatnya mengenai faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam usahatani pola SIPT, dan memberi skor pengaruh silang antar faktor tersebut. Pendapat responden selanjutnya dianalisis berdasarkan skor pengaruh silang antar faktor, dengan menggunakan cara matriks, kemudian dipresentasikan secara grafik dalam salib sumbu Kartesian Bourgeois, 2002. Berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian di lapangan, stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan usahatani pola SIPT di Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut: 1. Petani, yaitu baik petani tradisional maupun pengusaha pertanian yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dari usaha budidaya padi-ternak 2. Dinas PertanianDinas Peternakan, yaitu Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur yang bertanggung jawab secara teknis dalam bidang pembangunan pertanian-peternakan di Kabupaten Cianjur 3. Dinas Instansi Terkait, semua dinas instansi pemerintah daerah yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan pembangunan bidang pertanian dan peternakan baik secara langsung maupun tidak langsung 4. Masyarakat, masyarakat Kabupaten Cianjur yang bertindak sebagai konsumen produk padi dan sapi potong maupun masyarakat yang dalam kehidupan sehari-hari terpengaruh dengan usahatani padi dan usahatani sapi potong Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan disusun dengan cara mengevaluasi keterbatasan sumberdaya limited of resources yang dimiliki dan atau adanya perbedaan kepentingan diantara stakeholders conflict of interest untuk mencapai tujuan Eriyatno 2003. Permasalahan SIPT merupakan gap antara kebutuhan pelaku utama dengan kondisi yang ada. Formulasi permasalahan tersebut merupakan 39 kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan stakeholder dan pada kondisi nyata permasalahan tersebut ditunjukkan oleh isu yang terjadi. Berdasarkan analisis kebutuhan dari kondisi sumberdaya yang dimiliki saat ini serta adanya perbedaan kepentingan dari stakeholders, maka permasalahan diformulasikan yaitu: 1 Keterbatasan kemampuan petani dalam manajemen budidaya; 2 Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Dinas Pertanian dan dinas Peternakan untuk melakukan pelayanan ke masyarakat petani; 3 Perencanaan bersifat sektoral; berakibat rendahnya kerjasama lintas sektor; 4 Tekanan penduduk dan tuntutan perkembangan ekonomi daerah yang semakin dinamis mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap produk pertanain; 5 Penurunan kualitas lingkungan;

3.5.3 Analisis Prospektif