Universitas Sumatera Utara
Konseling dan Tes HIV telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, yaitu dengan pendekatan atas inisiatif klien konseling dan tes HIV sukarela
KTS. Konseling dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Kualitas konseling perlu dipantau dengan mentoring dan pembinaan teratur Permenkes No.74 tahun
2014. VCT telah menjadi alat paling penting dengan biaya efektif untuk
mencegah dan mengendalikan HIVAIDS di berbagai negara Landi dan Bokhari, 2001.
2.5.2 Peran Konseling dalam Tes HIVAIDS
Menurut Kemenkes RI 2013, Layanan konseling pada tes HIV dilakukan berdasarkan kepentingan klienpasien baik kepada mereka yang HIV positif
maupun negatif. Layanan ini dilanjutkan dengan dukungan psikologis dan akses untuk terapi. KTHIV harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk
memperoleh intervensi yang efektif. Konselor terlatih membantu klienpasien dalam menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, memelajari status
dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk mengurangi perilaku berisiko serta mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain serta untuk mempertahankan dan
meningkatkan perilaku sehat.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Permenkes No.74 tahun 2014, peran konseling dalam tes HIV
secara skematis
dapat dilihat
pada bagan
berikut ini.
Gambar 2.3 Bagan Peran Konseling dalam Tes HIV
Lamptey 2004 menyatakan bahwa konseling HIV memainkan dua peran penting yaitu mencegah infeksi HIV dengan mempromosikan perubahan perilaku,
dan memberikan dukungan psikososial kepada orang-orang yang terinfeksi dan terkena HIV.
2.5.3 Prinsip Dasar KTHIV dan AIDS
Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting to zero, yaitu zero new HIV infection, zero discrimination, dan zero AIDS related death.
Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C informed
consent, confidentiality, counseling, correct test results, connections to, care, treatment and prevention services.
a. Informed Consent adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan
laboratorium HIV yang diberikan oleh pasienklien atau walipengampu setelah
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasienklien tersebut. b.
Confidentiality adalah semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasienklien. Menurut UNAIDS 2002, apabila klien ingin mengijinkan mitra kerja, wakil relativitas,
teman, atau orang lain di dalam proses konseling haruslah menjadi kerahasiaan bersama.
c. Counselling yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien. Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
d. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti
standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasienklien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa. e.
Connections to, care, treatment and prevention services. Pasienklien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
Universitas Sumatera Utara
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV Permenkes No.74 tahun 2014.
Prinsip dasar Konseling dan Tes HIV menurut Lamptey 2004, tes HIV harus bersifat sukarela tes yang bersifat wajib tidak efektif dan tidak etis;
kerahasiaan harus dilindungi; Informed consent harus diperoleh meskipun mungkin bervariasi dalam konteks dan pengaturan yang berbeda; serta dukungan
post-test dan layanan yang diperlukan bagi klien.
2.5.4 Penyelenggaraan Konseling dan Tes HIV