Universitas Sumatera Utara 2.3.2 Reaksi Persepsi terhadap Stimulus
Menurut Sudjana dalam Bukit 2010, reaksi persepsi terhadap suatu stimulus ransangan dapat terjadi dalam bentuk :
1. Recivingattending, yaitu semacam kepekaan menerima stimulus dari luar
dalam bentuk masalah, situasi, gejala. Dalam tipe ini termasuk kesadaran keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala atau ransangan
luar. 2.
Responding Jawaban, yaitu reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar, hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan,
keputusan dalam menjawab stimulus dari luar dirinya. 3.
Valuing Penilaian, yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang diterima, termasuk kesediaan menerima nilai, latar
belakang atau pengalaman untuk menerima nilai kesepakatan nilai tersebut. 4.
Organisasi, yaitu pengembangan dan nilai ke dalam suatu sistem organisasi, termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai
yang dimilikinya termasuk konsep tentang nilai dan organisasi sistem nilai. 5.
Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yaitu keterpaduan semua sistem yang dimiliki seseorang yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya,
termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.
2.3.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi
Rakhmat 2012 menyatakan persepsi yang berbeda-beda timbul karena beberapa faktor seperti ketidaktahuan, informasi yang salah, penilaian prematur,
Universitas Sumatera Utara
dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Rakhmat mengklasifikasikan ada dua faktor yang memengaruhi persepsi :
1. Faktor Fungsional Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lain-
lain yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk rangsangan, tetapi karakteristik
orang yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut. 2. Faktor Struktural
Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan fisik dan efek- efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Jika kita
mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, ketikapun kita tidak melihatnya tidak secara keseluruhan maka kita yang akan
mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi.
Sedangkat menurut pendapat Robbins 2001 menyatakan ada tiga faktor yang memengaruhi terjadinya suatu persepsi, yaitu :
1. Pelaku persepsi
Jika seorang individu melihat suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi
dari pelaku persepsi individu tersebut. Adapun karakteristik pribadi yang lebih relevan memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat,
pengalaman masa lalu dan pengharapan.
Universitas Sumatera Utara
2. TargetObjek
Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat memengaruhi apa yang dipersepsikan. Apa yang kita lihat bergantung bagaimana
kita memisahkan suatu bentuk dari dalam latar belakangnya yang umum. Objek- objek yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-
sama, bukan secara terpisah. Faktor target mencakup hal yang baru yaitu gerakan, bunyi, latar belakang dan kedekatan.
3. Situasi
Dalam melihat objek atau peristiwa, unsur-unsur lingkungan sekitar juga memengaruhi persepsi. Waktu, keadaan atau tempat kerja, dan keadaan sosial
objek yang dilihat dapat memengaruhi persepsi. Menurut Robbins 2001, faktor yang memengaruhi terjadinya suatu
persepsi secara skematis dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Gambar 2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi 2.4 HIVAIDS
Menurut Murtiastutik 2008, AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrom ialah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi HIV Human
Universitas Sumatera Utara
Immunodeficiency Virus. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi dua jenis HIV: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 menyumbang sebagian besar infeksi di dunia dan
memiliki setidaknya 10 subtipe genetik. HIV-2 ditemukan terutama di Afrika Barat, tampaknya sulit menular dan berkembang lebih lambat untuk AIDS
daripada HIV-1 Lamptey, 2004. HIV hanya ditularkan dari satu orang kepada yang lainnya melalui
pertukaran cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus HIV menyerang dan merusak sel-sel limfosit T CD4+ sehingga kekebalan
penderita rusak dan rentan terhadap berbagai infeksi. Murtiastutik, 2008. Ketika infeksi HIV berkembang dan menyebabkan menurunnya sistem
kekebalan tubuh si penderita, ia akan lebih rentan terkena Infeksi Opportunistik, seperti: TB, IMS lain, Septicemia, Pneumocystis carinii, Infeksi jamur di mulut
dan tenggorokan, Meningitis, serta Sarkoma Kaposi Lamptey, 2004. Orang yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan gejala apapun dalam
jangka waktu yang relatif lama. Bisa terjadi 5 sampai 10 tahun setelah orang tersebut tertular HIV, baru terlihat adanya gejala pada penderita. Masa periode
inilah disebut sebagai masa inkubasi. Selama kurun waktu tersebut, orang tertular HIV masih tampak kelihatan sehat baik sadar maupun tidak, mereka berpotensi
sebagai sumber yang dapat menularkan HIV kepada orang lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui adanya HIV dalam darah seseorang, perlu dilakukan tes HIV.
Tes HIV yang paling sering dipakai adalah tes Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA dengan mengambil sampel darah penderita. Tes
ELISA ini bisa mendeteksi adanya antibodi yang dihasilkan tubuh. Namun
Universitas Sumatera Utara
antibodi HIV sebenarnya baru muncul 2-3 bulan setelah orang tersebut terinfeksi HIV. Jangka waktu terbentuknya antibodi ini disebut periode jendela, dan dalam
masa ini tes ELISA belum tentu menghasilkan hasil positif. Terapi untuk pengidap HIV bisa dilakukan dengan pendampingan obat Antiretroviral Virus
ARV Yatim, 2006. Reaksi pertama kali yang ditunjukkan setelah seseorang didiagnosis
mengidap HIV adalah penolakan dan terkejutsyok atau tidak percaya. Pasien beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi sepanjang hidup mereka.
Apabila secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya, jika ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien
terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS bahkan meningkatkan kematian Nursalam dan Kurniawati, 2009.
2.5 Konseling dan Test HIV KTHIV dan AIDS Sukarela KTSVCT 2.5.1 Pengertian KTHIV dan AIDS Sukarela KTSVCT
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan
HIV, memberi dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan lingkungannya Nursalam dan Kurniawati, 2009.
Menurut Kemenkes RI 2013, Konseling dan Tes HIV Sukarela KTS adalah layanan tes HIV secara pasif. Pada layanan tersebut klien datang sendiri
untuk meminta dilakukan tes HIV atas berbagai alasan baik ke fasilitas kesehatan atau layanan KTS HIV mandiri di luar institusi kesehatan yang berbasis
komunitas. Layanan ini menekankan penilaian dan pengelolaan risiko infeksi HIV
Universitas Sumatera Utara
dari klien yang dilakukan oleh seorang konselor, membahas perihal keinginan klien untuk menjalani tes HIV dan strategi untuk mengurangi risiko tertular HIV.
Landi dan Bokhari 2001 berpendapat bahwa VCT sebagai titik kunci masuk untuk pencegahan, perawatan dan dukungan layanan untuk orang yang
hidup dengan HIVAIDS ODHA. Ini termasuk akses ke intervensi untuk mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayi; intervensi untuk mencegah Infeksi
Oportunistik misalnya Tuberkulosis dan Profilaksis untuk infeksi lain; layanan medis dan pendukung lainnya, serta mengurangi stigma dan diskriminasi yang
dapat membantu orang HIV positif untuk hidup lebih lama dan sehat. KPA Sumut 2007 mendefinisikan Voluntary Counseling Test VCT
yaitu proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang
mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan
atas issue HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti menerima status HIV + dan merujuk pada layanan dukungan.
Menurut Lamptey 2004, konseling HIV merupakan dialog rahasia antara klien dan konselor bertujuan memungkinkan klien untuk mengatasi stres,
membuat keputusan pribadi dan menjadi bertanggung jawab atas tindakannya sendiri terkait dengan HIVAIDS. Zein 2006 mengatakan bahwa dalam proses
konseling termasuk evaluasi resiko personal penularan HIV, fasilitas pencegahan perilaku, dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil tes HIV +.
Universitas Sumatera Utara
Konseling dan Tes HIV telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, yaitu dengan pendekatan atas inisiatif klien konseling dan tes HIV sukarela
KTS. Konseling dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Kualitas konseling perlu dipantau dengan mentoring dan pembinaan teratur Permenkes No.74 tahun
2014. VCT telah menjadi alat paling penting dengan biaya efektif untuk
mencegah dan mengendalikan HIVAIDS di berbagai negara Landi dan Bokhari, 2001.
2.5.2 Peran Konseling dalam Tes HIVAIDS