Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap

dan upaya penangkapan sebesar 6.478 trip. Keuntungan maksimum diperoleh sebesar 2.377,56 juta rupiah. Perikanan kakap merah dan kuwe juga memiliki prospek untuk dikembangkan. Tingkat pemanfaatan kakap merah sebesar 76,34 dan kuwe 75,47, dengan effort optimum masing-masing sebesar 1.613 trip dan 2.131 trip. Hasil tangkapan saat MSY sebesar 18,47 tonth dan 29,51 tonth, sedangkan kondisi aktual sebesar 14,10 tonth dan 22,27 tonth. Kondisi ini masih dimungkinkan untuk dioptimalkan lagi, apalagi keuntungan yang diperoleh pada tingkat MEY sebesar 512,73 juta rupiah untuk kakap merah, dan 845,25 juta rupiah untuk kuwe. Sumberdaya kakap merah di WPP 712 sudah mengalami tangkap lebih over exploited, sedangkan kuwe belum teridentifikasi. Bawal hitam, dan ekor kuning, kondisi aktual penangkapan telah melebihi upaya penangkapan pada tingkat MEY dan MSY, namun produksi hasil tangkapan dan keuntungannya masih berada di bawah tingkat MEY dan MSY. Hal ini menunjukkan bahwa baik bawal hitam maupun ekor kuning bukan merupakan target penangkapan, tetapi kedua jenis ikan ini tertangkap dengan dogol. Kemungkinan kedua adalah kedua jenis ikan ini jumlahnya sedikit di perairan, terbukti dua tahun berturut-turut hasil tangkapannya sangat kecil lihat Tabel 7. Untuk meningkatkan keuntungan, tidak mungkin dilakukan penambahan upaya penangkapan, sehingga untuk sementara tidak dilakukan penangkapan bagi kedua jenis ikan ini. Demikian pula dengan manyung, memilliki kondisi yang sama dengan bawal hitam dan ekor kuning. Manyung ditangkap dengan pancing. Rendahnya tingkat pemanfaatan ikan manyung kemungkinan disebabkan karena target utama penangkapan pancing bukan manyung. Dengan jumlah produksi dan keuntungan yang kecil, bawal hitam, ekor kuning, dan manyung tidak dapat dijadikan komoditi unggulan. Kondisi ini secara umum tidak berbeda jauh dengan kondisi di Laut Jawa, yang menunjukkan bahwa perikanan demersal telah mengalami fuly exploited Kepmen KP no. 452011. Berdasarkan kondisi riil saat ini perikanan belanak dan cucut tidak menguntungkan, karena total biaya operasi penangkapan lebih besar dari total pendapatan yang diterima nelayan. Jumlah produksi ikan belanak, dan cucut sangat sedikit sehingga nilai jualnya tidak bisa menutupi biaya operasi penangkapan, sedangkan ikan pepetek ditemukan di sepanjang tahun, namun nilai jualnya sangat kecil. Kondisi effort aktual ikan pari melebihi effort pada tingkat MEY dan MSY. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi tingkat keuntungannya tidak sebesar pada saat MEY, walaupun secara biologi masih layak untuk dioptimalkan. Beberapa jenis ikan seperti ikan kurisi, tembang, layang, cucut, pepetek, pari, layur, dan manyung kondisi effort aktualnya melebihi effort pada tingkat MSY. Hal ini menunjukkan bahwa baik secara ekonomi maupun biologi keuntungan optimum tidak diperoleh, sehingga upaya penangkapan tidak bisa ditambah lagi, jika ditambah suatu saat akan berada pada posisi open acces. Pada kondisi open acces, maka akan terjadi kerugian terbesar, sebab penambahan upaya akan mengurangi pendapatan yang diterima nelayan. Adapun cumi-cumi, kondisi effort aktual masih jauh di bawah kondisi MEY, dan MSY. Hal ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan cumi-cumi masih dapat dioptimalkan lagi baik secara ekonomi maupun biologi. Alat tangkap yang dapat digunakan adalah bagan perahu, mengingat alat tangkap ini cukup efektif menangkap ikan dikarenakan kemampuan armada penangkapannya. Jumlah bagan perahu saat ini sekitar 10 dari seluruh alat tangkap yang beroperasi di Teluk Banten, sehingga masih bisa dioptimalkan tanpa melakukan penambahan unit alat tangkap mengingat keberadaannya cukup untuk kawasan Teluk Banten.

6.2 Komoditi Unggulan

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap status pemanfaatan sumber daya ikan menunjukkan bahwa tidak semua jenis ikan dapat dijadikan sebagai komoditi unggulan. Hanya sembilan jenis ikan yang dapat dianalisis lebih lanjut, yaitu kembung, cumi-cumi, teri, tongkol, lemuru, rajungan, kakap merah, udang, dan kuwe. Berdasarkan analisis LQ diperoleh bahwa cumi-cumi, teri, dan rajungan memperoleh nilai LQ diatas 1, masing-masing sebesar 2,81, 2,00 dan 1,70. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah produksinya paling banyak ditemukan di Teluk Banten dibandingkan di provinsi Banten, dengan penyebaran yang merata ditemukan di TPI lokasi penelitian. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IS sebesar 0,39. Jumlah produksi yang banyak, belum menunjukkan bahwa ikan tersebut layak dijadikan sebagai komoditi unggulan, sehingga perlu dilakukan beberapa parameter tambahan yaitu nilai produksi, harga jual ikan, wilayah pemasaran, dan nilai tambah produk. Analisis secara diskriptif, yang dibantu dengan menggunakan metode skoring terhadap parameter nilai produksi, harga jual ikan, wilayah pemasaran, dan nilai tambah menunjukkan bahwa rajungan merupakan komoditi unggulan yang pertama. Rajungan hanya ada di Karangantu, tertangkap dengan gill net jaring rajungan, bubu, dan dogol. Rajungan dijual ke penampungpengumpul untuk diproses lebih lanjut. Banyaknya pengumpul di Karangantu sebanyak 4 orang, yang masing-masing sudah memiliki pelanggan tetap nelayan penangkap. Rajungan dapat ditangkap di sepanjang tahun, namun puncak musim pada musim barat dan awal musim peralihan satu November-Februari oleh jaring rajungan, dan bulan Juni oleh bubu rajungan. Keunggulan rajungan ini terletak pada wilayah pemasaran dan nilai tambah yang ada. Pasar rajungan adalah untuk konsumsi ekspor. Berdasarkan wawancara dengan pengolah rajungan diperoleh bahwa setelah melalui proses perebusan, dan pengelupasan kulit, rajungan dipisahkan berdasarkan kondisi daging dan dikelompokkan berdasarkan ukuran yaitu jumbo daging kaki belakang, lam daging kaki depan, super lam hancuran ujung capit, bf beckfin, yaitu hancuran dari daging jumbo, spesial, dan cloumit daging capit. Proses pengolahan rajungan seperti terlihat pada Gambar 31. Gambar 31 Proses Pengolahan Rajungan. Rajungan Dicuci bersih Direbus 20 menit Pengelupasan kulit batok dan capit Ruang proses dimasukkan ke dalam toples Ditimbang tiap toples 1 atau 1,2 kg Pengemasan satu box berisi 12 toples, ± 25 kg Dalam satu hari pengolah mampu merebus satu kwintal rajungan yang diperoleh dari 15 orang nelayan jaring dan bubu rajungan. Produk olahan rajungan setiap hari diambil oleh eksportir yang berasal dari Bogor. Nilai tambah rajungan terletak pada seluruh bagian tubuh rajungan tidak terbuang, dan dapat melibatkan jumlah tenaga kerja yang cukup banyak sehingga dapat meningkatkan ekonomi mayarakat sekitar. Cangkang rajungan kering laku dijual Rp 2.000,-kg sebagai bahan makanan ternak dijual ke Jakarta. Adapun jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan ini sebanyak 19 orang, yang terdiri dari 16 orang piker pemroses, seluruhnya perempuan, dan 3 orang operator mencuci sampai dengan merebus. Tenaga kerja yang dilibatkan masih ada hubungan saudara dan masyarakat sekitar. Upah yang diberikan kepada piker Rp 7.500,-kg, sedangkan untuk operator Rp 50.000,-hari terkadang lebih tergantung banyak sedikitnya rajungan yang direbus. Usaha pengolahan rajungan ini telah berjalan sejak tahun 1997. Keadaan ini menggambarkan bahwa rajungan membuat masyarakat di Karangantu terbantu secara ekonomi. Apabila hal ini dikelola dengan baik, maka rajungan menjadi komoditi ungggulan khas Teluk Banten. Pengelolaan dengan baik maksudnya adalah dimulai dari penataan penangkapan, pendataan hasil tangkapan, sampai dengan jumlah yang diekspor tercatat dengan baik, karena saat ini tidak ada dokumentasi pendataan yang baik pada instansi terkait DKP Kota Serang. Informasi tentang pengolah daging rajungan di luar kawasan Teluk Banten tetapi masih dalam wilayah Kabupaten Serang, juga terdapat di Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa dengan produksi 4,6 tontahun, dan Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa dengan produksi 37 tontahun DKP Kabupaten Serang 2009. Unggulan kedua adalah teri. Teri juga memiliki keunggulan dari sisi wilayah pemasaran dan nilai tambah. Wilayah pemasaran teri selain untuk konsumsi lokal juga untuk kebutuhan ekspor. Teri yang tertangkap di kawasan Teluk Banten terdiri dari jenis teri galer tertangkap dengan alat tangkap dogol, dan bagan tancap, teri lilin, dan teri nasi tertangkap dengan alat tangkap payang bondet. Teri galer diolah lebih lanjut menjadi teri asin yang dipasarkan di Serang dan sekitarnya sampai dengan Rangkas Bitung. Teri lilin diasin dan dijual ke Jakarta apabila produksi mencapai 1 ton, dan dijual lokal di Serang apabila produksi hanya sedikit 1-2 dus hasil wawancara dengan nelayan. Teri nasi juga diolah menjadi teri asin, dan dipasarkan ke luar negeri dengan tujuan Singapura dan Jepang lelalui PT. Teri Mas Kecamatan Pulo Ampel. Pengolah teri asin skala kecil mengumpulkan ikannya ke perusahaan tersebut. Jumlah tenaga kerja mencapai 50 orang apabila musim ikan teri, dan 10 orang apabila ikan teri sedikit. Ikan teri diperoleh dari nelayan bondet yang ada di Wadas, juga disuplai dari nelayan bagan apung yang berasal dari Carita, Labuan, Panimbang, Lampung, dan Tangerang. Teri nasi kualitas ekspor dikelompokkan ke dalam grade A dan B. Grade A adalah teri putih dengan kadar garam sedikit dijual dengan harga 11-13 dollarkg, dan grade B teri agak kekuningan dijual dengan harga 10 dollarkg. Produksi tiap bulan 10 ton yang dihasilkan dari produk teri basah 50 ton. Puncak musim pada bulan Maret-Agustus, dan sedikit teri pada bulan September- Februari kurang lebih 2 ton. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak pemilik perusahaan, usaha teri ini sudah berjalan sejak tahun 1987, namun menjadi PT sejak tahun 2002. PT. Teri Mas mengekspor sendiri produknya apabila dalam jumlah besar satu kali ekspor 8 ton dan apabila sedikit dikirim ke Surabaya untuk diekspor melalui Surabaya pengumpul. Dalam satu bulan bisa 1-2 kali ekspor. Jumlah tenaga kerja yang dilibatkan sebanyak ± 50 orang apabila musim teri, dan 10 orang apabila sedikit. Tenaga kerja diupah secara harian. Pengelolaan perusahaan oleh keluarga, namun pekerja harian melibatkan masyarakat sekitar, sehingga menambah pendapatan masyarakat sekitar. Dengan demikian teri merupakan produk unggulan untuk wilayah Bojonegara Wadas, dan Kepuh. Pengolah teri nasi ditemukan di Desa Pulau Panjang sebanyak 7 pengolah dengan produksi 409 tontahun, Desa Argawana Kecamatan Pulo Ampel 5 pengolah dengan produksi 286 ton, Desa Margagiri Kecamatan Bojonegara 5 pengolah dengan produksi 109 ton, dan Desa Bojonegara Kecamatan Bojonegara sebanyak 1 pengolah dengan produksi 26 tontahun. Produksi yang luar biasa, namun belum diunggulkan menjadi komoditi unggulan daerah dari hasil perikanan tangkap. Komoditi unggulan yang ketiga adalah cumi-cumi. Cumi-cumi mendapatkan nilai tertinggi untuk nilai produksi, sedangkan teri dan rajungan pada wilayah pemasaran dan nilai tambah. Tingginya nilai produksi pada cumi- cumi dikarenakan harganya yang cukup mahal serta jumlah produksi yang cukup besar, terutama pada saat musim cumi-cumi, yang disuplai dari Karangantu, Terate, dan Kepuh. Cumi-cumi dipasarkan dalam bentuk segar di sekitar Serang dan Jakarta. Cumi-cumi bisa menjadi komoditi unggulan apabila dikelola dengan baik, selama ini cumi-cumi dibawa ke Jakarta oleh pedagang, mengingat cumi- cumi segar lebih disukai oleh konsumen ukuran besar. Cumi-cumi segar cukup besar terserap oleh pasar lokal dan luar daerah menyebabkan komoditi ini tidak diekspor ke luar negeri. Bisa jadi cumi-cumi Teluk Banten diekspor dari Jakarta, namun data ini tidak terdokumentasi dengan baik sehingga sulit melacaknya. Padahal apabila kita lihat dari hasil LQ dan IS menunjukkan nilai yang paling baik dibanding komoditi lainnya.

6.3 Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

Berdasarkan hasil seleksi alat tangkap yang ramah lingkungan, diperoleh tiga alat tangkap yang diusulkan yaitu pancing ulur, bagan perahu, dan gill net. Pancing merupakan alat tangkap yang paling ramah lingkungan dan berkelanjutan, baik secara biologi maupun teknik alat tangkap ini tidak merusak lingkungan habitat ikan. Pancing merupakan alat tangkap standar untuk kembung, tongkol, tenggiri, cucut, kakap merah, kuwe, ekor kuning, dan manyung. Penggunaan alat tangkap ini masih bisa dioptimalkan untuk menangkap tongkol dan kembung, yang masih berpeluang untuk ditingkatkan pemanfaatannya, walaupun tidak bisa digunakan untuk komoditi unggulan. Bagan perahu mendapatkan ranking ke-2, dengan rata-rata fungsi nilai sebesar 0,71. Diikuti dengan gill net jaring rajungan, payang, bagan tancap, sero, rampus, dan dogol. Berdasarkan aspek biologi, ada tiga kriteria yang memperoleh skor 4, yaitu tidak merusak habitat, produk tidak membahayakan konsumen, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi. Berdasarkan hasil penelitian Kiswara 2004, dugong duyung merupakan spesies yang dilindungi di Teluk Banten. Dugong hidup di daerah lamun, sedangkan bagan perahu tidak dioperasikan di daerah lamun. Akhir tahun 2009 sampai dengan Maret 2010, bagan perahu “bagan congkel” keberadaannya sangat dirasakan bagi nelayan, karena cukup produktif menangkap ikan yang memiliki sifat fototaksis positif. Hanya yang perlu diatur nantinya adalah jarak antar bagan, sehingga pengaruh lampu akan optimal bagi ikan tujuan tangkap. Selain itu tetap dikontrol perkembangan jumlah alat tangkapnya, sehingga tidak membahayakan biodiversitas, dan mengurangi by-catch. Berdasarkan aspek teknik, bagan perahu mendapatkan skor 4 untuk jenis alat tangkap yang tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan. Sedangkan berdasarkan aspek sosial mendapatkan ranking satu. Namun berdasarkan aspek ekonomi alat tangkap ini mendapatkan ranking ke-4. Secara ekonomi, alat tangkap ini termasuk menguntungkan, terbukti nilai RC sebesar 3,54 walaupun investasinya cukup besar yaitu Rp 88.080.00,-, namun dapat balik modal selama 0,26 tahun 3 bulan. Namun demikian bagan perahu, merupakan alat tangkap yang tidak selektif, karena jaring yang digunakan memiliki ukuran mata jaring yang sangat kecil. Apabila alat tangkap ini diusulkan, yang perlu diperhatikan nantinya adalah pengoperasian alat tangkap ini disesuaikan dengan musim ikan tujuan tangkap, dan khusus untuk ikan yang memiliki fototaksis positif seperti teri, dan cumi-cumi komoditi unggulan, dengan tujuan untuk mengurangi by-catch. Hal ini menunjukkan bahwa bagan perahu dapat dijadikan sebagai alternatif alat tangkap cumi-cumi menggantikan dogol. Dari sisi kualitas hasil tangkapan, bagan perahu menghasilkan hasil tangkapan berkualitas baik dibandingkan dogol. Dogol hendaknya tetap diarahkan untuk menangkap ikan demersal, sehingga betul-betul harus dipastikan bahwa alat tangkap ini melakukan operasi penangkapan pada jalur yang telah ditentukan. Sesuai dengan peraturan DKP kabupaten Serang, bahwa daerah penangkapan alat tangkap dogol, dan lampara dasar di perairan Utara Laut Jawa Kabupaten Serang. Namun pada faktanya hal ini dilanggar oleh nelayan. Gillnet jaring rajungan mendapatkan rangking ke-3 kriteria ramah ligkungan secara keseluruhan, ranking ke-2 dari aspek teknik, rangking ke-3 untuk aspek biologi, dan rangking ke-4 untuk aspek sosial, namun rangking ke-7 dari aspek ekonomi. Skor tertinggi untuk aspek biologi adalah hasil tangkapan tidak membahayakan konsumen, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi atau hampir punah. Jaring rajungan didesain untuk menangkap rajungan yaitu dengan mengatur ukuran mata jaring sebesar 4 inchi, sehingga paling selektif diantara alat tangkap yang lain. Jaring rajungan pada dasarnya dikelompokkan ke dalam gill net, prinsip penangkapannya adalah ikan terjerat pada insangnya, sehingga ikan akan berusaha melepaskan diri dari jaring, dan berakibat pada kualitas hasil tangkapan. Hal ini juga terjadi pada rajungan, rajungan terbelit pada badan ataupun capitnya sehingga perlu kehati-hatian pada saat melepaskannya dari jaring. Perikanan gill net juga termasuk perikanan yang sustainable dilihat dari sisi tingkat pemanfaatannya masih kurang dari 80. Payang merupakan alat tangkap yang mendapatkan rangking ke-4 kriteria ramah lingkungan, mendapatkan skor tertinggi untik kriteria hasil tangkapan tidak membahayakan konsumen, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi atau hampir punah . Jenis payang yang dominan adalah ”payang tingker” yang ditujukan untuk menangkap ikan yang memiliki fototaksis positif. Alat tangkap ini juga merupakan alat tangkap alternatif bagi cumi-cumi. Bagan tancap mendapatkan ranking kelima. Saat dioperasikan alat tangkap tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan, hasil tangkapan dalam kondisi segar dan apabila dikonsumsi tidak membahayakan konsumen, tidak menangkap spesies yang dilindungi. Investasi pembuatan bagan tancap cukup murah hanya sebesar Rp 6.000.000,- untuk umur teknis enam bulan. Investasi hanya untuk pembelian bambu, waring, dan tali. Kapal tidak dijadikan investasi karena di Teluk Banten, untuk perikanan bagan tancap kapal hanya digunakan untuk mengantar dan menjemput nelayan yang mengoperasikan bagan tancap. Kapal cukup dimiliki oleh satu orang, biaya kapal diberikan kepada pemilik kapal sebesar 15 dari penjualan hasil tangkapan. Berdasarkan perhitungan analisa usaha menunjukkan bahwa bagan tancap paling menguntungkan karena pengembalian dana investasi cepat kembali kurang dari satu bulan Tabel 20. Terkait dengan kontinuitas produksi, alat tangkap ini sangat bergantung pada musim dan arah angin, sehingga produksi hasil tangkapan di setiap bulan bervariasi, bahkan kadang-kadang tidak memproleh hasil, terutama pada saat angin utara yaitu sekitar bulan Desember dan Januari. Rangking ke-6 dan ke-7 adalah sero dan rampus. Sero merupakan alat tangkap pasif yang bertujuan menangkap ikan-ikan kecil yang ada di pesisir pantai. Bahan baku terbuat dari kayu bakau, sehingga termasuk alat tangkap yang tidak ramah linkungan. Rampus dari sisi aspek teknik mendapatkan rangking ke-3 dan aspek biologi ranking ke-5. Berdasarkan aspek ekonomi, rampus menempati urutan terakhir, karena memang tidak menguntungkan secara ekonomi. Biaya produksi lebih besar dibandingkan hasil tangkapan yang diperoleh, bahkan sering merugi. Dogol, merupakan alat tangkap yang paling tidak ramah lingkungan. Seperti dalam penjelasan sebelumnya, alat tangkap dogol merupakan lampara dasar yang dimodifikasi, yaitu dengan tambahan otter board sehingga mulut lampara terbuka sempurna. Hal ini berakibat kepada masuknya berbagai jenis ikan ke dalam alat tangkap, apalagi alat ini dioperasikan dengan kapal yang bergerak. Semua sumber daya ikan tersapu dan tergerak masuk ke dalam cod end. Menurut Subani dan Barus 1989, dogol berbeda dengan lampara dasar dan cantrang. Pada lapaoran tahunan produksi ikan di PPP Karangantu, ketiga jenis alat tangkap ini dimasukkan ke dalam dogol. Lampara pada awalnya adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan umpan, sehingga bentuknya agak berbeda dengan payang, walaupun sekilas mirip. Sayap pada lampara sama panjang, dan kantong tidak berbentuk kerucut tetapi menggelembung. Di Teluk Banten, sudah banyak mengalami modifikasi sehingga mirip dengan mini trawl. Hal ini yang menyebabkan lampara yang sudah dimodifikasi dilarang, dan memang mengeruk sumber daya ikan yang ada. Beberapa nelayan yang melanggar telah mendapatkan sangsi, bahkan ada yang sampai dipenjara. Dan memang sebelum ada tindakan dari petugas pengawas perikanan, terjadi konflik sosial diantara para nelayan lampara dengan nelayan alat tangkap lain. Walaupun secara ekonomi menguntungkan RC 1,75, dan secara bioekonomi juga menguntungkan untuk perikanan rajungan dan layur, perlu dilakukan penataan kembali. Sedangkan cantrang, berbeda dengan dogol itu sendiri. Cantrang tergolong “Danish seine”. Pada bagian mulut, baik atas maupun bawah sama panjang, hal ini berbeda dengan dogol. Dogol memiliki mulut bagian atas lebih panjang hal ini dimaksudkan agar ikan tidak meloloskan diri ke bagian atas jaring. Baik dogol maupun cantrang, digunakan untuk menangkap ikan demersal dan udang. Dengan demikian dogol merupakan alat tangkap yang tidak direkomendasikan dioperasikan di kawasan Teluk Banten untuk dikembangkan apabila: 1 dimodifikasi seperti trawl, 2 jalur penangkapan mengganggu jalur penangkapan kapal tradisional jalur 1a dan 1b. Berdasarkan evaluasi perikanan yang berkelanjutan, dogol bukan termasuk yang direkomendasikan untuk dikembangkan bagi komoditi unggulan di Teluk Banten. Pemberian penjelasan di tengah masyarakat tentang pentingnya alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan perlu senantiasa digalakkan. Tindakan tegas memang sudah dilakukan, pengalihan kepada alat tangkap lain juga sudah dilakukan, namun belum berhasil secara optimal. Pendapatan yang diperoleh masih di bawah dari penggunaan lampara dasar. Bantuan pemerintahpun dirasa masih belum merata. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa nelayan lampara dasar lebih makmur dibandingkan nelayan gillnet, pancing, maupun rampus. Dalam UU no. 27 tahun 2007 disebutkan bahwa suatu kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, permukiman, pelabuhan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, serta pemanfaatan terbatas dan lain-lain disebut dengan kawasan pemanfaatan umum. Kawasan Teluk Banten dimanfaatkan oleh berbagai kegiatan sehingga dimungkinkan terjadinya konflik. Dalam pengelolaan sumber daya kelautan, sering muncul konflik antara berbagai pihak yang berkepantingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya pesat.

6.4 Zonasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten

Berdasarkan hasil review tata ruang terlihat bahwa wilayah pesisir Teluk Banten dimanfaatkan untuk kegiatan industri, permukiman, budidaya, dan pelabuhan, baik pelabuhan perikanan PPN Karangantu, maupun pelabuhan internasional di Bojonegara. Beberapa arahan pola ruang baik yang berasal dari RTRW Provinsi Banten, Kabupaten dan Kota Serang memperlihatkan beberapa kebijakan, yaitu kawasan strategis Bojonegara sebagai kawasan ekonomi khusus KEK, yaitu lokasi pengembangan kawasan industri terpadu dan pelabuhan samudera, serta kawasan strategis Teluk Banten. Kawasan strategis Teluk Banten, sebagai kawasan pengembangan pemanfaatan ruang berupa permukiman, kepariwisataan, pengembangan jasa kepelabuhanan, serta pusat pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengelolaan, pemanfaatan serta konservasi sumber daya alam dan potensial kelautan. Sejalan dengan hal tersebut rencana zonasi yang telah dibuat oleh Pemda Serang terkait dengan P. Panjang dan P. Tunda sebagai pulau yang diperuntukan untuk kegiatan permukiman dan kepariwisataan sudah tepat. Hal ini didasarkan pada faktanya kedua pulau tersebut memang pulau yang berpenghuni, sehingga akses transportasi dan prasarana penunjang tersedia, seperti sarana pendidikan, kesehatan, penerangan, dan prasarana jalan. Sebagai lokasi pariwisata P. Panjang memiliki pasir putih, dan lahan konservasi yang dapat dijadikan lokasi penyelaman. Demikian pula di P. Tunda, selain untuk kegiatan memancing, dapat juga digunakan untuk penyelaman. Penataan zonasi di Teluk Banten, terutama di daerah pesisir pantai menimbulkan persoalan baru. Zona industri di Kecamatan Bojonegara, Puloampel dan Kramatwatu menimbulkan kerusakan ekosistem yang berdampak pada kehidupan nelayan. Reklamasi pantai menyebabkan hilangnya hutan bakau dan padang lamun sebagai habitat berbagai jenis ikan, termasuk udang. Hal ini berakibat pada penurunan hasil tangkapan nelayan, dan semakin jauh lokasi penangkapan. Belum lagi limbah industri yang menyebabkan tercemarnya lingkungan perairan. Hal ini dapat dibuktikan dari data produksi tahun 2005- 2009, yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan hasil tangkapan, terlihat dari trend tiap jenis ikan yang tertangkap di Teluk Banten lihat Gambar 15 dan 16. Fenomena ini ternyata merupakan suatu yang khas terjadi di hampir seluruh perikanan pesisir di Indonesia. Murdiyanto 2004 menyebutkan bahwa praktek salah urus dalam pengelolaan pembangunan di darat akan berdampak di laut dengan timbulnya erosi pantai dan masuknya berbagai polutan, limbah, dan partikel tanah ke laut. Penurunan hasil tangkapan dengan berbagai sebab akan mendorong nelayan bergerak meluaskan kegiatannya ke luar daerah kabupaten atau bahkan ke wilayah pengelolaan provinsi lainnya menjadi nelayan andon. Kehadiran nelayan andon ini semakin menyulitkan pelaksanaan pengelolaan perikanan pantai, baik untuk daerah asal nelayan ataupun untuk daerah tujuannya. Fenomena ini juga terjadi di Teluk Banten, beberapa alat tangkap melakukan penangkapan di luar teluk yaitu di Kepulauan Seribu bahkan ada yang sampai ke perairan Lampung dan sekitarnya. Demikian pula sebaliknya nelayan Karawang sampai di Teluk Banten. Pencemaran limbah industri di perairan Teluk Banten terbukti terjadi tepatnya di Kepuh. Limbah industri gula refinasi menyebabkan hitamnya perairan dan menimbulkan bau yang menyengat serta di beberapa titik menyebabkan rusaknya tanaman bakau Lampiran 30. Dengan demikian zona industri yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Serang hendaknya juga memperhatikan dampak tumbuhnya industri terhadap lingkungan laut, tidak hanya melihat dari sisi keuntungan ekonomi semata. Dengan demikian peta pola ruang kawasan pesisir Teluk Banten Gambar 21 yang ditetapkan Provinsi Banten, dengan merubah lahan pesisir sebagai lahan industri perlu ditinjau ulang. Tekanan bertambah besar di daerah pesisir akan berdampak pada kondisi perikanan Teluk Banten. Kondisi kualitas lingkungan terkadang ditutupi untuk kepentingan industri. Suatu kejanggalan apabila kita melihat hasil uji sampel air laut di Teluk Banten tepatnya sekitar perairan PT. Angles, pabrik gula refinasi pada bulan Desember 2009 yang dilakukan oleh BPLH Kabupaten Serang menunjukkan tidak mengalami pencemaran. Parameter yang diuji meliputi parameter fisika bau, zat padat tersuspensi, suhu dan parameter kimia pH, NH 3 N, H 2 S, dan Cu semuanya menunjukkan di bawah batas ambang baku mutu Kepmen LH no. 51 tahun 2004. Keadaan ini juga bertolak belakang dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan, diantaranya adalah Simanjuntak 2007 yang mengatakan kondisi perairan Teluk Banten tercemar ringan, kadar oksigen terlarut yang tertinggi ditemukan di lapisan permukaan 0 m, kadar oksigen terlarut menurun dengan bertambahnya kedalaman dan perbedaan antar penurunan oksigen terlarut antar kedalaman sebesar 0,07 mgl. Muchtar 2002, mengatakan bahwa kandungan fosfat dan nitrat di dekat pantai Bojonegara lebih tinggi pada bulan April dan Oktober tahun 2001. Wijaya dan Ismail 2007, yang menyatakan bahwa produktivitas primer perairan teluk yang terdapat di Kecamatan Bojonegara, Cilegon, dan Serang relatif lebih rendah daripada kawasan-kawasan lainnya, hal ini dikarenakan di kecamatan-kecamatan tersebut mempunyai limbah yang diakibatkan baik industri dan domestik yang hampir 100 mengalir ke dalam teluk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Van Den Bergh, et al., 2003 diacu dalam Wijaya dan Ismail 2007, kecamatan Bojonegara mempunyai limbah domestik 1.049.996 m3tahun lihat Gambar 19, peta eksisiting tutupan lahan pesisir Teluk Banten yang didominasi untuk permukiman dan limbah industri 1.759.700 m 3 tahun; Kecamatan Cilegon masing-masing mempunyai limbah domestik sebesar 1.156.886 m 3 tahun dan limbah industri 4.354.849 m 3 tahun, sedangkan kecamatan Serang mempunyai limbah domestik 752.922 m 3 tahun dan limbah industri 352.095 m 3 tahun yang seluruhnya masuk ke dalam Teluk Banten. Zona perikanan budidaya yang telah ada saat ini tidak menimbulkan konflik dengan nelayan tangkap, baik budidaya rumpul laut, karamba jaring apung, maupun tambak bandeng di Desa Domas Kecamatan Pontang. Di lokasi inipun mengeluhkan terjadinya pencemaran industri pabrik kertas yang buangan limbahnya berdampak pada kualitas air tambak. Zona budidaya rumput laut di sebelah selatan P. Panjang saat ini berjalan dengan baik, dan memang layak dijadikan kawasan budidaya rumput laut, karena aman dari pengaruh arus terlindung pulau, dan memiliki sarana prasarana penunjang dekat permukiman nelayan, dan transportasi mudah. Hal ini sejalan persyaratan kawasan budidaya rumput laut yang dikemukakan oleh DKP 2002, yaitu: 1 Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya. Jarak aman tersebut ditentukan dari tipe pasut dan kecepatan arus di kawasan yang ditentukan.