Sumber daya Ikan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

Tabel 1 Indikator Keberhasilan Ko-manajemen Kriteria Indikator Cara Mengukur Tingkat pendapatan Peningkatan relatif pendapatan masyarakat lokal Secara kuantitatif membandingkan pendapatan sebelum dan sesudah diterapkan ko-manajemen. Tingkat inflasi harus diperhitungkan dengan melihat kualitas hidup masyarakat dalam memenuhi kebutuhan primer sekunder Pendidikan formal dan informal Peningkatan jumlah masyarakat yang mengikuti pendidikan formal dan informal Perbandingan jumlah relatif lulusan masyarakat lokal dari pen- didikan formal informal Kesadaran masyarakat Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab ma- syarakat dalam menjaga dan memelihara sumberdaya alam Semakin berkurangnya kegiatan yang bersifat merusak dan se- baliknya semakin banyak kegiatan yang menunjang kelestarian sumber daya alam Motivasi Meningkatnya motivasi masyarakat dalam proses pengelolaan Semakin banyak usulan dan ke- inginan masyarakat yang disam- paikan dalam penyusunan peren- canaan dan pelaksanaan ko- manajemen dan semakin mening- katnya peranan masyarakat dalam proses-proses pengelolaan sumberdaya alam Kreativitas dan kemandirian Meningkatnya bentuk dan variasi pemanfaatan sumber daya alam yang lestari oleh masyarakat Jumlah dan variasi pemanfaatan sumber daya yang dilakukan ma- syarakat Pengakuan hak Diakuinya hukum tradisional atau masyarakat lokal dlm pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam Jumlah dan intensitas pelaksanaan aturan lokal dan tradisional Program kemitraan Terbentuknya program kemitraan dlm pemanfaatan sumber daya alam Efisiensi dan intensitas program kemitraan dalam menunjang ke- giatan masyarakat lokal Sumber: Dahuri et al. 1998. Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja dilakukan setempat tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejah- teraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip- prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis antara orang lokal orang miskin dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas. Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan perikanan, tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan. Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon 1954 dengan tragedi milik bersama. Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitan ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan tidak melawan, merusak dan atau menggantikan sistem dan nilai sosial yang positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat. PSPBM bersifat spesifik lokal, unik dan tidak ditemukan sama persis pada dua atau lebih daerah yang berbeda. Berikut ini adalah beberapa contoh budaya lokal: 1 Sasi di P. Saparua Maluku Nikijuluw 1994, yaitu suatu sistem pengaturan pemanfaatan sumber daya alam hutan dan laut bagi anak negeri penduduk desa setempat maupun pendatang. Aturan sasi ini berdasarkan adat dan agama, memiliki sangsi serta perangkat pelaksana dan pengawas yang terdiri dari pemerintah desa, elit desa lainnya serta pemimpin agama dan pemimpin adat. 2 Pengelolaan perairan pesisir Desa Tanjung Barari, Biak Nikijuluw 1995, yaitu pemberian ijin bagi pendatang untuk menangkap ikan dengan membayar sebesar Rp5 000.00 setiap kali operasi penangkapan trip, jika menetap membayar Rp50 000.00 setiap bulan kepada pemerintah desa. Tidak diperkenankan menggunakan bahan peledak dan racun ikan dalam menangkap, jika melanggar ditegur disertai dengan surat pemberitahuan tentang pelanggaran itu kepada pemerintah desa asal yang bersangkutan, camat, dan polisi kecamatan. 3 Sistem rumpon Lampung Selatan Nikijuluw and Naamin 1994, mengembangkan neotradisional untuk meningkatkan efisiensi penangkapan ikan, yaitu dengan memanfaatkan rumpon secara bersama antara nelayan payang pemilik dan nelayan pancing, sehingga tidak menimbulkan terjadinya konflik. Beberapa keadaan di atas menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan berbasis masyarakat memiliki kelebihan sebagai berikut: 1 Sesuai aspirasi dan budaya lokal; 2 Diterima masyarakat lokal; 3 Pengawasan dilakukan dengan mudah. Meskipun banyak kelebihannya, pengelolaan perikanan berbasis masyarakat ini memiliki kelemahan yaitu: 1 Tidak mengatasi masalah interkomunitas; 2 Bersifat lokal, jika muncul masalah besar sulit dipecahkan; 3 Mudah dipengaruhi faktor eksternal, diantaranya: i migrasi serta mobilitas penduduk yang membuat masyarakat membaur hingga hilang identitas masyarakat lokal; ii perubahan komposisi usia penduduk; iii perkembangan perdagangan yang begitu intensif terhadap komoditas yang dikelola; iv pergantian sistem pemerintahan. 4 Sulit mencapai skala ekonomi; 5 Tingginya biaya institusionalisasi, dipergunakan untuk biaya edukasi, penyadaran dan sosialisasi, perumusan aturan, dan pembentukan organisasi. Salah satu kerangka model pedoman pemberdayaan masyarakat pesisir pantai dapat dilihat pada Gambar 3.

2.3.4 Isu dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir

Berdasarkan karakteristik wilayah laut dan pesisir, wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang sebagai berikut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003: 1 Potensi konflik kepentingan conflict of interest dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumber daya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang open acces sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan multi-use. Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain i perikanan budidaya maupun tangkapan ii pariwisata bahari dan pantai iii industri maritim seperti perkapalan iv, pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya; v perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah vi kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau mangrove, terumbu karang dan biota laut lainnya. Potensi konflik kewenangan jurisdictional conflict dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupatenkota dengan kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom. Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya laut. Kewenangan itu meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan yang dimaksud dalam pasal ini adalah pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap aturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.