Simulasi usaha penangkapan ikan

Gill net 50 100 150 200 250 300 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Tahun P ro d u k s i t o n t h kembung cumi-cumi teri tongkol rajungan kakap merah udang kuw e Dogol 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 Tahun P ro d u k s i t o n t h kembung cumi-cumi teri tongkol rajungan kakap merah udang kuw e lemuru Bagan tancap 50 100 150 200 250 300 350 400 450 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Tahun P ro d u ks i to n t h kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru rajungan kakap merah udang kuw e Bagan perahu 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 50 100 150 200 250 300 350 400 Tahun Pr o d u k s i to n th kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru rajungan kakap merah udang kuwe Payang -100 -50 50 100 150 200 5 10 15 20 25 30 35 Tahun Pr o d u k s i to n th kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru rajungan kakap merah udang kuwe Pancing 10 20 30 40 50 60 70 2 4 6 8 10 12 Tahun Pr o d u k s i to n th kembung tongkol rajungan kakap merah kuwe cumi-cumi Sero 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 Tahun P ro d u k s i t o n t h kembung cumi-cumi teri rajungan kakap merah udang kuw e Ram pus 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 50 100 150 200 250 300 350 400 Tahun P ro d u k s i t o n t h kembung cumi-cumi teri tongkol rajungan kakap merah udang kuw e Gambar 29 Simulasi Produksi Tiap Jenis Alat Tangkap Skenario 2.

5.6.3 Model pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten

Model pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten merupakan model abstraksi yang disusun berdasarkan tahapan identifikasi permasalahan, mencari solusi, melakukan pengelolaan, menentukan model yang tepat, membangun model yang dianalisis dengan beberapa pendekatan diantaranya adalah mengevaluasi status pemanfaatan perikanan tangkap dengan menggunakan model surplus production dan model bionomi, menentukan komoditi unggulan, menentukan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan berkelanjutan, menyusun zonasi pemanfaatan kawasan perikanan tangkap dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi penggunaan kawasan, penentuan kriteria dan faktor penyusunan zonasi perikanan tangkap, serta melakukan pemetaan konflik penggunaan kawasan. Penzonasian dilakukan dengan menggunakan GIS. Penentuan strategi kebijakan dilakukan dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal, mengkaji kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dengan menggunakan analisis SWOT dan AHP. Penentuan model yang tepat dilakukan dengan simulasi model, dimulai dengan penentuan alokasi unit penangkapan dengan pendekatan optimasi, dan wilayah, serta simulasi usaha penangapan ikan dengan pendekatan program LGP dengan alat bantu LINDO Gambar 29. Pemanfaatan kawasan teluk oleh banyak aktivitas Informasi yang butuhkan:  UPI;  Produksi dan upaya penangkapan;  Informasi pemanfaatan ruang;  Citra SPL dan klorofil-a;  Kondisi lingkungan;  Kondisi sosial, ekonomi, budaya;  Jaringan pasar hasil perikanan tangkap;  Keberadaan lembaga formal dan non formal;  Kebijakan pemda Status pemanfaatan Komoditi unggulan TPI ramah lingkungan Zonasi kawasan Teluk Banten Zona perikanan tangkap:  Zona I: sero, bagan tancap  Zona II: gill net, rampus  Zona III: dogol, bagan, perahu, payang, pancing Pancing ulur, bagan perahu, gill net Strategi kebijakan:  Memanfaatkan lokasi Teluk Banten yang cukup strategis, dan mengoptimalkan jenis ikan unggulan untuk memenuhi permintaan ekspor;  Memanfaatkan jumlah SDM yang besar dan kepedulian nelayan terhadap upaya pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten;  Memanfaatkan dukungan PEMDA dan adanya otonomi daerah untuk membuat kebijakan dalam penataan dan perluasan wilayah tangkap dan pelibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan. Tujuan pengelolaan diprioritaskan pada terjaminnya keberlanjutan usaha penangkapan ikan dengan tetap memperhatikan potensi sumber daya ikan yang ada. Simulasi:  Alokasi jumlah alat tangkap: gillnet 3 unit, dogol 11 unit, bagan tancap 11 unit, bagan perahu 6 unit, payang 2 unit, pancng 5 unit, sero dan rampus tidak dialokasikan.  Meningkatkan pendapatan nelayan sebesar 25;  Menjaga kelestarian SDI dalam jangka waktu 18 tahun Informasi Cumi-cumi, teri, rajungan 9 dari 23 jenis ikan masih dapat dikembangkan Gambar 30 Model Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Tangkap di Teluk Banten.

6. PEMBAHASAN

6.1 Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap

Cumi-cumi, tembang, teri, selar, dan pari merupakan jenis ikan yang menunjukkan peningkatan produksi tiap tahunnya. Cumi-cumi dan teri merupakan jenis ikan yang memiliki fototaksis positif, sehingga dimanfaatkan oleh alat tangkap yang menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Penangkapan dilakukan pada saat bulan gelap di setiap bulan terutama untuk bagan tancap, bagan perahu, dan payang bondet hanya di Wadas. Sedangkan cumi-cumi selain ditangkap oleh bagan tancap, dan bagan perahu juga tertangkap oleh payang, terutama payang ”congkel” yang ada di Terate. Pada saat musim peralihan satu Maret-Mei merupakan musim cumi-cumi, puncak penangkapan pada bulan April. SPL pada bulan April sekitar 30ºC dan kandungan klorofil-a sekitar 0,6 mgm 3 . Kondisi ini ternyata sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Hendiarti 2008, yang menyatakan bahwa kondisi suhu perairan Indonesia secara umum berkisar antara 25 –33 C, dan konsentrasi klorofil-a permukaan perairan berkisar antara 0,02 – 50 mgm 3 . Purbani, et.al. 2010, suhu permukaan laut pada bulan Maret-Mei berkisar antara 30-32ºC dan konsentrasi klorofil-a tertinggi pada bulan Februari dan Agustus 2,0-3,2 mgm 3 . Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Simanjuntak 2007, yang mengatakan bahwa rata-rata kadar oksigen terlarut tertinggi di lapisan permukaan terjadi pada bulan April 5,70-6,27 mll; 6,18±0,11 mll. Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi keadaan perikanan pelagis di Indonesia, terutama di Laut Jawa yang didominasi oleh ikan pelagis kecil: a perairan samudra: D. macrosoma, A. sirm, R. kanagurta; b neritic: D. russelli; c perairan pesisir: S. crumenophthalmus, S. gibbosa . Puncak musim penangkapan pada bulan September-November musim timur, dengan fenomena oseanografi lebih hangat dan lebih kaya unsur hara. Adapun tembang, selar dan pari banyak tertangkap dengan dogol, mengingat dogol lampara dasar merupakan alat tangkap yang paling produktif, maka wajar apabila ketiga jenis ikan ini produksi tiap tahunnya mengalami peningkatan. Lampara dasar dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan lampara dasar sering digunakan untuk menangkap udang, juga .menangkap ikan dan organisme lain serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem yang parah. Lampara dasar berinteraksi secara langsung dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya organisme hidup yang sesil seperti rumput laut dan terumbu karang. Lampara dasar, dengan kemampuan pengerukannya, dapat pula membongkar terumbu karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur, lampara dasar dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Kerugian utama yang ditimbulkan lampara dasar terhadap jenis spesies adalah tertangkapnya organisme kecil dan jenis- jenis yang bukan sasaran penangkapan non-target, yang biasanya dibuang begitu saja di laut. Dampak terhadap spesies ini dapat dikurangi dengan menggunakan jaring dengan ukuran tertentu yang dapat mengurangi peluang tertangkapnya organisme yang berukuran kecil. Produksi teri banyak dihasilkan dari bagan tancap dan bagan perahu. Bagan tancap banyak terdapat di perairan sebelah barat P. Panjang daerah Kepuh dan sebelah tenggara P. Panjang. Teri juga merupakan jenis ikan yang memiliki sifat fototaksis positif tercahadap cahaya, sehingga sangat efektif apabila ditangkap dengan bagan. Penangkapan ikan menggunakan bagan hanya dilakukan pada malam hari light fishery. Terutama pada saat bulan gelap, dan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Lampu berfungsi untuk mengumpulkan ikan pada satu titik atau tempat untuk kemudian dilakukan penangkapan. Brandt 1984, menyatakan bahwa keberhasilan penangkapan ikan dengan menggunakan alat bantu cahaya ditentukan oleh teknik penangkapan, kondisi perairan dan lingkungan serta kualitas cahaya yang digunakan untuk memikat perhatian ikan. Perairan sekitar Pulau Panjang merupakan salah satu lokasi fishing ground yang dimanfaatkan oleh alat tangkap gill net, dogol, bagan tancap, payang, pancing ulur, dan rampus. Produksi teri cukup dominan di Kepuh, Wadas, dan Karangantu. Teri selain dijual dalam bentuk segar juga diolah lebih lanjut dalam bentuk asin kering. Teri galer asin dijual ke pasar lokal yaitu Serang dan Rangkasbitung, sedangkan teri nasi untuk permintaan luar negeri diekspor ke Jepang dan Singapura. Dengan demikian perikanan teri merupakan perikanan yang berpeluang untuk dikembangkan. Penangkapan dengan bantuan cahaya, tidak hanya dilakukan oleh bagan tancap maupun perahu, namun juga payang tingker, dengan lokasi penangkapan yang berdekatan yaitu sekitar P. Panjang untuk alat tangkap bagan tancap dan payang tingker. Sedangkan bagan perahu memanfaatkan perairan di sekitar P. Tunda. Hal ini dikarenakan kemampuan armada penangkapan bagan perahu cukup besar dengan mesin kapal berkekuatan sekitar 24 PK. Jenis ikan yang tertangkap dengan ketiga jenis alat tangkap ini ternyata tidak hanya ikan yang memiliki sifat fototaksis positif, tetapi juga berbagai jenis ikan pelagis diantaranya adalah kembung, tembang, layang, lemuru dan selar. Hal ini diduga karena kedalaman perairan teluk yang relatif dangkal yaitu sekitar 0-20 m. Kedalaman sekitar 20 m ditemukan di sekitar P. Tunda dan Sangiang, sedangkan kedalaman perairan di dalam teluk sekitar 12 m. Pada kedalaman 1 –6 m di sekitar Teluk Banten terdapat terumbu karang. Dasar perairan berupa lumpur berpasir, dan lebih dalam lagi substrat perairan berupa campuran lumpur, pasir, dan patahan karang rubble. Namun demikian di Pulau Tunda terumbu karang dijumpai sampai kedalaman 15 m. Visibility perairan antara 5 –7 m. Delapan jenis ikan pelagis dan 10 jenis ikan demersal tingkat produksinya mengalami penurunan. Penurunan produksi kemungkinan disebabkan oleh jumlah sumber daya ikan yang semakin sedikit, upaya penangkapan sedikit, atau pendataan yang tidak lengkap tidak tercatat. Sebagai contoh udang, berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan mengatakan bahwa udang 10 tahun yang lalu masih banyak dibandingkan saat ini, dikarenakan perairan Teluk Banten sudah tercemar buangan industri, sejak banyaknya bangunan industri berdiri di sepanjang pesisir Bojonegara. Apa yang dikatakan nelayan ternyata benar, terbukti dengan hilangnya padang lamun sekitar 75 ha pada bagian barat Teluk Banten sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2004 Kiswara 2004. Penyebab utamanya adalah kegiatan pengurugan untuk kawasan industri, dermaga, dan jetty. Padahal kita tahu bahwa lamun bermanfaat dalam menstabilkan dasar perairan; menghasilkan dan mengikat sedimen menjadi satu; dipergunakan untuk menyaring limbah cair; memberikan tempat hidup dan berkembang biak bagi ikan dan berbagai biota laut; memberikan sumber makanan dasar untuk ikan, penyu, duyung, dan binatang tidak bertulang belakang; menyediakan suatu pilihan tempat mencari makan untuk biota bernilai komersial Kiswara 2004, berada di bagian barat Teluk Banten. Parameter lingkungan lain yang berpengaruh terhadap keberadaan udang adalah hutan bakau mangrove. Hutan bakau merupakan daerah untuk mencari makan, dan perlindungan bagi juvenile udang sebelum menjadi dewasa. Udang kecil biasanya menempelkan dirinya di sekitar akar bakau untuk menghindari serangan predator Martosubroto 1977 diacu dalam Simbolon 2011. Ekosistem hutan bakau di Teluk Banten berada di bagian timur dan selatan Pulau Panjang. Kondisi ekosistem hutan bakau di Teluk Banten sudah mengalami kerusakan, umumnya dikarenakan penebangan, dan konversi lahan untuk pertambakan Bapedal Provinsi Banten dan PKSPL IPB 2004. Rajungan termasuk salah satu sumberdaya ikan yang produksinya menurun rata-rata sebesar 184,17. Hal ini diduga karena pendataan yang tidak “valid”, karena rajungan tidak didaratkan di TPI Karangantu rajungan hanya ada di Karangantu tetapi langsung kepada pengumpul orang yang dapat menjadi penanggung biaya operasi dan bisa juga tidak, tetapi memiliki keterkaitan secara sosial, petugas mendatangi pengumpul. Pengumpul selanjutnya memprosesnya untuk direbus dan dikuliti selanjutnya dipilah-pilah berdasarkan grade kualitas rajungan sebelum dikirim ke luar kota Pemalang untuk selanjutnya diekspor. Kondisi tersebut juga diperkuat dengan hasil wawancara dengan pengumpul, yaitu hasil tangkapan rajungan sudah menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh upaya penangkapan yang terus menerus dilakukan, baik oleh alat tangkap gill net jaring rajungan, bubu rajungan, dan dogol. Padahal apabila kita melihat pola musim rajungan terlihat bahwa musim banyak rajungan adalah pada saat musim barat yaitu bulan November-Januari, walaupun penangkapan rajungan dilakukan sepanjang tahun. Rajungan hidup di daerah yang memiliki subsrat dasar perairan yang berlumpur barpasir, campuran lumpur dan pasir, beralga hingga tempat padang lamun. Habitat seperti ini sangat sesuai dengan kondisi dasar perairan Teluk Banten. Rajungan dapat hidup sampai pada kedalaman 60 m. Teluk Banten memiliki kedalaman berkisar antara 0-20 m pada kondisi air terndah. Pada umumnya kontur kedalaman 5 m menyebar sekitar 1,5-2 km pantai bagian barat dari Tanjung Grenyang, Bojonegara sampai ke Tanjung Piatu, dekat P. Salira menyebar sekitar 200-300 m dari pantai. Kedalaman 5-10 m menyebar di bagian tengah Teluk Banten, sedangkan kedalaman 10-20 m menyebar mulai dari bagian utara dan pada alur barat antara P. Panjang denga pantai barat Teluk Banten serta di sebelah selatan P. Panjang. Tingkat pemanfaatan ikan teri 81,79, kurisi 82,68, dan pari 81,39 sudah melebihi dari jumlah tangkap yang diperbolehkan JTB. Kondisi ini apabila terus dilanjutkan dengan penambahan upaya penangkapan akan membahayakan kondisi sumberdaya ikan, kondisi ini juga diperkuat dengan menurunnya produksi ikan tiap tahun sebesar 13,12. Kondisi ini juga akan berdampak pada terjadinya penurunan pendapatan nelayan, karena sulitnya mendapatkan ikan. Kenyataan ini memang benar-benar terjadi pada saat penelitian berlangsung sehingga di beberapa Desa seperti di Kepuh, mereka melakukan pekerjaan sambilan bertani sebagai buruh tani ketika tidak musim ikan, atau isteri ikut membantu bekerja sebagai buruh cuci. Keputusan berpindah kepada pekerjaan lain tidak diikuti oleh seluruh nelayan yang ada, mereka masih menggantungkan hidupnya dari laut dengan alasan mereka tidak punya keahlian lain. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka kemiskinan nelayan akan bertambah. Jika dikaitkan dengan hasil analisis bionomi diperoleh bahwa usaha penangkapan ikan kurisi akan menguntungkan secara biologi apabila trip penangkapan dilakukan sebanyak 1.276 kali trip dan hasil tangkapan sebanyak 141,00 tonth, dengan tingkat upaya penangkapan sebesar 105,72. Berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI no. KEP.45MEN2011 tentang estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI, menunjukkan bahwa kurisi di wilayah pengelolaan perikanan WPP 712 Laut Jawa dikelompokkan ke dalam moderate, yang ditangkap pada kedalaman di atas 40 m. Adapun di Teluk Banten kedalaman tertinggi adalah 20 m, dengan demikian penambahan upaya penangkapan tidak dimungkinkan lagi mengingat sudah melebii 100. Berdasarkan hasil analisis standarisasi alat tangkap, ternyata kurisi ditangkap dengan dogol lampara dasar. Lampara dasar di Karangantu pada kurun waktu 2005-2009, merupakan alat tangkap yang paling produktif, tidak hanya ikan dasar yang menjadi target utama penangkapan, tetapi juga ikan pelagis. Berdasarkan peraturan yang ada, daerah penangkapan lampara dasar adalah di atas 3 mil perairan utara Laut Jawa Kabupaten Serang dan menggunakan ukuran mata jaring kantong lebih dari 1 inchi. Pada faktanya terjadi pelanggaran dari ketentuan yang berlaku, yaitu adanya penambahan otter board dan alat pemisah ikan pada alat tangkap, dan ukuran mata jaring bagian kantong sebesar 2 cm 1 inchi, 1 inchi= 2,54 cm. Sehingga wajar apabila produksi ikan paling besar disuplai dari alat tangkap ini. Dengan demikian upaya penangkapan ikan kurisi bisa dikendalikan, mengingat saat ini alat tangkap lampara dasar yang telah dimodifikasi seperti trawl mini dilarang penggunaannya sejak diterbitkannya surat dari Ditjen Pengawasan dan Pengendalian SDKP No. 10.07.3.P2SDKP 5TU.210X2009 tanggal 7 Oktober 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten menetapkan tanggal 2 Februari 2010 sebagai batas waktu pelarangan penggunaan alat tangkap ini di wilayah Banten, dan nelayan diminta untuk mengganti alat tangkap tersebut dengan yang lain. Bagan tancap adalah alat tangkap standar yang digunakan untuk menangkap ikan teri. Pemanfaatan terhadap ikan teri telah melebihi JTB, sehingga tidak diperlukan lagi penambahan upaya penangkapan, meskipun berdasarkan data produksi memiliki trend meningkat setiap tahun 3,23. Namun berdasarkan hasil analisis bionomi diperoleh bahwa keuntungan maksimum sebesar 3.611,02 juta rupiah dicapai pada saat trip penangkapan sebanyak 4.371 kali dan hasil tangkapan sebanyak 272,34 tonth. Dengan demikian usaha penangkapan teri masih menguntungkan. Seiring dengan dilarangnya lampara dasar yang telah dimodifikasi, maka mulai berkembang “bagan congkel” yaitu bagan perahu yang dilengkapi dengan lampu sebanyak 10-13 buah, dan jumlah bagan tancap juga semakin berkurang. Kondisi ini bisa menggantikan keberadaan bagan tancap tanpa mengurangi jumlah produksinya, mengingat teri merupakan komoditi dengan harga jual yang cukup tinggi yaltu Rp13.500,- per kg. Kondisi aktual upaya penangkapan ikan pari telah melebihi upaya penangkapan pada tingkat MEY, namun produksinya masih di bawah MEY. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pari bukan merupakan target penangkapan dari dogol. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap dogol merupakan alat tangkap standar untuk ikan kurisi, cumi-cumi, tembang, selar, rajungan, pari, pepetek, udang, bawal hitam, layur, dan beloso. Hal ini wajar terjadi karena bukaan mulut dogol selebar 4 m, dan apabila terbuka sempurna memakai otterboard selebar 6 m, padahal kedalaman perairan Teluk Banten rata-rata 7 m kedalaman tertinggi sebesar 13 m. Ikan lemuru, termasuk jenis ikan yang tingkat pemanfaatannya kurang dari 80 namun mendekati 80 yaitu sebesar 77,01, disisi lain tingkat upaya penangkapan masih sebesar 56,46. Hal ini berarti perlu adanya kehati-hatian untuk melakukan penambahan upaya, walaupun masih dimungkinkan dilakukan. Lemuru sendiri tertangkap dengan jaring payang, yang berasal dari dua TPI yaitu TPI Terate dan Karangantu. Produksi ikan lemuru dari tahun 2005-2009 di Teluk Banten terus mengalami penurunan, dengan rata-rata penurunan sebesar 22,44. Hal ini diduga Teluk Banten merupakan perairan yang dilewati ikan lemuru yang bermigrasi dari Teluk Jakarta ke Selat Sunda atau sebaliknya, hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Soedjodinoto 1960, Hosniyanto 2003, diacu dalam Simbolon 2011, bahwa lemuru selain ditemukan di Selat Bali juga ditemukan di selatan Ternate, Selat Madura, Selat Sunda, dan Teluk Jakarta. Ikan selar dan kembung, tingkat pemanfaatannya belum mencapai 80 namun sudah di atas 50. Keadaan ini sebenarnya masih berpeluang untuk dikembangkan, namun apabila dikaitkan dengan grafik hubungan effort dengan CPUE yang menunjukkan penurunan CPUE apabila terus dilakukan penambahan upaya, maka kedua perikanan ini tidak mungkin dikembangkan lagi. Apalagi jika dikaitkan dengan hasil analisis bionomi, menunjukkan bahwa ikan selar akan mempunyai keuntungan maksimum jika upaya penangkapan dilakukan sebanyak 2.362 kali trip, akan mendapatkan keuntungan sebesar 673,85 juta rupiah dengan hasil tangkapan sebanyak 146,58 tonth. Selar merupakan jenis ikan yang memiliki harga jual rendah yaitu hanya Rp5.000,-,kg, sehingga walaupun hasil tangkapan banyak tidak akan bisa menutupi biaya produksi. Keadaan ini berbeda dengan kembung, kembung lebih menguntungkan terlihat dari keuntungan maksimum sebesar 4.803,18 juta rupiah yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 7.226 trip dan hasil tangkapan sebanyak 262,74 tonth. Berdasarkan kondisi ini, perikanan kembung masih berpeluang untuk ditingkatkan pemanfaatan dan keuntungannya. Pancing sebagai alat tangkap standar masih dapat dioptimalkan tingkat upayanya. Ikan tembang banyak tertangkap dengan dogol, tingkat pemanfaatannya sebesar 46,4, upaya penangkapan aktual sebesar 6.495 tripth telah melebihi upaya optimum f msy sebesar 6.103 trip. Pada satu sisi berdasarkan analisis bionomi akan mendapatkan keuntungan maksimum sebesar 1.750,03 juta rupiah apabila upaya penangkapan sebanyak 5.858 kali trip dengan hasil tangkapan sebesar 632,16 tonth. Namun faktanya keuntungan yang diperoleh sebesar 708,47 juta rupiah. Dengan demikian, sebenarnya masih berpeluang untuk meningkatkan keuntungan tetapi tidak dengan penambahan upaya penangkapan. Strategi yang dilakukan adalah mengupayakan pengurangan upaya penangkapan sampai tingkat MEY sehingga dapat menekan biaya produksi. Perikanan tembang diarahkan ditangkap dengan payang, dan dogol diawasi jalur penangkapannya agar berada di luar teluk. Produksi cumi-cumi senantiasa meningkat sejak tahun 2005-2009, hal ini disebabkan karena ditangkap oleh payang yang ditemukan di semua TPI dan bagan congkel bagan perahu, yang dilengkapi dengan lampu pada satu tahun terakhir. Jika dikaitkan hasil perhitungan standarisasi alat tangkap, cumi-cumi banyak tertangkap dengan dogol karena memang alat tangkap ini sangat produktif melakukan upaya penangkapan, tidak hanya ikan demersal saja tetapi juga ikan pelagis, apalagi sebelum ada SK pelarangan dan sampai saat ini memang belum ada yang dapat menggantikan. Keberadaan bagan perahu sendiri hanya ditemukan di Karangantu, P. Panjang dan sebagian di Kepuh. Perikanan cumi-cumi, baru dimanfaatkan sebesar 39,62, sehingga masih dapat dioptimalkan lagi mengingat perikanan cumi-cumi secara biologi dan ekonomi menguntungkan. Bahkan keuntungan terbesar diperoleh perikanan ini dibandingkan dengan jenis ikan lain. Keuntungan pada saat MEY adalah 6.937,99 juta rupiah yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 13,407 trip dengan hasil tangkapan sebesar 363,66 ton. Penangkapan cumi-cumi harus diupayakan menggunakan alat tangkap yang menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan seperti bagan perahu, karena memang efektif dan hasil tangkapan masih segar. Perairan Teluk Banten pada saat musim cumi-cumi, yaitu bulan Maret 2010 pada saat penelitian berlangsung hasil tangkapannya mencapai 38,17 ton di Karangantu, dan 1,09 ton di Terate. Berkurangnya sumber daya ikan pelagis disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah sangat beragamnya alat tangkap yang digunakan, jumlah alat tangkap banyak, daerah penangkapan yang terbatas dan semakin sempit. Untuk menangkap cumi-cumi misalnya selain bagan juga tertangkap dengan payang, gillnet dan bahkan sero. Bagan apung bagan congkel dan payang tingker menggunakan fishing ground yang sama, kedua alat tangkap tersebut sama- sama menggunakan alat bantu lampu untuk mengumpulkan ikan tujuan tangkap. Dengan demikian kondisi ini juga harus dipecahkan, mungkin bisa diatur atau diarahkan fishing ground yang lebih jauh dari kawasan Teluk Banten tetapi masih dalam pengaturan wilayah tangkap Kabupaten Serang, yaitu sejauh 4 mil dari pantai yang diukur pada saat surut terendah. Secara umum kondisi perikanan pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami lebih tangkap, estimasi petensi pelagis kecil di WPP 712 sebesar 380 ribu tontn. Terkait dengan jumlah alat tangkap yang banyak, Pemerintah sudah harus berpikir untuk menggunakan alat tangkap yang selektif, dan mendata kembali secara langsung dan benar alat tangkap apa aja yang masih layak dioperasikan dan yang betul-betul tidak dimanfaatkan lagi. Berdasarkan