Tabel 38 Peraturan Perundangan Lingkungan Pesisir, Laut, dan Pengelolaan PerikananTangkap di Teluk Banten
No Peraturan
Dampak Kendala
1. UU no. 452009 Pengelolaan perikanan tangkap
dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,
kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian, dan
pembangunan yang berkelanjutan.
Pengelolaan sudah melibatkan pihak dunia usaha
dan organisasi kemasyarakatan LSM
Rekonvensi Bhumi Yayasan Bhumi Selaras,
namun partisipasi aktif dari organisasi kemasyarakatan
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
sampai dengan tahap pemantauan belum berjalan
optimal.
2. UU no. 262007 Proses penataan wilayah
ruang harus memperhatikan konsep ruang sebagai satu
kesatuan wilayah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan fungsional.
UU ini belum mengakomodasikan falsafah
konsep ekosistem. Falsafah konsep ekosistem meliputi
sistem interaksi lingkungan hidup termasuk manusia
dari skala ruang geografis yang kecil sampai global
ekosistem bumi. Bukan sebaliknya.
3. UU no. 272007 Setiap proses pemanfaatan dan
pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, harus
memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan
tersebut terhadap ekosisitem lingkungan dan manusianya.
UU ini telah mengakomodasikan konsep
ekosistem, namun karena pengelolaan pesisir dan
pulau-pulau kecil melibatkan banyak sektor, koordinasi,
dan kelembagaan merupakan kendala utama dalam
penerapan UU ini.
4. UU no. 322004 Pemda Tk. I provinsi berhak
mengelola wilayah laut sejauh 12 mil, sedangkan Pemda Tk. II
kabupaten berhak mengelola wilayah lautnya sampai sejauh
6 mil dari garis pantai. Pemda masih belum mampu
berkoordinasi dengan para pemegang kewenangan di
daerah, sehingga seringkali pengelolaan menjadi bersifat
sektoral.
5. Permen KP no.
22011 Pengaturan jalur penangkapan
ikan I sampai sejauh 4 mil laut, jalu II di luar 4 mil laut sampai
dengan 12 mil laut. Permen ini berlaku sejak Pebruari 2012
dengan terbitnya perubahan Permen KP no. 22011 dengan
Peremen KP no. 82012, dan disempurnakan dengan
Permen 52012. Produk hukum ini, terlihat
kurang matang dalam penyusunannya karena
mengalami perubahan sampai dua kali. Permen ini
dibuat untuk mengatasi permasalahan jalur
penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan
yang ada di WPP-NRI,
Tabel 38 Lanjutan No.
Peraturan Dampak
Kendala
namun karena hal ini merupakan sesuatu yang
baru maka diperlukan sosialisasi tidak hanya bagi
nelayan, instansi perikanan namun juga pemerintah
daerah terkait dengan kewenangan PEMDA dalam
pengelolaan wilayah laut.
6. Permen KP no.
162008 Kementerian Kelautan dan
Perikanan telah menerbitkan pedoman zonasi provinsi,
kabupaten kota sebagai arahan bagi daerah untuk
menuyusun perencanaan PWP3K.
Pelaksanaan perencanaan PWP3K di lapangan belum
berjalan baru pada tahapan menyusun renstra karena
perlu melibatkan banyak pihak
7. Perda Prov.
Banten no. 22011
RTRW Provinsi Banten 2010- 2030 sebagai arahan dalam
penyusunan RTRW KabupatenKota
Perencanaan tata ruang wilayah industri didasarkan
pada nilai ekonomi, tidak memperhatikan dampak
industri bagi lingkungan walaupun di dalam RTRW
sudah disebutkan pencegahan dan
pengawasan, namun pada pelaksanaannya tidak
berjalan sessuai dengan yang diharapkan. Hal ini
dikarenakan tidak berjalannya koordinasi antar sektor.
8. Perda Kab.
Serang. Banten no. 22009
Merupakan penjabaran dari RTRW Provinsi dan menjadi
matra ruang dari rencana pembangunan jangka panjang
daerah RPJMD Peruntukan pola ruang yang
sudah ditetapkan pada pelaksanaannya belum
dilakukan secara terpadu antar sektor.
9. RTRW Kota
Serang 2009- 2029
Penetapan rencana pengembangan outer ring
fishing port Karangantu sebagai bagian dari kawasan perikanan
tangkap. Penetapan ini bukan
merupakan perencanaan yang tepat ditinjau dari segi
teknis dan makna dari pelabuhan perikanan lingkar
luar.
10. Perda Provinsi
Banten no.51 2002
Bapedal adalah lembaga pemerintah yang ditunjuk untuk
melakukan monitoring dan evaluasi kondisi lingkungan
termasuk lingkungan perairan Data lingkungan tersimpan di
instansi tersebut, monitoring dan evaluasi dilaksanakan
sendiri tidak melibatkan instansi lain yang terkait
seperti Dinas Kelautan dan Perikanan.
Tabel 38 Lanjutan No.
Peraturan Dampak
Kendala
11. Keputusan
Bupati Serang no. 540Kep.
68-Huk2003 Pemberian ijin penambangan
pasir laut lepas pantai di Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa
Kabupaten Serang, berdampak memberikan ijin bagi PT.
Jetstar untuk mekakukan penggalian pasir laut.
Dalam pelaksanaannya banyak yang bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga
berakibat kerugian bagi masyarakat sekitar.
Diantaranya terjadinya gangguan permanen
terhadap habitat dasar perairan di lokasi tersebut,
dan abrasi pantai. Kondisi ini juga mempengaruhi perairan
sekitarnya termasuk perairan Teluk Banten, yang pada
akhirnya mempengaruhi kegiatan penangkapan.
6.6 Simulasi Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap
6.6.1 Alokasi unit penangkapan ikan
Alokasi unit penangkapan ikan berdasarkan pendekatan luas wilayah Teluk Banten yang dapat dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan dan
dengan asumsi alat tangkap lain tidak dioperasikan diperoleh hasil bahwa dari delapan jenis alat tangkap, ada dua jenis alat tangkap yang tidak mendapatkan
alokasi, yaitu rampus, dan sero. Rekomendasi ini muncul kemungkinan disebabkan alat tangkap ini tidak memiliki data time series yang runtut, hanya
ditemukan data dari tahun 2008 dan 2009. Sero sendiri merupakan salah satu alat tangkap yang menguntungkan secara ekonomi tapi tidak direkomendasikan
untuk menangkap komoditi unggulan, karena termasuk alat tangkap yang tidak selektif. Sero hanya ditemukan di Karangantu, yang saat ini berjumlah 45 unit,
tidak mungkin seketika langsung dihapuskan, sehingga perlu dilakukan pendekatan kepada nelayan agar secara bertahap beralih kepada alat tangkap
lain. Berdasarkan analisis ekonomi, perikanan rampus merupakan perikanan
yang merugi. Hasil tangkapan sangat sedikit ketika musim paceklik, sedangkan pada waktu puncakpun tidak terlalu banyak Lampiran 20. Pada tahun 2009
jumlah alat tangkap rampus sebanyak 90 unit, sehingga perlu kebijakan yang dapat menguntungkan banyak pihak. Pengalihan ke jenis alat tangkap lain, atau
alternatif mata pencaharian lain tetapi masih bidang perikanan merupakan alternatif solusi yang dapat ditawarkan.
Keenam alat tangkap yang lain, dialokasikan dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan tahun 2009. Gill net direkomendasikan sebanyak 33 unit
untuk jaring milenium, dan 3 unit untuk jaring rajungan, memperlihatkan pengurangan jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan kondisi tahun 2009
sebanyak 146 unit. Penataan ini dilakukan dengan mempertimbangkan jarak pemasangan antar alat tangkap dan panjang alat tangkap yang digunakan.
Walaupun demikian bukan berarti jumlah gill net harus dikurangi, tetapi perlu pengaturan saja tatkala dioperasikan. Kondisi ini juga terjadi pada dogol
sebanyak 11 unit, bagan tancap dialokasikan sebanyak 11 unit, sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 24 unit, begitu pula dengan bagan perahu yang
dialokasikan hanya sebanyak 6 unit padahal sebelumnya sebanyak 52 unit, payang sebanyak 2 unit, pancing sebanyak 5 unit, dan sero serta rampus
sebanyak 0 unit. Penghapusan dua jenis alat tangkap ini merupakan kondisi yang sulit. Namun demikian, bisa dicoba untuk diterapkan mengingat alat
tangkap ini hasil tangkapannya tidak terlalu banyak. Pengaturan bisa dilakukan dengan cara menjadwal waktu operasi dan mengatur lokasi penangkapan.
Selama ini nelayan rampus melakukan operasi penangkapan menjelang subuh dan pulang ke pangkalan sekitar jam 10 pagi. Waktu operasi disesuaikan dengan
tingkah laku ikan tujuan target, apabila hal ini sulit dilakukan maka perlu diatur lokasi penangkapannya. Karena pada faktanya 90 unit alat tangkap tersebut
tidak beroperasi semuanya mengingat semakin berkurangnya hasil tangkapan. Berdasarkan hasil perhitungan bionomi dan analisa usaha, menunjukkan bahwa
usaha penangkapan rampus tidak menguntungkan merugi. Setiap jenis alat tangkap memiliki daerah penangkapan yang spesifik.
Berdasarkan kondisi ini, maka setiap alat tangkap dapat diatur lokasi penangkapannya. Sebagai contoh bagan tancap, bagan tancap dipasang pada
daerah penangkapan yang memiliki dasar perairan lumpur berpasir, dan cukup terlindung dari angin yang besar serta arus yang kuat. Mengingat kekuatan
bagan tancap hanya selama enam bulan, maka bagan tancap tidak dipasang di tengah-tengah laut namun lebih banyak di sekitar pulau. Hal ini juga dengan
pertimbangan untuk tidak menghalangi alur pelayaran. Kondisi ini juga terjadi pada sero. Sero dipasang pada daerah yang cukup dangkal, namun tetap
memperhatikan kondisi pasang surut sehingga sero masih terndam air ketika surut. Pengoperasian bagan perahu sebanyak 6 unit merupakan hal yang perlu
disosialisasikan lebih lanjut, mengingat jumlah alat tangkap yang ada sebanyak 52 unit pengurangan sebesar 11,5.
6.6.2 Simulasi usaha penangkapan ikan
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan Lindo diperoleh hasil bahwa rampus dan sero tidak direkomendasikan untuk melakukan penangkapan,
dan keenam alat tangkap yang lain mengalami pengaturan alokasi jumlah alat tangkap pengaturan trip penangkapan. Berdasarkan kondisi demikian ada
dua skenario yang diusulkan yaitu rekomendasi pertama tetap berpegang pada data kondisi optimal tahun 2009, dan rekomendasi kedua adalah kondisi optimal
tahun mendatang
tahun 2010.
Kebijakan yang
diambil adalah
mengkombinasikan kedua skenario tersebut dengan cara mengatur jumlah trip penangkapan sesuai dengan skenario kedua, namun dengan tetap
mempertahankan jumlah alat tangkap yang ada. Untuk melakukan pengaturan ini, maka langkah pertama adalah mendata ulang jumlah alat tangkap yang riil
beroperasi di wilayah Teluk Banten, langkah berikutnya adalah mengatur trip penangkapan sesuai dengan musim penangkapan ikan tujuan target alat
tangkap. Hal ini dilakukan agar operasi penangkapan menjadi efektif, dan kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga. Tidak bisa dipungkiri bahwa
karakteristik perikanan Indonesia adalah multi spesies dan multi gear, maka langkah yang dibuat adalah mengatur lokasi penangkapan sesuai dengan
karakteristik alat tangkap. Alat tangkap yang dioperasikan menggunakan kapal yang dilengkapi dengan mesin inboard harus berada pada jalur yang ditetapkan
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan PT. Plarenco 2007. Hal ini terkait dengan rencana pengelolaan perikanan sumber daya kelautan dan
perikanan yang mengatur pengendalian zona penangkapan dengan mengatur jalur penangkapan, yaitu jalur penangkapan ikan I, meliputi sub jalur
penangkapan IA dan IB, sampai dengan batas 6 mil laut. Jika dikaitkan dengan Permen no. 22011 yang membagi jalur penangkapan IA meliputi perairan pantai
sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. Jalur penangkapan I B, meliputi perairan pantai di luar 2 mil laut
sampai dengan 4 mil laut. Jalur penangkapan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan laut pada
surut terendah. Kebijakan ini menunjukkan kewenangan pengelolaan pemerintah kabupatenkota sejauh 4 mil laut, dan provinsi 12 mil laut. Kedua kebijakan
tersebut tidak bertentangan karena alat tangkap yang diatur pada masing-masing jalur telah sesuai lihat Tabel 26.
Pada jalur penangkapan ikan IA, alat dan kapal penangkapan ikan yang diperbolehkan beroperasi adalah alat penangkap ikan yang menetap, alat
penangkap ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi, dan kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. Pada
jalur penangkapan ikan IB, alat dan kapal penangkapan ikan yang diperbolehkan beroperasi adalah alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal
perikanan yang terdiri dari tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m, bermotor tempel dan bermotor-dalam
dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau, pukat cincin purse seine berukuran panjang maksimal 150 m,
serta jaring insang hanyut drift gill net ukuran panjang maksimal 1.000 m. Apabila hal ini ditaati, kemungkinan besar konflik pemanfaatan kawasan tidak
terjadi. Pengendalian upaya penangkapan perlu dilakukan, karena apabila
menghapuskan alat tangkap yang ada adalah tidak mungkin. Teknik pengaturan upaya penangkapan tiap jenis alat tangkap, dibantu dengan pertimbangan musim
penangkapan, musim ikan target penangkapan, dan lokasi penangkapan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Widodo dan Suadi 2008 yang mengatakan bahwa salah satu teknik pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan melakukan pengendalian upaya
penangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan melalui 1 pembatasan terhadap armada perikanan termasuk
jumlah, ukuran serta kekuatan mesin; 2 kombinasi penutupan daerah dan musim penangkapan mampu membatasi jumlah penangkapan pada tingkat yang
dikehendaki; 3 pembatasan terhadap jenis alat dan teknik penangkapan. Murdiyanto 2004 lebih rinci mengatakan bahwa pengendalian upaya
penangkapan input control mencakup pembatasan jumlah unit penangkapan tertentu yang dapat dilakukan dengan cara mengurangi atau tidak menerbitkan
ijin penangkapan, membatasi jumlah waktu penangkapan dalam ijin atau dengan menentukan ukuran terhadap kapal dan alat tangkap yang digunakan.
Dengan demikian pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan tidak mengeluarkan ijin baru penambahan alat tangkap bagi ketujuh jenis
alat tangkap yaitu gill net, dogol, bagan tancap, bagan perahu, payang, sero, dan