Model pengelolaan perikanan tangkap di teluk lampung dalam perspektif efisiensi interaksi antar stakeholder

(1)

i

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP

DI TELUK LAMPUNG DALAM PERSPEKTIF EFISIENSI

INTERAKSI ANTAR STAKEHOLDER

H E N D R I W A N

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Lampung dalam Perspektif Efisiensi Interaksi antar Stakeholder adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2010

Hendriwan NRP C 561020124


(3)

iii

ABSTRACT

HENDRIWAN. Fisheries Capture Management Model on Lampung Bay in Interaction Efficient Perspective between Stakeholders. Under direction of M. FEDI A. SONDITA, JOHN HALUAN, and BUDY WIRYAWAN

Activities of capture fishery in Lampung Bay have created a number of conflicts among stakeholders. The objectives of this research were to identify types of the conflict, status of conflict resolution, potency of conflict from stakeholders interaction, and identification of strategies to eliminate the conflicts. This research applied PISCES approach, PRA and SWOT analysis and then determined priority of capture fisheries development strategy by means of as Linear Goal Programming (LGP) and Analytical Hierarchy Process(AHP). Types of conflict in capture fishery in the Lampung bay were related with relocation of a fish landing site (PPI), relocation of fishermen housing, mooring place and fish price, use of fish bombs, illegal fees, competition on control of fishing ground, and competition on control of the fish landing site/fish auction site (PPI/TPI). Some conflicts have been settled while the other are outstanding. Interaction among big fishermen and newly settled fishermen was the most potential conflict whereas competition between the two village cooperatives (KUD Mina Jaya and KUD Lestari) was the least potential conflict An optimum composition of fishing fleets that maximally utilizes available fisheries resources can be reached by addition of 233 units of sero and 79 units of bagan perahu but reduction of 207 units of drift gillnet and 206 units of boat seine. Each stakeholders have important role in conflict resolution. The most prioritized strategy for solving some conflicts in the local fisheries is tough law enforcement.


(4)

iv

RINGKASAN

HENDRIWAN. Model Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Lampung dalam Perspektif Efisiensi Interaksi antar Stakeholder. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA, JOHN HALUAN, dan BUDY WIRYAWAN.

Pengelolaan perikanan tangkap merupakan suatu upaya agar sumberdaya laut melalui kegiatan penangkapan ikan dengan tujuan terjadinya kelangsungan pemanfaatan dan tercapainya kepentingan para stakeholder. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan tangkap ini perlu memperhatikan aspek ekologi, teknologi, sosial dan keadilan sehingga tidak terjadi ekses negatif berupa konflik pengelolaan. Pada kenyataannya, proses yang terjadi di lapangan dapat berbeda dari konsep tersebut. Dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung selama ini, berbagai konflik selalu timbul akibat benturan kepentingan dan ketidakpuasan sejumlah stakeholder. Adanya euforia masyarakat sebagai ekses reformasi yang seolah menghalalkan segala cara dalam menyampaikan tuntutan dan pemaksaan kehendak yang dominan menyebabkan penyelesaian konflik semakin jauh dari titik temu pada penyelesaian.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis konflik pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung dan upaya penyelesaiannya, menganalisis potensi konflik dari interaksi stakeholders yang terdapat di Teluk Lampung dan menentukan arah pengelolaan perikanan tangkap yang mereduksi konflik.

Penelitian ini dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan selama 8 (delapan) bulan, sejak bulan Oktober 2006 hingga Juni 2007, di kawasan PPI Lempasing, Teluk Lampung, Propinsi Lampung. Lokasi ini dipilih mengingat Lempasing adalah pusat perikanan terbesar di kawasan Teluk Lampung dan secara historis Lempasing adalah pusat konflik perikanan. Jenis data yang dikumpulkan berkaitan dengan kasus konflik perikanan tangkap. Data tersebut diperoleh dari 104 orang responden, baik perorangan dan maupun kelompok stakeholder, yang ada di PPI Lempasing. Data yang dikumpulkan juga juga bersumber dari dokumen yang tersedia di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Lampung dan Kota Bandar Lampung.

Identifikasi konflik perikanan tangkap di PPI Lempasing, Teluk Lampung dilakukan dengan menggunakan teknik yang diterapkan Bennett (2003), yaitu pendekatan PISCES. Data tersebut adalah informasi dasar keadaan geografis daerah penelitian dari metode FGIE, kronologis kejadian konflik, interaksi yang menimbulkan konflik perikanan tangkap, baik secara individu maupun institusi, yang diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data diolah untuk menginventarisasi jenis konflik, tahapan konflik, penyebab konflik, keterkaitan konflik dengan stakeholders, dan stakeholders yang berkonflik. Secara umum, jenis konflik terbagi dua yaitu: (a) konflik internal merupakan konflik antar pelaku langsung perikanan tangkap PPI Lempasing (nelayan, pengolah, pedagang ikan, dan pengelola PPI), dan konflik eksternal yang melibatkan pelaku tidak langsung perikanan tangkap (nelayan pendatang, penduduk, konsumen).

Analisis SWOT (Rangkuti, 2004) dilakukan terhadap kegiatan perikanan tangkap yang berbasis di PPI Lempasing, Teluk Lampung. Analisis ini menghasilkan total skor untuk kategori faktor internal (kekuatan dan kelemahan)


(5)

v dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Kedua total skor tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan strategi dan arah pengelolaan perikanan yang mereduksi konflik. Strategi/posisi pengelolaan ada sembilan yaitu berturut-turut strategi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi vertikal, strategi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal, strategi penciutan (turnaround), strategi stabilitas, strategi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal atau stabilitas, strategi divestasi atau pengurangan, strategi pertumbuhan melalui diversifikasi konsentrik, strategi pertumbuhan melalui konsentrasi konglomerat, dan strategi likuidasi. Kesembilan strategi tersebut mengisi kuadran I – IX matriks internal-eksternal (IE), dan setiap kuadran punya kisaran nilai faktor internal dan faktor eksternal tertentu. Posisi dan arah pengelolaan dipilih dengan mencocokkan total skor faktor internal dan faktor eksternal dengan kisaran nilai faktor pada matriks.

Kondisi perikanan tangkap di Teluk Lampung dalam tujuh tahun terakhir ditandai oleh peningkatan jumlah produksi ikan yang didaratkan (Tabel 1). Produksi perikanan tangkap di Teluk Lampung pada tahun 2000 mencapai 17.472,8 ton, dan jumlah ini meningkat terus hingga tahun 2006. Dari segi harga, penurunan hanya pernah terjadi tahun 2002, karena anjloknya harga jual di pasar dunia akibat beberapa kasus pencemaran yang terjadi di perairan. Armada penangkapan terdiri dari : < 5 GT (103 unit), 5 – 10 GT (77 unit), 10 – 20 GT (43 unit), dan 20 – 30 GT (6 unit). Hasil tangkapan dominan berupa lemuru, kembung, teri, tenggiri, dan tongkol.

Model pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung yang dikembangkan dalam penelitian ini mencakup pengidentifikasian berbagai faktor internal-eksternal pengelolaan perikanan tangkap dan tingkat pengaruhnya, pendugaan posisi pengelolaan saat ini dan arah pengembangannnya, mengoptimalkan sasaran pengelolaan atau sumberdaya terkait pengelolaan perikanan tangkap, penentuan alokasi unit penangkapan ikan yang dapat mengoptimalkan sasaran pengelolaan, dan penetapan prioritas strategi pengelolaan yang dapat mengeliminir konflik dengan mengakomodir pengembangan unit penangkapan terpilih dan mengakomodir kepentingan berbagai stakeheholders terkait. Untuk variabel/faktor internal-eksternal pengelolaan perikanan tangkap, hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa : (a) ketersediaan SDM di lokasi merupakan kekuatan utama pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung (skor pengaruh positif/spp S paling tinggi = 0,51), (b) konflik internal di lokasi merupakan kelemahan utama pengelolaan (spp W paling rendah = 0,11), (c) kedekatan dengan pasar potensial (DKI Jakarta) dan kondisi sosial politik yang kondusif di lokasi merupakan kondisi eksternal yang berpeluang dan mendukung pengembangan perikanan tangkap ke depan (spp O paling tinggi masing-masing = 0,36), dan (d) penggunaan teknologi penangkapan destruktif merupakan ancaman utama pengelolaan perikanan tangkap (spp T paling rendah = 0,17).

Posisi pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung saat ini adalah dalam posisi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal atau stabilitas (kuadran V matriks IE). Terkait dengan ini, maka pengembangan perlu diarahkan ke kuadran I dengan cara : (a) memperbaiki variabel kekuatan dan kelemahan hingga skor FI bertambah 1,67, dan (b) mengoptimalkan pencapaian


(6)

vi peluang yang ada dan menetralisir berbagai ancaman lebih besar yang mungkin terjadi hingga skor FE bertambah 1,74.

Pengelolaan perikanan tangkap dapat dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan yang dimiliki perikanan Lampung, yaitu mengoptimalkan pmanfaatan potensi lestari sumberdaya ikan (MSY, 19.963,62 ton per tahun), mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap yang tersedia (8.500 orang), mengoptimalkan penggunaan BBM dari suplai yang tersedia (30.000 liter per hari), mengoptimalkan penggunaan es dari kapasitas yang tersedia (yaitu 9.000 balok per hari), mengoptimalkan penggunaan air tawar dari kapasitas instalasi PDAM yang tersedia (23.000 liter per hari), dan mengoptimalkan pemanfaatan luasan perairan yang layak untuk kegiatan penangkapan ikan (6.413,72 mil2

(1) Pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi (UNIT TKP).

). Optimalisasi tersebut dapat dwujudkan melalui pengaturan armada penangkapan ikan dengan cara: (a) penambahan 233 unit sero (dari 165 unit menjadi 398 unit) dan penambahan79 unit bagan perahu (dari 243 unit menjadi 322 unit), serta (b) pengurangan 207 unit jaring insang hanyut (dari 336 unit menjadi 129 unit) dan pengurangan 206 unit payang (dari 240 unit menjadi 44 unit).

Strategi prioritas untuk menjalankan pengelolaan perikanan tangkap agar dapat mengeliminir konflik dalam rangka pengembangan empat unit penangkapan terpilih dan kepentingan berbagai stakheholders adalah : (a) Strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, (b) Strategi pengaturan fishing ground bagi setiap unit penangkapan ikan, (c) Pembakuan batas kewenangan PEMDA kota dan PEMDA Propinsi, dan (d) Pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi.

Pengelolaan perikanan tangkap perlu melibatkan stakeholders yang berpengaruh signifikan sesuai dengan karakteristik konflik agar permasalahan konflik dapat diselesaikan dengan baik. Strategi yang ditawarkan untuk penanganan konflik di antara stakeholder perikanan tangkap adalah

(2) Pembakuan batas dan cakupan keewenangan PEMDA Kota dan PEMDA Propinsi (WEWENANG).

(3) Pengaturan fishing ground bagi setiap unit penangkapan ikan (F.GROUND) (4) Tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi (HUKUM).

Nelayan berperan secara signifikan dalam penerapan strategi HUKUM, strategi WEWENANG dan strategi UNIT TKP; Pengelola PPI berperan secara signifikan dalam penerapan strategi HUKUM, strategi F. GROUND, dan strategi UNIT TKP; Pemerintah Daerah berperan secara signifikan dalam penerapan strategi HUKUM, strategi F. GROUND, strategi WEWENANG, dan strategi UNIT TKP; Petugas Keamanan Laut berperan secara signifikan dalam penerapan strategi WEWENANG dan strategi UNIT TKP; dan investor/pengusaha berperan secara signifikan dalam penerapan strategi HUKUM, strategi F. GROUND, dan strategi UNIT TKP. Bila pemecahan masalah tersebut benar-benar dilakukan, maka nelayan, pengelolan PPI, PEMDA, dan investor/pengusaha secara bersama-sama memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pengelolaan perikanan tangkap secara keseluruhan.


(7)

vii © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak

sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

viii

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP

DI TELUK LAMPUNG DALAM PERSPEKTIF EFISIENSI

INTERAKSI ANTAR STAKEHOLDER

H E N D R I W A N

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor

pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

ix Judul Disertasi : Model Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Lampung

dalam Perspektif Efisiensi Interaksi Antar Stakeholder Nama Mahasiswa : Hendriwan

Nomor Pokok : C 561020124 Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ketua,

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 15 November 2009 Tanggal Lulus :


(10)

x Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si.

: 2. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc. : 2. Dr. Ir. Hary Nurcahya Murni, M.Si.


(11)

xi

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul “Model Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Lampung Dalam Perspektif Efisiensi Interaksi Antar Stakeholder”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Dr.Ir. M Fedi A. Sondita, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.Ir. John Haluan M,Sc dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah berkenan memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Departemen Dalam Negeri yang telah memberikan kesempatan, izin dan bantuan dana untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda tercinta H. Imron Rosyadi, SH., M.H., dan Ibunda tercinta Dalena, yang selalu berdo’a demi keberhasilan penulis, Istri tercinta dr.Yuniar P.Kesuma dan anak-anak tersayang Fachry Dhaniawan dan Rifqi Musyafa yang selalu memberikan do’anya kepada penulis dan juga merelakan waktunya untuk penulis sekolah. Ucapan terima kasih kepada Kakak dan adik tercinta serta seluruh keluarga yang tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang serta dukungannya kepada penulis dalam suka dan duka. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Keluarga Besar Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah Kota Bandar Lampung serta rekan-rekan yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis selama ini.

Kami menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna dan masih harus ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian lanjutan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat baik bagi insan akademis, para pengambil kebijakan serta yang membacanya. Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada kita sekalian.

Bogor, April 2010 Hendriwan


(12)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungkarang pada tanggal 18 April 1969 dari Bapak Imron Rosyadi dan Ibu Dalena. Penulis menikah tahun 1998 dengan dr. Yuniar P.Kesuma dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yaitu Fachry Dhaniawan dan Rifqi Musyafa.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 31 Tanjung Karang pada tahun 1981. Tahun 1984 menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama di SMPN 2 Tanjung Karang dan selanjutnya menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMAN 2 Tanjung Karang tahun 1987.

Pada tahun 1987, penulis mendapat kesempatan mengikuti sekolah ikatan dinas pada Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Tanjung Karang, tamat tahun 1990, tugas belajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Kampus Bandung, tamat tahun 1995, tugas belajar pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tamat tahun 1998.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Bina Administrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri dan juga aktif dalam memberikan beberapa materi tentang Keuangan Daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah atau Lembaga Non Pemerintah di bidang Pendidikan Pengembangan Sumberdaya Manusia.

Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana (S3) Program Studi Teknologi Kelautan Sub Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Institut Pertanian Bogor, diperoleh penulis pada bulan September 2002.


(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI...

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

xi

xiv

xvi

xiii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Masalah ... 6

1.5 Identifikasi Masalah ... 6

1.6 Kerangka Pemikiran ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan ... 11

2.1.1 Konsep hasil maksimum yang lestari ... 11

2.1.2 Pemilihan alat tangkap yang ramah lingkungan ... 12

2.2 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Perairan Pantai dan Teluk ………... 14

2.3 Konflik Perikanan Tangkap ... 15

2.4 Kemiskinan sebagai Sumber Konflik Perikanan Tangkap... 16

2.5 Tipikal Kebijakan Perikanan Tangkap... 17

2.6 Arahan Kebijakan Perikanan Tangkap... 21

2.7 Sistem Perikanan Tangkap ... 22

2.8 Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap ... 25

2.8.1 Pengembangan sumberdaya manusia melalui kegiatan usaha ekonomi ………..………. 25

2.8.2 Pengembangan usaha perikanan tangkap secara terpadu ……… 27


(14)

xiv

2.9 Kerangka Analisis SWOT ... 28

2.10 Analisis Keputusan Menggunakan Analytical Hierarchy Process ... 30

2.11 Konsep Pemodelan Menggunakan Structural Equation Modelling ... 32

2.12 Sumberdaya Pengelolaan Perikanan Tangkap... 34

3 METODOLOGI ... 43

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 43

3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 45

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 45

3.3.1 Metode pengumpulan data primer ……… 45

3.3.2 Metode pengumpulan data sekunder ……… 47

3.4 Metode Analisis …... 47

3.4.1 Pendekatan sistem ………. 47

3.4.2 Identifikasi konflik ……… 50

3.4.3 Pendekatan PRA dan analisis SWOT ……….. 51

3.4.4 Analisis Linear Goal Programming (LGP) ……… 53

3.4.5 Analisis Structural Equation Modeling (SEM) ………. 56

3.4.6 Analisis urutan prioritas strategi pengelolaan perikanan... 64

4 HASIL PENELITIAN ……….……… 67

4.1 Kondisi Umum Perikanan Tangkap Teluk Lampung ... 67

4.2 Konflik Perikanan Tangkap ... 74

4.2.1 Kronologis interaksi pengelolaan dan konflik perikanan tangkap di Teluk Lampung... 74 4.2.2 Jenis konflik perikanan tangkap di Teluk Lampung... 79

4.2.3 Persepsi stakeholders tentang konflik... 83

4.3 Identifikasi Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Lampung... 84

4.4 Optimalisasi Armada Penangkapan Ikan Teluk Lampung... 94

4.5 Model Interaksi Stakeholders dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap ... 96 4.5.1 Interaksi stakeholders dalam penanganan konflik... 96


(15)

xv 4.5.2 Interaksi stakeholders dalam pelaksanaan strategi

pengelolaan perikanan tangkap ... 103

4.6 Urutan Prioritas Opsi Strategi Penanganan Konflik Pengelolaan Perikanan Tangkap ……….. 111

5 PEMBAHASAN ……….……….……… 115

5.1 Penanganan Konflik Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Lampung... 115

5.2 Pengembangan Pengelolaan Perikanan Tangkap... 121

5.3 Pengelolaan Optimal Sumberdaya Perikanan Tangkap di Teluk Lampung ... 125

5.4 Interaksi Efisien Stakeholders dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap... 130

5.4.1 Interaksi efisien stakeholders dalam penanganan konflik perikanan tangkap... 130

5.4.2 Interaksi efisien stakeholders dalam pelaksanaan strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap di PPI Lempasing . 133 5.5 Strategi Prioritas Dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap 149 5.6 Strategi Pengelolaan Konflik oleh Pemerintah Daerah ... 154

6 KESIMPULAN DAN SARAN ……… 160

6.1 Kesimpulan ... 160

6.2 Saran ... 162


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rincian waktu pelaksanaan penelitian... ... 44

2 Goodness-of-fit Index (kriteria uji kesesuaian dan uji statistik) ... 63

3 Skala banding berpasangan berdasarkan taraf relatif pentingnya ... 65

4 Kriteria uji statistik AHP ... 66

5 Jumlah Produksi, nilai produksi dan jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dari sub-sektor perikanan tangkap di Teluk Lampung ... 67

6 Perkembangan jumlah penduduk Kotamadya Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan tahun 2000-2006 ... 68

7 Perkembangan produksi perikanan tangkap di perairan Teluk Lampung menurut jenis ikan hasil tangkapan ... 69

8 Perkembangan penggunaan motor penggerak pada perahu nelayan di Teluk Lampung ... 69

9 Produksi perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap utama di Teluk Lampung ... 70

10 Komposisi unit penangkapan ikan di perairan Teluk Lampung ... 71

11 Jumlah trip operasi perikanan tangkap dari 4 jenis unit penangkapan ikan di Teluk Lampung ... 71

12 Kapasitas penyimpanan bahan bakar minyak (BBM) di SPBU dan Eceran di tepian Teluk Lampung ... 72

13 Produktivitas empat jenis unit penangkapan ikan di Lampung ... 73

14 Time lines interaksi pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung … ... 76

15 Konflik pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung ... 79

16 Status penyelesaian konflik pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung ... 83

17 Faktor strategis internal pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung ... ... 86


(17)

xvii 18 Faktor strategis eksternal pengelolaan perikanan tangkap di Teluk

Lampung ... 89 19 Matriks SWOT sasaran pengelolaan perikanan tangkap di Teluk

Lampung ... 93 20 Koefisien pengaruh dan significance of probability dimensi konstruk

yang berinteraksi dengan konstruk Penyebab Konflik (PK) ... 102 21 Koefisien pengaruh dan significance of probability konstruk / dimensi

konstruk yang berinteraksi dengan konstruk Keterkaitan Stakeholders dengan konflik (KSdK)... 102 22 Koefisien pengaruh dan significance of probability dimensi konstruk

yang berinteraksi dengan konstruk nelayan (Y1) ... 108 23 Koefisien pengaruh dan significance of probability dimensi konstruk

yang berinteraksi dengan konstruk Pengelola PPI Lempasing (Y3) ... 109 24 Koefisien pengaruh dan significance of probability dimensi konstruk

yang berinteraksi dengan konstruk PEMDA (Y4)... 109 25 Koefisien pengaruh dan significance of probability dimensi konstruk

yang berinteraksi dengan konstruk petugas keamanan laut (Y5) ... 110 26 Koefisien pengaruh dan significance of probability dimensi konstruk

yang berinteraksi dengan konstruk investor / pengusaha (Y7) ... 110 27 Koefisien pengaruh dan significance of probability dimensi konstruk

stakeholders yang berinteraksi dengan konstruk KSdPPT ... 111 28 Hasil uji sensitivitas terhadap strategi pengelolaan perikanan tangkap


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian ... 9 2 Interaksi komponen kerja sistem perikanan tangkap (Kesteven, 1973

dimodifikasi oleh Monintja, 2001) ... 23 3 Peta lokasi penelitian ... 43 4 Diagram identifikasi dan analisis dalam penelitian ... 49 5 Rancangan path diagram interaksi stakeholders dalam kaitan dengan

konflik perikanan tangkap di PPI Lempasing ... 57 6 Rancangan path diagram interaksi stakeholders dalam kaitan

dengan pelaksanaan strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap di PPI Lempasing……… ... 58 7 Spot Mapping lokasi terjadinya konflik di PPI Lempasing dan

sekitarnya ... 77 8 Sketsa Spot Mapping lokasi terjadinya konflik di PPI Lempasing dan

sekitarnya ... 77 9 Interaksi antar stakeholders perikanan tangkap di Teluk Lampung

periode 1981-2007 ... 78 10 Persepsi responden (104 orang) tentang potensi konflik antar berbagai

stakeholders dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung 84 11 Status pengelolaan perikanan tangkap Teluk Lampung dengan melihat

skor faktor strategis internal dan eksternal (kuadran V) ... 91 12 Rumusan model interaksi stakeholders yang efisien dalam

penanganan konflik perikanan tangkap (path diagram dengan format AMOS) ... 98 13 Hasil analisis SEM terkait interaksi stakeholders yang efisien dalam

penanganan konflik perikanan tangkap ... 100 14 Rumusan model interaksi stakeholders dalam pelaksanaan strategi

pengelolaan kegiatan perikanan tangkap (path diagram dengan format AMOS) ... 106 15 Hasil analisis SEM terkait interaksi stakeholders dalam pelaksanaan


(19)

xix 16 Struktur hierarki interaksi pengelolaan perikanan tangkap di Teluk

Lampung ... 112 17 Hasil analisis prioritas strategi pengelolaan perikanan tangkap yang


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Lama Operasi Sero, Jaring Insang Hanyut (JIH), Payang dan Bagan

Perahu per Trip ... 172 2 Jumlah Tenaga Kerja Sero, Jaring Insang Hanyut (JIH), Payang dan

Bagan Perahu ... 173 3 Penggunaan BBM Sero, Jaring Insang Hanyut (JIH), Payang dan

Bagan Perahu per unit trip ... 174 4 Penggunaan Es Sero, Jaring Insang Hanyut (JIH), Payang dan Bagan

Perahu per unit trip ... 175 5 Penggunaan Air Tawar Sero, Jaring Insang Hanyut (JIH), Payang dan

Bagan Perahu per unit trip ... 176 6 Hasil analisis LINDO tentang optimalisasi pengelolaan perikanan

tangkap di Teluk Lampung ... 177 7 Goodness-of-fit Index untuk model interaksi stakeholders yang efisien

dalam penanganan konflik perikanan tangkap di PPI Lempasing ... 179 8 Goodness-of-fit Index untuk model interaksi stakeholders dalam

pelaksanaan Strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap di PPI

Lempasing... 180 9 Bentuk equation hasil analisis SEM ... 181 10 Ilustrasi detail hierarki interaksi pengelolaan perikanan tangkap di

Teluk Lampung ... 207 11 Perbandingan rasio kepentingan stakeholders dalam pengelolaan

perikanan tangkap ... 208 12 Perbandingan rasio kepentingan unit penangkapan ikan dalam kaitan

interaksi nelayan (inconsistency 0,02) ... 209 13 Perbandingan rasio kepentingan unit penangkapan ikan dalam kaitan

interaksi Pengelola PPI (inconsistensy 0,07) ... 210 14 Perbandingan rasio kepentingan unit penangkapan ikan dalam kaitan

interaksi PEMDA (inconsistency 0,07) ... 211 15 Perbandingan rasio kepentingan unit penangkapan ikan dalam kaitan

interaksi Petugas Keamanan Laut (inconsistency 0,02) ... 212 16 Perbandingan rasio kepentingan unit penangkapan ikan dalam kaitan

interaksi Invenstor (inconsistency 0,08) ... 213 17 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Sero dalam interaksi Nelayan (inconsistency 0,09) ... 214 18 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan


(21)

xxi 19 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Payang dalam interaksi Nelayan (inconsistency 0,07) ... 216 20 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Bagan Perahu dalam interaksi Nelayan (inconsistency 0,07) ... 217 21 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Sero dalam interaksi Pengelola PPI (inconsistency 0,01) ... 218 22 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

JIH dalam interaksi Pengelola PPI (inconsistency 0,09) ... 219 23 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Payang dalam interaksi Pengelola PPI (inconsistency 0,07) ... 220 24 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Bagan Perahu dalam interaksi Pengelola PPI (inconsistency 0,04) ... 221 25 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Sero dalam interaksi PEMDA (inconsistency 0,05) ... 222 26 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

JIH dalam interaksi PEMDA (inconsistency 0,07) ... 223 27 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Payang dalam interaksi PEMDA (inconsistency 0,02) ... 224 28 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Bagan Perahu dalam interaksi PEMDA (inconsistency 0,09) ... 225 29 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Sero dalam interaksi Petugas Keamanan Laut (inconsistency 0,02) ... 226 30 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

JIH dalam interaksi Petugas Keamanan Laut (inconsistency 0,02) ... 227 31 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Payang dalam interaksi Petugas Keamanan Laut (inconsistency 0,09) .. 228 32 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Bagan Perahu dalam interaksi Petugas Keamanan Laut (inconsistency 0,02) ... 229 33 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Sero dalam interaksi Investor (inconsistency 0,09) ... 230 34 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

JIH dalam interaksi Investor (inconsistency 0,02) ... 231 35 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan

Payang dalam interaksi Investor (inconsistency 0,02) ... 232 36 Hasil analisis perbandingan alternatif strategi terkait unit penangkapan


(22)

xxii 37 Perbandingan strategi “tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang Terjadi (HUKUM) vs pengaturan fishing ground bagi setiap unit penangkapan Ikan (F.GROUND)” dengan

mempertimbangkan kepentingan stakeholders terkait ... 234 38 Perbandingan strategi “tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang Terjadi (HUKUM) vs pembakuan batas

kewenangan PEMDA kota dan PEMDA Propinsi (WEWENANG)”

dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholders terkait ... 235 39 Perbandingan strategi “tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang Terjadi (HUKUM) vs pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi (UNIT TKP)” dengan

mempertimbangkan kepentingan stakeholders terkait ... 236 40 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan / pengaruh nelayan di Teluk Lampung (PENG PPI) (RK NELAYAN

= 1,000) ... 237 41 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan / pengaruh Pengelola PPI di Teluk Lampung (PENG PPI) (REK

PENG PPI = 0,503) ... 238 42 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan / pengaruh Pemerintah Kota dan Propinsi di Teluk Lampung

(PEMDA) (RK PEMDA = 0.383) ... 239 43 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan / pengaruh Petugas Keamanan Laut di Teluk Lampung (KMN LAUT) (RK KMN LAUT = 0,272) ... 240 44 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan / pengaruh Investor / Pengusaha di Teluk Lampung (INVESTOR =

0,084) ... 241


(23)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah bahan pangan sumber protein hewani yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Kegiatan yang memproduksi bahan pangan ini di antaranya adalah penangkapan ikan di laut (marine fisheries atau capture

fisheries). Kegiatan ini memiliki ciri di antaranya adalah menangkap ikan-ikan

liar yang hidup di perairan dengan cara menerapkan teknologi penangkapan ikan, bukan menangkap ikan-ikan yang dalam keadaan dibudidayakan. Bersama kegiatan produktif lainnya, perikanan tangkap menjadi sektor ekonomi ini yang merupakan sumber mata pencaharian sebagian masyarakat dan sumber pendapatan negara. Untuk menjamin keberlanjutan dari manfaat sumber daya ikan, perikanan tangkap perlu dikelola dengan baik.

Pengelolaan perikanan pada dasarnya bertujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi ikan dengan cara memelihara keberadaan stok ikan (melalui program konservasi sumber daya ikan), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pemantapan pengelolaan (enhancement). Pengelolaan tersebut diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan sosial para pelaku utama (masyarakat nelayan dan pengusaha perikanan) dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi pemilik kolektif sumber daya alam yang sebenarnya. Salah satu tahap awal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah pengkajian terhadap isu atau permasalahan yang dihadapi sektor perikanan, yaitu tentang aspek ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan etika termasuk kelembagaan sebagai pengkoordinasi dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya secara keseluruhan. Dengan tahap awal seperti itu, upaya atau tindakan yang akan dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dapat dirumuskan sebelum menetapkan kebijakan yang diperlukan.

Keberlanjutan perikanan tangkap dapat dinyatakan sebagai gabungan dari berbagai aspek keberlanjutan, yaitu aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat,


(24)

2 dan kelembagaan (Charles, 2001). Keberlanjutan ekologi (ecological

sustainability) dicirikan oleh terpeliharanya keberlanjutan stok ikan jika

penangkapan ikan dilakukan secara terkendali, yaitu agar produksi ikan tidak melebihi kapasitas atau daya dukung sumber daya ikan, dan terpeliharanya kapasitas ekosistem untuk mendukung keberadaan sumber daya ikan. Keberlanjutan sosio-ekonomi (socio-economic sustainability) dicirikan oleh keberlanjutan kesejahteraan para pelaku perikanan, keberlanjutan usaha perikanan dan (3) Keberlanjutan komunitas / masyarakat (community sustainability) mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat menjadi perhatian pembangunan berkelanjutan, (4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yaitu keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.

Monintja (2005) menyatakan standar yang digunakan pada aspek teknologi untuk kepentingan perikanan yang berkelanjutan terutama perikanan tangkap harus memenuhi beberapa kriteria yaitu : 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku.

Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut di atas, pengelola perikanan diharapkan menyusun rencana pengelolaan perikanan yang akan ditindak-lanjuti oleh stakeholders atau instansi-instansi yang terkait. Secara alamiah, pemanfaatan dan pengelolaan perikanan di suatu wilayah akan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik secara pengakuan maupun karena partisipasinya. Pada prakteknya, karena kepentingan setiap

stakeholders tersebut akan menimbulkan konflik antar stakeholders, sehingga

interaksi mereka menjadi buruk dan menyebabkan ketidak-efisienan pengelolaan perikanan tangkap.

Perikanan tangkap adalah suatu upaya/kegiatan yang menyangkut pengusahaan suatu sumberdaya laut atau perairan umum melalui cara


(25)

3 penangkapan baik secara komersial ataupun tidak komersial. Pada tahun 2003, produksi atau jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan di Teluk Lampung mencapai 22.436 ton. Jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Lempasing, salah satu sentra perikanan tangkap terpenting, semakin mengecil dari waktu ke waktu. Penurunan produksi tersebut memberikan indikasi gejala terjadinya kondisi pengelolaan yang tidak kondusif di kawasan. Untuk mengatasi persoalan ini diperlukan suatu upaya perbaikan pengelolaan, baik dari aspek sosial, teknologi, ekonomi, biologi, maupun etika sehingga kegiatan perikanan tangkap dapat memberikan sumbangsih optimum bagi masyarakat di Teluk Lampung.

Beberapa isu pengelolaan di wilayah Teluk Lampung oleh pihak yang berkepentingan (stakeholders) di wilayah pesisir menurut Renstra Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung tahun 2000 adalah: (1) rendahnya kualitas sumberdaya manusia, (2) rendahnya penataan dan penegakan hukum, (3) belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, (4) penguasaan teknologi rendah, (5) kelembagaan dan pencemaran wilayah pesisir belum baik, (5) kerusakan hutan Taman Nasional dan Cagar Alam Laut, (7) potensi dan obyek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal, (8) belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya, (9) rawan bencana alam (gempa, tanah longsor, banjir); investasi masih rendah, (10) isu pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, dan (11) belum terbangunnya kemitraan yang baik di lokasi.Isu-isu tersebut perlu diperiksa dan dikonsultasikan kepada stakeholders (cross check). Sebagian isu yang terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap akan dikaji lebih dalam, sehingga akan diperoleh model pengelolaan perikanan tangkap yang tepat bagi Teluk Lampung.

Pengembangan wilayah pesisir Propinsi Lampung secara kelembagaan memiliki beberapa kekuatan yang dapat diandalkan, yaitu adanya komitmen dari instansi terkait, seperti Bappeda, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Bapedalda, Dinas PU Pengairan dan Perguruan Tinggi, yang dikoordinasikan oleh Bappeda Propinsi Lampung. Komitmen dari institusi pemerintah yang ingin membangun bersama wilayah pesisir bersama dengan stakeholders dari non-pemerintah, seyogyanya diwujudkan dalam bentuk program-program yang terpadu untuk pengelolaan wilayah pesisir Lampung.


(26)

4 Daerah Lampung berada di sebelah ujung tenggara Pulau Sumatera, terletak pada posisi geofrafis antara 30 45’ LS – 60 45’ LS dan 1030 40’ BT dan 1050 50’ BT. Wilayah pesisir Propinsi Lampung dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian yaitu Pantai Barat (panjang pantai 210 km), Pantai Timur (panjang pantai 270 km), Teluk Semangka (panjang pantai 200 km) dan Teluk Lampung (panjang pantai 160 km). Luas daratan secara keseluruhan 35.376,5 km2

Kota Bandar Lampung adalah ibukota Propinsi Lampung yang berfungsi juga sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, juga merupakan pusat kegiatan perekonomian, pusat perdagangan, industri, dan pariwisata. Letaknya yang strategis, menjadikan Bandar Lampung sebagai daerah transit kegiatan perekonomian antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Sektor ekonomi yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi kota Bandar Lampung secara keseluruhan yaitu sektor perdagangan, jasa hotel dan restoran serta sektor jasa angkutan dan komunikasi.

, panjang garis pantai Lampung 1.105 km (termasuk 69 pulau kecil) dengan dua teluk besar yaitu Teluk Lampung dan Teluk Semangka, serta 184 desa pantai dengan luas total 414.000 ha (Wiryawan et al., 1999; 2002).

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian untuk mendapatkan model pengelolaan perikanan tangkap diperlukan untuk Teluk Lampung. Model tersebut sebaiknya dibangun berdasarkan interaksi yang efisien di antara berbagai stakeholders terkait di lokasi. Untuk mendukung maksud ini, maka diajukan empat permasalahan penelitian yang diharapkan dapat dipecahkan melalui penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah :

1) Selama ini pengaruh aspek internal dan eksternal kegiatan perikanan tangkap terutama untuk pengembangannya ke depan belum diketahui secara jelas. Akibatnya arah pengelolaan yang tepat dan sesuai dengan keunikan dan kondisi lokasi juga sulit ditetapkan. Komposisi unit penangkapan ikan yang optimal dalam mendukung bisnis perikanan tangkap juga belum diketahui


(27)

5 sehingga strategi untuk menekan konflik sulit ditetapkan. Sementara itu, konflik yang ada banyak yang belum selesai dan sering mengganggu kegiatan perikanan tangkap secara keseluruhan di lokasi.

2) Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk

Lampung cukup beragam. Interaksi diantara stakeholders tersebut cenderung mengarah pada pemborosan (mubazir) dan tidak terarah akibat ego masing-masing stakeholders untuk memenuhi kepentingannya. Kondisi ini terkadang menyebabkan benturan atau konflik kepentingan di antara stakeholders; konflik tersebut belum tentu sama sehingga diperkirakan dengan tipologi konflik yang beragam.

3) Selama ini belum ada arahan dan strategi yang jelas untuk pengelolaan perikanan tangkap yang berbasis di PPI Lempasing. Berbagai kebijakan yang ada cenderung tidak menyelesaikan permasalahan konflik karena kurang mengakomodir kepentingan stakeholders yang ada di lokasi. Hal ini dapat disebabkan oleh kebijakan yang tidak disertai dengan petunjuk operasional. Kondisi ini semakin buruk bila ada beberapa jenis kebijakan atau peraturan yang diberlakukan untuk mengatur satu hal namun saling bertentangan. Selain itu, prinsip-prinsip prioritas dan pentahapan dalam pelaksanaan strategi belum dianut, padahal tingkat urgensinya tidak selalu sama.

4) Sejauh ini peran berbagai stakeholders terkait, baik yang terdapat di PPI Lempasing maupun di luar lokasi PPI Lempasing, dalam pelaksanaan strategi atau kebijakan pengelolaan perikanan tangkap belum dipetakan dengan jelas. Kalaupun ada, belum diketahui stakeholders yang berpengaruh secara signifikan dan tidak signifikan dalam mendukung strategi/kebijakan tersebut sehingga peran tersebut tidak dapat diarahkan secara tepat dan lebih berguna bagi kesejahteraan masyarakat di kawasan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk menyusun model pengelolaan perikanan tangkap untuk kawasan Teluk Lampung. Tujuan utama tersebut dicapai dengan:


(28)

6 1. Melakukakan analisis historis mengenai interaksi antar stakeholder perikanan tangkap di Teluk Lampung untuk menentukan tipologi konflik perikanan tangkap, status penyelesaian konflik.

2. Menentukan opsi-opsi strategi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada perikanan tangkap.

3. Melakukan analisis komprehensif mengenai sejumlah faktor yang menentukan penanganan konflik perikanan tangkap.

4. Menentukan komposisi optimum armada penangkapan ikan pelagis di kawasan Teluk Lampung.

5. Menentukan prioritas strategi pengaturan untuk pengelolaan perikanan tangkap pelagis.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan mencakup pembahasan komprehensif terhadap kegiatan perikanan di PPI Lempasing dan Teluk Lampung, suatu kawasan perairan di mana biasanya para nelayan mendapat kemudahan-kemudahan karena lingkungan laut yang secara fisik lebih terlindung sehingga lebih aman dan nyaman untuk operasi penangkapan ikan dibandingkan dengan kegiatan penangkapan ikan di laut terbuka.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dipertimbangkan untuk dijadikan masukan oleh para pembuat keputusan (decision makers), baik di tingkat lokal maupun nasional, bagi pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung, terutama dalam mewujudkan perikanan tangkap yang memiliki tingkat konflik serendah mungkin.

Bagi para peneliti lain, karya ilmiah menyajikan bahasan tentang aspek sosial (kepentingan dan persepsi stakeholder) perikanan tangkap yang secara langsung dapat menentukan kinerja pengelolaan perikanan tangkap. Pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini cukup komprehensif, yaitu mencakup analisis historis, kajian persepsi, analisis kuantitatif untuk mengidentifikasi opsi-opsi strategi pengelolaan, menentukan status pengelolaan, optimasi pengelolaan dan penetapan urutan prioritas strategi pengelolaan yang akan diterapkan.


(29)

7 Kiranya, pendekatan yang diterapkan ini dapat dikaji-ulang untuk penyempurnaannya dalam penelitian-penelitian lainnya.

Selanjutnya, penelitian ini secara tegas menawarkan transformasi pengelolaan perikanan tangkap dari rejim semi-open access menjadi rejim

limited-entry. Transformasi ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi para peneliti

(akademisi) dan pengambil kebijakan (Pemerintah) serta dari kalangan nelayan sendiri. Substansi penelitian ini diharapkan memberikan wawasan yang lebih luas tentang persoalan yang terjadi di perikanan tangkap nasional dan opsi-opsi penanganannya.

1.5 Identifikasi Masalah

Dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung, timbul berbagai konflik dan upaya penyelesaian seperti negosiasi dan jalur hukum telah ditempuh, namun belum banyak membuahkan hasil. Adanya euforia di tengah masyarakat sebagai ekses reformasi yang seolah menghalalkan segala cara dalam menyampaikan tuntutan dan pemaksaan kehendak yang dominan maka penyelesaian konflik semakin jauh dari titik temu pada penyelesaian.

Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan itu, model pengelolaan perikanan tangkap di Teluk masih perlu diperbaiki, mengingat masih cukup banyak terjadi konflik di antara stakeholder terkait. Secara sosial, interaksi yang terjadi di antara stakeholder belum efektif untuk meredam konflik pengelolaan yang ada. Hal ini antara lain karena belum ada strategi/fokus keterlibatan yang tepat dan proporsional bagi stakeholder terkait pengelolaan perikanan tangkap yang terjadi di Teluk Lampung.

1.6 Kerangka Pemikiran

Kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung yang berpusat di PPI Lempasing merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berkembang dengan baik di Indonesia. Saat ini, kawasan ini telah menjadi pemasok penting produk


(30)

8 perikanan ke beberapa lokasi lain di Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Adanya kegiatan ekonomi ini memacu terjadinya berbagai interaksi di antara para stakeholders, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan perikanan tangkap tersebut. Setiap stakeholder

mengambil peran dengan pengelolaan perikanan tangkap sesuai dengan kepentingan masing-masing. Para nelayan berinteraksi melalui kegiatan penangkapan ikan dan menjual hasil tangkapan, pengolah/pedagang berinteraksi melalui kegiatan pembelian hasil tangkapan nelayan, pengolahan, dan penjualan produk perikanan, pengelola PPI berinteraksi melalui kegiatan pengaturan kegiatan bongkar muat di pelabuhan dan proses pelelangan hasil tangkapan, KUD berinteraksi melalui pembiayaan dan penyediaan perbekalan, PEMDA berinteraksi melalui penyediaan fasilitas bisnis dan regulasi, petugas kemanan laut berinteraksi melalui kegiatan pengawasan kegiatan penangkapan dan lainnya di laut, investor/pengusaha berinteraksi melalui kegiatan investasi pada berbagai kegiatan bisnis perikanan tangkap, dan konsumen/masyarakat berinteraksi melalui pembelian produk perikanan. Dalam kaitan interaksi yang rumit ini, maka interaksi stakeholders merupakan hal penting yang perlu dikaji dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Interaksi tersebut perlu diupayakan sehingga lebih efisien dan berguna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Adanya keterbatasan sumberdaya dan perbedaan kepentingan di antara

stakeholders terkadang menyebabkan friksi dan konflik di dalam pengelolaan.

Kasus pemindahan PPI dari Teluk Betung Selatan dan aktivitas nelayan ke PPI Lempasing merupakan contoh dari kondisi yang menyebabkan konflik tersebut. Konflik terkadang semakin rumit bila tidak ada yang mau mengalah dan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingannya. Terlepas hal ini, kegiatan perikanan tangkap yang telah dikondisikan dengan baik dan didukung oleh pola kemitraan dan kesepahaman di antara stakeholders terkait akan tetap berkembang dan inilah yang menyebabkan kegiatan ekonomi berbasis perikanan berkembang baik hingga kini. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan tangkap seyogyanya mampu menumbuhkan interaksi positif, dengan mengeliminir interaksi negatif. Interaksi stakeholders dan komponen lainnya tersebut harus diketahui pengaruhnya dan beberapa kasus harus dianalisis untuk menilai


(31)

9 potensinya dalam menyebabkan konflik. Hal inilah yang menjadi bagian perhatian utama dalam penelitian ini.

Salah satu upaya menyiasati keterbatasan sumberdaya dan perbedaan kepentingan stakeholders adalah mengelola secara optimal sumberdaya perikanan tangkap dengan memperhatikan keterbatasannya sebagai kendala pengelolaan. Perhatian terhadap batas jumlah ikan yang boleh ditangkap, misalnya, dapat mewujudkan pemanfaatan sumber daya yang maksimal tanpa mengganggu kelestarian sumber daya tersebut. Konsep optimalisasi ini (yaitu memaksimumkan manfaat dalam batas-batas tertentu) juga menjadi perhatian dari penelitian ini. Dalam kaitan dengan konflik, konsep pengelolaan ini perlu dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi model yang dapat mengoptimalkan pengelolaan yang ada sekaligus mereduksi atau mengurangi konflik-konflik yang terjadi.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Stakeholders

Model Pengelolaan

(-)

Sumberdaya Terbatas

Perbedaan Kepentingan

Ketidakefektifan Interaksi

Interaksi

Stakeholders/

Komponen

Optimalisasi Pengelolaan


(32)

10 Suatu konflik dapat diselesaikan dengan baik bila kita mengetahui tipologi konflik tersebut, stakeholders yang terkait, dampak dari konflik tersebut, dan kemudian dalam penyelesaiannya metode pendekatan (approach method) yang tepat diterapkan. Keberhasilan dari penyelesaian konflik ini sangat tergantung kepada interaksi stakeholders yang ada, apakah efektif mengarah kepada penyelesaian atau justru memperburuk konflik yang ada. Oleh karena ini, dalam penelitian ini mencoba untuk merumuskan strategi yang tepat untuk mengubah interaksi negatif yang ada menjadi sesuatu yang lebih baik. Kondisi yang diharapkan dari penerapan strategi tersebut adalah interaksi efisien di kalangan

stakeholders. Perumusan strategi ini dapat dilakukandengan cara menganalisis

tingkat pengaruh interaksi terhadap konflik, memilih interaksi yang perlu dicegah dan dibiarkan, dan menetapkan strategi pengelolaan atau pemecahan masalah terkait interaksi stakeholders tertentu. Konsep interaksi tersebut sangat berguna bagi penyelesaian menyeluruh konflik pengelolaan perikanan tangkap dan lainnya di Teluk Lampung.


(33)

11

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan

2.1.1 Konsep hasil maksimum yang lestari

Menurut Clark (1985) keberlanjutan suatu sumberdaya sangat ditentukan oleh terjadi tidaknya keseimbangan biologi dari sumberdaya tersebut berupa regenerasi yang terus menerus dan tidak terganggu oleh upaya pemanfaatan yang diterjadi pada sumberdaya tersebut. Pada bidang perikanan tangkap, ditentukan oleh konsep ”Produksi Maksimum yang Lestari (maximum sustainable yield)” atau yang bisanya disingkat MSY.

Terlepas dari popularitasnya dan kepraktisan penerapannya, penggunaan MSY sebagai acuan kuantitatif pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan mempunyai beberapa kelemahan, seperti dikatakan oleh Fauzi (2005). Kelemahan itu di antaranya adalah:

a. MSY tidak bersifat stabil, karena bila perkiraan stok meleset meskipun tidak terlalu signifikan, rekomendasi yang dibangun dapat menyebabkan pada kehancuran stok.

b. Konsep ini tidak memperhitungkan nilai ekonomis stok jika penangkapan ikan tidak dilakukan.

c. Konsep ini sulit diterapkan pada perikanan yang memiliki ciri ragam jenis

(multi-species).

Namun demikian, menurut Ghofar (2003) konsep MSY juga mempunyai kelebihan dari aspek ekonomis, karena diperlukan tidak banyak data dan cukup disiapkan dalam bentuk analisis sederhana, mudah pengerjaannya, dan gampang dimengerti oleh siapa saja termasuk pengambil kebijakan.

Dalam kaitan dengan peningkatan kesejahteraan manusia, menurut Widodo dan Nurhakim (2002) pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan mempunyai tujuan utama, yaitu :


(34)

12 b. Meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan dan masyarakat

pesisir pada umumnya.

c. Memenuhi kebutuhan industri yang memanfaatkan produksi dari perikanan tangkap.

Menurut Monintja et al. (2002), standar yang digunakan pada aspek teknologi untuk kepentingan perikanan tangkap yang berkelanjutan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu : 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku.

2.1.2 Pemilihan alat tangkap yang ramah lingkungan

Menurut Monintja (2001), ada sembilan kriteria alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan, yaitu mempunyai selektivitas yang tinggi, tidak merusak habitat, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membahayakan konsumen, by-catch rendah, dampak terhadap

biodiversity rendah, tidak membahayakan ikan yang dilindungi, dan diterima

secara sosial.

Suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi bila alat tangkap tersebut dalam operasionalnya hanya menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang sesuai. Sedangkan alat tangkap yang tidak merusak habitat adalah alat tangkap yang tidak merusak terumbu karang dan ekosistem lainnya sebagai tempat hidup dan berkembang berbagai jenis ikan dasar. Terkait ini, maka penilaian tingkat kerusakan habitat yang terjadi akibat operasi alat tangkap, dapat didasarkan pada tingkatan kerusakan :

a. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang lebih luas. b. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit.

c. Menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit. d. Aman bagi habitat.


(35)

13 Alat tangkap yang menghasilkan ikan berkualitas tinggi sangat disukai karena dapat meningkatkan nilai jual. Adapun tingkatan penilaian terhadap ikan hasil tangkapan dari yang berkualitas tinggi ke yang berkualitas rendah adalah (a) ikan hidup, (b) ikan mati namun segar, (c) ikan mati, segar, dan cacat fisik; dan (d) ikan mati dan busuk. Alat tangkap yang tidak membahayakan nelayan sangat diharapkan sehingga nelayan selalu merasa aman baik terutama dalam pengoperasiannya. Produksinya tidak membahayakan konsumen juga merupakan kriteria alat tangkap ramah lingkungan. Hal ini penting karena konsumen merupakan bagian dari lingkungan dan tujuan akhir dari kegiatan perikanan tangkap komersial yang bila terganggu dapat membahayakan kegiatan perikanan tangkap secara keseluruhan. Tingkat bahaya yang mungkin dialami oleh konsumen dari yang paling berbahaya ke yang aman adalah : (a) berpeluang menyebabkan kematian pada konsumen; (b) berpeluang besar menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia; (c) relatif aman bagai konsumen; dan (d) aman bagi konsumen.

Suatu alat tangkap dapat dikatakan mempunyai by-catch rendah bila hasil sampingan/hasil bukan target penangkapan yang dihasilkannya rendah. Ada beberapa kemungkinan by-catch yang didapat dalam penangkapan adalah : (a)

by-catch ada beberapa spesies dan tidak laku dijual di pasar; (b) by-catch ada

beberapa spesies dan ada jenis yang laku dijual di pasar; (c) by-catch kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar; (d) by-catch kurang dari tiga jenis dan mempunyai harga yang tinggi. Sedangkan alat tangkap dikatakan mempunyai dampak terhadap biodoversity rendah bila pengoperasian alat tangkap tersebut tidak merusak pertumbuhan dan kehidupan suatu jenis ikan tertentu. Serta tidak membahayakan ikan yang dilindungi bila alat tangkap tersebut dalam operasinya tidak atau minimal dalam menangkap ikan-ikan yang dilindungi baik karena kelangkaannya maupun karena peran pentingnya dalam ekosistem perairan.

Alat tangkap dikatakan ramah lingkungan juga apabila bisa diterima secara sosial. Kriteria ini penting karena berkaitan dengan penerimaan kultur dan logis yang ada pada msyarakat, yaitu kesesuaian alat tangkap tersebut dengan tata nilai lokal, kesesuaian alat tangkap tersebut dengan peraturan yang berlaku,


(36)

14 kemudahan alat tangkap tesebut disediakan oleh masyarakat, dan memberikan keuntungan dalam penggunaannya.

2.2 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Perairan Pantai dan Teluk

Kawasan pantai sebagai daerah interaksi/ekotone antara perairan laut dengan daratan secara ekologis memiliki peran yang strategis sebagai lahan basah dari pantai ke arah daratan. Kawasan ini bila terdapat di teluk meliputi bagian laut yang menyempit dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan masih dipengaruhi oleh proses alami yang berlangsung di darat seperti distribusi hara, sedimentasi, dan aliran sungai. Lebih lanjut dinyatakan bahwa aktualisasi terhadap penekanan pembangunan nasional tidak akan mampu hanya dengan dukungan sumberdaya dari daratan saja, mengingat luas daratan Indonesia hanya 30% dari luas Indonesia keseluruhan, sedangkan luas perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km2

Untuk mendukung pembangunan perikanan pantai berkelanjutan berdasarkan pokok pikiran pengelolaan perikanan berwawasan lingkungan, dilakukan dengan cara menyusun konsepsi sistem tata ruang dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan.

(70%).

Dari luasan perairan tersebut jelas merupakan suatu potensi sumberdaya dan modal dasar pembangunan nasional yang memegang peranan penting baik secara nasional berupa peningkatan pendapatan masyarakat/pengusaha swasembada pangan, penciptaan lapangan kerja yang produktif, maupun internasional, terutama sebagai sumber devisa negara dari non-migas melalui peningkatan ekspor.

Perikanan tangkap yang tepat di peraiaran pantai dan teluk dalam mengantisipasi kondisi tersebut adalah: (1) profil perikanan pantai yang dapat mendorong pelestarian usaha perikanan dengan menciptakan teknologi tepat guna sesuai daya dukung lingkungan, (2) profil perikanan pantai yang memiliki daya saing komoditi tinggi melalui penekanan biaya produksi serta menjaga mutu produk. Pengembangan perikanan pantai berwawasan industri (agribisnis) selalu mengandalkan peningkatan mutu berkelanjutan.


(37)

15 2.3 Konflik Perikanan Tangkap

Pengelolaan konflik (conflict management) biasanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan sumberdaya termasuk perikanan tangkap. Dalam pengelolaan perikanan tangkap, pemanfaatan yang tanpa batas tersebut sering diterapkan dan lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi. Namun demikian, pada kondisi tertentu, strategi yang tanpa batas tersebut terkadang memperburuk kelangsungan suatu sumberdaya karena agregat dari strategi yang besar dan melampaui daya dukung kelangsungan sumberdaya tersebut. Terkait hal ini, partisipasi masyarakat pesisir menjadi hal penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa aksi strategi yang tanpa batas banyak terjadi pada kegiatan eksploitasi sumberdaya perikanan tangkap yang selain menyebabkan kepunahan pada beberapa spesies ikan juga menyebabkan degradasi lingkungan pada daerah pesisir, masalah sosial, ekonomi, dan politik. Terkait dengan ini, maka perhatian konflik yang terjadi pada perikanan tangkap perlu ditujukan pada masalah konservasi sumberdaya perikanan tangkap dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Pomeroy (2004) menyatakan bahwa pelaku konflik adalah manusia itu sendiri, maka faktor manusia (berbagai stakeholders terkait) perlu diberi perhatian khusus dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, bukan pada faktor sumberdaya ikannya.

Dalam kaitan dengan konflik berbagai stakeholders terkait, pengelolaan konflik selama ini cenderung tidak memberikan hasil yang memuaskan karena ego masing-masing. Menurut Cochrane (2002), ada dua faktor utama yang menyebabkan pengelolaan konflik belum memberikan hasil yang memuaskan, yaitu:

(1) Belum diketahuinya jenis/tipe konflik dengan benar, maka seseorang akan sulit mengelola suatu konflik apalagi pada bidang yang kompleks seperti perikanan tangkap memahami terlebih dahulu jenis/tipe konflik yang akan diselesaikan.


(38)

16 (2) Bila teknik pengelolaan yang efektif tidak diketahui, maka secara otomatis tentu akan sulit didapat hasil penyelesaian konflik yang lebih baik dan tuntas.

2.4 Kemiskinan sebagai Sumber Konflik Perikanan Tangkap

Kemiskinan merupakan masalah dalam pengelolaan perikanan tangkap yang ditandai oleh pengangguran dan keterbatasan lapangan kerja yang kemudian berimbas kepada ketimpangan secara masal. Masyarakat pesisir yang miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas akses pada kegiatan ekonomi produktif sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya.

Kemiskinan ini dapat dibedakan dalam beberapa pengertian, antara lain kemiskinan natural (alamiah) dan kemiskinan struktural, namun umumnya diukur berdasarkan tingkat pendapatan. Dalam makna yang luas, kemiskinan memberikan pengertian yang beragam, dimana masyarakat miskin tidak hanya miskin dari segi ekonomi tetapi juga miskin dari segi lainnya, pendidikan, miskin kesehatan (sering sakit), dan miskin moral (dimensi etika dan spiritual keagamaan). Untuk upaya menanggulanginya diperlukan pendekatan yang komprehensif, bukan hanya bersifat ekonomi saja melainkan juga aspek-aspek lainnya. Menurut Satria (2001), terkait dengan ini, maka program penanggulangan kemiskinan sering disebut dengan istilah “Human Development Investment”.

Program penanggulangan kemiskinan harus diarahkan pada pengembangan manusia (Human Development) yang dilakukan sejak usia balita. Langkah pengembangan manusia harus diawali dengan penyadaran pengertian, keterampilan, pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sendiri, pengambilan keputusan, organisasi, manajemen, wirausaha, dan mengenalkan berbagai fasilitas pembangunan yang tersedia. Dengan langkah-langkah ini diharapkan masyarakat miskin dapat menjadi masyarakat yang bertanggung jawab dan dapat berpartisipasi secara penuh dalam proses pembangunan. Masyarakat ini ditandai oleh kumpulan manusia seutuhnya dan manusia yang berkualitas dengan ciri-cirinya iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, produktif, kreatif, disiplin dan mandiri.


(39)

17 Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 telah mengubah hasil kerja puluhan tahun yang seolah-olah kembali ke titik nol dan praktis menambah angka kemiskinan. Kontribusi krisis moneter ini bagi pendatang baru mungkin masih memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, tetapi bagi yang miskin sejak dahulu seperti nelayan dan keluarganya, petani kecil di desa dan berbagai kalangan yang kehidupannya subsistem serupa akan semakin miskin terpuruk. Bila strategi dan arah kemandirian warga binaan menjadi fokus utama pemberdayaan usaha ekonomi, maka dampak krisis monoter dapat segera teratasi dan masyarakat pesisir akan lebih tahan terhadap berbagai gejolak dan konflik yang terjadi. Kemandirian harus dipahami sebagai kemampuan warga binaan untuk menjangkau fasilitas yang tersedia dan kemampuan mengambil keputusan sendiri untuk mencapai kesejahteraannya. Kemandirian ini harus menjadi cita-cita utama setiap program pemberdayaan yang dilakukan masyarakat pesisir.

Menurut Satria (2001), program penanggulangan kemiskinan yang dewasa ini banyak dilakukan kurang memiliki pemahaman mendalam tentang hakekat kemiskinan, orang miskin dipandang sebagai orang tidak berupaya (The Have Not) bahkan dipandang sebagai beban pembangunan. Hal ini menyebabkan terjadinya salah tafsir dalam pengembangan sumberdaya manusia, dimana pengembangan masyarakat miskin telah dikacaukan menjadi Human

Development/HD (pengembangan manusia) bukan Human Resource

Development, padahal Human Resource Development lebih diarahkan untuk

mendidik tenaga terampil dan handal tanpa semata melihat manusia sebagai obyek.

2.5 Tipikal Kebijakan Perikanan Tangkap

Kebijakan dapat berupa formal law (positive law) dan informal law

(written). Kebijakan (policy) sering diartikan sebagai aturan main atau set of rules

of law. Dalam suatu negara, kebijakan biasanya dibuat oleh pemerintah, dan

kalaupun tidak membuat secara langsung, tetapi pemerintah mempunyai peran dan wewenang untuk melegitimasi dan melindungi kebijakan yang dibuat secara legal oleh suatu lembaga tertentu sebagai aturan internal lembaga tersebut.


(40)

18 Terkait dengan tatanan kenegaraan, kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah dalam rangkah mewujudkan suatu keinginan rakyat. Menurut Abidin (2004), suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan komponen masyarakat dan kehidupan rakyat sangat dipengaruhi oleh proses kebijakan diambil, implementasi kebijakan, dan penilaian/pencitraan kebijakan.

Berdasarkan tingkatannya, kebijakan dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu :

a. Kebijakan umum; kebijakan umum merupakan kebijakan yang dalam bentuk Undang-Undang. Kebijakan umum lebih menekankan pada isu strategis. a. Kebijakan pelaksanaan; kebijakan pelaksanaan merupakan kebijakan dalam

bentuk peraturan pemerintah pusat dan daerah yang biasanya berupa aturan umum operasional. Kebijakan pelaksanaan cenderung memberikan perimbangan pada isu strategis dan masalah teknis.

b. Kebijakan teknis; kebijakan teknis merupakan kebijakan operasional yang dibawahi oleh kebijakan pelaksanaan. Kebijakan teknis lebih menekankan pada masalah teknis yang terjadi di lapangan.

Menurut Tara (2001) dikutip Jusuf (2005), kemajuan yang dicapai oleh suatu masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi dan sosial baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta sehingga dapat menciptakan perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat merupakan suatu bentuk pengelolaan. Terkait dengan ini, pengelolaan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang selalu dilakukan menuju perbaikan kehidupan masyarakat.

Kebijakan pengelolaan (policy management) perlu diupayakan untuk dapat menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir pengelolaan. Kebijakan pengelolaan suatu sumberdaya akan selalu berubah sesuai dengan sifat khasnya yang tidak ditemukan pada sumberdaya lain. Kekhasan sifat tersebut dalam pengelolaan terdapat tiga bentuk sifat utama, yaitu ekskludabilitas, substraktabilitas, dan indivisibilitas. Sifat yang dimiliki pemerintah adalah sifat yang terkait dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses sumberdaya (ekskludabilitas) (Nikijuluw, 2002).


(41)

19 Perikanan tangkap merupakan aktivitas perekonomian yang meliputi penangkapan atau pengumpulan hewan dan atau tanaman air yang hidup di perairan laut atau perairan umum secara bebas. Terkait dengan ini, maka kebijakan pengelolaan perikanan tangkap merupakan acuan legal dari setiap upaya untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation) di perairan laut atau perairan umum secara bebas melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengkayaan

(enhancement) yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Pengelolaan perikanan tangkap perlu diupayakan secara menyeluruh mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Hal ini penting agar tidak terjadi ketimpangan pada salah satu bagian tatkala upaya pengelolaan dikembangkan. Mengacu kepada tujuan pembangunan nasional yang tertuang dalam GBHN 1999, maka semua upaya pembangunan termasuk pengelolaan perikanan tangkap harus diarahkan pada : (a) meningkatkan aktivitas perekonomian rakyat yang berorentasi global sesuai dengan perkembangan teknologi yang dibangun secara kooperatif demi kesejateran rakyat yang adil dan merata; (b) menumbuhkan ekonomi rakyat yang bertumpuh pada mekanisme pasar dengan daya saing yang sehat dan berkualitas serta mampu melindungi hak-hak konsumen dan seluruh rakyat; dan (c) meningkatkan peran pemerintah dalam mengoreksi kondisi pasar yang tidak sehat, mengupayakan kehidupan masyarakat yang lanyak, memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi lebih efisien, dan mengembangkan kebijakan makro dan mikro ekonomi secara sinergis dan terkoordinir.

Dalam kaitan dengan pengelolaan kebijakan ini, ada empat kategori kebijakan umum (Buck,1996 diacu oleh Nikijuluw, 2002), yaitu kebijakan distributif (distributive policy), kebijakan pengaturan kompetisi (competitive

regulatory policy), kebijakan pengaturan perlindungan (protective regulatory

policy), dan kebijakan redistributif (redistributive policy). Dari keempat kategori

kebijakan tersebut, kebijakan distributif dan redistributif merupakan kebijakan yang sangat kontroversial, dimana kehendak pemerintah akan selalu bertentangan dengan pelaksanaan kebijakan. Kebijakan ini akan lebih efektif jika dilakukan pada bidang ekonomi dan keuangan. Selanjutnya dinyatakan oleh Jentoft (1989)


(42)

20 yang diacu Nikijuluw (2002) bahwa pemerintah ikut mengelola sumberdaya perikanan karena alasan efisiensi, keadilan dan administrasi. Di sisi lain, partisipasi masyarakat dapat mempengaruhi seluruh proses kebijakan mulai dari perumusan, pelaksanaan dan penilaian kebijakan. Abidin (2004) menyatakan bahwa kebijakan merupakan pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Hal penting yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pengelolaan adalah analisis kebijakan (De Coning, 2004). Menurut Hogwood and Gunn (1986), terdapat tujuh jenis analisis kebijakan yang perlu dilakukan oleh pembuat kebijakan sehingga kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan nyata, yaitu : a. Studi-studi isi kebijakan (studies of policy content). Studi ini menggambarkan

dan menjelaskan asal mula serta perkembangan kebijakan.

b. Studi-studi tentang proses kebijakan, yang lebih menjelaskan tahap-tahap yang dilakukan dalam implementasi kebijakan pemerintah sebelumnya dengan menilai pengaruh dari usaha-usaha yang dilakukan dan berbagai faktor yang berkaitan.

c. Studi mengenai output kebijakan (studies of policy outputs) pada umumnya menjelaskan tingkat pengeluaran biaya yang berbeda dari setiap daerah.

d. Studi-studi evaluasi (evaluation studies) batas-batas antara analisis kebijakan, untuk melihat dampak dari suatu kebijakan terhadap kelompok sasaran.

e. Informasi untuk pembuatan kebijakan (information for policy making). Hal diperoleh dalam bentuk penyusunan dan pengumpulan data guna membantu pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan

f. Proses nasehat (process advocacy), merupakan proses pemberian saran/masukan yang dilakukan dalam berbagai moment menyempurnakan kinerja pemerintah.

g. Nasehat kebijakan (policy advocacy) kegiatan yang melibatkan analis dalam pemilihan alternatif yang mendesak dalam proses kebijakan baik secara perorangan maupun kelompok/kerjasama.

Weimer dan Vining (1998) menyatakan bahwa produk dari analisis kebijakan merupakan saran (advice) yang berorientasi pada pengguna yang berkaitan dengan keputusan-keputusan publik dengan mengindahkan nilai-nilai


(43)

21 sosial. Kebijakan merupakan proses sintesa informasi untuk menghasilkan suatu rekomendasi opsi disain kebijakan publik.

2.6 Arahan Kebijakan Perikanan Tangkap

Menurut Lawson (1984), pemerintah perlu mengambil beberapa kebijakan dalam pengelolaan perikanan tangkap sehingga pengelolaan tersebut tetap berkelanjutan. Kebijakan tersebut dapat mencakup pembatasan alat tangkap

(restriction on gears), penutupan musim (closed season), penetapan kuota

penangkapan, penutupan area (closed area), dan pembatasan ukuran ikan yang didaratkan.

Kebijakan pembatasan alat tangkap diperlukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang berlebihan dan merusak. Di samping itu, kebijakan ini juga dapat diambil dengan alasan politik yang bersifat melindungi nelayan dari masuknya alat-alat tangkap yang merusak atau berlebihan pada suatu fishing ground tertentu.

Menurut Beddington (1983) di dalam Nikijuluw (2002), ada dua bentuk penutupan musim yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu : (a) penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada berbagai spesies ikan melakukan pemijahan dan berkembang biak; (b) penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan mengalami degradasi dan bila ditangkap terus akan punah. Hal ini penting untuk memberi kesempatan kepada ikan tertentu untuk memperbaiki populasinya.

Penetapan kuota penangkapan merupakan suatu cara pengendalian jumlah ikan yang ditangkap oleh suatu industri perikanan tangkap. Kebijakan ini biasanya didasarkan pada pemberian hak kepada industri atau usaha perikanan tangkap untuk menangkap sejumlah ikan tertentu di perairan. Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang dapat diperbolehkan ditangkap (total allowable

catch/TAC), yang dapat dibagi per nelayan atau per armada penangkapan. Bila

karena sesuatu hal, hak kuota tersebut dapat ditransfer atau dialihkan kepada nelayan lainnya.


(44)

22 Kebijakan yang berkaitan dengan penutupan area dapat berupa penghentian kegiatan penangkapan ikan secara resmi oleh pemerintah di suatu perairan. Kebijakan ini dapat berlaku permanen atau dapat juga berlaku untuk waktu tertentu. Pada beberapa negara, kebijakan seperti ini juga diberlakukan secara khusus terhadap beberapa kapal ikan dengan jenis dan ukuran alat tangkap tertentu.

Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan juga merupakan bentuk kebijakan yang bisa diambil dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Pembatasan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada ikan yang masih muda untuk tumbuh dan berkembang hingga ukuran tertentu yang mempunyai nilai jual. Kebijakan pembatasan ukuran ikan yang didaratkan ini sangat bermanfaat terhadap pengontrolan komposisi dan ukuran individu ikan hasil tangkapan.

2.7 Sistem Perikanan Tangkap

Sistem perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen kerja yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan sama lainnya. Menurut Kesteven (1973) dimodifikasi oleh Monintja (2001), komponen kerja sistem perikanan tangkap terdiri dari (1) sumberdaya manusia; (2) proses produksi; (3) sarana produksi; (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; (6) unit pemasaran; dan (7) ekspor.

Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat dibutuhkan sumberdaya manusia yang cukup tangguh, handal dan profesional. Untuk memperoleh tenaga-tenaga yang trampil dan mempunyai skill, maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap sumberdaya manusia tersebut. Pembinaan merupakan modal dasar dalam mencetak sumberdaya manusia yang siap pakai dalam pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan secara optimal.


(45)

23 SDM Masyarakat

Konsumen

Modal EKSPOR

Teknologi Transportasi

Pembinaan Devisa

Domestik Dijual

SARANA PRODUKSI UNIT PEMASARAN

Galangan Kapal Membayar Distribusi

Pabrik Alat Penjualan

Diklat Tenaga Kerja Segmen Pasar

PROSES PRODUKSI

UNIT PENANGKAPAN Produk Kapal PRASARANA Dijual

Alat PELABUHAN

Nelayan Diolah

UNIT PENGOLAHAN

ASPEK LEGAL Menangkap Handling

Sistem Informasi Processing

Packaging UNIT SUMBERDAYA

Spesies

Habitat Hasil Tangkapan

Musim/Lingkungan Fisik Didaratkan

Usaha penangkapan atau proses produksi perikanan tangkap merupakan komponen sistem perikanan tangkap yang menginteraksikan berbagai sub komponen di dalamnya menjadi suatu kegiatan yang teratur untuk menghasilkan Membangun

Membuat

Menyelenggarakan

Gambar 2 Interaksi komponen kerja sistem perikanan tangkap (Kesteven, 1973 dimodifikasi oleh Monintja, 2001).


(46)

24 suatu paket output berupa hasil tangkap. Sub komponen yang termasuk dalam usaha penangkapan ini adalah kapal, alat tangkap, nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumberdaya (spesies, habitat dan lingkungan fisik).

Menurut Kesteven (1973), sarana produksi merupakan indikator utama penunjang ke arah berkembangnya usaha perikanan tangkap. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994), pelabuhan perikanan adalah pusat pengembangan ekonomi ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. Keputusan bersama Mentan dan Menhub (Pasal 1) No. 493/KPTS/IK.410/7/96 dan No. SK.2/AL.106/PNB-96 menyatakan bahwa pelabuhan perikanan sebagai prasarana perikanan adalah tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas di darat dan di perairan sekitarnya, untuk digunakan sebagai pangkalan operasional, tempat berlabuh, bertambat, mendaratkan hasil, penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan.

Unit pengolahan bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan dengan melakukan penanganan yang tepat dan mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higenis dan terhindar dari sanitasi. Unit pengolahan ini terdiri dari handling atau penanganan, processing dan packaging. Pada masyarakat nelayan, unit pengeolahan ini sederhana dan masih bersifat tradisional yang kegiatannya meliputi penggaraman, pendinginan, pengeringan dan pengasapan (Moeljanto, 1996).

Sedangkan unit pemasaran merupakan komponen kerja terakhir sekaligus tujuan sistem perikanan tangkap karena dari unit pemasaran ini dihasilkan transaksi yang dapat menutupi biaya kerja sistem dan memberikan keuantungan


(47)

25 bagi pelakunya. Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Dalam sistem perikanan tangkap, produsen merupakan masyarakat nelayan yang menyiapkan hasil tangkap dengan kualitas tertentu dan konsumen merupakan pihak lain baik industri maupun perorangan yang membayar hasil tangkapan dengan harga tertentu.

2.8 Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap

2.8.1 Pengembangan sumberdaya manusia melalui kegiatan usaha ekonomi

Program pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat pesisir merupakan upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia perikanan tangkap dari aspek sosial ekonomi. Program pemberdayaan ini penting dalam rangka penanggulangan kemiskinan mencakup berbagai aspek kehidupan, sehingga pendekatannya harus bersifat holistik. Peningkatan akses dan pelibatan dalam ekonomi merupakan ujung tombak dari pendekatan holistik itu.

Menurut Satria (2001), program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir bisa dilakukan untuk semua strata dan latar belakang usaha masyarakat pesisir, dan dalam pelaksanaanya harus memperhatikan dan menghargai posisi dan stratifikasi sosial yang ada. Terkait dengan ini, maka perluasan akses dan peningkatan partisipasi masyarakat pesisir dalam kegiatan ekonomi pesisir sangatlah penting memperhatikan latar belakang setiap masyarakat pesisir sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak/strata tertentu. Untuk itu, maka program pemberdayaan harus dilakukan beriringan dengan perbaikan sistem pendukungnya yang mendorong peningkatan produksi dan pendapatan serta mempercepat proses penanggulangan kemiskinan masyarakat pesisir. Sumber daya manusia adalah komponen input dari setiap subsistem (komponen). Produk barang dan jasa adalah output dari setiap subsistem. Interaksi antar sistem diwujudkan tidak hanya dalam bentuk aliran barang dan jasa, tetapi juga oleh respon pelaku internal.


(48)

26 Kebijakan yang dapat diambil berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir sebaiknya mencakup aspek usaha, SDM, dan lingkungan. Pemberdayaan usaha merupakan upaya peningkatan kualitas usaha perikanan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan aspek usaha ini, yaitu :

a. Inovasi teknologi dalam peningkatan akses informasi, pasar, bantuan modal dan transfer pengetahuan yang dapat mendorong efisiensi produksi, efektifitas manajemen dan modernsisasi alat-alat maupun faktor produksi, menjadi tahapan yang harus ditempuh.

b. Pengembangan asuransi perikanan tangkap. Pengembangan asuransi ini penting untuk mengurangi tingginya tingkat resiko kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan kecil.

c. Program kemitraan yang diarahkan untuk menciptakan hubungan yang paling menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi antara kelompok pelaku usaha besar dengan nelayan kecil.

Pengembangan SDM merupakan langkah peningkatan kualitas SDM baik dalam konteks pola sikap dan perilaku, keterampilan, kemampuan manajerial, maupun aspek gizi. Salah satu langkah yang perlu dikembangkan dan mesti diteruskan adalah pelatihan kredit mikro system grameen bank. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajemen organisasi masyarakat pesisir serta untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan kelompok dalam penyediaan modal usaha. Diharapkan terjadi peningkatan kualitas masyarakat pesisir dalam berorganisasi, mengakses modal usaha, dan pengelolaan modal dalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan.

Pengembangan lingkungan merupakan langkah penting dalam mencegah dan mengatasi terjadinya kemiskinan alamiah sekaligus merupakan pintu bagi terwujudnya perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Langkah pemberdayaan lingkungan tersebut mencakup peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat pesisir dalam konservasi sumberdaya perikanan tangkap. Konservasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir dapat berupa penebaran bibit ikan potensial, perlindungan kawasan terumbu karang dan rebosasi hutan mangrove.


(49)

27 Berbagai program penanggulangan kemiskinan baik yang dilakukan oleh Dinas/Instansi Pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki elemen-elemen pendekatan yang sama yaitu : (a) Pendekatan kelompok; (b) Pendekatan modal/dana sebagai pemicu kegiatan ekonomi; (c) Pendampingan pada kelompok-kelompok masyarakat warga binaan; (d) Pendayagunaan sumber daya setempat. Secara kuantitatif program penanggulangan kemiskinan tersebut telah banyak memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan

absolute, dimana pada tahun 1972 jumlah penduduk miskin berjumlah 69 juta

orang menjadi 22 juta orang atau 11,3% pada tahun 1997 (BAPPENAS, 1998). Terlepas dari ini, ada kekhawatiran dan keraguan tentang efektifitas sumberdaya yang telah kita alokasikan pada program kemiskinan tersebut mengingat program tersebut terlalu berat bila harus dilakukan sendiri secara mandiri oleh masyarakat pesisir. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengarahkan, membina dan mengendalikan ke arah yang benar sehingga terwujud perubahan struktur masyarakat yang lebih mandiri. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa peran aparatur Negara harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan dan memberdayakan.

2.8.2 Pengembangan usaha perikanan tangkap secara terpadu

Usaha perikanan tangkap terbentuk dari keterkaitan antara faktor-faktor atau elemen-elemen yang bekerja dalam sebuah sistem yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu tujuan. Pengembangan usaha perikanan tangkap perlu diarahkan sehingga sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang tujuan pembangunan perikanan. Tujuan pembangunan perikanan yang dimaksud dalam UU No. 31 Tahun 2004 adalah pengembangan teknologi perikanan tangkap yang dapat menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok produksi, menghasilkan produk yang bermutu dan tidak merusak lingkungan khususnya sumberdaya ikan.

Monintja (2001) menyatakan apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat


(1)

237 Lampiran 39 Perbandingan strategi ”tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) vs pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi (UNIT TKP)” dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholders terkait


(2)

238 Lampiran 40 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan/pengaruh Nelayan di Teluk Lampung (PENG PPI) (RK NELAYAN = 1,000)


(3)

239 Lampiran 41 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan/pengaruh Pengelola PPI di Teluk Lampung (PENG PPI) (RK PENG PPI = 0,503)


(4)

240 pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan/pengaruh Pemerintah Kota dan Propinsi di Teluk Lampung (PEMDA) (RK PEMDA = 0,383)


(5)

241 Lampiran 43 Hasil uji sensitivitas strategi tindakan hukum yang tegas terhadap

pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan/pengaruh Petugas Keamanan Laut di Teluk Lampung (KMN LAUT) (RK KMN LAUT = 0,272)


(6)

242 pelanggaran yang terjadi (HUKUM) terhadap perubahan kepentingan/pengaruh Investor/Pengusaha di Teluk Lampung (INVESTOR) (RK INVESTOR = 0,084)