Kebijakan Kelautan dan Perikanan

61 Tabel 3 lanjutan No Jenis Data Sumber Data Keterangan 9. Nelayan DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang Dikelompokkan berdasarkan nelayan tetap, pendatang, utama sambilan 10. Informasi sosial, ekonomi budaya i BPS Provinsi Banten ii Wawancara dengan nelayan dan masyarakat sekitar Teluk Banten 11. Informasi jaringan pasar hasil perikanan tangkap i DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang ii Wawancara dengan pedagang dan pengolah ikan 12. Informasi keberadaan lembaga formal dan non formal pengelola kawasan i Survei lapang ii Wawancara 13. Informasi kebijakan pemerintah daerah terkait pengelolaan perikanan tangkap i DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang ii Penyebaran kuesioner untuk analisis SWOT dan AHP Survei pemanfaatan ruang dan kondisi riil teluk dilakukan dengan menggunakan kapal pengawas milik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang. Penentuan titik ordinat aktivitas pemanfaatan teluk untuk perikanan tangkap dan budidaya dilakukan dengan menggunakan GPS. Informasi yang terkait unit penangkapan ikan diperoleh dengan menggunakan wawancara dan penyebaran kuesioner. Kuisioner terdiri dari kuisioner unit penangkapan ikan, di dalamnya berisi tentang alat tangkap jenis, dimensi, harga, kapalperahu jenis, dimensi, harga, alat bantu penangkapan, operasi penangkapan penangkapan ikan jumlah ABK, sistem bagi hasil, biaya dan waktu operasi penangkapan, metode operasi, komposisi hasil tangkapan pada waktu musim paceklik, sedang, dan puncak, daerah penangkapan, pemasaran hasil tangkapan, pembiayaan. Kuisioner kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan meliputi persepsi lokal terhadap kondisi, potensi konflik, dan nilai ekonomi sumber daya perikanan, organisasi nelayan, sosial ekonomi nelayan, dan peningkatan kapasitas nelayan. Wawancara dilakukan terhadap nelayan yang ada di Karangantu, Terate, Wadas dan Kepuh, yang memiliki alat tangkap gill net 15 orang, atau 10 dari 62 146 orang, dogol 3 orang, atau 9 dari 32 orang, bagan perahu 4 orang, atau 8 dari 24 orang, bagan tancap 1 orang, atau 4 dari 52 orang, payang 6 orang, atau 5 dari 120 orang, pancing ulur 2 orang, atau 6 dari 24 orang, sero 1 orang, atau 2 dari 45 orang, dan rampus 6 orang, atau 7 dari 40 orang. Jumlah sampel diambil secara purposive sampling sehingga dianggap mewakili populasi yang ada. Data yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah daerah terkait dengan pengelolaan Teluk Banten dikumpulkan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 9 responden yang dianggap mewakili populasi purposive sampling untuk kebutuhan analisis SWOT. Kesembilan responden tersebut terdiri dari tujuh orang staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang, dan dua orang staf PPN Karangantu. Adapun untuk kebutuhan analisis AHP, kuesioner disebarkan kepada 11 responden, terdiri dari pemilik kapal satu orang, petugas TPI satu orang, staf DKP Provinsi Banten dua orang, kepala dan staf DKP Kabupaten Serang tujuh orang. Data sekunder bersumber dari berbagai hasil-hasil penelitian sebelumnya dan atau laporan-laporan institusional pada sejumlah sektor produksi yang ada. Sektor produksi yang dimaksud, tidak saja pada kelompok sektor primer akan tetapi juga mencakup kelompok sektor sekunder dan tersier. Jenis data sekunder yang dibutuhkan untuk keperluan penyusunan profil investasi ini antara lain menyangkut potensi produksi, potensi kebutuhan pasar baik lokaldomestik maupun pasar ekspor, potensi ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia, harga produk untuk pasar lokaldomestik dan ekspor. Studi literatur terhadap model pengelolaan dan pengembangan wilayah serta identifikasi faktor- faktor pengembangan kawasan; dan diskusi dengan pakar dan narasumber. 3.4 Analisis Data Analisis data ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian: 1 Mengevaluasi status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan tangkap di kawasan Teluk Banten; 2 Menentukan komoditas unggulan dalam pengembangan kawasan perikanan tangkap; 3 Menentukan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan; 4 Menyusun zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten; 5 Menyusun strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap; 6 Mensimulasikan model pengelolaan kawasan perikanan 63 tangkap terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan di Teluk Banten. 3.4.1 Status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan tangkap 3.4.1.1 Potensi sumber daya ikan Metode Produksi Surplus digunakan untuk menghitung potensi lestari MSY dan upaya optimum dengan cara menganalisis hubungan upaya penangkapan f dengan hasil tangkapan per satuan upaya CPUE. Data yang diperlukan berupa data hasil tangkapan catch dan upaya penangkapan effort, sedangkan pengolahan data melalui pendekatan Schaefer. Hubungan hasil tangkapan catch dengan upaya penangkapan effort Schaefer 1957 adalah: r Kf q qKf Y 2 2   3-1 Keterangan: r = recruitment K = carrying capacity q = fishing capacity f = Effort Mengingat sifat perikanan di daerah tropis khususnya di Indonesia adalah multispecies dan multigear, maka untuk menghitung potensi didasarkan pada perhitungan tiap spesies. Karena nilai q, K dan r merupakan suatu konstanta yang nilainya bisa diketahui, maka fungsi tersebut di atas dapat disederhanakan menjadi: 2 bf af Y   jika b a f  atau  Y jika b a f   3-2 Nilai maksimum dari persamaan tersebut akan dicapai pada saat upaya: b a f msy 5 .   3-3 Dan hasil tangkapan maksimumnya pada tingkat f msy : b a C msy 2 25 .   3-4 Upaya penangkapan optimum yang diperoleh berdasarkan perhitungan model surplus produksi adalah merupakan upaya penangkapan standar yang disusun atas beberapa jenis alat penangkapan ikan, sehingga jumlah upaya penangkapan ikan dari masing-masing jenis alat penangkapan ikan harus 64 diketahui. Standarisasi alat tangkap dilakukan dengan menggunakan metode langsung seperti yang diusulkan oleh Robson 1966 diacu dalam Guland 1983. Metode ini bekerja berdasarkan konsep daya tangkap relatif. Bila dua kapal melakukan penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi yang sama, maka daya tangkap relatif kapal A relatif terhadap kapal B adalah: PAB = CPUE dari kapal B 3-5 CPUE dari kapal A Kapal A sering disebut sebagai kapal standar, sehingga apabila jumlah kapal A NA dan jumlah kapal B NB maka upaya penangkapan secara keseluruhan adalah: NB B PA NA Ftotal . 1   3-6

3.4.1.2 Model bio-ekonomi bionomi

Model bio-ekonomi penangkapan ikan biasanya didasarkan pada model biologi Schaefer 1954, 1957 dan model ekonomi dari Gordon 1954. Clark 1985 kemudian menyebut persamaan tersebut sebagai model Gordon- Schaefer. Menurut Gordon 1954 asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna. Harga ikan p dan biaya marginal upaya penangkapan masing-masing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan. Berdasarkan asumsi tersebut, total penerimaan dari usaha penangkapan TR digambarkan dengan persamaan: pY TR  3-7 Sedangkan total biaya penangkapan TC digambarkan dengan persamaan: cf TC  3-8 Penerimaan bersih keuntungan dari usaha penangkapan ikan  adalah: cf pY TC TR      3-9 3.4.2 Komoditi unggulan

3.4.2.1 Keunggulan komparatif

Komoditi unggulan dianalisis dengan menghitung Location Quotient LQ dan indeks spesialisasi IS. Indeks LQ merupakan indikator sederhana yang dapat menunjukkan kekuatan atau besar kecilnya peranan suatu sektor dalam 65 suatu daerah dibandingkan dengan daerah di atasnya atau wilayah referensi Daryanto dan Hufizrianda 2010. Besarnya nilai LQ dapat didekati dengan pendekatan tenaga kerja dan nilai tambah Daryanto dan Hufizrianda 2010, dalam penelitian ini dimodifikasi dengan pendekatan jumlah produksi sumber daya ikan yang secara bionomi menguntungkan. Model LQ dengan pendekatan jumlah produksi adalah:            p l t i Y Y C C LQ 3-10 Keterangan: C i = Jumlah produksi jenis ikan i pada lokasi penelitian C t = Jumlah produksi jenis ikan i pada Provinsi Banten Y l = Total produksi seluruh jenis ikan pada lokasi penelitian Y p = Total produksi seluruh jenis ikan pada Provinsi Banten LQ1, menunjukkan bahwa suatu komoditi memiliki potensi ekspor sektor basis, kemampuan terlokalisasi di suatu wilayah, dan memiliki daya-saing sebagai suatu komoditas unggulan dibandingkan wilayah lainnya. LQ1, komoditi tersebut diimpor, dan LQ=1, menunjukkan komoditi tersebut bersifat tertutup karena tidak melakukan transaksi ke dan dari luar wilayah.

3.4.2.2 Indeks spesialisasi IS

Analisis indeks spesialisasi merupakan salah satu cara untuk mengukur perilaku kegiatan ekonomi secara keseluruhan Daryanto dan Hafizrianda 2010. Pendekatan yang dilakukan sama dengan LQ, yakni berdasarkan pendekatan produksi yang dihitung melalui tahapan: 1 menghitung persentase jumlah produksi tiap jenis ikan di Teluk Banten terhadap total produksinya; 2 menghitung persentase jumlah produksi tiap jenis ikan di Provinsi Banten terhadap total produksinya; 3 menghitung selisih antara prosentase yang diperoleh pada tahap ke-1 dengan ke-2, kemudian nilai-nilai selisih yang bertanda positif dijumlahkan, selanjutnya total nilai tersebut dibagi dengan 100 untuk mendapatkan nilai IS. 66 Keputusan yang diambil semakin besar nilai IS, maka akan semakin tinggi tingkat spesialisasi sektoralkomoditi di wilayah tersebut yang terkonsentrasi pada sektor-sektor yang mempunyai nilai selisih persentase positif.

3.4.2.3 Keunggulan kompetitif

Keunggulan kompetitif dapat didekati dengan menggunakan analisis input-output I-O. Analisis I-O dapat menunjukkan seberapa besar aliran keterkaitan antarsektor dalam suatu perekonomian Daryanto dan Hafizrianda 2010, Djakapermana 2010. Mengingat keterbatasan data terkait dengan analisis ini, maka keunggulan kompetitif tidak dilakukan. 3.4.2.4 Deskriptif Analisa secara deskriptif dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode skoring, dilakukan terhadap beberapa parameter yang bisa dijadikan acuan yang menunjukkan komoditi unggulan yaitu nilai produksi, harga, wilayah pemasaran, dan nilai tambah tiap sumber daya ikan yang menguntungkan secara bionomi, yang selanjutnya dilakukan standarisasi fungsi nilai. Parameter nilai produksi didasarkan pada tinggi rendahnya nilai produksi pada jenis ikan unggulan. Skor 1 diberikan pada jenis ikan yang memiliki nilai produksi tertinggi diantara komoditi unggulan, dan skor 0 pada jenis ikan yang memiliki nilai produksi terendah. Jenis ikan yang memiliki nilai produksi diantara nilai terendah dan tertinggi diberi skor sesuai dengan hasil perhitungan fungsi nilai. Penentuan skor pada parameter harga ikan, sama dengan parameter nilai produksi, yaitu didasarkan pada tinggi rendahnya harga jual ikan diantara komoditi unggulan. Skor 1 diberikan pada jenis ikan yang memiliki harga jual ikan tertinggi diantara komoditi unggulan, dan skor 0 pada jenis ikan yang memiliki harga jual ikan terendah. Jenis ikan yang memiliki harga jual diantara nilai terendah dan tertinggi diberi skor sesuai dengan hasil perhitungan fungsi nilai. Wilayah pemasaran didasarkan pada jangkauan pemasaran yaitu lokal, nasional, dan internasional ekspor. Jangkauan pasar lokal diberi skor 1, nasional diberi skor 2, dan internasional ekspor diberi skor 3. Penilaian terhadap adanya nilai tambah pada ikan didasarkan pada ada tidaknya produk lanjutan produk olahan setelah produk segar pasca penangkapan dan jumlah tenaga kerja yang terlibat selain ABK. Skor 1 diberikan pada produk ikan yang dijual hanya dalam bentuk segar dan tidak ada 67 tenaga kerja yang dilibatkan, skor 2 diberikan pada produk ikan yang dijual dalam bentuk segar, olahan asin kering maupun rebus dengan melibatkan tenaga kerja kurang dari lima orang, dan skor 3 diberikan pada produk ikan yang dijual dalam bentuk segar, olahan asin kering maupun rebus dengan melibatkan tenaga kerja lebih dari lima orang.

3.4.3 Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan berkelanjutan

Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah teknologi penangkapan ikan pada suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut tidak merusak dasar perairan, tidak berdampak negatif terhadap biodiversity, target resources dan non target resources. Analisis teknik dilakukan untuk melihat jenis alat tangkap apa saja yang digunakan dikaitkan dengan jenis hasil tangkapan yang diunggulkan. Seleksi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dilakukan dengan menggunakan analisis multi-kriteria, yang meliputi aspek biologi, teknik, sosial, dan ekonomi. Kriteria yang digunakan dalam penelitian didasarkan pada sembilan kriteria yang terdapat dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF. Penilaian dilakukan dengan cara mengamati teknologi penangkapan setiap jenis alat tangkap yang ada di Teluk Banten dan membandingkannya dengan kriteria CCRF untuk diberikan bobot penilaian. Berdasarkan kriteria dan pembobotan tersebut, maka selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan metode skoring. Skor terendah diberikan nilai 1 dan tertinggi diberi nilai sesuai dengan urutan pembobotan yang terbaik Tabel 4. Masing- masing jenis alat tangkap diberi skor pada setiap kriteria dan sub kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Langkah berikutnya adalah standarisasi nilai dengan menggunakan fungsi nilai Mangkusubroto dan Trisnadi 1987, dengan rumus: Xo Xi Xo X x V    ;   Xi Vi A V , untuk i= 1,2,3,.......,n 3-11 Keterangan: Vx = fungsi nilai dari variabel x; X = variabel x; Xo = nilai terburuk kriteria x; VA = fungsi nilai dari alternatif A; ViXi = fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i;