Model pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten

bagan congkel bagan perahu, yang dilengkapi dengan lampu pada satu tahun terakhir. Jika dikaitkan hasil perhitungan standarisasi alat tangkap, cumi-cumi banyak tertangkap dengan dogol karena memang alat tangkap ini sangat produktif melakukan upaya penangkapan, tidak hanya ikan demersal saja tetapi juga ikan pelagis, apalagi sebelum ada SK pelarangan dan sampai saat ini memang belum ada yang dapat menggantikan. Keberadaan bagan perahu sendiri hanya ditemukan di Karangantu, P. Panjang dan sebagian di Kepuh. Perikanan cumi-cumi, baru dimanfaatkan sebesar 39,62, sehingga masih dapat dioptimalkan lagi mengingat perikanan cumi-cumi secara biologi dan ekonomi menguntungkan. Bahkan keuntungan terbesar diperoleh perikanan ini dibandingkan dengan jenis ikan lain. Keuntungan pada saat MEY adalah 6.937,99 juta rupiah yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 13,407 trip dengan hasil tangkapan sebesar 363,66 ton. Penangkapan cumi-cumi harus diupayakan menggunakan alat tangkap yang menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan seperti bagan perahu, karena memang efektif dan hasil tangkapan masih segar. Perairan Teluk Banten pada saat musim cumi-cumi, yaitu bulan Maret 2010 pada saat penelitian berlangsung hasil tangkapannya mencapai 38,17 ton di Karangantu, dan 1,09 ton di Terate. Berkurangnya sumber daya ikan pelagis disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah sangat beragamnya alat tangkap yang digunakan, jumlah alat tangkap banyak, daerah penangkapan yang terbatas dan semakin sempit. Untuk menangkap cumi-cumi misalnya selain bagan juga tertangkap dengan payang, gillnet dan bahkan sero. Bagan apung bagan congkel dan payang tingker menggunakan fishing ground yang sama, kedua alat tangkap tersebut sama- sama menggunakan alat bantu lampu untuk mengumpulkan ikan tujuan tangkap. Dengan demikian kondisi ini juga harus dipecahkan, mungkin bisa diatur atau diarahkan fishing ground yang lebih jauh dari kawasan Teluk Banten tetapi masih dalam pengaturan wilayah tangkap Kabupaten Serang, yaitu sejauh 4 mil dari pantai yang diukur pada saat surut terendah. Secara umum kondisi perikanan pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami lebih tangkap, estimasi petensi pelagis kecil di WPP 712 sebesar 380 ribu tontn. Terkait dengan jumlah alat tangkap yang banyak, Pemerintah sudah harus berpikir untuk menggunakan alat tangkap yang selektif, dan mendata kembali secara langsung dan benar alat tangkap apa aja yang masih layak dioperasikan dan yang betul-betul tidak dimanfaatkan lagi. Berdasarkan pengamatan selama penelitian pendataan tidak berjalan secara optimal baik terkait data hasil tangkapan maupun kapal penangkap ikan. Hanya satu TPI yang efektif berjalan baik, yaitu TPI Terate. TPI Wadas dan Kepuh tidak ada sistem lelang dan terkesan asal ada, sedangkan di TPI Karangantu walaupun terjadi transaksi perdagangan yang ramai, namun kondisi nelayan tangkap masih tergantung pada “juragan”. Satu juragan bisa menjadi pembeli lebih dari 10 kapal, dan pedagang pengecer maupun masyarakat biasa penduduk maupun wisatawan bisa langsung membeli ke juragan sehingga kondisi ini menyulitkan pendataan. Belum lagi masih ditemukan nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di Kali Cengkok, terutama untuk alat tangkap yang menangkap ikan hias. Keadaan ini menjadi pekerjaan rumah Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Serang dan PPN Karangantu, agar pelabuhan Karangantu beroperasi secara optimal, mengingat daerah ini merupakan konsentrasi permukiman nelayan. Bertolak dari keadaan tersebut maka pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang hendaknya menata ulang lagi jenis dan jumlah alat tangkap, terutama untuk ikan pelagis; tidak dibuka ijin baru untuk menangkap; serta mengoptimalkan upaya penangkapan trip tetapi dengan alat tangkap yang betul-betul efektif dan ramah lingkungan. Usulan seperti ini perlu dikaji kembali mengingat kebijakan yang akan dibuat melibatkan banyak pihak. Pemerintah bisa mengkaji kembali konsep sistem perikanan menurut Charles 2001 dan konsep Gulland 1991 di dalam pengelolaan perikanan tangkap. Berdasarkan analisis bionomi, menunjukkan bahwa usaha perikanan cumi-cumi paling menguntungkan dengan alat tangkap standar dogol, diikuti perikanan kembung yang ditangkap dengan pancing, teri dengan alat tangkap bagan tancap, dan tembang dengan alat tangkap dogol serta beberapa ikan yang lain menguntungkan tetapi tidak terlalu besar, yaitu yang ditangkap dengan dogol. Apabila dogol diarahkan hanya untuk ikan demersal saja, maka payang merupakan alternatif terbaik yang bisa dioptimalkan. Produksi hasil tangkapan ikan demersal dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Trend produksi hasil tangkapan menunjukkan gejala penurunan sehingga dikhawatirkan jika terus dilakukan upaya penangkapan akan menurunkan produksi. Namun demikian apabila dikaitkan dengan hasil perhitungan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diperoleh bahwa beberapa ikan mempunyai tingkat pemanfaatan ikan di bawah 50 yaitu rajungan 44,16, udang 45,63, dan manyung 44,76. Jenis ikan yang dimanfaatkan lebih dari 50 tapi masih di bawah 80 adalah pepetek 50,97, kakap merah 74,34, kuwe 75,47, layur 68,39, bawal hitam 52,16, ekor kuning 73,09 dan beloso 76,61. Jenis ikan yang tingkat pemanfaatannya di atas 80 adalah ikan pari 81,39. Berdasarkan standarisasi alat tangkap, keseluruh ikan tersebut ditangkap dengan pancing dan dogol. Upaya penangkapan optimum rajungan sebesar 7.754 trip, dan hasil tangkapan pada kondisi MSY sebesar 141,90 tonth. Berdasarkan analisis bionomi, nilai MEY dicapai pada saat hasil tangkapan sebesar 141,80 tonth, dengan upaya penangkapan sebanyak 7.542 trip, dengan keuntungan maksimum sebesar 3. 356,36 juta rupiah. Berdasarkan kondisi tersebut rajungan memiliki prospek untuk dikembangkan. Namun demikian turunnya produksi rajungan dari tahun 2005-2009, kemungkinan disebabkan oleh tidak didaratkannya rajungan di TPI dan tidak melalui proses lelang, terutama yang berasal dari jaring dan bubu rajungan. Nelayan langsung menjual hasil tangkapannya ke pengumpul pemilik kapal untuk selanjutnya direbus dan diproses sesuai pesanan pasar untuk ekspor. Keadaan ini menyebabkan pencatatan menjadi tidak optimal, karena petugas TPI mendatangi pengumpul dan hanya meminta retribusi, sehingga dimungkinkan jumlah tangkapan tidak dilaporkan yang sesungguhnya. Rajungan memiliki nilai jual yang tinggi, yaitu Rp25.000,- per kg. Sehingga usaha perikanan rajungan memiliki prospek untuk dikembangkan namun tetap dengan pengaturan yang baik agar kelestarian rajungan tetap terjaga. Perikanan udang, juga memiliki prospek untuk dikembangkan, tingkat pemanfaatan baru sebesar 45,63, effort optimum sebanyak 6.699 trip, hasil tangkapan saat MSY sebesar 46,22 tonth. Rendahnya tingkat pemanfaatan kemungkinan disebabkan karena sedikitnya sumberdaya ini. Udang yang tertangkap di Karangantu merupakan akumulasi dari udang jerbung udang putih, dan udang dogol. Daerah asuhan nursery ground udang adalah di daerah teluk yang mempunyai hutan bakau mangrove, Teluk Banten sendiri luasan hutan bakaunya sudah sangat berkurang, tepatnya di pesisir pantai Teluk Banten. Mengingat daerah asuhan sangat sedikit, maka keberadaan udangpun menjadi sangat sedikit. Berdasarkan analisis bionomi, perikanan udang juga menguntungkan. Kondisi MEY terjadi pada saat tangkapan sebesar 46,17 tonth, dan upaya penangkapan sebesar 6.478 trip. Keuntungan maksimum diperoleh sebesar 2.377,56 juta rupiah. Perikanan kakap merah dan kuwe juga memiliki prospek untuk dikembangkan. Tingkat pemanfaatan kakap merah sebesar 76,34 dan kuwe 75,47, dengan effort optimum masing-masing sebesar 1.613 trip dan 2.131 trip. Hasil tangkapan saat MSY sebesar 18,47 tonth dan 29,51 tonth, sedangkan kondisi aktual sebesar 14,10 tonth dan 22,27 tonth. Kondisi ini masih dimungkinkan untuk dioptimalkan lagi, apalagi keuntungan yang diperoleh pada tingkat MEY sebesar 512,73 juta rupiah untuk kakap merah, dan 845,25 juta rupiah untuk kuwe. Sumberdaya kakap merah di WPP 712 sudah mengalami tangkap lebih over exploited, sedangkan kuwe belum teridentifikasi. Bawal hitam, dan ekor kuning, kondisi aktual penangkapan telah melebihi upaya penangkapan pada tingkat MEY dan MSY, namun produksi hasil tangkapan dan keuntungannya masih berada di bawah tingkat MEY dan MSY. Hal ini menunjukkan bahwa baik bawal hitam maupun ekor kuning bukan merupakan target penangkapan, tetapi kedua jenis ikan ini tertangkap dengan dogol. Kemungkinan kedua adalah kedua jenis ikan ini jumlahnya sedikit di perairan, terbukti dua tahun berturut-turut hasil tangkapannya sangat kecil lihat Tabel 7. Untuk meningkatkan keuntungan, tidak mungkin dilakukan penambahan upaya penangkapan, sehingga untuk sementara tidak dilakukan penangkapan bagi kedua jenis ikan ini. Demikian pula dengan manyung, memilliki kondisi yang sama dengan bawal hitam dan ekor kuning. Manyung ditangkap dengan pancing. Rendahnya tingkat pemanfaatan ikan manyung kemungkinan disebabkan karena target utama penangkapan pancing bukan manyung. Dengan jumlah produksi dan keuntungan yang kecil, bawal hitam, ekor kuning, dan manyung tidak dapat dijadikan komoditi unggulan. Kondisi ini secara umum tidak berbeda jauh dengan kondisi di Laut Jawa, yang menunjukkan bahwa perikanan demersal telah mengalami fuly exploited Kepmen KP no. 452011. Berdasarkan kondisi riil saat ini perikanan belanak dan cucut tidak menguntungkan, karena total biaya operasi penangkapan lebih besar dari total pendapatan yang diterima nelayan. Jumlah produksi ikan belanak, dan cucut sangat sedikit sehingga nilai jualnya tidak bisa menutupi biaya operasi penangkapan, sedangkan ikan pepetek ditemukan di sepanjang tahun, namun nilai jualnya sangat kecil. Kondisi effort aktual ikan pari melebihi effort pada