Faktor Penentu Konversi Lahan Secara Wilayah

32 dari 34,1 menjadi 19 pada tahun yang sama, tetapi sektor tersebut menanggung 50 dari tenaga kerja yang ada. Sebaliknya sektor industri hanya menampung sekitar 20 sementara sumbangannya terhadap PDRB terus meningkat. Tidak berkembangnya upah riil di pedesaan dapat dijadikan indikator bahwa kesempatan kerja di pedesaan adalah sangat terbatas. Menurunnya peranan pangan sebagai sumber pendapatan masyarakat juga mengisyaratkan bahwa peranan padi yang selama ini menjadi tumpuan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan di perdesaan tidak lagi dapat diandalkan. Kondisi tersebut pada akhirnya akan mendorong penduduk perdesaan mulai beralih ke sektor non-pertanian. Maka salah satu alternatifnya adalah mereka melakukan migrasi atau bekerja ke sektor informal, baik di perdesaan ataupun di perkotaan. Karena sektor pertanian kurang memberi insentif, maka suatu hal yang lumrah jika para petani menjual sawah lahannya atau bahkan mengkonversi lahan tersebut menjadi lahan non-pertanian. Pertumbuhan ekonomi dan industri yang lamban di perdesaan semakin memperkecil pangsa sektor pertanian termasuk sub sektor pangan, mendorong penduduk perdesaan melakukan migrasi. Hal tersebut akan semakin memperberat tekanan penduduk kawasan perkotaan. Beratnya tekanan penduduk akan menimbulkan proses alokasi lahan terutama di kawasan perkotaan yang semakin padat, melalui kawasan pinggiran kota.

3.1 Faktor Penentu Konversi Lahan Secara Wilayah

Secara teoritis konversi lahan sawah ke penggunaan lahan tidak terlepas dari berbagai faktor ekonomi secara keseluruhan maupun faktor demografis. Berdasar- 33 kan atas asumsi persediaan lahan tetap, maka pertumbuhan ekonomi yang tercermin oleh tumbuhnya beberapa sektor ekonomi akan membutuhkan banyak lahan baru. Apabila lahan sawah tersebut berada di dekat pusat pertumbuhan ekonomi, terutama dekat kawasan perkotaan, maka secara langsung atau tidak langsung, lahan pertanian akan dikonversikan ke arah penggunaan lain seperti pemukiman, industri, maupun sarana prasarana. Hal ini disebabkan oleh karena rent per satuan luas lahan yang diperoleh oleh aktivitas baru akan lebih tinggi dari sektor pertanian. Secara logika, hal ini berimplikasi pada terjadinya realokasi lahan yang semakin cepat dan meluas. Mengingat produktivitas sektor pertanian relatif rendah, dilain pihak nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor lain semakin menurun, maka jumlah pekerja di sektor pertanian cenderung menjadi pengangguran tidak kentara. Akibatnya secara teoritis proporsi tenaga kerja pertanian terhadap total pekerja diduga berkorelasi dengan konversi lahan sawah secara negatif, artinya semakin besar proporsi pekerja pertanian tersebut, justru akan mengurangi proporsi sawah secara keseluruhan. Di Kabupaten Bogor, sebagai daerah penelitian, kondisi mobilitas barang dan jasanya relatif tinggi. Implikasinya adalah pada orientasi kebijaksanaan swasembada pangan akan bersifat lebih relatif, bukan swasembada pangan absolut. Kebijakan ini lebih mementingkan kepentingan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini berpengaruh terhadap kebijaksanaan proporsi sawah yang diperlukan oleh suatu wilayah. Secara empirik kebijaksanaan ini diperlukan dalam rangka menghadapi perluasan kota. Implikasi selanjutnya justru tingkat migrasi lewat proses reaklafikasi wilayah akan lebih menekan lahan- lahan pertanian di sekitarnya. Dalam pengertian 34 ini, artinya bahwa tidak setiap wilayah yang padat penduduknya berpotensi mempunyai permintaan efektif yang besar terhadap lahan sekitarnya. Jadi hanya kawasan padat di sekitar kota yang berpotensi mempunyai permintaan efektif kuat terhadap lahan. Faktor tersebut diduga mempengaruhi terjadinya konversi lahan secara agregat. Berdasarkan hal ini diduga pula hanya pertumbuhan penduduk perkotaan saja yang mempunyai peranan proses konversi lahan sawah di sekitarnya. Untuk kasus kabupaten Bogor juga, dikarenakan pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia terpusat di Jakarta, maka Jakarta dengan sendirinya menjadi penarik bagi para pendatang untuk bekerja disana. Sebagai konsekwensinya masyarakat pendatang yang secara ekonomis tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya di Jakarta ataupun penduduk Jakarta sendiri yang tergusur, maka Bogor baik kabupaten ataupun kota menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk dijadikan tempat tinggal. Sebagai akibatnya konversi lahan di Bogor tidak lagi dapat dibendung. Petani dan Konversi Lahan Sawah Sektor pertanian cenderung mendasarkan diri pada Ricardian rent, yaitu rent lahan karena kesuburannya; dimana untuk kasus Indonesia, merupakan lahan sawah beririgasi yang umumnya cocok untuk tanaman pangan seperti padi dan palawija. Tetapi permasalahannya menjadi rumit karena ada beberapa masalah mendasar. Sebagaimana yang telah diterangkan dalam tinjauan makro, yaitu semakin banyaknya petani gurem, sektor pertanian sudah tidak bisa diandalkan untuk peningkatan pendapatan. Apalagi ditambah dengan upah di pedesaan yang sudah 35 tidak dapat diandalkan lagi, sehingga di tingkat rumah tangga petani, pertanian tidak lagi menjadi sandaran untuk mendapatkan penghasilan. Permasalannya menjadi semakin kompleks, karena lahan sawah berada di daerah pertumbuhan , sehingga nilai rent lahan semakin tinggi karena faktor lokasi. Masuknya nilai locational rent cenderung mempertinggi nilai rent secara keseluruhan. Secara toritis suatu kawasan yang potensial secara lokasi, walaupun kondisinya subur, dalam pasar bebas akan cenderung memperbesar dorongan relokasi lahan untuk penggunaan kegiatan yang menghasilkan rent tertinggi.

3.3 Dampak Konversi Lahan Sawah