Dampak Konversi Lahan Sawah Disparitas Penguasaan Lahan Pertanian .1 Penurunan Skala Penguasaan Lahan Pertanian

35 tidak dapat diandalkan lagi, sehingga di tingkat rumah tangga petani, pertanian tidak lagi menjadi sandaran untuk mendapatkan penghasilan. Permasalannya menjadi semakin kompleks, karena lahan sawah berada di daerah pertumbuhan , sehingga nilai rent lahan semakin tinggi karena faktor lokasi. Masuknya nilai locational rent cenderung mempertinggi nilai rent secara keseluruhan. Secara toritis suatu kawasan yang potensial secara lokasi, walaupun kondisinya subur, dalam pasar bebas akan cenderung memperbesar dorongan relokasi lahan untuk penggunaan kegiatan yang menghasilkan rent tertinggi.

3.3 Dampak Konversi Lahan Sawah

Secara makro masalah konversi lahan sawah adalah suatu dilema dan aplikasinya sering menjadi kontradiktif. Di satu pihak diizinkan untuk melakukan konversi lahan, padahal nilai opportunitas lahan sawah tersebut sangat tinggi. Di lain pihak ada usaha pencetakan sawah baru sebagai usaha penggantian sawah yang telah dikonversi tersebut. Seperti telah diketahui biaya mencetak sawah sangat mahal per hektarnya, apalagi potensi lahan yang tersedia untuk pencetakan tersebut sangat bersifat spekulasi. Akibatnya proses konversi lahan sawah ke non-pertanian jelas mengurangi kemampuan swasembada beras karena berkurangnya kemampuan produksi dan produktivitas pangan khususnya padi. Untuk itu dicoba melihat dampak konversi lahan terhadap produktivitas lahan tersebut. Proses konversi lahan sawah dari sisi petani diduga banyak melibatkan apa-rat pemerintah, yang sering membuat permasalahan baru kolusi dengan calon pembeli. Rasionalitas petani diuji, mulai dari awal konversi hingga pasca konversi, seperti 36 management pengelolaan uang hasil lahan. Diduga proses konversi lahan sawah oleh petani banyak mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani. Selain itu konversi lahan sering menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Mulai dari rusaknya lingkungan, hilangnya daerah resapan air, hingga ling- kungan yang tidak nyaman. Semua kerusakan ini pada akhirnya merupakan biaya yang harus ditanggung masyarakat sekitar. 3.4 Disparitas Penguasaan Lahan Pertanian 3.4.1 Penurunan Skala Penguasaan Lahan Pertanian Tahun 1983, persentase usaha tani yang termasuk kelompok penguasaan lahan gurem kurang dari 0,5 ha mencapai 40,8 dari total usaha tani. Proporsi ini meningkat menjadi 48,5 dalam waktu 10 tahun kemudian 1993, dan meningkat lagi menjadi 55,11 pada tahun 2003. Peningkatan persentase usaha tani ini diperparah dengan menurunnya angka luasan rata rata usaha tani gurem dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha. Luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian yang ada di Jawa pada tahun 1993 umumnya lebih kecil dari pada di luar Jawa. Sebagian besar rumah tangga pertanian di Jawa menguasahakan lahan pertanian dibawah 0,50 hektar. Sementara untuk luar Jawa penguasaan lahan rata-rata antara 0,50- 1,00 hektar. 37 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Su mu t Su mb ar Ri au Ja mb i Su ms el Be ng ku lu La mp un g Ba be l DKI Ja ba r ja te ng DI Y Ja rt im Ba nt en Ba li NT B NT T Ka lb ar ka lt en g Ka ls el Ka l ti m Su ku t Su lt en gh Su ls el Su lt en gg Go ro nt al o ma lu ku ma lu t Pa pu a Tahun 1993 Tahun 2003 - Gambar 5 : Perbandingan Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani Gurem Tahun 1993 dan Tahun 2003 10tahun Sumber: Hasil Sensus Pertanian 2003.

3.4.2 Ketimpangan Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian

Rata-rata gini ratio kepemilikan lahan pertanian di Indonesia adalah sebesar 0,479, dan Jawa sebesar 0,460 serta luar Pulau Jawa sebesar 0,469. Gini ratio di pulau Jawa dan Papua adalah lebih rendah, yaitu DKI 0,299, Jawa barat 0,267, Jawa tengah 0,198 DIY 0,295, Jawa timur 0,38, Papua 0,292. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi kepemilikan lahan untuk provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Papua adalah merata, dibanding dengan provinsi lainnya di Indonesia kecuali Pulau Bali, yang gini rationya bahkan mencapai 0,89 distribusi kepemilikan lahan adalah sangat tidak merata. Meskipun distribusi kepemilikan lahan lebih merata untuk provinsi di Pulau Jawa dan Papua, namun rata-rata mempunyai skala kepemilikan lahan yang kecil 70 berada dibawah 0,5 bahkan mengalami polarisasi. Skala kepemilikan lahan yang semakin kecil terjadi karena 1 sistim pewarisan, sehingga lahan yang ada harus dibagi-bagi menjadi terfragmentasi, 2 kepemilikan lahan yang kecil secara ekonomis adalah tidak dapat diandalkan sebagai pertahanan hidup bagi petani, sehingga timbul keinginan untuk menjualnya, 3 spekulan lahan yang semakin meningkat, yang berusaha mendapatkan lahan pertanian 38 dengan harga yang murah sebagai akibat informasi yang diterima petani tidak sempurna asymetris information terutama pada lahan- lahan pertanian yang berada pada kawasan pinggiran kota yang tinggi perkembangannya. Hal ini sependapat dengan Lipton 1977 dalam Anwar dan Rustiadi 2000 bahwa kaum elit di kawasan urban mempertahankan keadaan perdesaan tetap lemah dalam posisi bargaining, yaitu dengan mengorganisasikan dan mengendalikan kekuasaaan politik dan ekonomi. 3.5 Dampak Disparitas Penguasaan Lahan terhadap Pendapatan Petani 3.5.1 Rumah Tangga Petani dan Pendapatan Petani di Indonesia Tingkat pertumbuhan rumah tangga di Indonesia dari tahun 1993 sampai 2003 rata-rata adalah sebesar 2,46 per tahun, sementara rumah tangga pertanian peningkatannya adalah sebesar 2,10 per tahun. Lebih rendahnya tingkat pertumbuhan rumah tangga petani untuk Jawa 1,81 per tahun dibanding dengan luar Jawa 2,45 per tahun, mengindikasikan bahwa penduduk di Jawa lebih cepat tingkat transformasinya ke sektor non pertanian dibanding dengan luar Jawa. Meskipun jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia meningkat, persentase banyaknya rumah tangga pertanian terhadap banyaknya rumah tangga justru menurun dari 50,45 tahun 1993 menjadi 48,66 tahun 2003. Data ini sepintas menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama dari sebagian besar penduduk Indonesia. Penerimaan upah dan gaji serta pendapatan yang diterima rumah tangga petani dibandingkan dengan rumah tangga lainnya menunjukkan bahwa tenaga kerja di 39 sektor pertanian merupakan jenis pekerjaan yang tidak mempunyai pilihan lain merupakan alt ernatif apabila di sektor lain tidak tersedia lapangan kerja. Rumah tangga petani tahun 2003 mencapai 25,58 juta KK 48,67, jika dihubungkan dengan rata-rata upah dan gaji tenaga kerja pertanian Rp 4,14 jutatahun dan Rp 5,13 jutatahun yang merupakan penerima upah yang paling rendah, menunjukkan bahwa hampir setengah dari penduduk Indonesia berpenghasilan rendah. Sedangkan tenaga kerja profesional, teknisi, manager dan militer merupakan penerima upah dan gaji yang paling tinggi yaitu sekitar Rp 14 juta.

3.5.2 Dampak Disparitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Ada kaitan yang significant antara pemerataan penguasaan lahan equity dengan pertumbuhan ekonomi, artinya apabila terdapat kondisi disparitas penguasaan lahan inequity maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi Deininger dan Olinto, 2000 Untuk itu perlu perhatian yang lebih terhadap akses lahan bagi rumah tangga petani. Selama ini ketimpangan hanya dibahas pada sisi pendapatan saja yang implikasinya terhadap distribusi income. Namun yang lebih penting adalah memahami akar permasalahnnya, yaitu pentingnya distribusi akses lahan bagi petani. hasil indeks gini ratio kepemilikan lahan menunjukkan bahwa pada umumnya distribusi aset lahan di Indonesia adalah tidak merata rata-rata 0,45. Bahkan untuk provinsi Bali indeks gini ratio mencapai 0,9 yang menunjukkan bahwa kondisinya distribusi kepemilikan lahan adalah sangat timpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya pertanian, sedang mengalami hambatan pertumbuhan. Untuk provinsi di pulau Jawa, meskipun indeks gini ratio 40 menunjukkan angka yang lebih kecil yang berarti adalah lebih merata, namun kondisinya adalah merata dalam skala kepemilikan yang kecil-kecil seperti di Jawa Timur rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar pada tahun 2003 mencapai 72,60 . Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada pemerataan aset, namun dengan skala kepemilikan yang kecil maka economies of scale tidak akan tercapai, sehingga hasil usaha tani pada kondisi tersebut adalah merugi.

3.6 Fragmentasi Lahan dan Kepemilikan Lahan