Sastrawan Jawa dan Transformasi Budaya
4.3 Sastrawan Jawa dan Transformasi Budaya
Novel yang dianggap penting bagi sejarah sosial adalah Serat Riyanta yang memiliki kesejajaran tema dengan Galuga Salusursari (Mas Ngabehi Mangoenwidjaja, 1921), Katresnan (M. Soeratman, 1923), Larasati Modern (Sri, 1938), Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924), Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928), dan Sapu Ilang Suhe (Hardjawiraga, 1921), semuanya memiliki tema modern yang meliputi penolakan kawin paksa, penolakan terhadap dunia priayi, dan adanya keinginan hidup mandiri. Berbeda dengan Swarganing Budi Ayu (Ardjasapoetra, 1923), Jejodohan ingkang Siyal (Asmawinangoen Mw., 1926), atau Wisaning Agesang (Soeradi Wirjaharsana, 1928) yang selalu memenangkan kaum tua dalam menentukan pasangan hidup anak-anak mereka, Serat Riyanta dan Katresnan memenangkan keinginan kaum muda dalam memilih pasangan hidup. Raden Mas Riyanta (dalam Serat Riyanta) menolak keinginan ibu- nya yang memaksa agar ia segera menikah. Pe nolakan itu didasarkan atas “kemerdekaan berpikir” bahwa belum ada gadis yang cocok untuk dijadikan istri. Riyanta meninggalkan rumah orang tuanya ketika ibunya terus men- desak agar segera mempunyai pasangan hidup. Penundaan perkawinan Riyanta ber fungsi untuk membangun ketegangan cerita sekali- gus menghadirkan motif khas Jawa yang menyangkut laku seorang pemuda yang harus
berkelana untuk memperoleh pengalaman hidup guna menemukan kebahagian. Dari per spektif sosial, novel Serat Riyanta menge- depankan bagaimana priyantun luhur, janda Pangeran Notosewoyo merasa cemas terhadap anaknya, Raden Mas Riyanta, yang sudah ber umur 21 tahun tetapi belum juga mau di- kawin kan. Pada malam pertunjukkan sirkus, dalam keributan karena peristiwa kebakaran, Riyanta bertemu dengan seorang gadis (yang ke mudian dikenal sebagai Raden Ajeng Srini, putri Kyai Dipati Kramayoga, teman almarhum Pangeran Notosewoyo). Malangnya Srini lepas dari pengamatan Riyanta, pulang bersama orang tuanya. Hati Riyanta mulai gundah, wajah gadis itu terus membekas, sedangkan Riyanta belum mengetahui siapa gadis itu sesung guh- nya. Melalui pertolongan Raden Mas Drajat akhirnya Riyanta mengetahui rumah Srini. Kunto wijoyo (1991:59) memandang Serat Riyanta sebagai novel priayi bukan saja karena mengung kapkan dengan jelas kehidupan priayi luhur , keturunan bangsawan, dan priayi jabatan yang berasal dari orang kebanyakan, melainkan adanya keinginan besar pengarang untuk mem- pertemukan priayi dan priayi jabatan sehingga Riyanta harus bertemu dengan Srini. Tidak ada suasana konflik kelas dan kritik sosial dalam novel ini—pada waktu Riyanta menikahi Srini, maka sempurnalah cita-cita priayi baru untuk menyatakan dirinya: “sanalika sirna rikuhipun, wasana lajeng amangun lutut”—dengan demikian, bentuk priayi baru mendapatkan legitimasi.
Penolakan terhadap dunia priayi (suatu jagad komunitas yang merupakan lambang “kemuliaan hidup” bagi orang Jawa) dibeber kan dalam Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924) dan Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928). Latar sosial tokoh Darba ( Kirti Njunjung Drajat) serta Endra (Gawaning Wewatekan) mampu memberikan reaksi terhadap tradisi masya rakat Jawa sehingga menimbulkan tema yang kurang lazim dalam sastra Jawa modern, yaitu pemberontakan terhadap tradisi Penolakan terhadap dunia priayi (suatu jagad komunitas yang merupakan lambang “kemuliaan hidup” bagi orang Jawa) dibeber kan dalam Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924) dan Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928). Latar sosial tokoh Darba ( Kirti Njunjung Drajat) serta Endra (Gawaning Wewatekan) mampu memberikan reaksi terhadap tradisi masya rakat Jawa sehingga menimbulkan tema yang kurang lazim dalam sastra Jawa modern, yaitu pemberontakan terhadap tradisi
sikap priayi yang bertindak semena-mena Latar sosial tokoh Darba ( Kirti Njunjung terhadap wong cilik. Darba (lulusan sekolah di Drajat) serta Endra (Gawaning Wewatekan) Batangan) menunjukkan sikap tegas dalam mampu memberikan reaksi terhadap tradisi mewujudkan keinginannya untuk mengangkat
masyarakat Jawa sehingga menim bulkan tema derajat rakyat kecil dengan cara bekerja secara yang kurang lazim dalam sastra Jawa modern, independen, jauh dari pembesar dan para yaitu pemberontakan terhadap tradisi masya- priayi. rakat Jawa yang mengagung-agungkan dunia
“Darba saya tetep kepenginipun nyambutdamel priayi. Dalam Kirti Njunjung Drajat, tema
ingkang mardika, liripun ingkang sakedik sang- tersebut dipaparkan secara eksplisit lewat per-
kutanipun kaliyan pengageng; namung kados- nyataan bahwa orang yang dihormati adalah
pundi marginipun, punika ingkang dereng angsal wewengan, amila Darba sakelangkung
orang yang mempunyai uang dan pikiran, bukan prihatos, sarta tansah nyenyuwun ing Gusti ditentukan oleh kedu dukan seseorang sebagai
Allah”. (hlm. 28)
priayi dan atau wong cilik. ‘Darba semakin mantap keinginannya un-
“Anu Mbok, sinten ingkang kesinungan arta tuk bekerja dengan merdeka, khususnya lan arti, inggih mesti kajen. Punika sanes
yang sedikit sangkut pautnya dengan pem- pemang gih kula, kula namung nirokaken tem-
besar (priayi); tetapi bagaimana caranya, bungipun para saged, sarta bab punika sampun
itu yang belum mendapatkan jalan, untuk tumindak wonten ing panggenan ingkang
itu Darba merasa prihatin serta mohon tiyangipun sampun majeng-majeng. Mangga
petunjuk kepada Gusti Allah’. samidipun titeni kema won, ing benjing sinten
ingkang kasinungan arta lan arti, mesti kajen Tokoh Darba adalah anak priayi rendahan keringan.” (hlm. 36)
di ling kungan kraton Surakarta. Ia tidak ber- ‘Anu Mbok, siapa yang dianugerahi uang
keinginan menjadi priayi seperti ayahnya. Darba dan pikiran, ia pasti dihargai oleh orang
lebih memilih pekerjaan sebagai pedagang dan lain. Ini bukan pendapat saya sendiri, saya
tukang reperasi sepeda, walaupun ia sudah meniru kan perkataan orang pintar, dan
magang sebagai priayi istana dan juru tulis keadaan ini sudah terjadi di negara maju.
Mari kita bukti kan bersama, besok siapa ke ca matan. Dunia kepriayian dan keinginan yang dianugerahi uang dan pikiran, pasti
menjadi juru tulis kecamatan ia tinggalkan dihargai dan dihormati orang.’
dengan keinginan lain, yaitu menjadi ahli mesin, tukang besi, atau pedagang.
Penyampaian tema dalam Kirti Njunjung Drajat terasa lebih dinamis dengan banyaknya Pertanyaan yang patut dikedepan kan
adalah mengapa lahir karya-karya sastra Jawa persoalan yang ditampilkan pengarang. Dalam
Gawaning Wewatekan, tema diabstraksikan modern yang menggugat dunia kepriayian? Mengapa Jasawidagda (sebagai seorang
hanya melalui perbandingan sikap tokoh Sindu priayi—ia mendapatkan gelar “Raden Tumeng-
(yang setelah tamat dari MULO mempunyai gung” dari Mangkunegaran) tiba-tiba “men-
cita-cita menjadi priayi) dan tokoh utama Endra jungkirbalikan” dunia priayi? Pertanyaan
(yang setelah tamat MULO bercita-cita menjadi kedua itu menarik untuk dicermati lebih jauh
pedagang). Dalam mewujud kan cita-cita tersebut, karena sebelum hadirnya Kirti Njunjung Drajat, baik Endra maupun Sindu, tidak mendapatkan
258
PROSIDING
Jasawidag da lewat beberapa karyanya selalu sikap anak terhadap orang tua, tata cara hidup berpegang dan mena warkan konsep-konsep bermasyarakat, serta penggambaran mengenai dalam bidang pendidikan budi peker ti. Secara keutamaan seorang wanita. Konsep-konsep umum dapat disebutkan bahwa sebagian besar yang ditawarkan dalam beberapa karya ter- karya-karya Jasawidagda berisi etika atau sebut merupakan konsep tradisional, apalagi bersifat didak tis (Soeprapto, 1991: 64). Karya- pengarang tidak dapat melepaskan diri dari nya Karaton Powan (1917), Jarot I-II (1922 dan tokoh-tokoh priayi rendahan dan gelar jabatan 1931), dan Pethi Wasiyat (1938), berisi ajaran mereka dalam pemerintahan tradisional. Tampil- moral tentang keharusan seorang anak ngabekti nya Pethi Wasiyat dan Kirti Njungjung Drajat jelas kepada orang tua. Karya lainnya, Mitra darma menampakkan dinamika Jasawi dagda karena (1923), menceritakan bagaimana seseorang dunia tradisional sudah tidak mendominasi harus berhubungan dengan orang lain dalam keseluruhan cerita. Pethi Wasiyat merupakan kehidupan bermasyarakat. Dua novel lainnya, dunia tawar-menawar antara konsep tradisional Purasani (1923) dan Ni Wungkuk ing Bendhagrowong dan modernitas: tarik ulur antara olah jiwa dan (1939) lebih menitikberatkan persoalan mengenai olah budi, oposional desa-kota, kereta-dokar, keutamaan, ketabahan, pengabdian, dan kesucian pabrik-keris, dan sebagainya. Secara keseluruhan wanita, di samping menggambarkan cinta kasih pengarang mengajak audience menjadi manusia seorang ibu terhadap anaknya. Sejumlah etika modern tanpa mening galkan nilai-nilai lama yang disodorkan Jasawidagda dalam sebagian (tradisional). Hal ini tercermin dari eksistensi besar karya-karyanya merupakan kelanjutan tokoh Kartala dan Ki Tambakbaya (orang tua dari etika Jawa yang telah berkembang dalam asuh Kartala). Dua tokoh tersebut ditampilkan lingkungan masyarakat Jawa.
sebagai sosok yang mempunyai pandangan Keberanian Jasawidagda “menjung- ke depan, mengenyam pendidikan modern— kirbalikkan” dunia priayi dalam Kirti Njunjung Kartala tamat A.M.S. dan Ki Tambakbaya Drajat, tidak dapat dilepaskan dari latar be- seorang guru. Meskipun menerima berbagai lakang kehidupan Jasawidagda yang berpe- keterbukaan, kedua tokoh tersebut tetap men- ngaruh terhadap proses kreativitasnya dalam jungjung nilai-nilai etika Jawa. berkesenian; bagaimana konsep didak tis yang
“Dene golongan tuwa sing pancen jembar ditawarkan Jasawidagda bergerser ke arah
kawruhe, bisa ngetutake lakuning jaman, “pen jungkirbalikan” dunia priayi. Profesinya
tanduke marang para nom-noman, enggone sebagai guru turut membingkai Jasawidagda
nuturi nganggo sarase han; kabeh bab dirembug dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik
nganggo nalar sing mranani. Panemune tata ngadat lawas iku akeh sing becik, nanging iya
yang berusaha mengalihkan pengalaman, pe- ora kurang sing kliru. Sing kliru kena dibu- ngetahuan, dan kecakapan kepada generasi
wang, ditinggal, ora susah dienggo. Sing klebu muda sebagai upaya menyiapkan agar generasi
becik, terkadhang katindakake wis ora anjamani, muda dapat memenuhi fung sinya sebagai
ora perlu dilesta- rekake, menawa pancen ana maksude sing wigati, aja gampang-gampang
masyarakat Jawa, baik secara jasmaniah mau- diemohi, becik dilestarekake mung panindake pun rohaniah. Dalam konteks budaya Jawa,
kudu laras karo jamane, bebasan “Nut ing pendidikan dapat berarti pemahaman ter-
jaman kalakone”. Amarga pituduh lan tata hadap unggah-ungguh, penempatan diri dalam
ngadat kuna iku akeh sing dhapur pasemon, ora ngeblak, nganggo sarana dialing-alingi.
kehidupan sehari-hari dalam tegangan konsep Kosok baline pituduh cara kulonan, tata alus , kasar, dan rasa. Tidak pelak lagi tuntutan
ngadat utawa liyane, aja enggal-enggal diem- ini (bagi Jasawidagda) melahirkan Jarot I-II,
plok mentahan, kudu dilaras karo kaanan ing Mitra darma, Purasani, dan Ni Wungkuk ing
We- tanan: ngelingi yen hawa ing Kulonan beda Bendhagrowong yang bersifat didaktis, dipenuhi
karo hawa ing Wetanan; beda pakulinaning urip, seje babade”. (hlm. 60—61)
dengan ajaran moral bagaimana seharusnya
Dunia Priyayi dalam Sastra Jawa Tahun 1920-an
259
PROSIDING
‘Meskipun golongan tua memang luas pengeta huannya, tetapi juga harus mengi- kuti perkem bangan zaman, sikap mereka kepada para pemuda, dalam memberi petunjuk sebaiknya melalui musyawarah; semua persoalan dibicarakan dalam situasi akrab dan dapat saling menerima. Menurut Ki Tambakbaya adat lama sebenarnya banyak yang baik, tetapi tidak sedikit yang tidak baik. Yang kurang baik dapat dib- uang, ditinggalkan, tak perlu dipakai lagi. Adapun yang baik, kalau dilakukan tidak sesuai zaman, tidak perlu dilestarikan. Namun jika adat tersebut mempunyai tu- juan-tujuan tertentu, jangan tergesa-gesa disingkirkan, sebaiknya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, sebagaimana termaktub dalam istilah “Nuting jaman kelakone”. Sebab petunjuk dan adat lama itu terkadang samar-samar, tidak jelas, kurang eksplisit.
Sebaliknya, petunjuk dan kebiasaan model Barat jangan ditiru mentah-mentah, harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi Timur, ini mengingat kehidupan di Barat berbeda dengan kehidu pan di Timur, berbeda dalam kebiasaan dan sejarahnya’.
Kutipan di atas memperlihatkan sikap netral Jasawidagda dalam menanggapi perubahan sosial budaya. Ia menghadapi perubahan dengan tetap menaruh hormat kepada budaya tra disional. Sikap ini serupa dengan sikap Ki Hadjar Dewantara dalam menanggapi polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Kenyataan ini berbeda dengan yang tergambar dalam Kirti Njunjung Dra jat; walaupun masih berpegang pada nilai-nilai tradisional, tetapi novel ini terasa lebih progresif dalam menerima perubahan sosial budaya; perubahan yang terjadi tidak hanya tergambar lewat sikap-sikap tokoh tetapi melebar ke alam pikiran tokoh, ke dunia konsep kesadaran penerimaan pembaharuan. Kondisi ini dapat dicermati dari pengingkaran tradisi oleh tokoh Darba di hampir keseluru han cerita sehingga relasi yang terjadi adalah oposisi tokoh dengan konsep-konsep tradisi (pengagungan priayinism). Novel seperti ini tercipta karena Jasawidagda tampil sebagai kaum intelektual
Jawa keturunan bangsawan yang memperoleh pendidikan Barat relatif memadai (sekolah di Kweekschool), aktif dalam organisasi sosial kema- syarakatan. Bagi Soeprapto (1991: 67), ia merupa- kan seorang intelektual total: sebagai guru, pengarang, jurnalis, organisator, dan punggawa istana; sehingga ia mampu menjadi pengemban tradisi lama yang berpikiran modern secara baik, intelektual Jawa yang di satu pihak dapat disebut kelompok elite birokrasi tradisional dan di pihak lain termasuk dalam kelompok kaum intelektual modern pada masa yang paling awal. Sebagai intelektual modern, tentu saja Jasa widagda memiliki wawasan yang luas, mampu memprediksi perubahan-perubahan yang akan terjadi sehingga mobilitas pergeseran priayi bukanlah sesuatu yang dirasa istimewa— pergeseran tersebut merupa kan sesuatu yang wajar dan memang harus terjadi. Lewat Kirti Njunjung Drajat, Jasawidagda berupaya menya- takan bahwa faktor uang dan materi memegang peranan bagi ma syarakat yang akan datang (modern) dalam rangka pembentu kan status seseorang yang secara keseluruhan akan mem- ben tuk struktur sosial dalam masyarakat.