Gagasan Mengenai Priayi: dari Sartono

4.1 Gagasan Mengenai Priayi: dari Sartono

sastra sebagai bahan penelaahan, analis teks

Kartodirdjo sampai Kuntowijoyo

untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dimanfaatkan guna memahami fenomena

Periode antara pertengahan abad ke-19 sosial yang ada di luar sastra. pendekatan kedua dan akhir zaman kolonial Belanda (Kartodirdjo

ini akan digunakan sebagai pegangan untuk dkk., 1987: 2) merupakan periode kemantapan analisis.

dan kejayaan kedudukan priayi. Konsep priayi Beberapa pendekatan sosiologi sastra yang yang mengacu kepada golongan sosio-kultural

berkembang dan dikenal adalah sosiologi sastra me ngandung pengertian bahwa golongan ter- yang dikembangkan oleh Lowenthal (1964), sebut perlu diidentifikasikan dengan lapisan Escarpit (1971), Swingewood (1972), Kettle (1975), me nengah dalam stratifikasi masyarakat Goldman (1977), dan Sapardi Djoko Damono tradi sional dan masyarakat kolonial. Menurut (1979). Pendekatan sastra tersebut mempunyai Van Niel (dalam Kartodirdjo dkk., 1987: 4) go- penekanan yang ber-beda-beda. Swingewood, long an priayi sebagai kelompok sosial pada misalnya, memberi tekanan kepada karya sastra sekitar tahun 1900-an adalah golongan elit,

yaitu siapa saja yang berdiri di atas rakyat

PROSIDING PROSIDING

Di sisi lain, Kartodirdjo (1987: 11) menilai pemerinta han. Gagasan Van Niel tersebut me- bahwa di daerah kerajaan Jawa—Surakarta

nurut Kartodird jo dkk. bertentangan dengan dan Yogyakarta—yang dinamakan priayi erfelijk-heidsbeginsel (asal keturunan)—ditetap- adalah mereka yang bekerja di kantor-kantor

kan dalam undang-undang Regeerings reglement pemerintah dan yang bekerja di istana yang pasal 69 ayat 4—yang diterapkan dalam poli tik biasanya disebut abdi dalem. Keluarga dan kepegawaian pemerintah kolonial. Asas ke- kerabat raja juga disebut priayi. Untuk mem- turunan itu menjadi salah satu syarat pengang- bedakan dengan priayi yang bukan kerabat katan seorang pegawai, terutama untuk pegawai raja digunakan istilah priayi luhur dan priayi berpangkat wedana ke atas. Poli tik ke pegawaian cilik. Priayi luhur sering juga disebut dengan yang berasaskan keturunan ini menyebab kan para bendara . Pembagian yang dilakukan Sartono terjadinya “kolusi” di antara ke luarga-keluarga nyaris sama dengan pemilahan yang dilakukan priayi sehingga golongan priayi sulit ditembus oleh Kuntowi joyo. Dalam buku Demokrasi dan tanpa melalui hubungan ke kerabatan.

Budaya Birokrasi, Kuntowi joyo (1994: 185—189) Bertolak belakang dengan Van Niel, Palmier membagi pelaku budaya demokrasi di Indonesia mengemu kakan bahwa garis keturunan me ru- menjadi tiga kelompok, yaitu abdi dalem, priayi, pa kan unsur kepriayian yang sangat me nen- dan pegawai negeri. Abdi dalem adalah mereka tukan. Menurut Palmier (dalam Karto dirdjo yang membantu raja dalam penyelenggaraan dkk., 1987: 7) priayi adalah anak ke turunan kekuasaan; abdi dalem itulah yang duduk dalam bupati. Pentingnya faktor keturunan membuat lembaga birokrasi kerajaan—menjadi perantara Palmier membagi kelompok priayi atas priayi antara raja dengan kawula. Kedudukan sosial luhur dan priayi kecil. Priayi luhur adalah priayi abdi dalem diperkuat dengan bermacam-macam yang sebenarnya—hal ini dapat ditentukan atribut yang dianugerahkan oleh raja. Mereka dari jabatan dan keturunan orang tua, dan asal menda pat gelar, pangkat, dan perangkat upacara keturunan istri. Sedangkan priayi kecil atau tertentu. Semua atribut itu (Kuntowijoyo, 1994: priayi cilik bisa berasal dari rakyat ke banyakan 187) kemudian menjadi monopoli abdi dalem yang berjasa dan setia kepada pe nguasa.

dan tidak diperkenankan bagi wong cilik untuk Berbeda dengan kedua pendapat di atas, memperolehnya. Berbeda dengan abdi dalem Savitri Scherer (dalam Kartodirdjo dkk., 1987: yang diangkat karena “kemurahan” raja;

8) dengan pasti menyebutkan bahwa golongan priayi diangkat berda sarkan kriteria rasional. priayi adalah pegawai-pegawai pemerintah Pada mulanya priayi lebih sebagai sebuah kolonial Belanda. Meluasnya pendidikan Barat kelas fungsional, tetapi kemudian berkem bang (sesuai dengan kepentingan kolonial yang terus menjadi sebuah status (karena mereka pun

Dunia Priyayi dalam Sastra Jawa Tahun 1920-an

dengan semboyan kemajuan. Menurutnya, Latar belakang munculnya kelompok pada pertengahan kedua dasawarsa pertama

priayi, di samping didorong oleh perkembangan abad ke-XX, kata “kemajuan” juga dipakai politik ethis pada masa peralihan dari abad XIX para pemimpin pergerakan nasional untuk ke abad XX yang mempunyai misi kebudayaan menarik simpati kaum priayi dalam perjuangan (bersifat moral), yaitu memasukkan rakyat meng angkat harkat rakyat kecil di pede saan. Indonesia kedalam orbit penguasanya— Kemajuan yang berdasarkan rasionalisasi ter- agar mereka memiliki peradaban Barat—juga sebut setidaknya ditunjukkan oleh surat-surat karena pemerintah kolonial berhas rat mela- kabar kaum per gerakan, seperti Darmo Kondo kukan eksploitasi ekonomi dan penguasaan yang kemudian menjadi milik Boedi Oetomo di politik. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan Surakarta, melancarkan gerakan berpikir ilmiah politik (Kuntowijoyo, 1994: 188), pemerintah dengan menampilkan artikel ilmu alam, adanya kolonial mengangkat pejabat-pejabatnya sen- penjelasan secara ilmiah mengenai terjadinya diri, sebagian daerah sepenuhnya di tangan gerhana matahari dengan maksud memberantas pemerintahan kolonial dan sebagian lainnya takhayul Betara Kala sedang melalap bulan. dalam sebuah pemerintahan ganda yang selain Surat kabar pergerakan tidak lagi memuat ilmu pengangkatan pejabat birokrasi kolonial masih tentang isyarat-isyarat tubuh, seperti ten tang juga ada birokrasi tradisional. Pada umumnya getaran-getaran kecil di pelupuk mata dengan orang-orang pribumi yang diangkat dalam maknan ya, sebagaimana banyak ditulis dalam jajaran birokrasi kolonial, termasuk siapa saja tradisi primbon. Dengan kata lain, dunia magis yang mendapat imbalan berupa gaji, dapat digantikan oleh dunia yang lebih rasional. disebut sebagai priayi. Pengangkatan priayi Menurut Kuntowijoyo (1994: 173—174), gerakan sebagai anggota birokrasi oleh pemerintah kemajuan, rasionalisasi dan sikap kritis tersebut kolonial Belanda menunjukkan suatu per- merupakan inner revolution, sebuah perubahan ubahan penting dalam masyarakat Jawa. mentalitas dan revolusi tersendiri—setidaknya Priayi tidak diangkat berdasarkan kuali- hal ini berkaitan dengan semboyan yang di- fikasi genealogis, tetapi berdasarkan kriteria pakai. Di Eropa pada Zaman Pencerahan, the rasional. Kondisi tersebut berbeda dengan idea of progress merupakan semboyan ketika priayi tradisional dengan warisan lamanya: orang sadar akan pentingnya akal sebagai tolok mengabdi kepada penguasa demi prestise ukur kebenaran, kenyataan, dan keindahan. Di sosial, bukan materi—tidak ada kehendak dari Indonesia, Ki Hadjar Dewantara merumuskan priayi tradisional untuk berusaha agar mereka gerakannya sebagai gerakan budi—yang meng- dihormati karena prestasi-prestasi individu. isyaratkan keterpengaruhan cita-cita Zaman Sejajar dengan perkem bangan ekonomi, peme- Pencerahan (sering disebut sebagai The Age of rintahan, administrasi, dan pe layanan, mun- Reason ). culah kebutuhan tenaga di berbagai bidang

Sutan Takdir Alisjahbana juga mem punyai yang memerlukan keterampilan khusus yang sikap yang sama dengan gerakan kebu da- tidak pernah didapat oleh kelompok priayi yaan awal abad ke-XX, hanya saja gerakan tradisional . Bidang baru yang terpenting menurut Sutan Takdir Alisjahbana adalah gerakan Kartodirdjo dkk. (1987: 22) adalah guru dan yang ekstrem dengan sepenuhnya menoleh dokter (Jawa), di samping mantri hewan, mantri ke Barat. Latar belakang sosial yang mempe- kesehatan, dan lain-lain. Bagi Kuntowijoyo (1994: nga ruhi perubahan magis ke rasionalitas ini 170), munculnya priayi yang bekerja dalam (Kuntowijoyo, 1994:1974) lebih disebabkan kelompok lembaga pemerintahan kolonial oleh perubahan-perubahan penting dalam

PROSIDING PROSIDING

4.2 Karya Sastra dan Perubahan Pola Pikir

bagi kehidupan pribumi. Efek lebih jauh

Masyarakat (Pengarang) Jawa

adalah bahwa kota-kota besar seperti Batavia, Pada awal perkembangannya, sastra Surabaya, Yogya karta, dan Surakarta menjadi Jawa merupakan sastra istana sentris yang

pusat jasa pelayanan dengan munculnya selalu memuji-muji keberadaan raja dan ber bagai hotel dan restoran. Lebih jauh di- kerabatnya. Dalam sastra Jawa tradisional, je laskan oleh Kuntowijoyo bahwa upaya misalnya, konvensi tembang menjadi sedemikian memperkenalkan tek nologi dengan adanya mapan (Wiryamartana, 1991: 8—9) dengan jalur kereta api antarkota dan jalur trem dalam memberi tekanan kepada unsur naratif dan kota menyebabkan akumulasi perubahan sosial didaktik sehingga konvensi tembang berfungsi dan teknologi secara bersama-sama. Pada saat sebagai pengukuhan nilai-nilai yang harus itu peneran gan gas dalam kota digantikan dihayati oleh masyarakat Jawa. Kenyataan ini oleh listrik sehingga perbedaan antara desa memiliki korelasi dengan apa yang disebut dan kota makin jelas. Keunggulan kota atas Kuntowijoyo (dalam Prawoto, 1991: 54) sebagai desa merupakan barometer penting bagi per- sastra kraton dengan ciri-ciri (a) mistisisme, kem bangan sosial. Para priayi kemudian (b) mengedepankan etika satria, dan (c) menyatukan diri dalam asosisi mereka memiliki cita-cita nggayuh utami atau “meraih

sendiri, para pedagang pribumi mendirikan keutamaan”. 7 Ciri-ciri tersebut oleh Kuntowijoyo usaha-usaha dagang bersama, seperti Syarekat dipertentangkan dengan eksistensi sastra priayi Dagang Islam yang didirikan oleh Tirtoadisuryo, yang tidak lagi didominasi oleh mistisisme, dan sebagainya. Perubahan juga terjadi pada etika satria digantikan oleh etika priayi, dan gerakan-gerakan sosial yang pada abad ke-XIX nilai-nilai sosial kraton (keinginan nggayuh (Kunto wijoyo, 1994: 175) berpusat di desa-desa utami ) diganti dengan cita-cita mobilitas sosial dengan tokoh-tokoh kharismatis dan didukung dalam arti mencari tempat dalam masyarakat oleh petani, digantikan oleh tokoh-tokoh ter- baru—apabila sastra priayi memuat petuah- pelajar kota dan kaum pedagang, didukung petuah, maka petuah itu lebih mempunyai oleh orang-orang kota. Mulai saat itulah ke- titik tekan bagaimana orang dapat meraih ke- bu dayaan kota menggantikan kebudayaan dudukan sebagai priayi, sekalipun ia berasal petani; kebudayaan tulis menggantikan kebu- dari golongan wong cilik. Jadi, kesadaran tentang dayaan lisan. Selanjutnya, dalam gerakan kota, perubahan sosial, adanya mobilitas vertikal, batas-batas status menjadi kabur, diganti kan sangat disadari oleh pengarang sastra priayi. oleh sistem baru: seseorang yang berasal dari

Perkembangan sastra kraton diawali pada wong cilik dapat duduk sebagai pengurus se- tahun 1726—1749 kemudian mulai mendapat

buah gerakan berdampingan dengan sentana dalem ; dalam ceramah-ceramah yang diseleng-

7 Kuntowijoyo membagi sastra Jawa kedalam sastra

garakan di setiap pertemuan, seseorang dapat kraton, sastra priayi, dan sastra baru. Pembagian sastra menyatakan pendapatnya secara bebas sekali- kedalam tiga jenis tersebut terkadang terasa kurang

konsisten karena memakai ukuran-ukuran nonliterer di

pun didengarkan oleh pendengar yang status satu pihak—seperti ukuran basis sosial untuk sastra kraton sosialn ya lebih tinggi. Dalam gerakan kota, dan sastra priayi—dan memakai ukuran yang sama untuk tata cara masyarakat organistis, terencana, dan sastra “baru”. Sastra kraton adalah sastra bangsawan,

demokratis telah dirintis. Hubungan-hubungan sastra priayi adalah sastra priayi, dan sastra “baru” adalah

sastra wong cilik; disebut “baru” semata-mata karena sastra

sosial baru ini merupakan fenomena sejarah ini kemudian menjadi milik bersama—setelah sistem status yang sangat penting karena menandai babak ditinggalkan oleh masyarakat Jawa.

Dunia Priyayi dalam Sastra Jawa Tahun 1920-an

pusat kesenian; 8 dan (2) kuatnya kedudukan kerajaan, dan penghapusan sistem apanase oleh raja dalam masyarakat Jawa—raja merupakan sistem gaji. Kondisi ini, menurut Kuntowijoyo, legitimasi dari segala kekuasaan karena raja mendorong Padmosusastra—yang semula adalah gung binathara bau dhendha anyakrawati adalah abdi dalem—memaklumkan dirinya men- “memiliki kekuasaan dewa, pemelihara hukum jadi orang merdeka. Dengan kata lain, ketika dan penguasa dunia”; oleh karena itu raja adalah Ngabehi Kartopradata berubah menjadi Ki wenang wisesa ing nagari “memegang kekuasaan Padmo susastra dengan pernyataan sebagai tertinggi di seluruh negeri” (Suwondo, 1990: tiyang merdika ingkang marsudi kasusastraan 35). Di bagian lain dijelaskan bahwa karya sastra Jawi ‘orang merdeka yang memberi perhatian kraton berkaitan dengan kehidupan di dalam ter hadap sastra Jawa’; (disadari atau tidak) istana, terutama kehidupan raja dengan segenap meru pakan babak baru dalam sejarah kesusas- kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki. traan Jawa—yaitu hadirnya sastra priayi. Kenyataan tersebut menunjukkan dominasi raja Baro meter babakan baru tersebut adalah ter- dalam mempengaruhi kehadiran karya sastra. lepasnya pengarang dari patron kraton, dalam Kuntowijoyo (1991: 53) melontarkan gagasan arti pengarang memiliki kebebasan secara indi- bahwa sastra kraton pasti mengandung ajaran- vidual; dan seperti telah dijelaskan di atas, dalam ajaran kaum bangsawan feodal yang memberi karya sastra priayi keinginan untuk nggayuh prioritas pada teologi dan etika. Pergeseran utami tergantikan oleh cita-cita mobilitas sosial dari patron kraton ke sastra priayi sudah di- dalam arti mencari tempat dalam masyarakat mulai saat M.A. Tjandranegara menerbitkan baru. Contoh yang cukup represen tatif dalam kisah perjalanan Lampah-lampahipun Mas kasus ini ditunjukkan oleh Kuntowijoyo dengan Purwa Lelana (1865), Abdullah Ibnu Sabar bin hadirnya penerbitan terjemahan Serat Pamoring Arkebah menulis Carios Negari Walandi (1876); Jaler Estri yang diperuntukkan bagi warga ditambah lagi dengan dukungan Institut voor perkumpulan kaum priayi Abipraya.

de Javaansche di Surakarta (1832—1834) yang Di sebutkan dalam buku tersebut bahwa berperan dalam penyediaan bahan bacaan upaya terjemahan buku-buku Belanda penting

dan pengembangan sastra Jawa. Tidak dapat untuk kemajuan Jawa. Buku yang dikerjakan diabaikan pula keha diran surat kabar (dagblad) pada tanggal 15 Juni 1905 itu memuat lukisan Bromartani (1855) yang mendapat dana dari etnografis mengenai hubungan laki-laki dan

perem puan pada banyak suku. Selain untuk

Pengaruh politik Belanda terhadap kerajaan Jawa dimulai sejak Belanda memberi bantuan kepada kerajaan

menambah ilmu pengetahuan tentang etnografi, Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya buku tersebut juga dimaksudkan untuk me-

pada tahun 1677—1680. Pengaruh Belanda terhadap numbuhkan rasa kesopanan ( a sense of decency) kerajaan Jawa semakin besar dan memuncak sejak dalam hubungan suami-istri—orang Jawa disetujuinya Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan ternyata mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang Yogyakarta (Suwondo, 1990:28).

lebih baik dibanding banyak suku-suku lain.

256

PROSIDING

Dunia Priyayi dalam Sastra Jawa Tahun 1920-an 257

Tema yang hampir sama ditulis oleh Suwarsa dalam Bab Alaki Rabi: Wayuh Kaliyan Mboten (1912) yang mencoba menyarankan agar para priayi melakukan monogami. Kritik tersebut ditujukan Suwarsa kepada kebiasaan kaum bangsawan yang selalu mempunyai selir; dan juga kepada para “kyai-haji” yang acapkali mem punyai istri lebih dari satu. Sastra priayi lainnya adalah Serat Subasita (Ki Padmasusastra, 1914), Serat Riyanta (R. Sulardi, 1920), di samping Negara Mirasa (1930), Kepaten Obor (1931), dan Pati Winadi (1932) ketiganya karya Hardjawiraga.

Dokumen yang terkait

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

KADAR TOTAL NITROGEN TERLARUT HASIL HIDROLISIS DAGING UDANG MENGGUNAKAN CRUDE EKSTRAK ENZIM PROTEASE DARI LAMBUNG IKAN TUNA YELLOWFIN (Thunnus albacares)

5 114 11

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KARAKTERISASI DAN PENENTUAN KOMPOSISI ASAM LEMAK DARI HASIL PEMURNIAN LIMBAH PENGALENGAN IKAN DENGAN VARIASI ALKALI PADA ROSES NETRALISASI

9 139 85

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62