Situasi Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada Tahun 1981--2000
4.1 Situasi Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada Tahun 1981--2000
Paparan tentang situasi sosial-politik, ekonomi, dan budaya diperlukan untuk lebih memahami secara komprehensif berbagai sistem yang mendukung eksistensi sastra Indo nesia di Yogyakarta, terutama pada tahun 1981-- 2000. Hal itu disebabkan oleh berbagai situasi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung memberi pengaruh terhadap sistem kepengarangan, penerbitan, pembaca, kritik, dan pengayom. Selain itu, berbagai situasi itu juga pada akhirnya mengimbas (mem pe- ngaruhi) aspek intrinsiknya, yang dalam pene- litian ini tidak dibahas.
Paparan tentang situasi sosial-politik dan budaya yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 1981--2000 tidak dapat dilepaskan dari pem - bicaraan umum secara nasional. Hal itu dise- babkan oleh situasi sosial-politik dan budaya di Yogyakarta tersebut termasuk dalam kerangka yang lebih besar, yakni sejarah Indo nesia.
Periode 1980-an merupakan era keemasan pemerintahan Orde Baru di bawah kepemim- pinan Soeharto. Dengan slogan “pembangunan di segala bidang”, Soeharto berhasil menciptakan stabilitas di berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Di bidang sosial- ekonomi, seperti dicatat oleh Ricklefs (1995:432- -438), produksi pangan di Indonesia meningkat secara mencolok. Pada tahun 1980-an Indonesia telah mencapai kemandirian dalam produksi beras. Penyediaan pendidikan terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari data statistik yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang melek huruf telah mencapai 61,4% pada tahun 1980-an. Padahal, pada tahun 1971 jumlah pen- duduk yang melek huruf baru 40,8%. Naiknya penghasilan per kapita menjadi 600 dolar Amerika pada tahun 1982 menyebabkan Bank Dunia menggolongkan Indonesia ke dalam negara yang berpenghasilan menengah. Namun,
di balik keberhasilan di bidang ekonomi itu, seperti dicatat oleh Ricklefs (1995:435), jumlah pen duduk meningkat dari 147,3 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi sekitar 220 juta jiwa pada tahun 2000. Sesuai dengan itu, banyak rakyat Indonesia yang masih tetap hidup dalam ke- miskinan. Masih menurut Ricklefs, jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan di kawasan pedesaan Jawa, misalnya, meningkat selama tahun 1980-an.
Di bidang politik, di bawah mesin Golongan Karya (sekarang Partai Golkar), rezim Orde Baru mempertahankan kekuasaannya selama sekitar 32 tahun. Pada pemilu tahun 1987, misal nya, Golkar yang pada masa itu tidak mau disebut sebagai partai memenangi pemilu dengan meraup 73% suara (Ricklefs, 1995:438). Namun, mengingat dua partai lainnya (PPP dan PDI) sesungguhnya berada di bawah kooptasi Orde Baru, dapat dinyatakan bahwa Orde Baru di bawah kepimpinan Soeharto benar-benar menguasai perpolitikan di Indonesia. Banyak lawan politik Soeharto yang harus di penjara. Di samping itu, banyak pula para aktivis demo- krasi yang diciduk aparat keamanan. Para sastrawan pun mengalami nasib serupa, dalam arti kreativitasnya terpasung. Karya-karya Pra moedya dilarang terbit. Kegiatan kreatif sastra wan: Rendra dan Emha, yang dianggap sebagai “tukang ngompori” dan sebagai pemicu ke rusuhan dilarang untuk mementaskan hasil karya kreatifnya.
Demikian pula halnya dengan dunia pers. Di bawah naungan “pers Pancasila”, segala sesuatu yang berlawanan dengan garis kebijakan pemerintah Orde Baru akan senantiasa dihantui oleh pencabutan SIUPP oleh Departemen Penerangan. Oleh karena itu, segala bentuk pem- beritaan, opini, ataupun kritik selalu dikontrol oleh departemen yang pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (1999) dibubarkan.
Agaknya, pembusukan yang dilakukan oleh Orde Baru di balik bendera “pembangunan dan stabilitas nasional” telah mencapai puncaknya. Stabilitas ekonomi ternyata hanyalah Agaknya, pembusukan yang dilakukan oleh Orde Baru di balik bendera “pembangunan dan stabilitas nasional” telah mencapai puncaknya. Stabilitas ekonomi ternyata hanyalah
4.2 Sistem Kepengarangan
kepercayaan tersebut membuat rezim Orde Berbicara tentang sistem kepengarang an Baru menjadi limbung. Sejalan dengan itu, para tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang
mahasiswa di hampir seluruh pelosok tanah siapa saja pengarang (novelis) Yogya karta pada air yang didukung oleh tokoh-tokoh reformasi kurun waktu 1981--2000, latar belakang sosial, dan seperti Amien Rais melakukan berbagai unjuk tempat mereka berdomisili. Senada dengan hal rasa dengan agenda menurunkan harga bahan itu, Damono (1993:235) menge mukakan bahwa pokok yang melangit sejak Juli 1997 serta me- pengarang sebagai individu dan kelompok lengserkan Soeharto. Khusus di Yogyakarta, dapat dipelajari, antara lain, dari asal-usul, gerakan mahasiswa dimulai pada bulan Februari pendidikan, dan ideologi atau pandangannya 1998 di kampus UGM. Pada tanggal 20 Mei 1998 tentang kesastraan meskipun dalam penelitian ribuan orang berkumpul di alun-alun utara ini tidak dibicarakan secara detail. Pembicaraan Keraton Yogyakarta. Pengerahan massa itu me- tentang sistem kepengarangan itu dapat meng- rupakan yang terbesar dalam gerakan reformasi hasilkan pemahaman yang berkaitan dengan di Yogyakarta. Dalam peristiwa itu Sri Sultan karya yang dihasilkannya. Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam
Salah satu novelis Yogyakarta yang menonjol
VIII membacakan empat butir maklumat, pada periode awal 1980-an, dan merupakan ke- antara lain agar masyarakat Yogyakarta men- lanjutan dari periode kepengarangan sebelum- dukung reformasi dan ABRI melindungi nya adalah Nasjah Djamin, yang me miliki nama rakyat. Puncaknya, sehari kemudian di Jakarta, asli Noer Alamsjah. Lelaki kelahiran Per baungan, pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto Sumatra Utara, pada tanggal 24 September 1924 me ngundurkan diri dan digantikan oleh B.J. dan meninggal di Yogyakarta pada tanggal 4 Habibie.
September 1997 ini pada awal 1960-an lebih Orde Reformasi yang dipimpin oleh pakar giat menulis novel ataupun cerpen. Di antara
aeronautika, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, telah karyanya yang berbentuk novel yang terbit pada membuka keran kebebasan yang semula ter- periode 1981--2000 adalah Dan Senja pun Turun sumbat atau sengaja disumbat. Keran tersebut (Sinar Harapan, 1981), Tresna Atas Tresna (tanpa makin diperlebar pada masa Presiden Abdur- penerbit, 1983), Bukit Harapan (Pustaka Jaya, rahman Wahid. Sejak saat itu kebebasan yang 1984), Tiga Puntung Rokok (Pustaka Jaya, 1985), direguk oleh masyarakat, termasuk sastrawan, Ombak dan Pasir (tanpa penerbit, 1988), dan Ibu dapat dikatakan tidak terbatas. Hal itu berimbas (tanpa penerbit, 1988). pula pada munculnya berbagai penerbitan
Yusuf Bilyarta (disingkat Y.B.) Mangun- buku, khususnya di Yogyakarta. Kegairahan wijaya lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, 6 Mei ber ekspresi para sastrawan untuk menerima 1929, dan meninggal pada 10 Februari 1999 di zaman kebebasan pun terlihat di koran-koran Jakarta. Lahir dari kalangan pemeluk agama “dominan” terbitan Yogyakarta, misalnya Katolik yang taat mengantarkannya menjadi Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jogja Pos, dan Minggu Romo yang taat dan saleh. Bukan hanya kesa- Pagi . Suasana kehidupan penulisan puisi lewat lehan religius, melainkan juga kesalehan sosial. media massa memperoleh “angin baru” yang Selain taat dan saleh, ia dikenal pula sebagai memungkinkan tumbuhnya kreativitas yang seorang intelektual. Gelar sarjana filsafat
Lingkungan Pendukung Novel Indonesia di Yogyakarta Periode 1981--2000
Linus Suryadi A.G. lahir di Kadisobo, dan fiksi. Adapun bukubuku fiksi (novel)nya Trimulyo, Sleman, Yogyakarta, pada 3 Maret 1951 yang telah terbit adalah Romo Rahadi (1981), dan meninggal di Yogyakarta, pada 30 Juli 1999.
Burung-Burung Manyar (1981), Ikan-Ikan Hiu, Ido, Berpendidikan SD, SMP, SMA Paspal (1970), Homa (1983), Trilogi Roro Mendut (1983), Balada dan meneruskan ke Jurusan Bahasa Inggris ABA Becak (1985), Genduk Duku (1987), Lusi Lindri (1971, tidak tamat) dan Jurusan Bahasa Inggris (1987), Burung-Burung Rantau (1992), Balada IKIP Sanata Dharma (1972, juga tidak tamat). Ia Dara-Dara Mendut (1993), Durga Umayi (1994), pernah mengikuti International Writing Program dan Pohon-Pohon Sesawi (1999).
di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat Umar Kayam—sastrawan, budayawan, dan (1982). Linus juga pernah menjadi redaktur sosiolog—yang lahir di Ngawi, Jawa Timur, kebudayaan harian Berita Nasional (1979-- pada 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta 1986) di Yogyakarta, anggota Dewan Kesenian pada 16 Maret 2002 tidak hanya menulis karya Yogyakarta (1986--1988), dan pemimpin redaksi sastra (cerpen dan novel), tetapi juga esai, kolom, majalah Citra Yogya (1987--1999). Ia lebih banyak dan karya ilmiah. Dalam posisinya se bagai berkarya dalam genre puisi daripada prosa. Ia penulis, doktor sosiologi dari Cornell University pun lebih banyak dikenal karena prosa lirisnya ini dinilai oleh pakar telah berhasil memadukan Pengakuan Pariyem (1981). antara ilmu dan seni. Oleh karena itu, pada
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) merupakan beberapa tulisannya sulit dicari benang merah salah seorang yang memiliki beberapa julukan: yang dapat secara tegas membedakan tulisan- kiai mbeling, sastrawan, esais, dan budayawan. tulisannya itu sebagai karya fiksi atau karya Lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. ilmiah, misalnya Para Priyayi (1992) dan Jalan Mem peroleh pendidikan di Pondok Pesantren Menikung (1999). Kedua novelnya itu meru- Gontor, SMA di Yogyakarta, dan Fakultas pakan bentuk kajian sosiologis terhadap budaya Ekonomi UGM (meskipun hanya sebentar). priayi dalam masyarakat Jawa.
Pernah menjadi redaktur harian Masa Kini, Salah seorang novelis kelahiran Yogyakarta Yogyakarta (1973--1976), dan memimpin Teater (Sanden, Bantul) adalah Kuntowijoyo. Novelis Dinasti Yogyakarta. Seperti halnya Linus, Cak yang juga dikenal sebagai sejarawan, buda- Nun lebih banyak berkarya dalam genre puisi. yawan, dan intelektual muslim yang cemerlang Hanya ada dua novel karya Cak Nun yang itu lahir pada 18 September 1943 dan meninggal ber hasil peneliti identifikasi selama periode di Yogyakarta pada 22 Februari 2005. Jika di- 1981—2000, yaitu Gerakan Punakawan atawa Arus cermati dari genre yang dihasilkannya, tampak- Bawah (1994) dan Pak Kanjeng (yang pada awal- nya kekuatan kepenulisan Kuntowijoyo lebih nya berupa naskah drama, terbit tahun 2000). bertumpu pada penulisan cerpen. Adapun
Di samping sastrawan (novelis) tersebut karya-karya novelnya hanya tercatat beberapa di atas terdapat pula beberapa nama, misalnya judul, yakni Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari Ashadi Siregar, Ngarto Februana, dan Achmad
PROSIDING
Munif yang lebih dikenal sebagai penulis novel ketidakadilan dalam penerapan hukum antara populer. Ashadi Siregar tercatat tidak lagi me- orang yang kaya dan miskin. nulis novel pada periode 1981—2000 meskipun
Kedua , sebagian besar mereka adalah pen- novelnya yang berjudul Jentera Lepas diterbitkan datang yang menuntut ilmu pada pendidikan
ulang oleh Bentang (1994). Ngarto Februana tinggi dan atau bekerja di Yogyakarta, misalnya yang berproses kreatif di Yogyakarta menulis Nasjah Djamin yang berasal dari Sumatera, novel Lorong Tanpa Cahaya (1999) dan Menolak Umar Kayam yang berasal dari Ngawi, Y.B. Panggilan Pulang (2000). Adapun Achmad Munif Mangunwijaya yang berasal dari Ambarawa, dan tercatat menulis sebuah novel berjudul Tikungan Emha Ainun Nadjib yang berasal dari Jombang. (2000).
Hanya Kuntowijoyo dan Linus Suryadi yang Beberapa sastrawan Yogyakarta periode merupakan warga “asli” Yogyakarta. Meskipun 1981—2000 yang telah dibeberkan secara sekilas berasal dari luar Yogyakarta, mereka sudah tersebut memiliki beberapa kesamaan. Setidak- sangat identik sebagai warga Yogyakarta. tidaknya terdapat empat persamaan.
Ketiga , mereka adalah para intelektual di Pertama , mereka sangat kritis terhadap bidangnya masing-masing. Meskipun Emha ber bagai persoalan sosial-budaya ataupun Ainun Nadjib tidak memperoleh gelar ke- politik di Indonesia. Kekritisan mereka tidak sarjanaannya, tidak ada yang tidak mengakui hanya diungkapkan melalui esai atau karya kadar intelektualitas. Demikian juga dengan nonfiksi, tetapi juga melalui karyakarya sastra. Linus Suryadi yang tidak sempat menamatkan Namun, bentuk kritik yang dilontarkan dalam pendidikan tingginya, ia memiliki kadar intelek- novel mereka berbeda intensitasnya: ada yang tualitas yang tinggi yang dapat ditakar dari tersirat atau tersamar, ada pula yang tersurat. karya-karya yang dihasilkannya, baik berupa Fenomena tersebut sangat menarik karena di karya sastra maupun karya kritik/esai. tengah pemerintahan yang sangat represif,
Keempat , para pengarang novel tersebut mereka memiliki keberanian menyuarakan tidak hanya semata-mata menulis genre novel,
suara-suara yang selama itu terpendam, baik tetapi lebih banyak menulis genre puisi ataupun secara tersirat maupun tersurat. Misalnya, cerpen, termasuk esai tentang sastra dan budaya Mantra Penjinak Ular-nya Kuntowijoyo, begitu (nonfiksi). Linus Suryadi dan Emha Ainun halus dalam mengkritik situasi sosial-politik Nadjib, misalnya, lebih produktif menulis nasional melalui tokoh Abu Kasan Sapari, puisi. Adapun Nasjah Djamin, Kuntowijoyo, seorang dalang sekaligus pegawai kecamatan di Y.B. Mangunwijaya, dan Umar Kayam banyak kaki Gunung Lawu. Pak Kanjeng karya Cak Nun menulis cerpen. yang mengkritik kebijakan Orde Baru dalam
Dilihat dari aspek kuantitas atau jumlah membuat proyek Waduk Kedung Ombo yang (dalam penelitian ini “hanya” tercatat enam
membuat lima ribu lebih warga kehilangan sastrawan dengan beberapa novelnya), hal itu tanah dan tempat tinggalnya. Para Priyayi -nya menunjukkan bahwa menulis novel lebih sulit Umar Kayam sesungguhnya dapat dimaknai dan rumit jika dibandingkan dengan menulis sebagai upaya untuk menunjukkan sosok puisi dan cerpen. Jika menulis puisi rata-rata priyayi yang menjadi penguasa negeri ini (pada dapat diselesaikan dalam jangka waktu satu saat itu), di samping kritik terhadap peristiwa hari, menulis cerpen bisa dirampungkan dalam penumpasan PKI awal Orde Baru. Sementara jangka waktu satu minggu, menulis novel tentu itu, Nasjah Djamin melalui Dan Senja pun Turun diperlukan waktu yang jauh lebih panjang. Hal dengan tegas memasukkan kritik yang tajam itu disebabkan oleh kompleksitas permasalahan terhadap ketimpangan sosial yang disebabkan yang ditampilkan di dalam novel, termasuk juga oleh perilaku koruptif para pejabat, di samping observasi untuk mengumpulkan bahan-bahan
Lingkungan Pendukung Novel Indonesia di Yogyakarta Periode 1981--2000
Meskipun kuantitasnya terbatas, muncul- bisa dan sanggup melakukannya, apalagi nya beberapa penerbit itu sangat mendukung untuk bisa mencapai karya masterpiece, seperti perkembangan kesusastraan Indonesia di Yogya-
karya-karya Umar Kayam, Kuntowijoyo, Y.B. karta pada era 1981—2000. Meskipun telah Mangunwijaya, ataupun Linus Suryadi. Inilah terdapat beberapa penerbit di Yogyakarta, tidak sebabnya mengapa pengarang dan novel yang jarang karya-karya unggulan novelis Yogya- dihasilkan selama periode 1981—2000 jumlah- karta--seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, nya sangat terbatas.
atau Romo Mangun--diterbitkan oleh penerbit- Terdapat sebab lain yang membuat sistem penerbit di luar Yogyakarta, terutama penerbit kepengarangan novel tidak segegap-gempita besar di Jakarta, seperti Gramedia, Sinar kepengarangan cerpen dan puisi. Hal ini jika Harapan, Djambatan, atau Grafiti, khususnya dikaitkan dengan penerbit dan penerbitan, tidak pada tahun 1980-an hingga tahun 1990-an. mudah untuk bisa menerbitkan novel, apalagi
Beberapa penerbit di Yogyakarta yang me- oleh penerbit-penerbit besar. Mereka (penerbit) miliki kepedulian menerbitkan karya sastra pasti memperhitungkan siapa penulis novel itu Indonesia, antara lain, adalah Gama Media, dan siapa pangsa pasar yang ditujunya. Untuk Media Pressindo, Yayasan Bentang Budaya, dan itulah, mengapa yang tercatat dalam sistem Kanisius. Di samping itu, terdapat pula beberapa kepengarangan novel Indonesia di Yogyakarta penerbit “kecil” yang juga menerbitkan karya jumlahnya sangat terbatas dan hanya sastrawan sastra, misalnya Navila dan Zaituna. Berikut yang sudah memiliki nama besar, seperti Umar profil singkat beberapa penerbit yang mener Kayam, Kuntowijoyo, dan Y.B. Mangunwijaya bitkan karya sastra. yang bisa eksis. Hal ini berbeda dengan puisi
Gama Media yang didirikan oleh Ny. dan cerpen yang dengan mudah tampil melalui Arnabun, S.E. pada akhir 1990-an berlokasi di
rubrik-rubrik di koran ataupun majalah atau- Jalan Lowanu 55, Yogyakarta. Penerbit ini sangat pun dalam antologi puisi/cerpen (Widati dkk., peduli menerbitkan buku sastra dan budaya. 2009:40).
Pada awal penerbitannya (hingga tahun 2000) lebih banyak menerbitkan novel anak dan