Perlawanan Kapiten Pattimura Sudut Bumi IPS Terpadu Kelas 8 Kurtubi 2009

64 Sudut Bumi - IPS Terpadu untuk SMPMTs Kelas VIII Gambar 4.9 Christina Martha Tiahahu Gambar 4.10 Imam Bonjol Sumber: image.g oogle.com Sumber: image.g oogle.com Maluku. Pusat perlawanan mulai tumbuh, terutama di Saparua, dibawah pimpinan Thomas Matulessy Pattimura dan pemimpin-pemimpin lainnya, seperti Antonie Rhebox, Thomas Pattiweal, Lucas Lattumahina, Said Perintah, Paulus Tiahahu, dan Ulupoha. Rakyat bergerak menolak kembalinya Belanda. Perlawanan rakyat Maluku diawali dengan membakar perahu Pos di Porto pelabuhan pada 15 Mei 1817 dan mengepung Benteng Duurstede. Keesokan harinya rakyat berhasil menguasai benteng dan menembak mati Residen Maluku, Van De Berg. Pada 14 Mei 1817, Pattimura mulai memimpin perlawanan kepada Belanda, terutama di Porto. Belanda kesulitan, akhirnya Belanda meminta bantuan dari Ambon. Dikirimlah pasukan sebanyak 200 orang pada Juli 1817. Untuk kedua kalinya Belanda datang ke Saparua dan berhasil menguasai Benteng Duurstede pada Agustus 1817. Pejuang Maluku kemudian melanjutkan perjuangan dengan sistem gerilya. Belanda ingin secepatnya menangkap pemimpin-pemimpin perlawanan. Selain mengerahkan pasukan yang banyak, Belanda juga mengumumkan bahwa mereka akan diberi hadiah 100 Gulden bagi siapa saja yang dapat menangkap Pattimura dan 500 Gulden untuk pemimpin-pemimpin lainnya. Akan tetapi, rakyat Maluku tidak tergiur oleh hadiah tersebut. Pada Oktober 1817, Belanda berkeinginan untuk segera menyelesaikan perang. Untuk itulah pada bulan tersebut Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya, Pattimura dan pemimpin-peminpin lainnya dapat ditangkap Belanda, dan pada 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di Kota Ambon. Dalam Perang Maluku dikenal pula pahlawan wanita, Christina Martha Tiahahu dan sering dijuluki Mutiara dari Timur, yang ikut berjuang melawan Belanda sekalipun usia yang masih muda 17 tahun dan wafat 1 Januari 1818 dalam pengasingan pembuangan di Pulau Jawa.

2. Perlawanan Tuanku Imam Bonjol

Di Minangkabau Sumatra Barat, pada abad ke-19 terjadi perselisihan antara kaum Paderi dengan kaum Adat. Kaum Paderi, yaitu para pemeluk agama Islam yang tidak dipengaruhi oleh adat kebiasaan. Sedangkan, kaum Adat adalah pemeluk Islam yang banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan yang kurang baik, seperti berjudi, menyabung ayam, dan lain-lain. Dalam perjuangannya, Tuanku Imam Bonjol dibantu oleh Tuanku Ranceh, Tuanku Nan Cerdik, dan Tuanku Nan Peasaman. Setelah terjadi perang saudara, kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Belanda. Pada 1821, Belanda ikut campur dan membantu kaum Adat. Belanda menyerbu Tanah Datar pada 1822 dengan menggunakan 65 Bab 4 | Proses Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia siasat benteng, seperti Benteng Fort de Kock di Bukit Tinggi. Karena kalah persenjataannya, kaum Paderi mundur. Setelah peperangan yang cukup lama, pada 1832 Belanda dapat menguasai Bonjol. Kaum Adat menyadari bahwa bantuan Belanda hanya siasat adu domba, sebenarnya Belanda ingin menguasai Minangkabau. Pada 1837 Belanda kembali dan meningkatkan penyerangannya ke Bonjol dibawah pimpinan Letnan Kolonel Micheels. Bonjol jatuh ke tangan Belanda, karena serangan tidak seimbang. Tuanku Imam Bonjol melarikan diri. Pada 28 Oktober 1837 Belanda mengundang Imam Bonjol untuk berunding. Kemudian, Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Cianjur. Pada 1839, Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon, kemudian Minahasa sampai wafatnya 1864.

3. Perang Diponegoro 1825 - 1830

Putra Sultan Hamengkubuwono III yang lahir pada 1785 diberi nama Raden Mas Ontowiryo, kemudian dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Sejak kecil beliau diasuh oleh Ratu Ageng Janda Hamengkubuwono I. Pangeran Diponegoro sangat sedih melihat penderitaan rakyat saat itu. Tanah-tanah rakyat diambil untuk dijadikan perkebunan Belanda. Kebencian Pangeran Diponegoro tambah memuncak setelah mengetahui bahwa Belanda mematok tanah leluhurnya untuk dijadikan jalan antara Magelang-Tegalrejo. Bersama rakyat, Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok tersebut dan diganti dengan tombak. Atas tindakan Pangeran Diponegoro, Belanda marah dan menandakan tantangan perang. Perang Diponegoro terjadi pada 12 Juli 1825 dan berakhir pada 1830. Berikut ini adalah sebab-sebab terjadinya Perang Diponegoro: a masuknya pengaruh Barat dalam lingkungan keraton, seperti minum-minuman keras; b Belanda akan mempersempit kekuasaan raja-raja; dan c rakyat menderita akibat tingginya pajak dan kerja paksa. Dalam perlawanannya melawan Belanda, Pangeran Diponegoro dibantu oleh Pangeran Mangku Bumi, Kyai Maja, Sentot Alibasyah Prawirodirjo dari kalangan muda. Pangeran Diponegoro dalam pepe-rangannya menggunakan sistem gerilya. Sedangkan, Belanda menggunakan sistem Benteng Stelse. Pangeran Diponegoro juga disebut sebagai pahlawan dari Gua Selarong. Karena, Pangeran Diponegoro ketika sampai di Selarong ia bertapa di gua tersebut. Dalam peperangan tersebut banyak pasukan Gambar 4.11 Pangeran Diponegoro Sumber: image.g oogle.com