19
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa saja yang dibutuhkan orang lain
sehingga menjadi lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain. Kunci dari empati adalah kemampuan membaca kesan nonverbal, yaitu nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi
wajah. Rosenthal
dalam Priyanti, 2003 dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosi, lebih
populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki dalam Goleman, 2005, seorang ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak
yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustrasi. Seseorang yang mampu membaca
emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan
mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain dalam Wahyuningsih,
2004.
e. Membina Hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan
20
keberhasilan antar pribadi Goleman, 2005. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan
membina hubungan. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun, karena orang
tersebut mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang- orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang
menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi dalam Goleman, 2005. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat
dijadikan petunjuk positif bagaimana anak mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian anak berkembang dilihat
dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
5. Ciri-ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi
Berdasarkan aspek kecerdasan emosi yang telah terpapar di atas, Goleman 2001 menyimpulkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan
emosi tinggi sebagai berikut: a. Memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu;
b. Mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak sabar; c. Memikirkan akibat sebelum bertindak;
d. Berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup; e. Sadar akan perasaan diri dan orang lain;
f. Berempati dengan orang lain; g. Dapat mengendalikan mood dan perasaan negatif;
21
h. Membentuk konsep diri yang positif; i. Mudah menjalin persahabatan dengan orang lain;
j. Mahir dalam berkomunikasi; k. Menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.
Sedangkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat; b. Pemarah, bertindak agresif;
c. Memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas; d. Kurang peka terhadap perasaaan diri;
e. Tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif; f. Terpengaruh oleh perasaan negatif;
g. Harga diri negatif; h. Tidak mampu menjalin persahabatan dengan orang lain;
i. Menyelesaikan konflik dengan kekerasan.
Berdasarkan ciri-ciri yang telah diuraikan di atas, anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mampu menguasai gejolak emosinya,
menjalin hubungan baik dengan orang lain, dan mampu mengelola tekanan-tekanan atau stres, serta memiliki kesehatan mental yang baik.
Selain itu, anak dengan kecerdasan emosi tinggi juga mampu lebih cepat menguasai perasaan-perasaan negatif yang dialaminya, sehingga proses
22
menuju kehidupan emosi yang normal dapat dilakukan pula dengan cepat. Menurut Monks 1996, kecerdasan emosi yang tinggi pada anak dapat
mengalami penurunan apabila orangtua dan lingkungan yang melingkupi anak tidak mampu memberikan dorongan atau bimbingan dalam Priyanti,
2003.
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut Gottman dan Declaire 2003 ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain, yaitu:
a. Keluarga Goleman 2002 mengatakan kehidupan keluarga merupakan
sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Dalam wadah besar yang akrab ini, individu belajar bagaimana merasa tentang diri sendiri dan
orang lain bereaksi terhadap perasaan diri, bagaimana memikirkan perasaan yang dimiliki dan pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk
bereaksi. Keluarga, khususnya orangtua bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan emosi anak. Agar seorang anak dapat
berkembang wajar secara psikososial, anak perlu mendapat perhatian, pengertian, rasa aman, penghargaan dan penerimaan dari kedua
orangtuanya. Menurut Suwondo dalam Retnowati, 2007 yang pertama kali bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik
secara rohani, jasmani maupun sosial adalah orangtuanya. Sedangkan Gunarsa 1990 menyatakan bahwa secara khusus ibu berperan penting
23
dalam upaya pemenuhan kebutuhan emosi anak melalui perhatian dan sikap dalam berinteraksi serta berkomunikasi dengan anak karena ibu
merupakan sosok yang dekat dengan anak dan berperan sebagai pelindung dan pengasuh utama dalam Retnowati, 2007.
b. Pengalaman dengan Lingkungan Sekitar Kecenderungan seseorang untuk bertindak biasanya diawali oleh
pengalaman hidupnya. Cara mempelajari keterampilan emosi dapat diperoleh dari pengalaman dengan lingkungan sekitar, ketika individu
melakukan kontak sosial dengan orang lain. Adanya hubungan dengan orang lain dapat mempengaruhi perilaku individu seperti bagaimana
menilai orang lain, bagaimana berkomunikasi dan bagaimana individu dapat menentukan sikap Goleman, 2005.
c. Pendidikan Sekolah Sekolah dapat menjadi salah satu lembaga yang dapat
mengajarkan kecerdasan emosi. Goleman menyebutkan bahwa sekolah dapat berperan besar dengan mencantumkan keterampilan emosi dalam
kurikulumnya. Adanya
rancangan yang
lebih luas
dengan mengembangkan kurikulum pelajaran keterampilan emosi ataupun
mempersiapkan guru yang berkompeten untuk membantu mengajarkan keterampilan emosi Goleman, 2005.
24
B. Anak-anak Masa Pertengahan dan Akhir 1. Batasan Usia Anak Usia Akhir Anak-anak
Anak tahap akhir berkisar antara usia 6-12 tahun, namun akhir usia anak tahap akhir lebih ditandai oleh kematangan seksual, sehingga usia
akhir anak tahap akhir bisa berubah sesuai dengan kondisi individu. Para ahli lebih banyak menyebut periode anak tahap akhir sebagai usia sekolah
dasar karena di usia ini anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri
pada kehidupan dewasa. Menurut Hurlock 1980, masa pertengahan dan akhir anak-anak
merupakan kelanjutan dari masa awal anak-anak yang dimulai dari usia pra sekolah hingga usia sekolah dasar. Periode perkembangan ini
berlangsung dari usia 6 tahun hingga anak menjadi individu yang matang secara seksual, yaitu usia sekitar 12 tahun dalam Desmita, 2010.
2. Karakteristik Perkembangan Masa Pertengahan dan Akhir Anak- anak
Periode perkembangan masa pertengahan dan akhir kanak-kanak memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Perkembangan Fisik
Masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan periode pertumbuhan fisik yang lambat dan konsisten sampai mulai terjadi
perubahan-perubahan pubertas, kira-kira 2 tahun menjelang anak