Ibu sebagai Orangtua Tunggal
39
masih melalui ekspresi wajah. Oleh sebab itu, pengalaman emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen
hingga dewasa. Idealnya seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari
ayah dan ibu, namun hal tersebut akan berbeda jika salah satu atau bahkan kedua orangtua mereka tidak ada, apakah disebabkan oleh meninggalnya salah
satu orangtua ataupun karena perceraian. Berdasarkan berbagai sumber, jumlah wanita yang menjadi orangtua
tunggal lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria yang menjadi orangtua tunggal. Menurut Kimmel 1980, hal ini terjadi karena wanita memiliki usia
rata-rata yang lebih panjang dan pada umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua usianya. Di samping itu, lebih banyak duda yang menikah
kembali sehingga lebih banyak jumlah janda dibandingkan duda dalam Hetherington Parke, 1999.
Wanita yang menjadi orangtua tunggal mempunyai beban dan tanggung jawab yang berat karena harus memegang dua peran sekaligus.
Peran yang harus dijalankan adalah peran sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak, serta menggantikan figur ayah yang harus mencari nafkah
Bird dalam Gass-Sternas, 1995. Oleh karena peran ganda yang dipegang sekaligus tersebut, ibu cenderung memiliki perasan khawatir terhadap anak
sehingga memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak. Di sisi lain, ibu juga cenderung tidak memiliki waktu yang cukup lagi untuk anak karena
harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan finansial.
40
Hetherington dan rekannya 1999 mencatat bahwa segera setelah berpisah dari suami, ibu cenderung mengadopsi pola asuh yang lebih otoriter.
Ibu memberi banyak larangan dan perintah serta menunjukkan sedikit afeksi dan tanggapan terhadap anak-anak. Tidak diragukan lagi bahwa ibu
mengalami masalah, baik dalam mengatasi permasalahan emosi maupun praktis dengan status baru sebagai orangtua tunggal. Ibu akan menanggapi
anak dengan pembatasan dan hukuman yang meningkat. Terjebak dalam spiral frustrasi, ketidakberdayaan dan perasaan tidak mampu, ibu-ibu merespon
secara negatif pada banyak perilaku anak-anak, bahkan perilaku anak yang netral atau positif sekalipun.
Data membuktikan bahwa anak-anak yang dididik oleh orangtua yang bercerai jauh lebih besar kemungkinannya untuk memperlihatkan tingkah laku
antisosial serta agresi terhadap teman-teman bermain mereka. Anak-anak tersebut juga menghadapi lebih banyak kesulitan untuk mengatur emosi
mereka, untuk memusatkan perhatian dan menghibur diri saat merasa marah. Anak-anak yang pernikahan orangtuanya menyedihkan akan menjadi kurang
mampu berkerjasama saat bermain bersama teman dan mempunyai lebih banyak interaksi negatif dengan teman-teman bermainnya jika dibandingkan
dengan anak-anak yang pernikahan orangtuanya bahagia Gottman DeClaire, 2008.
Banyak ilmuwan sosial lain telah membuat penemuan-penemuan serupa tentang masalah-masalah tingkah laku diantara anak-anak yang
pernikahan orangtuanya bermasalah. Jika dikumpulkan bersama-sama,
41
penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa perceraian dan konflik pernikahan dapat menempatkan anak pada suatu lintasan yang menjurus pada
masalah-masalah berat dikemudian hari Gottman DeClaire, 2008. Untuk lebih memperjelas mengenai terbentuknya kecerdasan emosi
pada anak, maka di bawah ini akan digambarkan sebuah skema:
Skema Gambaran Umum tentang Terbentuknya Kecerdasan Emosi pada Anak