79
Tabel 33. Pendapatan Rata-Rata Respoden menurut Subsektor di Kecamatan
Dramaga Tahun 2008
Jenis Pendapatan Tanaman Pangan
Per HaTahun Perikanan
Per HaTahun Peternakan
Per 1000 ekortahun Pendapatan rata-rata
atas biaya tunai Rp 6.948.888
36.940.289 14.483.333
Pendapatan rata-rata atas biaya total Rp
5.702.939 36.863.754
13.864.281
Dilihat dari aspek pendapatan pada Tabel 33 menunjukkan bahwa pendapatan pada subsektor perikanan nilainya lebih besar dibandingkan subsektor
tanaman pangan dan subsektor peternakan. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai petani subsektor perikanan Rp 36.940.289 sedangkan pendapatan rata-rata atas
biaya total Rp 36.863.754. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai pada subsektor tanaman pangan sebesar Rp 6.948.888 per tahun. Sedangkan pendapatan rata-rata
atas biaya total Rp 5.702.939. Pada subsektor peternakan pendapatan rata-rata atas biaya tunai Rp 14.483.333. Sedangkan pendapatan rata-rata atas biaya total Rp
13.864.281. Perbedaan perbandingan angka pendapatan pada subsektor perikanan
dengan subsektor peternakan karena pada subsektor peternakan meskipun angka penerimaan tinggi akan tetapi biaya operasional pada subsektor peternakan jauh
lebih tinggi dibanding kedua sektor lainnya, terutama biaya untuk pembelian pakan dan DOC. Sedangkan perbedaan angka pendapatan dengan subsektor
tanaman pangan disebabkan oleh nilai ekonomis dari output yang dihasilkan dari subsektor tanaman pangan nilainya lebih rendah dibandingkan subsektor
perikanan. Keragaman pendapatan petani pada setiap subsektor di atas menunjukkan
potensi permintaan pembiayaan pada sektor pertanian. Namun demikan meskipun informasi mengenai pendapatan usahatani tersebut merupakan potensi penyaluran
pembiayaan bagi LKS, tinggi rendahnya pendapatan petani pada setiap subsektor tidak menunjukkan tingginya aksesibilitas petani terhadap LKS. Hal tersebut
dilihat dari hasil tabulasi silang yang menunjukkan tidak ada satu pun petani yang pernah mengakses LKS.
6.2.2 Daya Jangkau Petani Responden Terhadap Lembaga Keuangan
80
Syariah dilihat dari Aspek Skala Usaha
Dilihat dari aspek skala usaha, mayoritas petani responden pada subsektor tanaman pangan tergolong kedalam petani berskala kecil sebanyak 62,79 persen
dengan pengusahaan lahan di bawah 0,5 hektar. Golongan petani menengah hanya 11,63 persen. Namun tidak sedikit juga yang tergolong kedalam petani besar yaitu
sebesar 25,58 persen. Semakin luas lahan yang dimiliki atau diusahakan oleh petani, maka kemungkinan besaran pendapatan petani akan semakin tinggi.
Karena banyaknya komoditas yang diusahakan, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap output usahatani. Skala usahatani responden subsektor tanaman
pangan berdasarkan skala usaha dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34.
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Tanaman Pangan menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008
Skala Usaha Jumlah orang
Persentase Kecil 0,5 Ha
27 62,79
Menengah 0,5 - 1 Ha 5
11,63 Besar 1 -
≥ 2 Ha 11
25,58 Total 43
100,00 Skala usaha responden subsektor perikanan didominasi oleh responden
dengan skala usaha kecil. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 35. Luas lahan yang dipergunakan untuk kolam budidaya dengan luasan di bawah 0,5 hektar
terdiri dari 66,67 persen responden. Hanya 33,33 persen saja yang mengusahakan lahan untuk kolam budidaya antara 0,5 - 1 hektar. Bahkan tidak ada sama sekali
yang mengusahakan lahan untuk kolam budidaya di atas satu hektar.
Tabel 35. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Perikanan
menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha
Jumlah orang Persentase
Kecil 0,5 Ha 6
66,67 Menengah 0,5 - 1 Ha
3 33,33
Besar 1 - ≥ 2 Ha
0,00 Total 9
100,00 Pada subsektor peternakan skala usaha ternak ayam broiler dibagi menjadi
skala kecil, sedang dan besar. Usaha ternak skala kecil jika peternak memiliki jumlah kurang dari 2.000 ekor, skala sedang dengan kepemilikan jumlah ternak
antara 2.000 – 10.000 ekor, dan skala besar dengan jumlah kepemilikan ternak
81
lebih dari 10.000 ekor
3
. Tampak pada Tabel 37 mayoritas responden memiliki
skala usaha peternakan yang menengah yaitu 2000 – 10.000 ekor sebanyak 87,50 persen dan hanya 12,50 persen yang berskala usaha 10.000 ekor. Tidak ada
peternak yang usahaternaknya dalam skala kecil. Skala usaha responden pada subsektor peternakan dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 36. Sebaran dan Jumlah Responden Subsektor Peternakan menurut Skala
Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha ekor
Jumlah orang Persentase
2000 0,00
2000 – 10.000 7
87,50 10.000
1 12,50
Total 8 100,00
Skala usaha dari masing-masing subsektor cukup beragam. Namun seperti halnya pendapatan usahatani. Sekala usaha tidak linier dengan tingkat
aksesibilitas petani terhadap LKS. Tingginya pendapatan dan skala usaha petani tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat aksesibilitas terhadap LKS.
Rendahnya akses petani terhadap LKS tersebut lebih disebabkan oleh keterbatasan informasi yang dimiliki responden. Promosi yang dilakukan LKS
yang berada di Kecamatan Dramaga pun masih kurang. Sehingga tidak banyak dari responden yang tahu mengenai cara mengakses pembiayaan di LKS.
Disamping itu persepsi responden terhadap LKS juga memberikan pengaruh penting terhadap aksesibilitas responden. Demikian juga dengan persepsi dari
LKS terhadap usaha bidang pertanian di sektor produksi. Menurut beberapa manajemen LKS yang terdapat di Kecamatan Dramaga
dan sekitarnya, meskipun ada skim kredit untuk sektor pertanian LKS sangat sulit untuk menyalurkan pembiayaan pertanian pada sektor produksi karena
karakterisitik usahatani yang penuh dengan ketidakpastian. Lembaga keuangan syariah yang terdapat di kecamatan Dramaga lebih tertarik menyalurkan
pembiayaan pada sektor perdagangan dengan akad pembiayaan Mudharabah.
3
Op.cit
82
Padahal menurut Wibowo dan Widodo 2005, ada tujuh jenis pembiayaan utama pada LKS dengan sistem bagi hasil. Dari jenis-jenis pembiayaan tersebut
setidaknya ada empat jenis produk pembiayaan syariah yang dipandang ideal untuk sektor pertanian yaitu mudharabah, murabahah, bai assalam dan
musyarakah . Produk mudharabah dan murabahah lebih preferable sebagai
pilihan utama dibandingkan produk pembiayaan lainnya. Namun yang secara konsep sangat cocok untuk sektor pertanian adalah pembiayaan bai assalam.
Pihak perbankan menganggap bahwa sektor pertanian memiliki tingkat resiko yang tinggi, terutama pembiayaan pada subsistem onfarm. Sementara untuk
aspek perdagangan, tingkat resiko sama saja dengan sektor ekonomi lainnya. Walaupun demikian, potensi pembiayaan untuk sektor pertanian tetap masih
prospektif untuk mendapatkan pembiayaan. Prospek ini terkait dengan demand terhadap produk pertanian yang terus mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan. Proporsi alokasi pembiayaan oleh perbankan terhadap sektor pertanian
dipengaruhi oleh plafond pembiayaan yang tersedia. Menurut pihak LKS hanya disediakan tiga persen 3 skim pembiayaan untuk sektor pertanian. Meskipun
tersedia pihak LKS tidak berani menanggung resiko karena tingginya ketidakpastian di bisnis pertanian.
Ada beberapa pertimbangan pihak pengelola perbankan syariah dalam menentukan prioritas pembiayaan pada masing-masing sektor ekonomi adalah: 1
tingkat resiko usaha, 2 percepatan perputaran modal, 3 sumber pendapatan, umumnya perbankan lebih yakin membiayai nasabah yang memiliki pendapatan
tetap, 4 ketersediaan agunan, 5 karakteristik nasabah, 6 historis perusahaan serta 7 kemudahan prosedur pengembalian pinjaman.
6.3 Persepsi Responden terhadap Lembaga Keuangan Syariah